Kamis, 01 Februari 2024

Patroli Malam Hari (bagian 1)

Cerita ini hanyalah rekaan semata, kesamaan nama dan tempat hanyalah kebetulan belaka. PERINGATAN: Konten ini mengandung materi dewasa dan homoseksualitas. Jika Anda tidak dapat menerima materi ini, segera tinggalkan blog ini.

"Oooohhh..."
Jadi ini rasanya dimainin pria lain...

Aku Irfan, seorang polisi straight usia 36 tahun. Aku sudah berkeluarga dan mempunyai dua anak yang kucintai. Hubunganku dengan istriku baik-baik saja, dan aku mencintainya. Jadi kenapa aku ada di sini?
Yah, karena akhirnya aku merasakan bagaimana pria lain memainkan kontolku.
Tak pernah sekali pun terlintas di pikiranku untuk bermain dengan sesama jenis. Kehidupan seksualku baik-baik saja dengan istriku, bahkan aku sudah mempunyai dua anak dari hubungan badanku dengan istriku. Namun, di usia yang sudah separuh kepala tiga ini, dorongan seksual istriku mulai berkurang, terutama karena dia sibuk mengurus kedua anak kami. Sementara itu, dorongan seksualku sangat tinggi. Saat awal-awal menikah dulu, tiap hari aku ngeseks dengan istriku, bahkan ada masa-masa saat aku melakukan seks kilat sebelum berangkat dinas, dan pulangnya pun aku ngeseks lagi dengan istriku, seringnya belum ganti baju. Dan istriku meladeni hasrat seksualku yang tinggi itu dengan baik. Sayang, sejak anak pertama lahir, nafsu seksual istriku agak menurun. Anak keduaku hanya terpaut satu setengah tahun saja dari anak pertama karena dorongan seksualku yang tinggi itu. Namun, setelah anak kedua lahir, istriku mulai menolak berhubungan seks. Takut kebobolan, katanya, dan dia tidak yakin sanggup menghidupi satu anak lagi. Yah, memang, aku hanya seorang polisi, walaupun karierku sudah cukup tinggi juga. Aku sudah berpangkat AKP dan memiliki jabatan cukup penting di tempat dinasku. Gajiku masih cukup untuk membiayai sekolah kedua anakku dan sesekali memanjakan mereka, namun memang kalau dihitung-hitung, punya anak ketiga akan membebani keuangan kami. Istriku sendiri tidak bekerja selain katering kecil-kecilan, dan walaupun penghasilannya lumayan, dia sendiri tidak suka berfoya-foya.
Hampir ideal ya hidupku? Aku merasa begitu, kecuali untuk dorongan seksualku. Setiap hari aku masih horny, dan walaupun istriku tahu itu, dia tidak melakukan apa-apa untuk memuaskan aku. Awal-awal dia masih menggodaku, namun beberapa tahun belakangan bahkan dia sudah tidak pernah menyentuh kontolku lagi. Dia tidak keberatan kalau aku coli, namun aku merasa bosan juga lama-lama coli di kamar mandi. Namun, aku tidak berani mencari wanita lain, terlalu berisiko untuk karierku dan kehidupanku sendiri. Jadi, paling banter aku hanya bisa menahannya di bawah meja kerjaku, sesekali kulampiaskan di toilet kantor.

Sampai aku mendengar tentang kehidupan kaum gay.

Yah, bukannya aku sama sekali tidak mendengar mereka sih. Di tengah maraknya internet dan kesadaran atas kaum LGBT mulai meningkat, tentu saja aku mendengar beberapa kasus kriminal yang melibatkan kaum gay, walaupun aku tidak pernah menangani langsung di tempat dinasku. Aku pun tidak berusaha mencari tahu lebih banyak tentang kehidupan kaum gay, namun aku juga tidak menaruh kebencian apa-apa pada mereka. Ada yang bilang mereka kaum banci atau waria, tapi setahuku tidak sepenuhnya demikian.
Ternyata memang demikian.
Aku tidak banyak bermain media sosial, namun aku punya akun Facebook. Teman-temanku di sana paling hanya keluargaku sendiri, terutama keluarga jauh, rekan-rekan kerja, dan beberapa teman sekolah, sekedar menjalin relasi. Beberapa kali aku mendapatkan undangan reuni sekolah dari sana, sehingga aku secara berkala memeriksa akun Facebook-ku. Hingga suatu hari, di suatu siang yang benar-benar membuatku jenuh, aku iseng membuka Facebook-ku. Ternyata ada permintaan pertemanan baru, dari seseorang bernama Ardi. Kuperiksa informasi akunnya, ternyata banyak teman mutual denganku, sesama teman SMP. Oh jangan-jangan ini Ardi si kutu buku itu? Ternyata benar, dia bersekolah di SMP Y. Aku cukup mengaguminya karena dia paling pintar seangkatanku, dan aku sering minta diajari olehnya. Setelah lulus SMP, aku pindah kota karena ayahku pindah lokasi dinas, sehingga aku agak kehilangan kontak, dan dia memang agak pendiam. Dipikir-pikir iya juga, kenapa aku tidak pernah ketemu dengannya selama ini waktu reuni ya? Fotonya benar-benar membuatku pangling, dia sekarang ganteng juga dan badannya cukup kekar. Tanpa pikir panjang lagi kuterima permintaan pertemanannya, dan aku mengirim pesan pribadi padanya.
"Ardi?"
Sambil menunggu jawabannya, iseng-iseng aku melihat profilnya. Ah dia bekerja di bidang IT ternyata, cocok untukknya. Eh di kota S? Lah itu kan di sini... kenapa aku tidak pernah mendengar atau ketemu dengannya ya? Kota ini tidak terlalu besar, jadi mestinya besar kemungkinan kami bertemu, entah di supermarket atau di plaza kecil. Apa mungkin dia baru pindah ke sini... kalau lihat profilnya sepertinya sih demikian.
"Halo Fan! Ga nyangka kamu jadi polisi sekarang ya hehehe..." Loh cepat juga dia membalas.
"Iya Ardi, maklum amanah bapak hahaha... Gimana kabarmu? Ke mana aja kok ga pernah nongol di reuni?"
"Iya... kamu tahu sendiri lah Fan aku orangnya pemalu... baru akhir-akhir ini memutuskan mulai mengurus lagi akunku ini, tapi temanku juga masih sedikit sih, baru teman SMP aja yang deket-deket... terus aku ketemu akunmu."
"Hahaha padahal dulu aku sering minta ajar dirimu lho... pernah saking desperate-nya sampai nginap di rumahmu, ingat ga?"
"Ingat lah Fan hahaha... dan sayangnya masih dapet merah aja ulanganmu waktu itu. Eh sekarang jadi polisi. Ampun Pak Pol..." Padahal kalau sudah akrab, dia bisa lugas dan bercanda. Entah kenapa dia lebih dikenal sebagai si anak kutu buku yang kuper, sehingga sedikit yang berkawan dengannya. Baik pula orangnya.
"Eh kamu kerja di S? Udah berapa lama?"
"Baru sebulanan ini aja kok Fan. Makanya aku request friend, kali-kali kamu bisa jadi guide-ku di kota S hehehe... ah tapi Pak Pol pasti sibuk yah..."
"Bisa diatur lah Ard... lepas kerja kamu kosong? Mau makan malam?"
"Boleh, aku kosong sih Fan. Tapi aku masih belum tahu apa-apa di sini..."
"Gampang Fan, aku jemput. Ada WA? Biar gampang kontaknya. Ini nomerku ###." Tak terlalu lama ada notif di HP-ku, dari Ardi. Kami pun janjian makan malam di sebuah tempat makan dan aku akan menjemputnya sekitar pukul lima sore selepas aku selesai dinas, sambil mengajaknya jalan-jalan keliling kota. Aku pun memberi tahu istriku bahwa aku tidak makan malam di rumah karena bertemu kawan lama--dia tidak pernah marah kalau aku tidak makan malam, karena aku bisa memakannya sebagai sarapan atau bekal makan siang besoknya. Tentu saja aku membawa mobil pribadiku, namun aku tidak ganti baju, toh masyarakat di sini sudah bisa melihatku berpakaian seragam sekalipun sudah lepas dinas, dan mereka juga tidak memperlakukanku seperti pejabat penting. Sekitar pukul lima aku menjemput Ardi di depan kantornya, dan kami pun menuju tempat makan itu. Perawakannya benar-benar berubah, dulu image-nya memang cocok sebagai seorang kutu buku karena fisiknya biasa saja dan cenderung kurus, namun sekarang badannya berisi sekalipun ia tetap mengenakan kaca mata tebal. Ternyata dia sebenarnya bekerja di Jakarta, namun kantornya memiliki cabang di kota ini dan dia ditugaskan di sini. Ia sempat ragu-ragu, namun katanya ia lelah dengan kehidupan Jakarta jadi ia mau mencoba sesuatu yang baru. Kami berbincang sangat seru malam itu, sampai tidak sengaja aku mengungkit kehidupan pribadinya.
"Jadi kamu ke sini boyong keluarga Ard?" tanyaku.
"Aku nggak nikah Fan," jawabnya tersenyum.
"Oh? Padahal sekarang kamu ganteng loh hahaha..." Kami berdua tertawa sebelum akhirnya dia menjawab.
"Aku... punya alasan sendiri Fan, dan sejujurnya aku belum yakin kamu akan menerimaku kalau aku beri tahu alasannya sekarang."
"Oh...?" Aku tidak menduga dia akan menjawab seperti itu. "Sori sori, aku kepo banget yah..."
"Nggak juga kok Fan, suatu saat nanti kalau aku siap aku pasti kasih tahu. Sekarang kita baru ketemu, aku nggak pingin kehilangan teman aja, kesepian soalnya aku di sini hehehe..."
"Oke oke, lupakan aja aku tanya itu tadi, " ujarku sambil menepuk-nepuk bahunya. "Kamu kan sudah punya nomerku sekarang, kalau ada apa-apa bilang aja OK? Jangan sungkan-sungkan. Kapan-kapan main lah ke rumah, ketemu istri dan anak-anakku." Ardi hanya mengangguk, dan sejenak aku merasa bersalah menanyakan hal itu. Namun ia dengan cepat menemukan topik baru bahkan menanyakan tentang keluargaku. Malam itu kami berjanji akan tetap berkomunikasi dan sesekali aku mengajaknya keliling-keliling kota.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, aku tidak merasakan perubahan apapun pada diri Ardi, walaupun terasa ia lebih supel sekarang. Dia mulai sering menghubungiku di WhatsApp dan percakapan kami normal-normal saja, sehingga istriku juga tidak terlalu kepo. Mungkin keadaan di Jakarta mengubahnya, siapa yang tahu. Namun, sekali-kali aku terheran juga dengan posting-postingnya di Facebook, terutama setelah aku memberitahunya tempat gym di sini. Lumayan sering dia pamer foto ngegym. Aku sendiri tidak terbiasa ngegym, namun aku tetap latihan serutin mungkin, biasanya jogging. Badanku sendiri tidak terlalu kekar dan usia mulai membuat perutku agak sedikit buncit, namun aku tidak lagi mempermasalahkan bentuk fisikku. Toh yang penting hasil kerjaku memuaskan.
Suatu hari, mendadak sekali mobilku harus masuk bengkel cukup lama karena harus ganti suku cadang dan perlu inden cukup lama--maklum mobil tua. Dengan terpaksa aku meminjam mobil kantor untuk berkendara, itu pun diberi pesan untuk tidak sering-sering menggunakannya untuk kepentingan pribadi kalau tidak terpaksa sekali, walaupun sebenarnya masyarakat juga tidak menyadarinya, dan hanya aku yang boleh mengendarainya. Kebetulan istriku tidak menyetir mobil, dan anak-anakku belum cukup umur untuk bisa membawa mobil sendiri, jadi aku menerima saja persyaratan-persyaratan itu. Aku juga berhasil meyakinkan bahwa mobil kantor itu, yang semestinya mobil patroli, amat jarang digunakan sebagaimana mestinya, jadi lebih baik kugunakan saja. Saat aku bercerita ke Ardi, dia mendadak tertarik untuk naik mobil polisi. Aku tidak keberatan sebetulnya, namun aku harus mengatur agar tidak banyak yang melihatnya, karena bagaimanapun juga mobil patroli itu bukan kendaraan umum. Aku hanya berjanji untuk mencari kesempatan yang tepat agar dia bisa naik mobil itu tanpa membuatku melanggar banyak aturan, karena bagaimanapun juga aku tetap terikat pada peraturan kepolisian.
Akhirnya kesempatan itu datang juga. Menjelang libur Natal dan Tahun Baru, tentunya wajar melihat polisi menjadi semakin sibuk dan patroli di mana-mana. Aku sendiri tidak punya kewajiban untuk patroli, namun itu berarti aku sedikit lebih bebas membawa mobil patroli ke mana-mana untuk sementara, aku bisa beralasan untuk memantau lokasi di lapangan--dan aku sesekali memang melakukannya tanpa ada pemberitahuan apa-apa. Suatu malam selepas jam kerja, Ardi memintaku jalan-jalan dengan mobil patroli, maka dengan senang hati aku menyanggupi permintaannya. Kebetulan hari itu ia sedikit lembur, jadi ia memintaku untuk menjemputnya di kantor, karena pasti hanya ada satpam di sana. Kira-kira pukul tujuh malam, ia muncul dari dalam kantor, dan setelah berpamitan pada satpam jaga, ia pun masuk ke mobilku.
"Waaah akhirnya keturutan juga hahaha," ujar Ardi riang. "Kapan lagi bisa naik mobil patroli!"
"Bayar lho Ard hahaha," godaku. "Kapan lagi kamu disetirin perwira polisi!" Kami berdua tertawa lepas.
"Beres Ndan, nanti aku kasih bayaran deh!" kelakarnya.
"Jadi Pak Bos, mau ke mana malam ini?" tanyaku.
"Kamu sudah makan Fan? Aku kelaparan nih."
"Ya udah, makan dulu kalau gitu. Mau agak jauhan dikit? Kamu besok libur kan?"
"Untungnya libur sih, tapi disuruh stand-by aja dari rumah. Kamu Fan?"
"Polisi malah sibuk-sibuknya pas Nataru gini Ard hehehe... tapi aku udah biasa kok. Oke, kita ke X ya, ada resto enak agak di pinggiran sana, habis itu kita bisa keliling-keliling sepuasmu."
"Siap Ndan 86!" seru Ardi sambil memberi hormat, lalu kami berdua tertawa. Senang juga rasanya setelah seharian pusing dengan kerjaan kantor, dan Ardi bisa kupercaya dengan keluh kesahku. Aku pun mengendarai mobil hingga ke restoran yang aku maksud, lalu kami makan malam di sana, sambil berkisah tentang kejadian hari itu maupun bahan obrolan lainnya, tentunya semuanya off the record. Selepas makan, aku pun membawanya berkeliling. "Kamu rasanya belum pernah lihat daerah ini Ard," kataku. "Agak pinggir memang, tapi pemandangannya cukup bagus sekalipun malam."
"Boleh Fan, aku ngikut aja apa kata Pak Pol, pasrah hehehe...," celetuknya.
"Tapi aku nanti sesekali mampir pos jaga gpp ya? Sekalian sidak. Daerah pinggir-pinggir katanya terkenal agak kurang perhatian."
"Siap, aku nunggu di dalam aja biar nggak kelihatan." Maka aku pun mengendarai mobil ke tempat-tempat itu, sesekali berhenti sebentar di pos jaga yang kulihat. Tak terasa sudah pukul setengah sepuluh malam saat aku membawanya ke sebuah tempat di pinggir kota S yang lebih tinggi dibanding sekitarnya, sehingga pemandangan malam kota S bisa nampak dari sana. Aku menghentikan mobil di sebuah tempat yang tidak terlalu terhalang dan mematikan lampu. Kubiarkan Ardi mengagumi pemandangan beberapa saat. "Bagus ya ternyata kota ini Fan," komentar Ardi.
"Iya Ard, aku cukup kerasan di sini. Orangnya baik-baik juga kebanyakan."
"Fan, aku mau cerita sesuatu. Tadi aku mau cerita waktu makan tapi rame banyak orang, jadi merasa nggak nyaman aja."
"Oh cerita apa Ard?" tanyaku tertarik. Sesekali sorotan lampu mobil atau motor dari depan maupun belakang menerangi interior mobil.
"Alasanku kenapa tidak menikah. Yang dulu kamu sempat tanyakan."
"Oh... nggak pa pa loh Ard kalau memang nggak pingin cerita," elakku.
"Aku mau cerita kok Fan. Aku sudah merasa sangat dekat denganmu, jadi aku percaya padamu. Aku berharap pertemanan kita setelah ini tetap apa adanya Fan, tapi aku nggak menyalahkan juga kalau kamu berubah sikap."
"Eh serius amat Ard," ujarku keheranan. "Kan kita udah akrab Ard, udah sering berbagi masalah dan solusi juga. Nyantai aja."
"Yang ini sejujurnya... agak beda sih Fan," sahut Ardi. "Aku tidak menikah karena... aku tidak tertarik wanita."
"Oh...," celetukku spontan, dan sejenak kemudian aku agak menyesal dengan reaksi itu. Kami terdiam agak lama, berusaha mencari kata-kata. "Ya... itu pilihanmu Ard, aku tidak punya hak apa-apa untuk menilai pilihanmu. Toh kamu tidak merugikan siapa-siapa dengan pilihanmu itu, ya kan?"
"Nggak kok Fan, kamu bisa percaya aku. Kamu kan tahu aku orangnya pilih-pilih. Ya memang jadinya aku gampang kesepian, tapi... aku nggak kaya orang-orang bodoh di berita-berita yang disetir hasrat seks aja."
"Aku percaya itu kok Ard. Kamu ga berusaha menggodaku kan hahaha...," ujarku mencoba bercanda.
"Emangnya kamu mau kugoda Fan? Banyak lho dari kaumku yang ngefans sama polisi!" Entah kenapa aku tertawa mendengarnya. "Jadi kamu ngefans aku Ard?"
"Yaaaa... ada dikit-dikit lah Fan!"
"Yakiiiiinnn?"
"Mau jawaban basa-basi atau to the point Fan?" ujar Ardi tertawa. "Astaga... aku ga nyangka reaksimu kaya gini Fan, sudah berhari-hari aku mikirin reaksimu waktu aku ngaku kalau aku gay. Ga kebayang kalau kamu malah ngetawain!"
"Halah santai aja lah Ard. Aku tahu pribadimu. Kamu orangnya baik di dalam. Masa gara-gara nggak suka cewek lalu aku jadi ketakutan? Toh selama ini kamu juga ga macam-macam sama aku Ard!"
"Mana berani lah aku Fan. I respect you lah. Ya memang sesekali aku mengagumimu, mengagumi badanmu, tapi bukankah cowok juga bisa mengagumi badan cowok lain, ya kan?"
"Ada benernya sih..."
"Tenang aja Fan. Aku ga kaya homo-homo haus seks lainnya. Kalau urusan bawah, aku ga akan menggodamu atau memaksamu. Aku menghormatimu sebagai kawanku. Aku cuma berharap pertemanan kita tidak berubah setelah kamu tahu fakta ini."
"Santai Ard," ujarku menepuk-nepuk bahunya, meyakinkan dirinya. "Aku nggak akan cerita ke siapa-siapa, ke istriku, ke teman-teman SMP kita... mereka udah pada tahu?"
"Jujurnya, kamu orang pertama yang aku kasih tahu Fan..."
"Oh..." Aku terdiam sejenak dibuatnya. "Emm... makasih Ard kamu sudah begitu percaya denganku."
"Dan aku makasih juga Fan kamu tidak menyuruhku turun sekarang di sini gara-gara tahu kamu semobil dengan seorang gay." Aku jadi tertawa dibuatnya. "Dasar kamu Ard, bisa aja becanda!" Kami tertawa lagi sebelum kembali tenggelam dalam pikiran masing-masing. "Mau jalan Ard?"
"Boleh bentar lagi ga Fan? Aku masih mau menikmati pemandangan di sini."
"Oke Bos, siap." Ardi memalingkan wajahnya untuk memandang keluar dan aku tidak mengganggunya. Sebelum aku menyadari dia terisak. "Kenapa Ard?"
"Fan... kamu tidak tahu betapa leganya aku sekarang...," jawab Ardi pelan sambil tetap memalingkan pandangannya dariku.
"No worries Ard... butuh tisu?" Entah kenapa aku memperlakukannya seperti anakku yang sedang sedih. Tanpa menunggu jawabannya, kuambilkan tisu dari dasbor dan kuberikan padanya. Ia membuang ingusnya selagi kuelus-elus punggungnya. "Aku tidak tahu seberapa besar perjuanganmu Ardi, tapi tenang saja, aku nggak akan menilaimu macam-macam."
"Makasih Fan..." Ia berusaha menenangkan dirinya dan akhirnya memberanikan diri menatapku. "Kamu baik banget."
"Ah biasa aja lah Ard! Udah, jangan sedih lagi ya. Ada aku di sini." Kami terdiam beberapa saat lagi, aku bingung harus berkata-kata apa lagi. Seumur-umur baru ini aku mendapati temanku gay. Tapi aku percaya, Ardi bukan gay sembarangan. Bahkan mungkin dia bisa membuka wawasanku menjadi lebih luas. Tapi itu nanti saja lah. "Pindah tempat yuk."
"Boleh." Aku kembali mengendarai mobil menuju tempat lain yang kukira bisa menaikkan mood Ardi, karena ia agak diam. Sebetulnya aku ada pertanyaan yang cukup personal, namun aku tidak terlalu yakin apakah dia mau menjawabnya dalam kondisi sekarang. Paling tidak kucoba dulu.
"Ard... kapan-kapan aku boleh tanya hal-hal yang agak pribadi? Kalau nggak juga ga pa pa kok."
"Tentang apa Fan?"
"Um... tentang seks sih Ard..."
"Oh hahaha..." Ia tidak menjawab sehingga aku agak menyesal menanyakannya, namun tiba-tiba ia menyeletuk, "Tanya aja Fan. Emang kalau dibanding dirimu yang sudah punya anak, kehidupan seksualku 'beda' sih..."
"Sori ya, soalnya aku buta sama sekali dengan dunia gay."
"Ga pa pa Fan. Banyak kesalahpahaman sih di negara kita, dan sebagian ya disebabkan kaumku sendiri. Tapi aslinya ya Fan, kalau ngomongin seks, kurasa ya mirip-mirip aja kok. Cuma beda alat kelamin hahaha..."
"Maksudnya kaya gimana tuh Ard?"
"Yaaa... kami kan ga doyan memek, doyannya kontol." Ia lalu menjelaskan berbagai istilah di dunia gay, terutama perbedaan tentang top dan bottom. Cukup membuka pikiran, walaupun perlu diakui pembicaraan itu agak membuatku sedikit terangsang. "Tapi kalau aku sih sementara ini side Fan."
"Apa lagi itu Ard?"
"Side itu orang-orang yang ga kepingin dientot atau ngentot sama sekali, tapi masih terlibat aktivitas seksual lain. Kalau orang normal... hmmm... mungkin mirip-mirip foreplay aja tapi ga sampai intercourse gitu Fan, ga mau kontol masuk memek atau masuk bool gitu... cukup kissing, petting, kalau mau ya hand job atau paling banter blow job lah."
"Waduh perlu berguru ini aku ke Pak Guru Ardi heheheh," ujarku terkekeh. "Itu istilah-istilah apa lagi coba..."
"Yaaah Fan, lah kamu dulu sama istrimu ngapain aja hahaha..." Ardi tertawa terbahak-bahak. "Itu loh istilah-istilah umum aktivitas seksual, terlepas dari dia mau normal kek, gay kek."
"Habis Inggrisan, udah kaya istilah-istilah IT aja!" kilahku.
"Ahahaha... ya udah, pake istilah lokal ya... Kissing pasti tahu kan Fan, jangan bilang kamu ga pernah cium istrimu."
"Itu rutin Ard hehehe..."
"Petting itu... ah ini yang ga ada istilahnya... raba-rabaan gitu Fan. Bisa masih pakai baju, bisa udah lepas. Elus-elus leher, cupangin, jilat-jilat kuping, raba-raba dada dan puting..."
"Oooh itu maksudnya petting...," ujarku manggut-manggut. Sial, aku jadi membayangkan istriku melakukan itu padaku! Tanpa bisa kucegah, kontolku mulai bangun perlahan-lahan.
"Kalau hand job gampang sih, terjemahin aja jadi pekerjaan tangan Fan. Kalau cowok jadinya ya... apa yang bisa dimainin pake tangan hahaha..."
"Coli?"
"Dicoliin lebih tepatnya, kalau coli kan solo. Hand job berarti istrimu ngocokin kontolmu Fan."
"Hmmm... enak..."
"Satunya lagi, blow job ini artinya mainin kontol pake mulut. Ya bisa sih sebetulnya cowok jilat-jilat memek, tapi itu nggak disebut blow job. Yang umum ya kontol diisep itu blow job. Kalau kontolnya gede panjang dan yang ngisepin bisa nelen sampai pangkalnya, namanya deep throat."
"Ooo ya ya... intinya diisepin gitu ya."
"Yes Fan. Istrimu pernah ngisepin punyamu?"
"Pernah sih..."
"Nah jadi aku ini cuma menikmati permainan seks macam itu, tanpa penetrasi ke bool. Relatif lebih aman, kamu kan tahu sendiri bool itu daerah kotor dan risiko luka lumayan gede kalau mainnya kasar atau baru pertama kali. Aku sih ga mau terlalu risiko aja, kalau ngisep masih enak Fan hahaha... bayangin aja kenikmatan makan pisang tapi pisangnya kenyal."
"Dasar kamu Ard hahaha, bikin pikiranku ke mana-mana nih!"
"Siapa suruh kamu tanya gitu-gitu hahaha..." Kami tertawa lagi walaupun sebenarnya aku jadi makin terangsang dibuatnya. "Napa Fan, kamu kepingin ya?" goda Ardi.
"Yaaaa... mau jawaban basa-basi atau to the point Ard?" godaku balik. Ardi tidak menjawab pertanyaanku dan hanya tertawa. Sejenak kami terdiam selagi aku membawa mobil ke sebuah tempat; saat itu sudah pukul sepuluh malam jadi jalanan mulai agak sepi. "Sejujurnya ya Ard, aku sudah lama tidak menikmati seks. Istriku sudah nggak mau diajak ngeseks."
"Oh... sori Fan... aku nggak tahu. Aku cuma tahu kalau cewek sudah menopause berarti dia sudah nggak bisa hamil lagi."
"Betul sih Ard, istriku belum menopause tapi dorongan seksnya juga menurun. Dia jadi lama terangsang dan kering di bawah sana, jadinya kesakitan kalau aku masukin. Lama-lama dia nolak berhubungan. Takut kebobolan juga Ard, nanti kalau punya anak lagi kami takut ga bisa menghidupi aja..."
"Oh gitu ya Fan," ujar Ardi manggut-manggut. Aku menghentikan mobilku dan kembali mematikan mobil. "Aku nggak ngerti psikologi cewek sih Fan, tapi istrimu nggak mau gitu diminta ngocokin atau ngisepin?"
"Udah nggak mau Ard," keluhku. "Padahal punyaku masih berfungsi baik dan aktif."
"Hmmm repot juga ya Fan kalau gitu... makanya banyak pria paruh baya yang selingkuh cari cewek muda ya."
"Betul. Atau 'jajan'. Masalahnya aku nggak mau kaya gitu Ard. Aku nggak mau selingkuhin istriku cuma demi seks. Kasihan anak-anakku. Lagian kamu tahu sendiri posisiku, karierku."
"Aku salut sama kamu Fan," ujar Ardi. "Istrimu beruntung betul punya suami yang cinta mati."
"Makasih Ard."
"Dan dia beruntung sebetulnya ya bisa ngerasain kontol polisi hahaha," celetuk Ardi. Aku ikut tertawa dibuatnya. "Emang sespesial itu kah polisi di kaum kalian?"
"Yaaa... ada yang ga suka dan benci polisi, tapi di kalangan normal pun gitu juga kan?" Aku mengangguk. "Tapi ada yang namanya fetish, yang mengagumi secara seksual. Polisi salah satunya. Seragam gitu lah. Bikin jantan banget gitu lah Fan hehehe... akuilah, kamu pernah kan dulu ngeseks sama istrimu masih pakai seragam polisi lengkap?"
"Ah tau aja kamu Ard, ngintip yaaaa..." Kami tertawa lagi.
"Merasa jantan banget nggak kamu menggagahi istrimu pakai seragam polisi? Jujur aja."
"Hmmm... dipikir-pikir iya sih Ard... ilmumu banyak juga ya hehehe..."
"Teori doang Fan, praktiknya masih jarang kok hahaha. Kenapa Fan, pingin coba?" Sejujurnya, pertanyaannya barusan memantik minatku, apalagi aku sedang ngaceng sekarang, walaupun untungnya kondisi dalam mobil patroli gelap. Ardi sepertinya merasa sungkan karena dengan cepat ia menyambung, "Sori Fan. Mestinya aku ga ngomong gitu sama kamu."
"Kamu tahu Ard," ujarku sambil sejenak menyalakan lampu dalam mobil. "Sejujurnya, percakapan kita ini membuat... penasaran." Ardi melirik selangkanganku yang tampak begitu menonjol dalam celana PDH-ku. "Punyamu gede yah Fan. Istrimu pasti suka banget."
"Dulu Ard," jawabku pendek. "Kamu mau pegang?"
"Emang boleh Fan?" Ardi tampak ragu. "Aku... jujur pingin sih, tapi..."
"Pegang aja Ard. Cuma ada kita berdua di sini." Aku membuka kakiku, mempertontonkan jendolan kontolku yang menegang itu. Sebenarnya nekat juga diriku, bagaimana kalau dia tersinggung? Sepertinya akalku dikalahkan hasratku malam ini... jantungku berdebar-debar menunggu reaksinya. Setelah sekian saat, akhirnya Ardi mengulurkan tangannya, memegang jendolan kontolku. "Gedenya Fan punyamu," ujarnya. "Ga heran sudah bisa menghasilkan dua anak."
"Udah lama ga dikeluarin itu Ard," ujarku lirih selagi Ardi mengelus-elus kontolku. "Bantuin aku ya?"
"Aku... boleh Fan?" Ardi sepertinya sungkan-sungkan denganku.
"Lakukan seperti ceritamu tadi Ard... please... aku udah bosan ngocok sendiri..."
"Fan... kalau ini caraku membantu dirimu, aku akan bantu... kamu ga perlu lakukan apa-apa ke aku ya, biar aku aja yang enakin kamu. Tapi bilang ya kalau kamu nggak nyaman."
"Iya Ard..."
"Mending matiin lampunya deh Fan, biar nggak kelihatan dari luar."
"Kaca filmnya tebal kok Ard, dari luar ga bakal bisa lihat ke dalam, sekalipun ada lampu ini."
"Bener ya Fan? Aku ga mau kamu kenapa-kenapa misal ada yang mergokin kita."
"Aman Ard. Makanya aku bawa kamu ke sini, tempat ini sepi."
"Ya udah Fan, aku percaya kamu. Ini juga rasa terima kasihku karena kamu menerimaku apa adanya. Nikmati ya Fan."

Aku menurunkan jok kursiku ke belakang untuk bisa tiduran. Ardi sejenak memosisikan diri sebisa mungkin menghadapku, lalu ia memulai permainannya. Tangan kirinya mulai meremas-remas kontolku dengan perlahan sementara tangan kirinya menjelajahi dadaku. Aku mengerang pelan. "Oooohhh..."
"Enak Fan?"
"Ngggghhh... udah lama Ard kontolku ga disentuh tangan selain tanganku..."
"Ini pertama kali kamu disentuh laki-laki?"
"Iya lah Ard... aaahhh..." Ardi memijat-mijat biji-biji kontolku. "Kalau sakit bilang ya Fan, aku suka soalnya remes-remes biji kontol hehehe..."
"Enak kok Fan... mmmhhh..." Aku menggeliat ketika jempolnya mulai menggerayangi batang kontolku yang dengan cepat mengeras dalam celana PDH-ku, agak miring ke arah kanan tubuhku. "Gedenya Fan batangmu... batang kontol polisi uuuuhhh... emang mantap kontol polisiii..." Kata-kata kotornya tidak membuatku jijik, malahan menambah gairah yang sudah kutahan-tahan sejak tadi. Aku mendesah ketika tangan kanannya menemukan puting dadaku dan mencubit-cubitnya dari luar kemeja PDH-ku. "Ooooohhhh..."
"Nikmati ya Bapak AKP Irfan...," bisik Ardi. "Ini ungkapan rasa terima kasih saya karena Bapak sudah melindungi dan mengayomi masyarakat kecil seperti saya... saya merasa begitu terhormat bisa melayani polisi seperti Pak AKP Irfan... memainkan kontol gede polisi... mmmmhhh..." Ia meremas-remas kontolku lebih kuat dibanding tadi, namun remasan-remasannya begitu nikmat mengaliri tubuhku. "Aaaahhhh... nikmaaat Aaard..."
"Ini kalau celanamu basah istrimu ga curiga Fan?" tanyanya tiba-tiba. "Ngaceng gini biasanya basah lho..."
"Sebetulnya istriku tahu kok Ard aku masih sering horny, tapi terserah kamu deh..."
"Ya udah, ntar kubantu mikir alasan deh kalau di dalam sana sampai basah kuyup hahaha..." Ardi kembali mengelus-elus kontolku yang semakin menegang, membuat celana PDH-ku semakin sesak. Ia berhasil mengurut batang kontolku hingga ke ujungnya, lalu ia memainkan jari-jarinya di kepala kontolku, membuatku menggelinjang. "Mmmmhhh... Aaarrrddd..." Tangannya yang satunya menggerayangi dadaku, mengelus-elus lencana polisiku dan berbagai atribut lain di sana. "Lencananya gede ya Pak Irfan... tapi lebih gede kontolnya... Ardi sukaaa..." Ia meremas biji-biji kontolku, membuatku mengerang. "Nggghhh Aaarrrddd..." Ia kembali mengurut batang kontolku, tidak terburu-buru namun tidak terlalu pelan juga, kecepatannya pas untuk memberiku kenikmatan. "Aaaarrrdddhhh... kamu kok pinter mainin kontolkuuu... nnggghhh..."
"Kamu cowok pertama sih Fan yang aku mainin kontolnya hehehe..."
"Enak banget Ard... mmmhhh... sering nonton video porno ya..."
"Nggak juga Fan, kalau video gituan mah malah langsung telanjang biasanya. Aku beberapa baca dari blog Fei's Fantasy, di situ kumpulan cerita-cerita dewasa pria gay berseragam, dan biasanya ada 'menu pembuka' jadi ga langsung sat set telanjang dan ngentot. Kaya yang kulakukan sekarang ini deh hehehe..."
"Hmmm menarik... nanti minta alamatnya ya Ard..."
"Siap Ndan, abis kubikin crot dirimu ya hahaha..." Ardi kemudian beringsut mendekat, wajahnya ia benamkan pada jendolan kontolku. Aku bisa merasakan bibirnya menjamah lembut biji-biji kontolku. "Ngggghhh Aaarrrddd..." Tangannya semakin liar menjamahi dadaku dan atribut-atributku, sesekali mencubit putingku membuatku terpekik. Bibirnya mulai mengatup di batang kontolku dan dia pun bergerak naik perlahan-lahan, mengurut batang kontolku dengan mulutnya. "Mmmmhhh... sssshhhh... lagiiii Aaaarrrddd..." Ia melakukan itu beberapa kali, dan terakhir ia berhenti di ujung kepala kontolku. Ia menggunakan lidahnya untuk menekan-nekan kepala kontolku. "Ooooohhhh Aaaarrrddd... ntar basaaaahhhh..."
"Ga pa pa Fan, nanti kena AC kering lagi," jawab Ardi nakal, lalu ia menggunakan tangan kirinya untuk menggenggam batang kontolku dan mengocok-ngocoknya pelan sambil tetap menjilat-jilat kepala kontolku dari balik celanaku, membuatku menggelinjang. Aku sampai harus berpegangan di tepi jokku, tubuhku seakan tersetrum aliran kenikmatan yang luar biasa, yang sudah lama tidak kurasakan. "Aaaarrrrdddhhh... nnnggghhh... mau keluaarrr..." Kucengkeram tangan Ardi kuat-kuat untuk menghentikan tangannya, dan untungnya ia menghentikan permainannya pada tubuhku. Aku terengah-engah pada jokku, peluhku mulai membanjiri keningku dan sepertinya mulai membasahi kaos dalamku. Ardi sejenak kembali ke joknya walaupun tangannya masih memegangi kontolku yang berdenyut-denyut tidak karuan itu, meronta-ronta ingin segera menembakkan cairan kenikmatan. Sepertinya ia sedikit menekan batang kontolku supaya aku tidak ngecrot. Ia memandangku sambil tersenyum. "Enak Fan?"
"Enak banget Ard... hhh... aku hampir keluar tadi..."
"Keluarin aja Fan, biar lega..."
"Jangan di dalam Ard... nanti istriku bakal curiga kok celanaku basah..."
"Bisa diatur lah Fan hehehe..." Ardi kembali beringsut mendekat, namun kali ini mendekat ke wajahku sehingga aku menatapnya. "Kamu ganteng Fan..."
"Iya dong, siapa dulu hahaha... nnnggghhh..." Dengan nakalnya tangan kirinya kembali menggerayangi lencanaku, lalu langsung turun ke pentilku dan memainkannya. "Aaaahhh Aaaarrrddd..." Tangan kanannya menggenggam tanganku dan aku pun balas menggenggam tangannya, begitu hangat.
"Aku... boleh ga cium kamu Fan?" Tangan kanannya mengelus-elus kepalaku dan sedikit mendorong kepalaku semakin mendekat ke dirinya. Sejenak aku tertegun; tentu saja aku belum pernah berciuman dengan sesama lelaki, namun nafsuku sudah mengalahkan akal sehatku. Sudah lama aku tidak bercumbu selagi bercinta. Ah tidak ada yang tahu apa yang sedang kami lakukan di sini, dan toh istriku sudah tidak pernah menciumku di bibir...
Belum juga aku memberi jawaban, Ardi sudah mendorong kepalaku mendekat ke kepalanya, dan bibirku pun beradu dengan bibirnya. Begitu hangat. Ciumannya tidak agresif, mungkin Ardi tidak mau memaksaku, atau barangkali kalau aku menolak. Sebenarnya ada bagian di diriku yang merasa aneh atau bahkan jijik; cowok normal mana yang mau berciuman di bibir dengan cowok lain? Namun... ciumannya terasa berbeda. Sedikit bernafsu, namun terasa lembut. Seperti orang yang... mencintai? Aku memutuskan untuk menikmatinya saja, maka kubalas ciumannya. Aku beringsut memiringkan tubuhku agar lebih nyaman berciuman, dan Ardi pun menjadi semakin berani dengan memainkan lidahnya di bibirku. Aku belum banyak bereaksi dan membiarkan dia yang lebih aktif. Rasanya enak juga, ketika ia memagut bibirku dan menyentuh tempat-tempat yang sudah lama tidak tersentuh, membangkitkan gairahku. Kehangatan tangannya memeluk kepalaku membuatku terasa begitu... dicintai. Aku pun memejamkan mata dan menikmati ciuman Ardi.

Kalau saja ia tidak juga mengocok kontolku.

"Mmmhhh... nggghhh... mmfffhfhh..." Eranganku tertahan Ardi yang masih menciumku. Aku mulai merasakan tekanan yang semakin kuat di kontolku. "Mmfffhhh! Rrrrddd!" Kuhentakkan pinggulku ke belakang untuk membebaskan diri dari tangan Ardi, namun dengan cepat ia meraih lagi kontolku dan meremasnya dengan cepat. "Hnngggghh!" Belum sempat aku protes, ia kembali menekan batang kontolku kuat-kuat sebelum melepaskan ciumannya. "Mau keluar lagi ya Fan?"
"Iyaaaahhhh... hhhh... hhhh..." Aku tergolek lemas di jokku, berusaha mengatur nafasku. Jantungku berdetak cukup cepat, membuat peluh kembali membanjiri keningku. Aku mati-matian mengatur nafsuku supaya aku tidak keluar, walaupun sebenarnya aku begitu ingin keluar. "Duduk tegak coba Fan," ujar Ardi sambil membimbingku bangkit dari jokku. Aku pun mencoba duduk tegak, dan ternyata benar hasratku untuk ngecrot agak tertahan. Ardi mengelus-elus punggungku untuk sedikit menenangkanku. "Wih pak pol nya basah nih hehehe..."
"Hot banget sih kamu mainin kontolku Ard...," ujarku masih terengah-engah. "Sumpah aku belum pernah dibikin begini... hampir crot dua kali dalam celana..."
"Mau yang ketiga kali Fan?" tanya Ardi nakal sambil meremas-remas kontolku. "Jarang-jarang kan polisi crot dalam celana dinas?"
"Nggghhh Ard..." Aku tidak kuasa menolak ketika ia kembali memainkan jari-jarinya di atas kontolku dari luar celana PDH-ku. Ia fokus pada biji-biji kontolku sehingga aku masih dapat menahan diri, walaupun sebenarnya pijatan-pijatannya enak juga. "Ooooohhh..."
"Fan, kamu bawa borgol nggak?" tanyanya tiba-tiba.
"Bawa."
"Sama kuncinya kan?"
"Ya pasti lah!" Aku agak heran dengan pertanyaannya. Kenapa menanyakan borgolku.
"Kamu mau kumainin sambil diborgol di jok?" Aku sejenak tertegun dengan pertanyaannya. "Jadi kamu ga bisa narik tanganku kalau pingin keluar. Pokoknya aku yang menentukan kapan kamu keluar. Kau cuma boleh bilang kalau pingin keluar. Mau?"
"Hmmmm... mmmhhh..." Aku tidak bisa berpikir karena dia terus menggoda biji-biji kontolku. Sepertinya menarik juga. "Borgolku di kopel Ard... cari sendiri gih kalau kamu mau mainin aku kaya gitu!"
"Siap Ndan 86!" Ia mulai meraba-raba daerah kopelku sebelum akhirnya menemukan sarung borgolku. Ia pun membukanya dan mengambil borgolku beserta kuncinya--kuncinya ia letakkan di laci mobil agar mudah dicari nanti. "Jadi ceritanya saya nangkap polisi nakal yang ternyata lagi horny, Pak AKP Irfan. Saya sebagai atasan Pak Irfan perlu mendisiplinkan Pak AKP Irfan."
"Siap Ndan, siap salah!" Entah kenapa aku jadi menuruti permainannya. Ardi pun menaikkan jokku lalu melingkarkan tanganku ke belakang jok, lalu memborgolku di sana. "Jangan berontak ya Pak AKP Irfan. Saya kasih kenikmatan tiada tara," ujar Ardi nakal, lalu ia langsung meremas-remas kontolku kembali. "Oooohhh Aarrrddd..." Ia menggenggam kontolku dan memainkan jempolnya di pucuk kepala kontolku dengan gerakan memutar. "Aaaaaggghhh... Aaarrrddd... geliiiihhhh... nnnnggghhhh..." Aku meronta-ronta namun tentu saja tubuhku tertahan karena tanganku terborgol di belakang. Aku hanya bisa beringsut ke sana kemari, menekuk tubuhku sebisa mungkin, namun tetap saja tidak cukup untuk menghalangi tangan Ardi yang dengan bebasnya menggerayangi dan memainkan kontolku. "Aaaarrrrddd!!!" pekikku ketika ia mengocok kontolku dengan cepat. "Jangan cepat-cepat Aaarrrddd... aaarrrgghhh..." Ardi hanya tersenyum sambil malah mempercepat kocokannya. "Aaaaaahhhhh..."
Nyaris ketika aku hampir tidak tahan lagi, ia melepaskan tangannya. Kenikmatan yang tiba-tiba hilang itu justru membuatku frustrasi; aku pun meronta-ronta dalam jokku, bahkan aku sampai menggerakkan pinggulku maju mundur agar tetap mendapatkan kenikmatan, yang sedikit-sedikit kudapatkan dari gesekan kontolku dengan celana dalamku dan celana PDH-ku. Ardi malah meremas biji kontolku kuat-kuat. "Aaaaarrrggghhh..." Rasa ngilu itu refleks membuatku mengapitkan kakiku rapat-rapat untuk melindungi kontolku. Ardi sepertinya menjadi makin beringas karena ia menggunakan tangan kanannya untuk menutup mulutku. "Mmmmfffhhh... Aaarrrddd..." Ia tidak memedulikan erangan protesku, namun kini remasannya tidak sekuat tadi. Ia mulai berpindah kembali ke kepala kontolku, mengelus-elus kepala kontolku kembali. "Nnngggghhhh! Mmmmmhhh!" Aku meronta-ronta kegelian, kali ini lebih tertahan lagi karena Ardi menahan kepalaku dengan tangan kanannya.
"Geli ya Pak AKP Irfan?" ujar Ardi terkekeh. "Udah mau crot Pak?"
"Mmhh..." aku menjawab sambil menganggukkan kepala.
"Tapi malam masih panjang Pak Irfan... kalau dimainin terus sampai pagi bisa crot berapa kali nih?" Ardi mulai mengurut batang kontolku, mengocoknya dengan sangat pelan, membuatku menggelinjang. "Nnngggghhh! Nnggh nnggh!" Kakiku mulai bergetar walaupun aku dalam posisi duduk. "Mmmmggghhhh!!!" Ardi hanya menggunakan tiga jarinya untuk mengocok kontolku dari luar celana PDH-ku. Kenikmatan itu rasanya sudah mencapai ubun-ubunku.
"NNNNNNNNGGGGGGGHHHHH!!!"
Lagi-lagi tepat saat aku hendak orgasme, Ardi menekan batang kontolku kuat-kuat. Kali ini, dia cepat-cepat menciumku. "Mmmmffffhhh..." Ciumannya kali ini cukup bernafsu, namun karena aku juga sudah sangat terangsang, aku pun membalas ciumannya dengan ganas. Mendapatkan kesempatan itu, Ardi kembali mengocok batang kontolku.
"HHHHNNNNGGGGGGHHHHHH!!!"

Aku tak kuasa menahannya.

Croooottt...

Tubuhku mengejang di jok tertahan ciuman Ardi selagi aku orgasme dan kontolku memompakan cairan kejantananku keluar, perlahan-lahan membanjiri celana dalamku. Kakiku sempat membentur dasbor namun aku tak peduli lagi; aku kini telah mendapatkan kenikmatan dan kelegaan itu. Entah berapa kali kontolku berkedut, dan selagi itu Ardi tetap mengocok-ngocok batang kontolku walaupun tidak sekencang tadi. Pandanganku sedikit kabur, peluhku masih terus mengalir membasahi tubuhku. Kenapa tadi aku tidak menyalakan AC ya... "Nnnggghhh..." eranganku pun mulai melemah seiring dengan melemahnya pancaran pejuhku di dalam celana PDH-ku. Aku pun mulai merasakan batang kontolku beradu dengan pejuhku sendiri, memberi sensasi licin, namun karena aku habis orgasme, kontolku jadi sangat sensitif. "Mmmhhh!" Ardi tidak melepaskan ciumannya, demikian juga kocokannya pada kontolku. "Ffffhhhh! Nnnnggghhh!" Aku protes dan berusaha melepaskan diri dari ciuman Ardi, kontolku terasa agak ngilu namun ada sedikit kenikmatan di sana. Aku jarang orgasme lebih dari sekali, biasanya istriku tidak melanjutkannya setelah aku orgasme, dan aku pun tidak pernah memaksanya meladeniku lagi. Tapi kali ini... Ardi benar-benar tahu caranya memanjakan kontol... "Nngggghhh..."
"Enak kan Pak AKP Irfan?" ujar Ardi menyeringai. "Lagi ya Pak, ini pasti masih banyak tabungan pejuhnya," godanya sambil mengelus-elus dan meremas-remas biji-biji kontolku. "Oooohhh Aaarrrddd... jangan sekarang pleasseee... Ngiluuu... nnnggghhh..." Tidak memedulikan protesku, ia mengelus-elus kembali kepala kontolku yang masih sensitif itu, membuatku menggelinjang. "Aaaarrrdddhhh..." Pejuhku memberikan sensasi baru di kontolku, berfungsi sebagai pelicin ketika kontolku bergesekan dengan celana dalamku. Setelah puas melihatku meronta-ronta, ia mengocok-ngocok batang kontolku. "Aaaahhhh Aaarrrddd... udah pliiisss..."
"Lagi ya Pak AKP Irfan, sedikit lagi ajah," jawab Ardi manja dan nakal. Ia mempercepat kocokannya. Aku hanya bisa pasrah meronta-ronta. "Aaaarrrdddhhh.... fffffhhhh... hhhhh..."
"Ayo Pak Irfan... yessss.... nngggghhh..." Ardi mulai melontarkan kata-kata kotor dan ikut mendesah, memantik nafsuku kembali. "Tunjukkan kejantanan polisiiii... yeeaaahhh... kontol polisiiii... uuuggghhh... ayo Paaakkk... tembakkan lagiiiii..."
"Arrrddd..."
"Ayo Pak Irfaaannn... yeaaahhh... kontol polisiii... tegangnya sempurnaaaa.... yeeeesss...."
"Aaaaahhh... Aaaarrrddd..." Aku mulai merasakan tekanan itu lagi. Gila, ia berhasil membangkitkan nafsuku secepat itu! "Aaarrrddddddd!!! Hhhhhhhgggghhhhh!!! HHHHHHNNNNGGGHHHH!!!" Ardi semakin beringas mempercepat kocokannya pada batang kontolku, sambil kembali ia meraba-raba atribut-atributku dan mencubit-cubit pentilku. "AAAARRRRDDDDHHHHHHH!!!!!!!"

Crooottt...

"HNNNGGGHHH!!! OOOOOHHHHH!!!" Aku hampir tak bisa mengendalikan tubuhku yang mengejang selagi setruman kenikmatan itu datang lagi, berawal dari kontolku yang kembali memuntahkan cairan kejantananku, lalu mengalir ke perutku, bercabang ke paha dan torsoku, lalu ke kakiku dan tanganku. Pandanganku kembali kabur selagi tubuhku melepaskan dopamin dan otakku merasakan kenikmatan tiada tara. Ardi masih saja mengocok-ngocok batang kontolku selagi memuntahkan pejuhku, namun kali ini ia menghentikannya ketika batang kontolku sudah tak mampu lagi memberikan pejuh. Ardi pun meremas-remas kontolku dengan lembut selagi aku mengatur nafasku. "Arrrrddd... gila kamu yaaaa... hhhhh..."
"Hahaha... maaf Fan, kayanya aku kelepasan," ujar Ardi terkekeh. "Tapi enak kan?"
"Sumpah Ard... enak banget... aku sudah lama banget ga merasa gini... udahan dulu ya..."
"Iya Fan, sori banget loh hehehe..."
"Gpp Ard..." Aku mulai bisa mengendalikan diri, nafasku mulai teratur kembali, walaupun badanku jadi basah kuyup semua. "Basah semua kamu Fan," celetuk Ardi.
"Aku memang gampang keringatan sih Ard," jawabku. "Semua di kantor sudah pada tahu."
"Kalau gitu jangan nyalain AC ya, nanti kamu masuk angin."
"Iya Ard." Aku melirik celana PDH-ku. Walaupun samar-samar, namun aku bisa melihat noda gelap di sana. "Bocor juga kayanya Ard celanaku hahaha..."
"Pejuhmu pasti banyak banget ya Fan, udah lama ga dikeluarin." Aku mengangguk. "Aku bantu bersihin gimana Fan?"
"Gimana caranya Ard?" tanyaku keheranan.
"Yaaa... paling nggak pejuhmu yang masih di dalam nggak meluber ke mana-mana. Sandaran aja Fan, merem aja kalau kamu malu." Tanpa basa-basi lagi dia mulai meraih kepala kopelku dan membukanya, lalu ia juga membuka sabuk kecilku sebelum akhirnya membuka kait celana PDH-ku dan menurunkan resletingnya. Aku agak malu sebenarnya, karena hanya istriku yang pernah menelanjangiku seperti itu, namun aku penasaran apa yang hendak dia lakukan. Ardi beringsut dan mendekatkan kepalanya ke selangkanganku, lalu ia menurunkan celana dalamku yang basah kuyup itu, aroma pejuhku mulai menyeruak menerpa hidungku, dan...
Ia menjilati celana dalamku?
Sejenak aku agak mual melihat ia menjilati pejuhku, namun ia terlihat begitu menikmatinya. Seperti apa ya rasanya? Aku sendiri tidak pernah menjilati pejuhku, dan istriku pun tidak pernah. Ia juga menjilati daerah selangkanganku yang terlihat ada pejuh, membuatku kegelian. "Ard... geli..."
"Tahan ya Fan, geli-geli enak kok benernya. Awas ngaceng lagi hahaha..." Ia terus melanjutkan "membersihkan" pejuhku walaupun aku menggeliat-geliat kegelian. Hingga ia sampai di kontolku, dan ia menjilati biji-bijiku. "Oooohhh Ard... geli..."
"Biar mayan bersih Fan," tukas Ardi pendek sambil menjilati biji-biji kontolku. Kehangatan dan kasarnya lidahku sempat membuat nafsuku naik lagi, batang kontolku perlahan-lahan bangun lagi walaupun tidak secepat tadi. Ardi pun mulai menjilati batang kontolku. "Mmmmffffhhh Aaarrrddd..."
"Wah ngaceng lagi ini Pak Pol hahaha..." Ia menjilati kepala kontolku. "Aaaaahhhh..." Kemudian ia sampai di pucuk kepala kontolku. "Kubersihin dalamnya ya Fan."
Tanpa sempat kucegah, ia menjilati lubang pipisku, lalu mengenyot kontolku. "Ooooohhhh Aaarrrddd.... udah Arrrrddd... nnnggghhh..." Aku menggelinjang dibuatnya. Sudah lama sekali sejak terakhir istriku menghisap kontolku. "Arrrrddd..." Ia pun mengeluarkan kontolku yang tegang itu dari mulutnya lalu menyeringai. "Udah cukup deh Pak Pol intronya, kapan-kapan aja ya kuisepin sampai puaaaasss..." Ia menyentil kepala kontolku hingga aku terpekik; berkali-kali hingga kontolku kehilangan kekerasannya. "Dah burungnya Pak Pol bobo dulu yaaaa...," ujarnya nakal sambil menyarungkan kembali kontolku ke celana dalamku, lalu ia pun merapikan celana PDH-ku dan sabuk serta kopelku. Selesai itu, ia meremas kontolku agak kuat, membuatku mengerang. "Aaaahhh Ard nakal banget sih kamu!"
"Aku gemes Fan, kamu polisi pertama yang mau kuginiin hahaha... kamu mau lagi kan kapan-kapan kumainin?"
"Mau Ard... enakin aku..."
"Mau hari ini juga nggak Fan? Sampai pagi?"
"Jangan dulu Ard. Istriku nanti nyariin."
"Tapi kamu yakin mau pulang dengan celana kena pejuh gitu hehehe..." Benar juga. Aku alasan apa nanti waktu pulang? "Kamu ada baju ganti?"
"Di kantor adanya."
"Gimana kalau seragammu taruh kosku dulu? Kalau sempat nanti aku cucikan. Ada seragam lagi kan?"
"Eh jangan Ard, ngerepotin kamu..."
"Ga pa pa Fan, anggap permintaan maafku karena bikin kamu ngecrot di celana hehehe..." Aku agak bimbang sebenarnya, "terus aku alasan apa ya ke istriku kalau dia lihat aku pulang tanpa seragam?"
"Bilang aja kotor kena lumpur atau got, lalu daripada kamu masuk angin kamu ganti baju. Seragamnya ditinggal di kantor, nanti dicuciin anak buahmu." Hmmm masuk akal juga pemikirannya. "Pinter juga kamu Ard."
"Kalau ga pinter ga kerja IT aku Fan hahaha..." Kami berdua tertawa lepas. "Oke deh, aku ikuti rencanamu!"
"Siap!"

Maka, aku membatalkan rencana sidak ke beberapa pos di pinggir kota dan kembali ke kantor untuk mengambil baju ganti. Saat itu sudah pukul sebelas malam, jadi kantor agak sepi sehingga aku tidak perlu malu andainya ada anak buahku yang melihat celanaku basah di daerah selangkangan. Aku memutuskan untuk tidak ganti baju di kantor supaya tidak ada yang curiga jika melihatku ganti baju. Setelah mengambil baju, aku menuju ke kos Ardi dan melaksanakan rencana tadi. Aku akan ganti baju di kos Ardi, kemudian pulang ke rumah. Kalau istriku bertanya kenapa aku tidak pakai seragam, aku akan bilang tadi sempat kecipratan lumpur dari pengendara yang ceroboh, jadi seragamnya kutinggal di kantor untuk dicuci.

Kecuali aku tidak menyadari bahwa Ardi punya rencana lain... sebuah rencana yang akan membuatku terjaga penuh malam itu...

(BERSAMBUNG)

Kamis, 07 Desember 2023

Ketua OSIS dan satpam sekolah

Cerita ini hanyalah rekaan semata, kesamaan nama dan tempat hanyalah kebetulan belaka. PERINGATAN: Konten ini mengandung materi dewasa dan homoseksualitas. Jika Anda tidak dapat menerima materi ini, segera tinggalkan blog ini.

Terinspirasi dari sebuah rangkaian foto-foto yang cukup viral di Twitter kapan hari, Fei mencoba membuatkan ceritanya. Fei sudah dapat izin dari si pemilik foto hehehe...



Ah... andai aku bisa melupakan semuanya ini. Namun aku sudah terlalu jauh terjerumus ke dalamnya.

Aku Mario, usia 30 tahun. Bukan, aku bukan tukang ledeng. Aku bekerja sebagai seorang satpam di SMA X di ibu kota. Aku terpaksa merantau ke ibu kota karena kehidupanku yang kurang berkecukupan, apalagi aku sudah menikah dan mempunyai seorang anak yang masih balita. Aku sadar, aku akan membutuhkan dana yang cukup banyak untuk membiayai kehidupan anakku, dan penghasilanku sebagai seorang buruh tidaklah mencukupi. Karena itu, aku memaksakan diri untuk berpisah dari istri dan anakku, yang kutitipkan ke orang tuaku, dan merantau sendirian ke Jakarta. Kehidupanku di awal kedatanganku ke Jakarta pun tidak semulus yang kubayangkan; ujung-ujungnya aku jadi pekerja kasar dulu dan hidup pas-pasan, bahkan aku malu karena beberapa bulan pertama tidak bisa mengirim uang ke istri dan anakku. Untunglah ada seseorang yang berbaik hati, belakangan kuketahui sebagai kepala sekolah SMA X, yang melihatku sesenggukan di pojok jalan, ketika aku begitu putus asa atas keadaanku saat itu. Ia berbaik hati menawariku pekerjaan sebagai satpam SMA X, karena satpam sebelumnya meninggal dunia, dan agensi security sedang kekurangan orang. Walaupun aku tidak punya ijazah satpam, aku tetap dipekerjakan sebagai satpam, dibelikan seragam, diberikan kamar kos yang dekat dengan sekolah walaupun cukup kecil, bahkan aku pada akhirnya juga diberikan pelatihan satpam yang layak dan berbagai keterampilan lainnya, supaya suatu saat nanti jika aku memutuskan untuk berhenti menjadi satpam dan mencari pekerjaan yang lebih baik, aku memiliki keahlian yang cukup. Namun, siapa yang tega meninggalkan kebaikan hati seseorang yang telah menyelamatkanku dari keputusasaan? Aku bertekad akan menjadi satpam sekolah itu sampai jasaku tidak dibutuhkan lagi. Memang gajiku tidak terlalu besar, namun cukup untuk kusisihkan setiap bulannya untuk biaya hidup istri dan anakku, apalagi SMA itu ternyata cukup bergengsi. Banyak murid-muridnya yang berasal dari keluarga berada bahkan keluarga kaya, sehingga kadang-kadang ada yang memberi rezeki tambahkan untukku.

Namun, semuanya tidak sebanding dengan apa yang akan kuceritakan di sini.

Kira-kira tiga tahun setelah aku menjadi satpam di sekolah itu, aku pun dikenal dan disayangi banyak siswa SMA karena aku supel dan suka menolong. Bukannya aku ingin menjilat supaya diberi upah, namun aku memang ringan tangan. Tentunya ada beberapa siswa yang tidak suka atau memandang rendah diriku karena aku hanya pekerja rendahan dan miskin, namun biasanya aku tidak menghiraukan mereka. Toh ketika event-event sekolah aku juga selalu membantu sebisaku. Karena dulu aku pekerja kasar, badanku cukup bugar dan aku kuat jika diminta mengangkat benda-benda berat. Tanpa harus pergi ke gym, otot-otot tubuhku sudah terbentuk dengan sendirinya. Tentu saja, saat itu aku tidak mengenal apa itu gay dan dunianya, apalagi terpikir untuk memuaskan hasrat seksualku dengan seseorang selain istriku. Kalau kangen, aku hanya bisa memuaskan diri dengan coli saja, itu pun tidak terlalu sering, mungkin lima hari sekali. Memang aku sesekali melihat ada beberapa siswa SMA yang sangat akrab dan sesekali memegang kontol temannya, namun itu kurasa karena kenakalan remaja saja--siapa yang tidak pernah mengalami kenakalan remaja seperti itu? Jadi aku tidak terlalu berpikir macam-macam, dan siswa-siswi SMA pun juga tidak ada yang menggodaku.
Hingga tahun itu, ketika seorang siswa terpilih menjadi ketua OSIS yang baru. Dia kelas XI-4, namanya Patrick. Tubuhnya cukup gempal dan tinggi, aku sering melihatnya main basket selepas sekolah dan setahuku pernah memenangkan berbagai perlombaan. Orangnya supel dan pandai bergaul, jadi dengan cepat dia populer di sekolah, terutama dari kalangan siswi-siswi SMA. Namun, aku belum pernah melihatnya berpacaran, sekalipun sesekali ia terlihat dengan beberapa siswi. Pantas saja ia terpilih jadi ketua OSIS. Ia juga baik kepadaku, bahkan beberapa kali aku diberi bingkisan, katanya titipan dari orang tuanya, dan aku tak kuasa menolaknya karena ia selalu memaksa.
Hingga suatu hari aku mendapatkan kabar yang cukup mengejutkan dari kampung halaman: anakku didiagnosis terkena sebuah tumor yang sebenarnya jinak, namun dapat membesar dan mengganggu perkembangan tubuhnya jika dibiarkan, jadi dokter menyarankan operasi. Tentu saja aku bimbang dan sedih: istriku bilang tabungannya kurang, bahkan sudah termasuk uang yang kukirimkan setiap bulan dan dana bantuan dari tetangga sekitar. Kekurangannya cukup besar bagiku, lima juta rupiah. Aku kebingungan, dari mana dana sebanyak itu. Gajiku yang bisa kusisihkan tiap bulan hanya lima ratus ribu rupiah, tentunya aku tidak bisa menunggu selama sepuluh bulan. Ini membuatku murung, dan sebaik-baiknya aku menyembunyikan raut kekhawatiranku saat bertugas, ada yang mengamatinya juga.

Siang itu sedang hujan cukup deras. Sekolah sudah berakhir sejak dua jam lalu, sehingga keadaan sudah agak sepi, kecuali beberapa siswa yang masih melakukan ekstrakurikuler ataupun terjebak hujan. Salah satunya Patrick, dan entah kenapa hari itu ia memilih menunggu jemputan di bangku depan pos satpam di gerbang sekolah. Di sekolah itu ada tempat jemputan tersendiri yang terlindungi dari hujan. Basa-basi aku menyapanya.
"Loh belum pulang Patrick?" sapaku.
"Belum Bang, ini kena macet katanya sopir, hujan deras gini sih. Duduk sini dong Bang, temenin Patrick!" Dia memang terbiasa memanggilku Abang dan aku pun tidak keberatan. Aku pun duduk di sebelahnya, toh aku juga tidak ada pekerjaan saat itu. Entah kenapa saat itu aku tidak bisa menemukan topik pembicaraan dengannya, padahal biasanya aku mampu ngobrol dengannya. Patrick rupanya menyadari hal itu. "Kok murung amat Bang? Ada masalah kah?"
"Ah... ngg... nggak kok," jawabku berkilah. "Abang lagi capek aja."
"Ah Abang, keliatan banget tuh dari raut mukanya kalau lagi murung!" sergah Patrick. "Cerita gih ke Patrick, barangkali Patrick bisa bantu."
"Ah nggak pa pa kok Patrick... Abang nggak mau ngerepotin Patrick, jangan..."
"Ayolaaah Baaannng..." Patrick mendadak melingkarkan tangannya di bahuku dan menepuk-nepuknya. Baru kali ini aku mendengar suaranya agak manja seperti itu, padahal ia dikenal bersuara jantan. Ia juga tidak biasanya menyentuhku secara fisik seperti itu.  "Biar plong, biar ga murung lagi lah! Yuk spill aja, ada masalah apa Abangku yang baek ini hehehe..."
Aku pun menghela nafas dan akhirnya menceritakan nasib anakku yang butuh biaya operasi. Selesai bercerita, Patrick pun manggut-manggut. "Jadi Abang butuh biaya buat operasi anak Abang yah. Gampang, biar Patrick kasih tahu pak kepsek!"
"Eh jangan Patrick!" sergahku. "Abang udah banyak ngerepotin Pak Amal, Abang bisa kerja di sini juga karena Pak Amal. Abang nggak mau berhutang budi lebih banyak lagi."
"Yaaa... kalau gitu Patrick pikirin jalan lain deh! Yang pasti, Patrick akan bantu Abang!" Mendadak terdengar suara klakson yang familiar bagi Patrick, karena ia langsung bangkit berdiri dan menyiapkan tasnya. "Nanti Patrick kabari lagi Bang!" ujarnya tanpa bisa kucegah, ia langsung berlari menembus hujan menuju mobil jemputannya. Dalam hati aku merasa sedikit lega, namun aku juga semakin kalut. Aku yang hanya seorang satpam ini, layak kah menerima bantuan dari murid sekolah ini? Bagaimana kalau Pak Amal nanti sampai tahu? Ah semestinya aku tidak bercerita padanya...



Di perjalanan pulang, aku berpikir bagaimana caranya membantu Bang Mario. Mestinya sudah paling betul kasih tahu Pak Amal kepala sekolah, tapi tadi Abang menolak. Kalau aku melakukan penggalangan dana pun, semuanya jadi tahu, dan aku harus minta izin dulu sama Bang Mario, belum tentu Abang mau. Kasihan, orangnya baik padahal, tapi aku ga tahu dia serong ga hahaha...
Ya, aku memang berhasil menyembunyikannya di sekolah, tapi aku akan mengakui kalau aku gay. Aku sendiri tidak tahu dari mana asal-usulnya sehingga aku bisa jadi gay, tapi mungkin aku bisa menyalahkan sedikit papaku yang jarang sekali menemuiku dan membesarkan aku. Aku tahu, memang papa bekerja keras demi keluarga sehingga aku bisa menikmati kekayaan ini, namun aku juga rindu kehadiran seorang papa, apalagi aku anak tunggal. Mama memang masih menyempatkan untuk membesarkan aku, namun mama juga seseorang yang sibuk, dengan jasa bakery-nya yang cukup besar dan sukses, sehingga di rumah aku lebih banyak ditemani butler (eh jadi merasa mewah banget kalau disebut begini hehehe), sekolah diantar supir, dan rumah dijaga satpam. Mungkin gara-gara itu aku jadi suka cowok, walaupun aku belum berani mengungkapkannya ke papa mama. Rasanya mereka berharap aku orang normal--ya orang tua mana sih yang tidak berharap begitu--namun aku sudah cukup kenyang dengan kasih sayang dari wanita, entah itu mama, entah itu perawatku. Bahkan aku masih merasa cukup dimanja di usia tujuh belas tahun ini!
Yah, ini mungkin salah satu pengaruh buruk Internet bagiku, tapi dari sanalah aku mengenal namanya fetish, dan aku akhirnya tahu kalau aku suka seragam satpam. Satpam di rumahku berseragam dan aku sering curi-curi pandang, bahkan kadang-kadang kalau sedang bercanda ya aku sempat pegang-pegang selangkangannya, tapi aku tidak berbuat lebih jauh dari itu, dan dia pun juga tidak berani berbuat aneh-aneh kepadaku. Jadinya, kadang-kadang aku hanya bisa memuaskan nafsuku dengan melihat foto-foto satpam rumah yang kuambil diam-diam, atau foto satpam dari Internet. Dari situ juga aku mempelajari bondage, yang kurasa cukup menarik.
Eh...
Berbicara bondage, tiba-tiba aku punya ide menarik untuk membantu Bang Mario. Tapi aku takut dia tidak mau dan malah marah jadinya... bagaimana kalau dilaporkan ke mama papa ya... tapi aku juga suka padanya, dan ingin merasakan tubuhnya... hmmm... apa salahnya dicoba lah! Kurasa dia bakal malu juga kalau lapor bahwa aku memberinya uang dengan jalan itu... Aku jadi bersemangat merencanakan sesuatu sepanjang perjalanan macet itu. Semoga Abang Mario mau.



"Bang, besok kan long weekend tuh," ujar Patrick yang lagi-lagi duduk di bangku pos satpam saat menunggu jemputan. Akhir-akhir ini entah kenapa dia sering menunggu di sana dibanding menunggu bersama teman-temannya. Sudah tiga hari sejak aku bercerita tentang masalahku padanya. "Patrick pingin staycation, tapi ga ada temennya. Mau ikut ya? Ya ya ya?"
"Loh ngapain Patrick staycation? Nggak ada ulangan?" tanyaku kebingungan. Ngapain aku diajak staycation? Apa kata orang nanti kalau tahu?
"Nggak ada, jadwal Patrick kosong minggu depan. Patrick bosen Bang di rumah, temenin Patrick ya? Ya ya ya?"
"Emang papa mama nggak ikut libur?"
"Ya itu Bang..." Raut muka Patrick mendadak berubah sehingga aku jadi merasa bersalah menanyakan hal itu. "Papa tetep ada kerjaan selagi long weekend, mama tambah ramai yang pesen bakery, jadi Patrick dikasih uang jajan buat staycation. Cuma Patrick males aja sama temen-temen, pengen nyoba suasana baru. Tapi Patrick ga mau sendirian juga. Makanya Patrick ajak Abang. Abang ajuin cuti juga gih! Ya ya ya..." Entah kenapa tangan Patrick saat itu berada di pahaku, namun aku tidak terlalu merisaukannya. "Biar Abang refreshing gitu, biar seger lagi! Mau ya?" Aku kebingungan menjawabnya sehingga aku hanya bisa terdiam cukup lama, namun wajah Patrick benar-benar seperti memelas mengajakku ikut. Aku sendiri tidak pernah melakukan apa itu namanya staycation, uang dari mana. Hiburanku selama ini hanya televisi butut dan HP-ku saja. "Patrick minta izin ke Pak Amal dulu deh biar Abang boleh cuti!" Mendadak Patrick bangkit dan langsung melesat menuju ruang kepala sekolah. "Eh, Patrick! Patrick!" Dia bahkan tidak menghiraukan panggilanku. Dalam hati aku berkecamuk: sebenarnya aku penasaran seperti apa itu staycation. Tapi, apa kata orang nanti kalau tahu aku yang hanya seorang satpam ini diajak staycation seorang anak SMA? Anak orang kaya pula. Ya harusnya Patrick nggak akan berbuat aneh-aneh sih, aku tahu sendiri anaknya bagaimana.
Atau itu yang kukira.
Tak lama kemudian, Patrick kembali tergesa-gesa ke pos satpam. "Abang dipanggil Pak Amal! Yuk cepetan!" Tanpa aku bisa menjawab, ia menggaet tanganku dan menarikku segera ke ruang kepala sekolah. Aneh sekali anak ini, kenapa ya dia ngebet sekali? Tergopoh-gopoh aku mengikuti langkahnya hingga ke ruang kepala sekolah, dan aku pun langsung memberi hormat pada Pak Amal, sekalipun nafasku agak tersengal-sengal. "Pak Mario, kata Patrick Bapak ingin mengajukan cuti selama long weekend ini?" tanya Pak Amal dengan nada bicara biasanya. Aku hanya bisa gelagapan menjawabnya. "Anu... anu Pak Amal..."
"Pak Mario, nggak perlu sungkan-sungkan begitu!" seru Pak Amal sambil tersenyum, berdiri dan menepuk-nepuk punggungku. "Bapak sudah bekerja begitu keras di sekolah ini selama ini, dan saya baru mengamati Bapak jarang ambil cuti sebenarnya." Eh benarkah? Aku sendiri tidak menyadarinya. "Jangan lupa Pak, Bapak punya jatah cuti sepuluh hari setahun." Sebenarnya bisa kupakai untuk pulang menjenguk anakku, tapi aku belum punya dana untuk membayar operasinya... "Nggak masalah Pak! Nikmati cutinya selama long weekend! Nanti saya minta Pak Muchlis menggantikan Bapak, harusnya beliau nggak keberatan."
"Terima kasih Pak Amal," ucapku sedikit terbata-bata, walaupun Patrick terlihat kegirangan di belakangku. "Saya undur diri dulu." Pak Amal hanya tersenyum ketika aku pamit dan kembali ke pos jagaku. "Besok temenin Patrick ya Bang, Patrick jemput di kontrakan Abang gimana?"
"Eh nggak usah Patrick," ujarku berkilah. "Biar Abang aja yang ke sana."
"Oke siap Bang! Tukeran nomer WA ya, biar gampang kontaknya!" Patrick pun memberiku nomor WA-nya dan aku memberikan nomor WA-ku, kemudian ia memberikan info hotel dan nomor ruangannya. "Abang tahu X Hotel kan? Yang di kawasan Y? Pernah nginap hotel kan Bang?"
"Anu... nggak pernah sih Patrick... apalagi X Hotel kan mahal... beneran nggak pa pa nih?"
"Eh tenang aja Bang, Patrick udah order kamar kok, udah lunas juga. Kamarnya gede, Abang pasti suka. Daripada Patrick sendirian kan mending ditemenin Abang hehehe..." Sayangnya percakapan itu harus terhenti karena mobil jemputan Patrick sudah tiba, jadi sisanya dilanjutkan di WA. Hanya saja, salah satu WA-nya yang membuatku bertanya-tanya adalah:
"Bang, besok pakai seragam satpam Abang kaya biasanya ya."
Aku agak keheranan, kenapa Patrick memintaku seperti itu. Namun, karena dia yang mengajakku untuk staycation di hotel kelas atas, aku tidak kuasa menolaknya. Maka aku hanya bisa menjawab ya.
Barulah keesokan harinya aku tahu mengapa dia memintaku mengenakan seragam satpamku.



Akhirnya Abang Mario mau juga kuajak ke hotel! Walaupun sekalian staycation, aku pingin melakukan itu hahaha... aku pun sibuk menyiapkan segala peralatan yang perlu kubawa, termasuk beberapa "peralatan" yang sudah kubeli selama ini namun belum pernah kupakai, hanya pernah melihat caranya di Internet. Aku sudah mempelajarinya baik-baik. Besok harusnya akan jadi hari yang menyenangkan!



Keesokan harinya, aku pun tiba di lobi hotel X dengan membawa tas ransel yang berisi baju dan beberapa perlengkapan satpam yang tidak kupakai langsung--Patrick pun menyuruhku mengenakan jaket agar tidak dilihati banyak orang. Kata Patrick, kami akan menginap empat hari tiga malam, jadi aku diminta bawa baju agak banyak. Karena itu pertama kalinya aku memasuki hotel mewah, aku agak deg-degan rasanya dan ada rasa minder. Semestinya kemarin aku tidak menolak tawaran Patrick untuk dijemput... sekarang bagaimana ini? Aku pun mengeluarkan handphone-ku dan mengirim WA ke Patrick.
"Abang sudah sampai di lobi."
Ting! "Bentar ya Bang, Patrick masih mandi. Kalau mau naik duluan, Abang bisa ke resepsionis dulu, Patrick tadi sudah nitip untuk ngasih spare key ke Abang, terus minta aja diantar naik ke kamar 2010. Kalau ditanyai atas nama siapa, bilang aja atas nama Patrick Kanginan. Abang bawa KTP kan? Tunjukin aja KTP-nya, Abang udah kudaftarin juga sebagai tamu di kamar 2010."
Hmmmm... aku bimbang antara menunggu Patrick selesai mandi, atau mencoba sesuai sarannya. Kelak aku bisa cerita ke istriku bagaimana rasanya menginap di hotel mewah, semoga aku bisa punya cukup uang untuk membawanya ke kota ini dan menginap... dengan jantung berdebar aku menuju resepsionis.
"Selamat siang Bapak, ada yang bisa saya bantu?" tanya resepsionis itu dengan ramah.
"Anu... saya mau menuju kamar 2010, saya sudah didaftarkan dengan Patrick Kanginan."
"Baik Bapak, boleh pinjam KTP-nya?" Aku pun menyerahkan KTP-ku dan resepsionis itu dengan cekatan memeriksanya. "Baik Bapak Mario, betul Bapak terdaftar sebagai tamu kami di kamar 2010. Ini kunci kamar Bapak sesuai titipan Bapak Patrick." Ia menyerahkan sebuah kartu yang aku sebenarnya kebingungan: katanya kunci, kok bentuknya kartu? "Selamat menikmati istirahat Bapak di hotel kami!"
"Anu... apakah saya bisa diantarkan ke kamar 2010? Saya baru pertama kali menginap di sini," ujarku sambil agak menunduk malu.
"Baik Bapak, mohon ditunggu sebentar ya." Resepsionis itu memanggil seseorang, yang belakangan kuketahui adalah seorang bellboy. "Selamat siang Bapak, saya yang akan mengantar Bapak ke ruang 2010. Silakan Pak!" Aku pun mengikuti pria itu menuju ke lift, dan kebetulan sekali lift-nya kosong padahal lobi saat itu cukup padat pengunjung. "Silakan tap kartunya Pak ke sini, kemudian tekan lantai yang ingin dituju. Ini hanya untuk naik saja dan mengakses area-area khusus tamu Hotel X, untuk ke lobi tidak perlu pakai kartu. Harap disimpan dengan baik ya Pak kartunya, jika kehilangan atau rusak akan dikenakan biaya penggantian kartu seratus lima puluh ribu rupiah. Apa Bapak ingin diantar hingga ke kamar?"
"Boleh Mas," jawabku. Aku takut juga berada di lift sendirian; aku tidak pernah naik lift sebelumnya.
"Baik Bapak, mari." Ia membantu menekankan tombol ke lantai 20, dan lift itu pun langsung naik. Aku tidak berbicara apa-apa selama itu, sampai tiba-tiba bellboy itu memecah kesunyian dengan bertanya, "Bapak anggota?"
"Oh bukan Mas, saya cuma satpam," jawabku sambil keheranan, dari mana dia menyimpulkan begitu.
"Oh baik Pak, saya kira anggota soalnya sepatunya khas anggota hehehe... soalnya hotel ini memang sering juga jadi jujugan anggota, entah rapat atau event gitu Pak." Aku hanya manggut-manggut saja dan kami tidak berbicara lagi hingga lift berhenti di lantai 20. Bellboy itu kemudian mengantarku hingga depan kamar 2010 dan mengajariku cara membuka pintu menggunakan kartu. Ia pun meninggalkanku di kamar itu, sehingga kini aku sendirian walaupun aku mendengar suara gemericik air di sebelah kiriku--rupanya Patrick masih mandi. Lho berarti kamarnya tidak dikunci tadi? Bagaimana kalau bellboy itu yang masuk ya... aku pun melangkah masuk dan berdecak kagum dengan pemandangan kamar itu. Kamarnya cukup luas, bahkan lebih luas dari kontrakanku. Ada dapur mini, ada ruang tengah dengan sofa dan TV yang cukup besar, kemudian ada ruang lain yang kuintip adalah kamar tidur. Wah ranjangnya hanya satu... berarti nanti aku tidur sama Patrick? Apa tidak apa-apa ya... tapi ranjang itu besar sekali, rasanya pasti cukup kalau istri dan anakku tidur juga di situ. Ah aku jadi kepikiran anakku... perasaanku campur aduk betul saat itu: bahagia karena bisa mendapatkan kesempatan menikmati kamar hotel mewah, namun sedih karena hanya aku sendiri yang menikmatinya. Tak sadar air mata pun mulai menggenang di pucuk mataku--ah malu nanti kalau dilihat Patrick! Segera kuseka air mataku dan kufokuskan diriku untuk melihat-lihat sekeliling. TV saat itu sedang memutar sesuatu yang aku tidak pahami--sepertinya berbahasa Inggris. Ah Patrick pasti bisa memahami acara ini, dia kan pintar di sekolah! Entah kenapa aku tiba-tiba merasa sayang dengan Patrick... mungkin karena orang tuanya agak kurang memberinya kasih sayang. Tapi siapalah aku ini menggantikan orang tuanya, apalagi aku hanya seorang satpam... Sofanya sepertinya nyaman sekali, namun aku tidak berani duduk dulu, nanti Patrick berpikir macam-macam... aku melihat ke luar jendela dan merasa kagum. Baru kali ini aku melihat ibu kota dari atas, ternyata cantik juga. Pantas banyak yang suka menginap di hotel bertingkat tinggi. Mungkin kalau malam lebih cantik lagi ya...
"Abaaaannnggg...," aku mendengar suara Patrick dari belakangku, maka aku pun berbalik dan melihatnya menyambutku dengan tangan terbuka. Lho, kok dia pakai seragam sekolah? Belum sempat aku bereaksi, dia memelukku dengan manja, seolah-olah aku ini abangnya. Apa mungkin dia memang sekesepian itu ya... sejenak aku agak canggung karena dia sebenarnya lebih tinggi dariku, jadi seolah-olah malah aku yang menjadi adiknya. "Makasih Bang udah mau nemenin Patrick ya!"
"Abang yang makasih banyak Patrick, Abang mimpi apa bisa nginap di hotel semewah ini," ucapku sedikit bergetar ketika Patrick melepaskan pelukannya. Entah kenapa kesedihan itu menerpaku kembali.
"Udah gpp Bang, Patrick kesepian soalnya di rumah. Yuk nyantai!" Patrick membantuku menanggalkan tas ransel dan jaketku, dan barulah aku merasa ruangan itu ternyata dingin. Patrick pun menyuruhku duduk di sofa itu, diikuti dia duduk di sebelahku. "Abang ga kedinginan kan? Mau Patrick kecilin AC-nya?"
"Nggak usah Patrick, Abang kuat kok. Di desa Abang dingin juga."
"Bang, boleh ga panggil Patrick Pat aja? Patrick di rumah dipanggil Pat doang, kata papa itu soalnya pas kecil Patrick manja banget, minta dipuk puk, nah itu Inggrisnya kan Pat juga hehehe..."
"Ga pa pa nih?"
"Ga pa pa kok Abang, kan kita cuma berduaan di sini. Papa Mama juga tahu kok kalau Patrick staycation ngajakin Abang. Patrick suka cerita kalau Abang itu orangnya baiiiik banget, suka bantuin Patrick, jadi kenapa nggak gantian Patrick yang baikin Abang."
"Ah bisa aja kamu Patrick... Pat... Abang cuma bertugas aja kok."
"Tapi sumpah, Abang tu jauuuuuh lebih baek dibandingin Mas Muchlis, ih galak bener dia! Patrick pernah dimarahin gara-gara bikin kotor lorong sekolah, lah kan pas ujan juga, otomatis sepatu Patrick banyak lumpurnya dong!"
"Ya mungkin maksudnya biar Pak Pur nggak repot-repot bersihinnya Pat."
"Tetep aja lah Bang, kan lagi hujan juga..." Patrick bergeser mendekat, sejenak membuatku salah tingkah. "Abang ganteng yah," celetuk Patrick tiba-tiba sambil memandangku. Eh? "Ga salah deh istrinya pilih Abang hehehe..." Aku hanya tersenyum sambil berpikir, kenapa dia tiba-tiba menyebut istriku. "Abang kalau kangen istri gimana?"
"Ya telpon sih Pat, walaupun nggak bisa video call. Sinyalnya belum sebaik itu di desa." Patrick terlihat manggut-manggut.
"Kalau kangen 'begituan' gimana Bang? Punya Abang gede tuh..." Ah pertanyaannya terang-terangan sekali, tapi mungkin wajar ya di kota besar seperti ini... dan mungkin tidak ada yang mengajarinya karena dia anak tunggal, kalau orang tuanya sesibuk itu...
"Ya Abang coli aja sih Pat, tapi nggak sering-sering amat, paling lima hari sekali." Entah kenapa ya aku menjawabnya biasa saja...
"Emang Abang terakhir coli kapan?" Sejujurnya, aku tidak pernah menghitung kapan terakhir aku coli.
"Yaaa... mungkin ada semingguan kali Pat, lagi nggak selera aja. Abang kepikiran anak Abang di rumah..." Sejenak aku menyesal berbicara begitu, karena suasananya mendadak menjadi muram. Aku sejenak mengintip ke luar jendela, awan tebal mulai menggantung di horizon. "Ah maafin Abang ya, kok tiba-tiba Abang bahas anak Abang... kan Patrick lagi mau menikmati liburan."



"Justru itu Abang, Patrick mau ngobrolin itu bentar sama Abang, kalau Abang bersedia," ujarku. Dalam hati, sebenarnya aku deg-degan juga. Pancinganku terlalu cepat dan mendadak, karena aku sudah tidak sabar ingin menikmati tubuh Bang Mario. Dari tadi aku lirik-lirik tubuhnya yang kekar terbalut seragam satpam sekolah, dan jendolannya yang bagiku gede, aku jadi horny sendiri. Semoga Bang Mario nggak melihat aku ngaceng.
"Eh... gimana Pat?" tanya Bang Mario kebingungan. "Bukannya kamu ngajak Abang ke sini buat staycation?"
"Iya Bang, tapi ingat nggak kapan hari Patrick bilang mau bantuin Abang?" ujarku. "Patrick mau utarain sekarang. Tapi Abang janji ya, Abang ga akan marah sama Patrick?"
"Marah... kenapa Pat?" Dari raut wajahnya, aku melihat Bang Mario semakin kebingungan, membuatku semakin gugup sebenarnya. Namun sudah sejauh ini, kepalang tanggung... apapun risikonya, harus kuterima!
"Abang janji dulu pokoknya!" ujarku semerajuk mungkin.
"Ya deee... Abang janji ga akan marah!" jawab Bang Mario.
"Jadi gini Bang... Patrick... ada dana buat bantu Abang. Tapi... Patrick pingin minta sesuatu dari Abang."
"Pat... jangan, Abang ga bisa nerima, Abang ini siapa, cuma satpam sekolah..."
"Ah Abang, demi anaknya loh! Patrick ga mau anaknya Abang kenapa-kenapa!" Aku memandang serius ke wajah Bang Mario, dan dia agak salah tingkah sebenarnya. Kelihatan dari matanya Bang Mario agak sedih, dan aku jadi agak bersalah sebenarnya, namun kutekadkan diri. "Patrick ada uang lebih, Abang butuh lima juta kan, Patrick bisa kasih Abang enam juta, sekalian buat jaga-jaga kalau ada apa-apa--ya amit-amit lah ya Bang!"
"Patrick... Abang... Abang perlu lakukan apa buat Patrick supaya Abang layak menerima uang segitu..." Loh... kok Bang Mario kaya pasrah gitu? Tapi aku melihat mata Bang Mario agak berkaca-kaca, jadi aku sendiri malah berjuang untuk mencari kata-kata yang tepat, supaya Bang Mario mau kunikmati badannya.
"Patrick... cuma pingin..." Ah aku kesulitan betul! Sepertinya aku mulai berkeringat dingin; belum pernah aku seintens ini!
"Bilang aja Pat, Abang turutin!" Mendadak Bang Mario menjadi teguh. "Patrick suruh Abang kerja di rumah bersih-bersih atau apa, Abang lakuin! Abang cuma mau yang terbaik buat keluarga Abang."
"Ya... Patrick ga akan nyuruh Abang untuk kerja keras lagi sih Bang..."
"Abang siap lakuin permintaan Patrick."
"Patrick mau enakin Abang malah." Hanya itu yang meluncur dari mulutku, membuat Bang Mario kebingungan.
"Mmm... maksudnya gimana Pat? Abang ga ngerti..." Aku berusaha mengatakannya dengan bahasa sesederhana mungkin... tapi sebelum ke sana, mungkin...
"Tapi Abang janji satu hal lagi ya. Ini rahasia kita berdua aja, tolong jangan kasih tahu ke siapa-siapa bahkan ke papa mama Patrick."
"Abang janji Pat. Abang juga belum pernah ketemu papa mama Patrick, Abang perlu berterima kasih suatu saat nanti."
"Bener ya Bang?"
"Patrick boleh tinju Abang deh kalau Abang ingkar janji." Ya nggak nolak sih sebetulnya... "Coba bilang aja Patrick mau apa dari Abang."
"Gini Bang... Patrick... pingin nikmatin badan Abang sambil ngiket Abang," ucapku dengan cepat. Benar dugaanku, raut wajah Bang Mario berubah dengan cepat, walaupun aku melihatnya masih kebingungan.
"Maksud... maksud Patrick... gimana?" Maka akhirnya kujelaskan semuanya ke Bang Mario. Dia orang pertama yang kuberi tahu kalau aku ini gay dan menyukai Bang Mario. Aku berencana melakukan soft bondage dan edging ke Bang Mario dengan bahasa sesederhana mungkin supaya Bang Mario memahami dengan jelas apa yang akan kulakukan. Aku juga mengatakan bahwa kegiatan itu akan kudokumentasikan, walaupun tentu saja nama Bang Mario akan kusamarkan, dan wajahnya tidak terlalu tampak jelas--aku juga akan menyamarkan wajahku; gila aja kalau sampai temen-temen SMA atau ortu tahu! Ke depan, dokumentasi itu bisa kujual dan Bang Mario akan kubagi separuh kalau ada yang beli. "Ini Patrick ga maksain Abang ya, kalau Abang ga mau Patrick bisa maklum kok, karena ini sesuatu yang besar, dan Patrick akan tetap kasih uang Abang enam juta seperti yang Patrick tadi bilang. Abang juga boleh ga jawab sekarang, kan masih ada empat hari tiga malam di sini, cuma Patrick tetap berharap Abang mau nemenin Patrick di sini sampai staycation usai. Apapun jawaban Abang, Patrick akan hargai itu." Bang Mario lama terdiam, sepertinya berpikir dan menimbang-nimbang, maka aku memberi jarak dengan sedikit menjauh dari Bang Mario dan berfokus pada tontonan televisi, walaupun aslinya jantungku berdebar parah. Semoga Bang Mario mau!

"Patrick mau melakukan itu ke Abang kapan?" ujar Bang Mario tiba-tiba setelah hampir lima belas menit berlalu. Aku bahkan sudah tidak sadar sudah berlalu selama itu!
"Ya... kalau Abang mau, setelah makan malam, kira-kira sejam setelahnya, biar makanannya udah turun, Abang sama Patrick bertenaga buat semalam suntuk!" ujarku bersemangat, sejenak berharap Bang Mario akan setuju. "Abang nyantai aja, Patrick pokoknya manjain Abang empat hari ini. Abang makan yang enak-enak, yang kenyang."
"Pat... kamu kok baik banget sama Abang... kenapa..." Aku melihat mata Bang Mario berkaca-kaca lagi, maka tanpa pikir panjang lagi kupeluk Bang Mario. "Udah jangan dipikirin lah Bang. Abang udah berjasa banyak buat sekolah Patrick, mumpung Patrick bisa membalas jasa Abang, ya Patrick balas jasa Abang. Abang tinggal pikirin tawaran Patrick tadi ya. Patrick bakal seneng banget kalau Abang mau, tapi Patrick ga maksain Abang kok."
"Abang mau." Jawaban Bang Mario membuatku langsung terbang ke langit ke tujuh. "Bener nih Bang?" tanyaku memastikan sambil mataku berbinar-binar.
"Tapi pelan-pelan ya, ajarin Abang."
"Siap Abangkuuuu..." Kucium pipi Bang Mario. "Patrick kasih yang enak-enak kok, nggak seserem itu kok Bang!"
"Ya udah Abang nurut, toh Abang juga kok tiba-tiba kepingin..." Ah rupanya Bang Mario horny juga akhirnya! Tapi hari masih panjang, saat itu masih pukul setengah tiga sore. "Abang nyantai dulu gih, jangan tegang. Nikmati liburan ini ya Bang."
"Makasih ya Pat..."
"Patrick yang makasih juga Bang, Abang mau nemenin Patrick di sini. Patrick jujur aja kesepian, dan Patrick juga jenuh bergaul sama temen-temen Patrick sebetulnya. Patrick kaya... kepingin... sosok abang..."
"Papa Mama kerja keras betul ya Pat," kata Bang Mario.
"Iya Bang, dan bukannya Patrick nggak bersyukur ya, malah Patrick bersyukur banget Patrick dimanjain kaya begini, sampai di usia begini Patrick sudah menikmati macam-macam. Tapi lama-lama Patrick bosan juga hidup begini. Patrick butuh... teman yang nggak melulu hedon. Sekedar ngobrol aja kaya gini Patrick udah seneng banget Bang."
"Kamu boleh lah ngobrol sama Abang, anggap abangmu sendiri gimana?"
"Abang... mau?"
"Yaa... kamu anak baik Pat, Abang senang di usiamu segini kamu sudah cukup dewasa menyikapi kehidupanmu, bahwa ada yang lebih penting dari uang. Kalau Abang bisa bantu walaupun hanya sekedar ngobrol saja, kenapa nggak?"
"Abang..." Entah kenapa aku jadi terharu dibuatnya. Ah kenapa juga aku ngobrolin itu tadi! Nanti malam kan aku mau menikmati tubuh Bang Mario! Tapi alangkah senangnya semua rencanaku berjalan dengan baik, bahkan dapat bonus Bang Mario mau jadi abangku! Tinggal eksekusi saja nanti malam... Kami berdua tenggelam dalam pikiran masing-masing, sementara di luar sana hujan mulai turun. Sepertinya akan susah ke mana-mana, tapi kalau mau sih sebenarnya ada jalan tembus ke mal. Ah hari ini biar di kamar saja, Bang Mario pastinya belum pernah menikmati ini semua. Besok saja kalau sudah mulai jenuh baru diajak jalan-jalan. "Abang capek? Kalau capek tidur dulu gih. Apa mau mandi?"
"Nanti aja Pat, ni TV-nya menarik ya, Abang jarang nonton TV." Rupanya Bang Mario tertarik dengan acara itu, walaupun aku hanya memutar National Geographic.
"Patrick boleh boboan di pangkuan Abang?"
"Sini deh." Bahagianya aku ketika Bang Mario mengizinkan aku tiduran di pahanya, karena aku bisa mengamati tubuh Bang Mario dari lebih dekat. Walaupun terbalut seragam satpam hitam-hitam, aku bisa melihat badannya tegap dan kekar. Selangkangannya sangat menarik dan mengundang, namun aku menahan diri untuk tidak menyentuhnya dulu.



Agak canggung juga sebenarnya, anak ketua OSIS di sekolah tempatku bekerja sekarang sedang tiduran di pangkuanku. Sejenak aku merasa Patrick seperti anakku sendiri yang sudah beranjak dewasa, walaupun anakku sekarang masih empat tahun dan sedang sakit. Ah anakku, Bapak sebentar lagi bisa memberikan dana untukmu operasi, tapi Bapak harus melakukan ini dulu... maafkan aku istriku, aku mencintaimu, tapi demi masa depan anak kita, aku harus melakukannya... aku berusaha mengusir rasa bersalahku dengan menonton acara TV. Sebenarnya aku penasaran juga apa yang akan dia lakukan padaku, apalagi aku juga sedang horny. Aku belum pernah disentuh sesama pria tentu saja, jadi ini pengalaman pertamaku nanti. Tapi kalau ini bisa menyembuhkan anakku... apapun akan kulakukan. Sesekali aku mengelus-elus kepala Patrick, mencoba membuat suasana menjadi lebih rileks. Rasanya ia mulai tertidur di pangkuanku. Kuamat-amati wajah anak SMA itu, ganteng juga. Pantas jadi idola banyak siswa-siswi dan memang cocok jadi ketua OSIS. Aku tidak menyangka saja di balik semua itu ada kesedihan sendiri yang ia pendam, padahal sehari-hari di sekolah dia terlihat selalu riang. Ah, memang nasib tiap manusia berbeda-beda... Aku menoleh ke luar, hujan cukup deras walaupun tidak terlalu terdengar suara rintik-rintiknya, hanya sesekali kulihat kilat dan suara petir menggelegar. Kembali kulihat Patrick... kuamat-amati tubuhnya. Gempal juga untuk ukuran anak SMA, tapi dia memang suka olah raga. Kakinya yang semampai, dan entah kenapa juga dia berseragam, walaupun tidak sampai mengenakan sepatu sekolah... atau mungkin dia bawa? Aku sendiri juga belum melepas sepatuku, dan lama-lama pahaku kesemutan juga. Perlahan-lahan kupindahkan kepala Patrick dari pahaku ke bantal yang ada di sofa itu, dan kulepaskan sepatu butsku. Sepertinya di kamar hotel ini tidak perlu bersepatu. Lama-lama aku sendiri ikut mengantuk, hawa dingin ini mengundang sekali walaupun aku tahu ini dari AC. Sepertinya aku ikut tidur saja, tapi aku masih sungkan untuk tidur di kamar. Mungkin aku istirahat sejenak di sofa saja, di samping Patrick...
"Bang... Bang Mario..." Sayup-sayup kudengar suara Patrick. Aku pun perlahan membuka mataku. Ah ternyata matahari sudah tenggelam. Jam berapa ini... apa aku tertidur selama itu? "Bang Mario, bangun yuk, udah malam," kata Patrick. "Kita makan dulu yuk, terus Patrick layanin Abang." Aku pun menggeliat. "Jam berapa ini Pat?"
"Jam enam lebih dikit sih. Kita makan di restoran bawah aja ya Bang, masih hujan tuh, kelihatannya awet ini hujannya."
"Abang ngikut aja Pat."
"Sip Bang. Abang pasti suka deh! Tapi ganti baju dulu aja ya, masa Abang pake seragam. Itu kan buat nanti malam hehehe..." Maka aku dan Patrick pun berganti baju dengan baju yang lebih santai. Patrick pun mengajakku turun dan makan di restoran di hotel tersebut. Patrick memilihkan menu untukku, dan aku benar-benar terharu dibuatnya. Makanan di hotel itu sangat enak, tidak seperti yang pernah kumakan selama ini, dan terasa begitu mewah. Makanan yang tidak akan pernah kunikmati lagi sepertinya. Suasananya juga cukup mewah, atau bahkan bisa kubilang romantis? Ah andai aku punya uang cukup untuk membawa istriku ke sini... entah sudah berapa kali aku memikirkan mereka; entah apakah Patrick mengamati itu atau tidak. Semoga ini tidak merusak suasana, karena aku merasakan Patrick benar-benar tulus memanjakan aku. Yah, walaupun dia memang meminta sesuatu dariku, namun aku tidak merasakan niatnya sepamrih itu. Apalagi banyak yang bilang, rezeki jangan ditolak. Mungkin ini sudah jadi rezekiku.

Dan malam itu hidupku sepertinya akan berubah.

"Gimana Bang makanan di sini?" ujar Patrick setelah kami kembali ke kamar. "Enak kan?"
"Enak banget Pat, Abang baru pertama kali makan seenak dan sebanyak itu. Kenyang deh Abang sekarang!"
"Jangan ketiduran lagi ya Bang. Kan malam ini kita mau senang-senang itu hehehe... Abang mau mandi dulu?" Baru aku sadar kalau aku belum mandi sore. "Boleh deh, tapi dingin nggak ya airnya?"
"Ada air panasnya Bang. Sini Patrick tunjukin!" Dia pun menunjukkan cara menggunakan shower yang pastinya aku tidak pernah menggunakannya sebelumnya. Setelah paham, aku pun menikmati mandi mewah itu sementara Patrick bilang dia akan menyiapkan alat-alatnya. Setelah puas, aku pun keluar dan langsung merasa kedinginan. Patrick hanya cekikikan melihatku menggigil. "Langsung pake ya Bang seragamnya!" Tak perlu disuruh lagi, aku pun segera mengenakan baju dan seragamku sesuai permintaan Patrick. Sebenarnya aku agak deg-degan, apa yang akan Patrick lakukan padaku? Tapi tentunya dia tidak akan menyiksaku, ya kan? Aku melihat berbagai benda dan alat yang tidak pernah kulihat sebelumnya. "Patrick dapat benda-benda ini dari mana?" tanyaku penasaran.
"Oh Patrick lihat di Internet Bang! Patrick udah belajar kok, jadi Abang ga perlu takut ya! Dinikmati aja hehehe..."
"Abang ngikut aja deh."
"Yuk Bang, sini, berdiri depan Patrick." Aku pun menuruti perintahnya. "Abang pasrah ya, kaya pura-puranya Abang dibekap Patrick."
"Siap Pat."
"Tangannya ke belakang Bang, kaya posisi istirahat di tempat." Aku pun meletakkan tanganku di belakang sesuai permintaannya. Patrick kemudian membawa semacam lakban. "Merem ya Bang." Aku pun memejamkan mata. Kudengar suara lakban ditarik dan aku merasakan wajahku di bagian mata ditutupi lakban. "Percaya sama Patrick ya Bang."
"Abang percaya sama Patrick," jawabku walaupun aku semakin deg-degan. Entah kenapa ini membuatku terangsang juga. Patrick benar-benar melakban wajahku sehingga aku tidak lagi bisa melihat apa-apa. "Oh iya, Patrick lupa sesuatu. Bentar ya Bang." Aku tidak tahu apa yang Patrick lupakan, namun tak terlalu lama ia menyentuhku. "Minum ini ya Bang. Ini bukan racun kok! Abang nanti pasti perkasa habis minum ini." Aku pun menurut saja, walaupun agak cemas juga. "Buka mulutnya ya Bang, Patrick suapin." Rupanya Patrick membawakan gelas untuk kuminum. Apapun cairan itu terasa dingin, namun kuteguk saja. Tidak ada rasa apa-apa, sepertinya air biasa. Kuteguk apapun itu sampai habis. "Patrick siapin lagi ya Bang." Aku hanya mengangguk. Selagi ia melanjutkan melakban mulutku, aku mulai merasakan sesuatu. Badanku menjadi terasa hangat, terutama di bawah sana. Mendadak aku jadi bersemangat; pandanganku tertutup rapat, aku tak bisa berbicara, tapi aku malah terangsang dibuatnya. Dari mana ya dia belajar ini semua... Aku mendengar suara "buk" pelan, lalu aku bisa merasakan Patrick memelukku dari belakang dan berbisik, "Abang nikmatin aja yah, Patrick beri kenikmatan lebih ke Abang..." Perkataannya membuatku terangsang, walaupun aku bisa merasakan satu lengannya mengapit leherku. "Ngggghhh..." Patrick meletakkan tangannya satu lagi di dada kiriku, dan aku bisa merasakan kehangatan yang membuatku terangsang, apalagi ia meletakkannya dekat puting dadaku. Aku baru menyadari bahkan kedua putingku pun terasa melenting. Apa dia memberiku minum pembangkit gairah? Aku tidak pernah meminumnya karena aku merasa gairahku sendiri sudah cukup tinggi untuk melayani istriku... mungkin Patrick memberiku itu agar aku bisa tetap terangsang, apalagi ini pengalaman pertamaku dilayani seorang pria...
"Patrick sayang Abang..." lagi-lagi ia membisiki telingaku sambil memelukku erat-erat. Pelukannya bermakna ganda: pelukan sayang dan pelukan nafsu. Tangannya mulai meraba-raba dadaku. "Mmmmmhhh..." aku bergetar ketika jari-jarinya menyentuh putingku yang melenting itu. "Enak kan Bang?" Aku hanya mengangguk sedikit karena Patrick masih mencekikku walaupun tidak sampai membuatku kesulitan bernafas.
"Patrick turun ke bawah ya." Aku merasakan tangannya mulai meraba bagian bawah tubuhku, dan langsung ke bagian pribadiku. "Mmmmhhh... gedenya punya Abang," bisik Patrick nakal sambil mengelus-elus batang kontolku yang sudah mengeras itu. "Ngggghhhh..." entah kenapa aku agak meronta-ronta sedikit. "Dinikmati Bang..." Aku bisa merasakan nafas Patrick hangat menyapu leherku, dan sesuatu yang lebih hangat dan basah menyapu sisi leherku. "Mmmmmhhh..." Aku semakin menggelinjang ketika Patrick mengelus-elus kepala kontolku yang terdesak di celana satpamku itu. "Nggggghhhh.... mmmmfffffhhh..." Aku melenguh panjang ketika Patrick mengurut batang kontolku yang benar-benar keras. "Yeaaaahhh... kontol Bang Mario gedeeeehhh... Patrick sukaaaa.... mmmhhhh... Patrick mainin kontolnya ya Bang... oooohhh..." Aku terpekik ketika ia meremas-remas biji-biji kontolku, namun lama-lama rasanya enak juga. Belum pernah aku dirangsang seperti ini. Entah berapa lama Patrick memainkan kontolku dan ia tidak berusaha mempercepat tempo permainan, ketika tiba-tiba aku tidak merasakan apa-apa lagi, bahkan kehangatan tubuh Patrick pun tiba-tiba lenyap. "Nnnngg?" Aku berusaha memanggil namanya, namun suaraku tertahan dan aku tidak dapat mengucapkannya. Tidak ada jawaban. Aku tidak berani melangkah karena mataku tertutup. "Nnnnggggg??"
Aku mendengar suara gemerisik yang tidak kukenali. Harusnya Patrick, tapi sedang apa dia? Kemudian aku mendengar suara langkah lagi, kukenali sebagai suara sepatu Patrick. Ah ternyata memang benar, kalau penglihatan tertutup seperti ini, pendengaran jadi lebih tajam. "Nnng?" aku berusaha memanggilnya. "Bang Mario sayang..." aku agak lega mendengar suara Patrick kembali. Ia menyentuh leherku dengan tangannya, yang sepertinya terbalut sesuatu karena rasanya begitu... halus? Apa dia pakai sarung tangan? Ia mendongakkan kepalaku, lalu berbisik, "Patrick sayang Bang Mario..." Aku hanya bisa menjawab dengan erangan tertahan, sebelum aku bisa merasakan sesuatu di bibirku.
Dia... menciumku?



Senangnya akhirnya aku bisa mencium bibir Bang Mario satpam sekolahku yang gagah itu, walaupun sekarang dalam posisi seperti itu dan masih terhalang lakban. Tentunya Bang Mario tidak bisa membalas ciumanku, namun yang penting aku sudah menciumnya. Belum tentu juga Bang Mario mau kalau kucium langsung di bibir! Kuelus-elus lehernya selagi aku mencium Bang Mario, dan Bang Mario hanya melenguh pelan. "Enak Bang?" Ia melenguh pelan saja. "Jawab dong Bang, kalau nggak Patrick nakalin loh!" Dengan nakalnya tangan kananku memegang kontol Bang Mario dan meremas-remasnya sehingga Bang Mario terpekik. "Hnnggghh!" Sensasi sarung tangan kulitku beradu dengan tubuh Bang Mario, suara-suara gemerisik sarung tangan itu terlipat-lipat saat meremas-remas kontol Bang Mario membuatku sangat bergairah. Kujepit-jepit kepala kontol Bang Mario dan ia pun merintih sambil berjinjit. "Mmmhhh... Iiihhhh... Ffffhhh..." Aku sudah menduga kontol Bang Mario gede, tapi tidak segede ini. Dan walaupun Bang Mario belum pernah main sama cowok, ternyata kontolnya bisa ngaceng keras juga! Kuurut batang kontol Bang Mario. "Nnnnggghhh..." Kuusap-usap telapak tanganku di kepala kontol Bang Mario. "Mmmmmffffhhhh..." Kulakukan itu beberapa saat dan kuvariasi kecepatannya sampai Bang Mario menggeliat-geliat. Sebetulnya aku tidak tahu ketahanan Bang Mario, kapan dia akan ngecrot. Kurasa aku hanya bisa tahu kalau kubuka mulutnya dan kubiarkan Bang Mario berbicara. Tapi aku juga ingin melakukan edging dengan kondisi dibekap begini. Mungkin pakai perasaan saja deh... akhirnya kuhentikan permainanku di kontol Bang Mario. Bang Mario pun terengah-engah, kulirik batang kontolnya keras sekali. Kupeluk Bang Mario dan kutepuk-tepuk dadanya. "Gimana Bang, enak nggak dimainin Patrick kaya gini?" bisikku. Bang Mario hanya bisa mengangguk terengah-engah. "Udah mau keluar belum Bang?" Bang Mario mengangguk lagi--ah untung saja kuhentikan. "Istirahat dulu ya Bang, kita foto-foto dulu aja. Bang Mario tinggal ikutin arahan Patrick." Sebenarnya tadi aku sudah mengambil beberapa foto, namun aku mau mengambil pose-pose lain.
Entah berapa lamanya aku mengambil foto-foto Bang Mario dengan berbagai pose, dan kontolnya masih tegang juga. Mulai dari foto Bang Mario berlutut dalam posisi diikat, tergolek lemah di ranjang, kontolnya kumasukkan kembali ke dalam celananya dan tampak menegang di celana satpamnya, hingga kontolnya yang menyembul dari resleting celananya dan meneteskan cairan precum yang memucuk di kepala kontolnya. Asyik banyak koleksi buat kelak aku coli hahaha... Setelah puas mengambil banyak foto, aku pun mulai memainkan kontol Bang Mario lagi. Kutuntun Bang Mario untuk duduk di sofa, sepertinya ia mulai kelelahan karena kusuruh berbagai macam pose yang memang cukup sulit, apalagi dalam posisi terikat. Biarlah kubiarkan Bang Mario terpuaskan dulu sebagai rasa terima kasihku. Maka kukeluarkan sepenuhnya kontol Bang Mario dari lubang resleting celana satpamnya. Kulumasi sarung tangan kulitku dengan pelumas cukup banyak, lalu kuelus-elus batang kontolnya.



"Mmmmmhhh..." Aku hanya bisa mengerang pelan. Entah berapa lama tadi aku diarahkan Patrick untuk berpose, dan badanku cukup pegal-pegal. Kontolku juga mulai pegal karena tegang dari tadi--rupanya ini efek samping obat kuat itu. "Sabar ya Bang, Patrick kasih yang enak-enak sekarang biar Bang Mario lega," ujarnya. "Nggghhh..." Aku bisa merasakan batang kontolku dikocok perlahan-lahan, sesuatu yang dingin menerpa batang kontolku namun ada sesuatu yang hangat menjelajahi biji-biji kontolku. Aku menggeliat kegelian, rasanya enak sekali. Sesekali aku merasa ngilu karena Patrick mengenyot biji kontolku, namun rasa itu tidak berlangsung lama karena Patrick terus mengocok kontolku. "Mmmmfffhhh... ssshhh..." Patrick mulai mempercepat kocokannya dengan sedikit variasi di sana-sini, aku tidak bisa melihat caranya mengocok kontolku namun aku bisa merasakan perbedaan tekanan di batang kontolku. Aku menggeliat-geliat saat Patrick mengocok kontolku dengan cepat. "Nggggghhh..." Aku mulai merasakan tekanan itu mengumpul di bawah dengan cepat dan aku mulai tidak tahan. "NGGGGGHHHHH...." "Ooooohhh..."
Aku tidak bisa mengendalikan tubuhku. Badanku mengejang dan hendak menekuk, namun Patrick menahan kedua kakiku. Aku bisa merasakan cairan pejuhku mengalir dengan deras di batang kontolku, namun ada sebuah tekanan lain yang lebih keras di pucuk kepala kontolku. Patrick... dia menggencet kepala kontolku? Selagi kontolku berusaha memuncratkan pejuhnya, cairan itu tertahan di kepala kontolku, membuat tekanan yang tidak nyaman. "MMMFFFFHHHH NGGGGHHHHH!!! ...GGGHHHH!!! HHHHHHHH!!!"
Mendadak aku merasa tekanan yang menutup lubang pipisku menghilang. "NNNNGGGGGG!!!" Aku merasakan semburan dahsyat dari kontolku. Sejenak kemudian aku bisa merasakan pejuhku mendarat di mana-mana: di wajahku, di rambutku, di dadaku... namun kenikmatan itu benar-benar tiada tara, belum pernah kurasakan sebelumnya dari istriku. Aku terengah-engah seiring dengan keluarnya pejuhku yang tertahan itu. Badanku benar-benar teraliri perasaan nikmat dan lega. "Nggggghhhh..."
"Gimana Bang Mario, enak ya?" bisik Patrick sambil perlahan-lahan membuka lakban di wajahku. Sejenak aku megap-megap terkena udara dingin di mulutku dan mataku silau melihat cahaya lampu di kamar hotel itu sekalipun cahayanya temaram. "Patrick..."
"Ya Bang."
"Enak banget... gila ya kamu bisa mainin Abang kaya gitu. Abang ga nyangka bisa muncrat cuma dikocokin, sama bocah SMA pula."
"Hehehe asyik deh kalau Bang Mario suka," seringai Patrick. "Patrick akan kasih lagi kalau Bang Mario mau selama staycation ini."
"Abang nggak nolak Pat..." Kulihat wajah Patrick berseri-seri mendengar jawabanku. "Patrick jamin Abang pasti suka deh!" Ia mengelus-elus kontolku yang kusadari masih sedikit tegang di luar celana navy satpamku itu. "Ah geli Pat... Abang istirahat dulu ya, badan Abang lumayan pegal nih..."
"Tapi Bang Mario masih kuat kan?" Patrick seolah memancingku sambil mengelus-elus biji-biji kontolku. Aku menggeliat dibuatnya, kehangatan tangan Patrick kontras sekali dengan dinginnya AC di kamar itu. "Nggghh..." Saat itu aku baru sadar badanku masih terikat di sana-sini, tanganku diikat ke belakang mulai terasa pegal. "Boleh lepasin ikatan di tangan Abang ga? Tangan Abang pegal nih..."
"Okeh Bang! Berdiri bentar yuk biar gampang!" Patrick pun membimbingku berdiri lalu ia mulai melepaskan beberapa ikatan di tubuhku, tapi rupanya hanya supaya tanganku tak lagi tertekuk ke belakang. "Abang kalau berdiri masih kuat?" tanyanya setelah selesai mengikat tanganku ke samping tubuhku.
"Kuat Pat, Abang kan sering berdiri berjam-jam di sekolah."
"Ya udah, nikmatin aja ya Bang, nggak usah malu-malu." Patrick berdiri di sampingku dan kembali mengelus-elus kontolku. Aku mengamati apa yang ia lakukan padaku. Badanku diikat dengan ikatan menyilang ke sana kemari, entah dari mana ia belajar seperti itu. Aku menyadari noda pejuhku masih melekat di seragamku--dicuci hilang kan ya? Masih ada satu setel di rumah, dan Patrick menyuruhku membawa dua setel. Aku melihat selangkangan Patrick, sepertinya dia sendiri juga tegang, bahkan sepertinya ada sedikit noda basah di celananya. Mendadak aku penasaran, seperti apa ya memegang kontol? Tapi aku malu melakukannya ke Patrick... ah biar saja nanti kalau dia kasih izin, toh sekarang tanganku tidak bebas bergerak. Tangan Patrick menggerayangi dadaku dan mencubit-cubit putingku dari luar seragamku, membuatku terpekik. Tapi enak juga... kontolku kembali tegang dibuatnya, separuh kurasa karena efek obat kuat itu masih terasa, separuh karena apa yang Patrick lakukan pada tubuhku. Aku hampir tidak pernah main dua ronde dengan istriku; selain karena dia tidak mau, nafsuku juga tidak sebesar itu. Malam ini, ternyata aku dibuat sangat bernafsu oleh siswa SMA tempatku bekerja... namun pikiranku tidak bisa melantur ke mana-mana karena rangsangan Patrick pada tubuhku cukup intens, saat ia kembali mengelus-elus biji-bijiku.
"Patrick isepin ya Bang."

Tanpa kuasa kutolak, Patrick berlutut di depanku, seorang satpam sekolah berseragam navy gelap dalam posisi terikat, dan mulai menggarap kontolku dengan mulutnya.
"Aaaaahhhh Paaaattt..." Aku merasakan lidah Patrick menjelajahi sisi bawah kepala kontolku, yang tak kuduga sensitif juga. Aku mulai menggeliat kegelian, terutama saat lidah Patrick mulai menyapu ujung kepala kontolku, tempat lubang pipisku. "Nggggghhhh..." Patrick tidak memegangi batang kontolku sehingga batang kontolku berayun ke mana-mana, seringkali menampar wajah Patrick yang kegirangan bisa merasakan kontolku. Ia mencium-cium ujung kepala kontolku sambil mulai mengelus-elus lagi biji-biji kontolku yang kedinginan karena AC. "Mmmmmhhhh.... uuuaaaahhh... Paaattt... enaaakkkhhhh... sssshhhh..." Sambil memijit-mijit biji-biji kontolku, Patrick perlahan-lahan mulai melahap batang kontolku, sengaja merapatkan bibirnya agar batang kontolku merasa seperti diurut. "Mmmmmhhh..." Aku bisa merasakan hidung Patrick menyentuh tubuhku. Dia... dia melahap batang kontolku sampai pangkalnya? "Oooohhhh..." Lidah Patrick menyapu pangkal batang kontolku, beradu dengan biji-biji kontolku. Kemudian dia memegangi dan meremas pantatku, lalu memulai menggarap kontolku dengan mulutnya.
Aku memejamkan mata menikmati sensasi yang baru kali ini kurasakan. Seseorang menghisap kontolku. Sesekali aku mendengar suara Patrick agak sedikit tersedak selain suara air liurnya yang membasahi kontolku, menjadikannya pelumas untuk bibirnya menggesek dan menjepit batang kontolku, ditambah lidahnya yang kasar menyapu bagian bawah batang kontolku... benar-benar melayang aku rasanya. "Aaaaahhh... Patriiiiccckkkk... uuummmhhhh... sssshhhhh... enaaaakkkhhhh..." Aku meracau tak karuan selagi Patrick terus menghisap kontolku maju mundur, tanganku memegangi tangannya. Begitu hangat. Bagaimana bisa ia pandai memainkan kontol seperti itu? Anak SMA yang seganteng dirinya, disukai banyak cewek sekolah, ternyata malah doyan kontol? Ah dunia ini memang tak terduga... demikian juga dengan tempo permainan Patrick yang berubah-ubah saat menghisap kontolku. "Pat... Abang mau keluarrrr... Ngggghhh..."
"Keluarin aja Bang," Patrick sejenak menghentikan hisapannya, ucapannya sengau terhalang batang kontolku yang masih berada di mulutnya. "Patrick mau ngerasain pejuh Abang."
"Kamu... mau ngerasain pejuh Abang?" Patrick hanya mengangguk.
"Abang terserah kamu Pat..." Tanpa membuang waktu Patrick kembali mengenyot batang kontolku. "Ohhhh... Paaattt... Mmmmhhh..." Kenikmatan itu kembali mengaliri tubuhku. "Nnnnnggggghhhh.... Abang mau kluaaarrr.... Oooooohhhhh..."
Aku tak bisa menahannya lagi.
Croooottt...
Tubuhku mengejan selagi kontolku memuncratkan pejuhnya berkali-kali, padahal tadi aku sudah keluar. Tidak kusangka banyak juga persediaan pejuhku yang belum dikeluarkan. Patrick memegangi tanganku seolah-olah menjagaku tidak rubuh, dan setelah kontolku selesai mengeluarkan pejuhnya kakiku terasa benar-benar lemas. Badanku terasa begitu ringan, nyaman, lega, dan bahagia. Jadi begini ya rasanya orgasme lebih dari sekali... Patrick masih menjilati lubang pipisku seolah tidak ingin menyisakan pejuhku setetes pun, dan lama-lama aku kegelian. "Geli Pat..." Patrick pun mengeluarkan kontolku dari mulutnya setelah yakin tidak ada pejuh yang tersisa. Kontolku agak lemas namun masih sedikit tegang, reaksi obat itu kuat sekali. "Cape ya Bang?" bisik Patrick.
"Mayan Pat... Abang duduk ya." Patrick membimbingku duduk di sofa dan duduk di sebelahku sambil tetap memegangi kontolku, mengelus-elusnya walaupun sangat perlahan. "Ngh..." Aku terengah-engah lelah. "Gimana Bang, enak diisepin Patrick?"
"Luar biasa Pat... kamu kok bisa pinter gitu sih ngisepnya, belajar dari mana?"
"Ini pertama kalinya Patrick ngisep kontol Bang hehehe... untunglah Abang suka." Ia menatapku selagi aku terbaring mengumpulkan energiku kembali. Sejenak kami tidak berbicara apa-apa, aku juga membiarkan Patrick tetap memegangi kontolku yang sepertinya belum lelah. "Makasih ya Pat..." aku memecah kesunyian.
"Patrick yang harus berterima kasih sama Abang," sahutnya. "Patrick takut aja Abang marah sama Patrick..."
"Jujur Abang kaget sih Pat, tapi Abang janji Abang ga akan kasih tahu siapa-siapa, ke papa mama Patrick, ke guru, ke kepsek."
"Makasih ya Bang..." Tanpa permisi dia menciumku di bibirku. Sejenak aku kaget; aku belum pernah dicium pria sebelumnya. Refleks aku hendak menolak, namun aku melihat air mata mengalir di pipi Patrick, membuatku campur aduk, bersalah dan iba. "Pat... kok nangis...? Abang ada salah kah?"
"Nggak, Abang nggak salah apa-apa," Patrick menyudahi ciumannya sambil menyeka air matanya. "Patrick cuma... bahagia..." Aku mencoba menenangkannya dengan mengelus-elus kepalanya. "Tidur yuk Pat, udah jam berapa ini..."
"Kelonin ya Bang."
"Iya, tapi lepasin dulu dong iketan Abang..." 

Malam itu aku dan Patrick tertidur dengan nyenyak. Patrick tertidur di pelukanku, aku jadi merasa memeluk anakku sendiri yang sudah besar, walaupun dia dengan nakalnya memasukkan tangannya di celanaku. Pagi harinya, aku terbangun dalam keadaan ngaceng, awalnya kukira pengaruh obat namun aku baru ingat kalau pagi aku memang sering ngaceng saat bangun, dan Patrick sudah kembali mengerjai kontolku kembali. Permainan pagi itu cukup sederhana, Patrick hanya mengocok-ngocok kontolku, namun sekali-kali ia variasi dengan mengenyot putingku yang melenting juga karena dinginnya AC, membuatku muncrat dalam waktu singkat. Hari itu ia hanya menggodaku sekali-kali, namun lebih banyak memanjakanku dengan makan makanan enak yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Rupanya Patrick ingin memulihkan tenagaku yang terkuras banyak kemarin setelah dibuatnya orgasme dua kali berturut-turut. Malamnya ia juga tidak terlalu intens memainkan kontolku. Hari ketiga staycation itu, baru ia menggarapku lebih intens selepas makan siang. Ia meminta izin padaku untuk melakukan edging dalam posisi terikat seperti hari pertama, dan aku baru tahu istilah itu darinya. Ia berhasil merayuku, dan selama dua jam berikutnya ia menikmati tubuhku dan kontolku selagi mencegahku untuk muncrat berkali-kali sebelum akhirnya aku tidak tahan lagi dan memuncratkan pejuhku sangat intens--mungkin kapan-kapan akan kuceritakan lengkapnya karena kisah ini sendiri sudah cukup panjang. Itu pun tidak hanya sekali, dua kali, namun tiga kali ia membuatku orgasme. Di hari terakhir staycation itu, sesuai janjinya Patrick memberiku tidak hanya enam juta rupiah, namun delapan juta rupiah untuk biaya anakku operasi dan biaya lain-lain. Hari itu menjadi hari yang paling mengharukan dari staycation itu; aku terharu karena akhirnya aku punya biaya untuk mengobati anakku, Patrick sedih karena staycation itu harus berakhir. Namun, aku berjanji padanya untuk membalas budinya. Seperti apa? Aku belum tahu.
Yang jelas, sejak itu hubunganku dengan Patrick berubah. Ia masih tetap ramah padaku dan menjaga sikapnya di depan teman-temannya, namun di belakang ia menjadi cukup manja. Aku akhirnya dikenalkan ke orang tuanya, dan sesekali aku diberi pekerjaan sampingan seperti menjadi tukang kebun atau bahkan menggantikan satpam rumahnya yang sedang ada keperluan, dan tentu saja saat-saat itu menjadi saat yang menyenangkan bagi Patrick, walaupun ia berusaha sebisa mungkin untuk tidak berlebihan dan ketahuan. Aku jadi menyayanginya seperti anakku sendiri, dan sempat sedih ketika Patrick akhirnya lulus dari SMA itu, namun ia berjanji akan terus menghubungiku, dan yang terutama memberikan kenikmatan padaku. Aku tetap menjadi satpam sekolah itu selama beberapa tahun kemudian sebelum akhirnya orang tua Patrick menawariku gaji yang lebih tinggi sebagai satpam rumahnya, tak terlalu lama setelah Patrick masuk universitas ternama. Tentu aku tak kuasa menolaknya, sekaligus menjadi balas budiku untuk Patrick yang telah membantuku menyembuhkan anakku.

Yah, siapa menyangka, inilah akhir yang baik bagi ketua OSIS dan satpam sekolah.