Senin, 09 April 2012

Area abu-abu

Aku tak membenci mereka. Tak pernah sedetik pun terpikir di benakku.

Aku hanya sulit melupakan bagaimana mereka akhirnya mengubahku menjadi salah satu dari mereka.

Kehidupannku sebelum itu baik-baik saja. Aku pebasket terbaik di SMA dan tetap seperti itu ketika aku memasuki Akpol sesuai cita-citaku sejak kecil. Ya, aku selalu ingin jadi polisi sejak kecil. Hampir semua kerabat laki-laki di keluargaku bergabung di korps baju cokelat itu, dan aku ingin membuktikan bahwa aku bisa menyusul mereka tanpa harus memanfaatkan kekuasaan. Dan aku memang berhasil.

Bahkan aku berhasil menjadi salah satu anggota dari pasukan yang kuanggap paling elit. Densus 88.

Perkenalkan, aku Daniel, umurku 29 tahun. Karena sering bermain basket sejak kecil, tinggiku memang di atas rata-rata, 185 cm. Beratku 75 kg, ada beberapa orang yang menganggapku terlalu berat, namun itu karena massa ototku. Mungkin ini bakat lahir, namun aku cukup mudah membentuk ototku. Walaupun begitu, di detasemen aku mendapatkan posisi sebagai penembak jitu. Aneh ya? Mereka menilai tatapan mataku yang tajam sangat cocok untuk menembak sasaran dari jarak jauh, dan mereka tidak keliru menilaiku. Karirku boleh dibilang cukup cemerlang, bahkan kabar burung yang beredar mengatakan aku hendak dipromosikan. Pekerjaanku yang penuh risiko rupanya tak mengurangi aura kejantananku di antara wanita, walaupun hanya satu yang berhasil menarik hatiku. Istriku. Dan kuserahkan keperjakaanku padanya. Keluargaku cukup bahagia, dengan satu anak yang kini sudah berumur tiga tahun. Mereka hidup di sebuah kota kecil tak jauh dari ibukota, sehingga aku bisa mengunjungi mereka di waktu luangku.

Kau pasti tahu apa yang terjadi di tiap malam kepulanganku. Sesuatu yang mungkin berubah sejak sebulan yang lalu.

Tiga bulan lalu, kesatuanku kedatangan satu anggota baru. Namanya Aziz, umurnya 25 tahun. Tingginya hanya sedadaku, namun ia terbukti jago lari. Awalnya ia agak sedikit kesulitan di kesatuanku, sehingga akhirnya ia diberi kesempatan untuk menjadi penembak jitu. Jika gagal, ia harus melupakan cita-citanya untuk menjadi anggota elit Densus 88. Aku diserahi tanggung jawab untuk melatihnya sampai berprestasi. Orang-orang bakal mengira latihan untuk menjadi seorang penembak jitu itu mudah, namun kenyataannya jauh dari itu. Kau harus punya koneksi khusus dengan senjatamu, menganggapnya sebagai perpanjangan tanganmu, menyatu dengan tubuhmu, dan mengarahkannya ke target. Kau harus mengatur nafasmu, mengatur denyut jantungmu, karena satu saja tarikan nafas yang salah atau menarik pelatuk saat jantung berdenyut, sasaranmu akan lepas dari maut dan justru maut yang menghampirimu.

Itu yang berulang kali kutanamkan di benak Aziz ketika ia berulang kali meleset. Salah satu latihan malam hari memang butuh usaha tambahan karena kami harus berlatih dengan cahaya minim. Berulang kali aku harus menenangkan dirinya karena kudengar nafasnya memburu sekali. "Tenangkan dirimu! Bahkan kucing pun bisa mendengar eranganmu! Jangan biarkan musuh mendengarkan kehadiranmu, atau kau akan menyesal tidak menghadiri pernikahan bising tetangga sebelah di malam minggu!" Ia hanya mengangguk gugup. Kubetulkan kembali posisi tubuhnya, tanpa sengaja kusentuh bagian pribadinya. Bagiku sudah biasa sekali memegang bagian itu, bahkan rekan-rekan di kesatuanku juga sesekali melakukannya, namun hanya bercanda saja. Terasa di tanganku alat kejantanannya cukup besar, bahkan cukup keras saat itu. "Kau kebelet kencing kah?" tanyaku sambil meraba-raba kemaluannya. "Tegang begini, mana bisa kau menembak dengan tepat!" Aziz terdiam, sepertinya malu dengan tuduhanku. "Lemasin dulu, sana kosongin kandung kemihmu! Kembali ke sini dalam lima menit atau kuledakkan adikmu dengan senapan ini!" "Siap Ndan!" serunya, lalu ia segera berlari menuju pohon terdekat--berhubung tak ada toilet di sekitar tempat latihan--dan mengosongkan kandung kemihnya. Aku tak pernah menyuruh mereka memanggilku komandan, bahkan aku tak berada dalam posisi itu, namun memang sering aku dijadikan komandan grup. Aziz tergesa kembali ke tempat latihan dan menempati posisinya kembali tanpa kusuruh. "Sudah lemas belum itu?" ujarku sambil mengecek tanpa menunggu jawaban. "Sudah Ndan!" "Lanjutkan!"

Aku melirik jam tanganku. Pukul sebelas malam. Kabut sudah mulai turun, sebenarnya bagus untuk latihan malam, namun menurut sejarah yang kupelajari, pasukan densus jarang sekali beroperasi di tengah kabut, jadi kuputuskan untuk memberi sedikit saja latihan tembak di tengah kabut. Tembakan Aziz yang tadinya membaik mulai sering meleset. "Konsentrasi!" bentakku. Aziz menjawabku dengan suara bergetar. Sudah kukatakan padanya bahwa penembak jitu sejati harus mampu berkonsentrasi pada situasi apapun, namun rupanya ia masih belum bisa mengalahkan hawa dingin yang menusuk. Aku tak bisa menyalahkannya sepenuhnya, dulu aku juga mengalaminya di awal latihanku. "Kau kebelet lagi ya?" tanyaku sambil mengecek organ kelelakiannya. Benar saja, penisnya mulai tegang. "Lemaskan!" bentakku sambil meremas kemaluannya. "Kau tak ingin ditemukan tewas sambil ngaceng seperti ini!" "Baik Ndan!" Ia membalikkan badannya lalu mulai membuka celananya. "Lho lho mau apa kau?" "Melemaskan yang tegang, Ndan!" "Kau horny ya?" Ia tidak menjawab, sepertinya malu. "Kau horny ya?" Kudekatkan wajahku pada wajahnya sambil mengulangi pertanyaan itu. Kutatap muka Aziz dengan mata tajam. Ia tak berani menatap wajahku, sepertinya ia malu berat. Uap keluar dari mulutnya yang setengah terbuka seiring nafasnya yang mulai cepat. Tanpa kusadari tanganku yang berada di atas pahanya dibimbingnya ke atas kontolnya. "Aku beri tahu, kau takkan bisa menembak dengan tepat dalam keadaan horny seperti itu." Suaraku melunak namun tetap tegas; beberapa penembak jitu yang baru belajar kadang-kadang mengalaminya memang. "Kita sudahi dulu latihan ini." Aku bangkit berdiri dan membantunya berdiri. "Kau tuntaskan dulu hasratmu, baru kita kembali latihan. Tapi ingat, jangan lama-lama atau kau takkan pernah mendengar namamu disebut lagi di Densus 88."

Tak kusangka perbuatanku malam itu memantik satu hal di diri Aziz yang tak kuketahui sebelumnya.

Di bawah bimbinganku, Aziz mulai membaik. Tembakannya mulai sering tepat sasaran. Aku mulai sedikit melunak padanya. Namun, entah mengapa, tiap kali kami hanya berdua saat latihan malam, akurasinya tidak stabil. Di awal-awal ia tetap dapat melakukan tembakannya dengan baik, namun biasanya tiga puluh menit setelahnya akurasinya mulai menurun. Setelah beberapa kali kusadari ia selalu "tegang" setelah waktu itu, dan awalnya kukira ia selalu kebelet kencing setelah tiga puluh menit. "Jangan minum terlalu banyak sebelum latihan," nasihatku saat di latihan malam kesebelas kupergoki penisnya tegang kembali. "Kalau ini medan sebenarnya, operasi kita bisa bertahan berjam-jam. Kau mungkin tak punya waktu ke toilet, satu gerakan salah dan kau bisa mati! Sudah, kencing sana!" Ia menjawabku lalu segera pergi untuk kencing. Saat ia kembali, sekilas aku melihat selangkangannya. Masih ada bentuk jelas di situ. "Sudah kencing Ziz?" "Sudah Ndan." "Lha kok masih tegang begitu?" Ia melihat ke bawah dan tertawa kecil. "Iya Ndan, lama nggak keluar." "Oh," jawabku pendek. Aziz duduk di sebelahku, tahu bahwa aku takkan memulai latihan kalau ia belum siap. "Keluarkan dulu sana, kita baru setengah jam." "Di sini saja ya Ndan." "Kau gila apa?" "Kan nggak ada yang lihat Ndan." Memang ia benar, tidak ada yang sedang latihan menembak malam selain diriku; mereka malah menganggap hal itu tidak penting. "Ya sudah, tapi bersihkan nanti. Kau nggak mau dapat masalah kan?" "Siap Ndan!" Ia mulai membuka celananya dan mengeluarkan penisnya, lalu duduk di sebelahku dan mulai mengocoknya. Aku hanya berbaring di sebelahnya sambil menatap langit malam yang cerah. Aziz sepertinya tak malu-malu untuk mengerang, aku sih tidak terlalu risih. Ada beberapa rekanku yang juga melakukannya, walaupun kebanyakan diam-diam. "Kapan memangnya terakhir keluar?" "Lima hari yang lalu Ndan!" "Wah baru lima hari itu..." "Iya Ndan, hormon saya agak berlimpah Ndan. Kata dokter yang meriksa saya kapan hari, memang wajar untuk orang dengan zakar seukuran saya Ndan." "Memang zakarmu besar?" "Iya Ndan, lihat saja." Ia menurunkan celananya hingga sebatas lutut. Aku agak terkejut melihatnya. Kedua buah zakarnya nyaris sebesar bola pingpong, zakar kanannya sedikit lebih besar. "Wih itu daging semua?" ujarku penasaran sambil menyentuh zakarnya dan meraba-rabanya. Aziz hanya mengerang ketika kupijit-pijit zakarnya; memang betul itu semua zakarnya, apalagi di udara dingin seperti ini jelas skrotumnya melekat erat pada testisnya. "Ya pantas saja kau sering horny, lha besar begitu..." Aku kembali terdiam, hanya suara erangan Aziz yang masih terdengar di samping suara jangkrik. "Komandan sendiri kapan terakhir keluar?" "Sudah lama, dua minggu mungkin." "Wah waktunya keluar tuh Ndan, untuk apa disimpan juga..." Aku mendadak memikirkan istriku, tapi ia sedang datang bulan, jadi aku harus menahan hasratku. "Nggak dikeluarkan juga kah Ndan?" Aziz mendadak meraba-raba dadaku. "Eh Ziz ngapain kau? Sudah keluar?" "Belum Ndan, saya cuma mau bantu Komandan saja." Ia sempat menemukan putingku dari luar seragam latihan dan memainkannya sejenak, membuatku sedikit tersulut. Aku terdiam dibuatnya, sentuhan itu sudah lama sekali tak kurasakan. Kesibukanku setiap harinya juga menghalangiku untuk meluangkan waktu untuk memuaskan hasrat kejantananku. "Ziz..." Tangannya bergerak turun ke perutku, merayap di pahaku dan langsung di area pribadiku. Ia meremas-remasnya dengan lembut, membuatku terpicu. "Aaahhh Ziz, jangan..." "Tenang saja Ndan, saya tahu Komandan sudah beristri, tapi istri Komandan kan tidak di sini sekarang, sementara adik kecil Komandan butuh hiburan. Saya bisa membantu Komandan..." "Nggak usah Ziz... Aaahhh..." Ia menekan-nekan bola-bolaku; badanku seakan tersetrum listrik ringan yang membuatku melayang. "Nikmati saja Ndan, ini yang adik kecilnya mau, sudah bangun kok. Anggap saja saya ini istri Komandan..." Memang, batang penisku entah mengapa menegang seiring rabaan Aziz yang tak bisa kutolak itu. Tangannya kembali naik ke perutku, namun dengan segera kembali turun, kali ini merayap masuk ke dalam celana latihanku. Aku tak sanggup melawan ketika tangannya menyentuh simbol kejantananku yang paling utama, yang paling kubanggakan: kontolku. "Aaaahhh Azizzzz..." Aku bisa merasakan precum mulai meleleh dari lubang kencingku, yang Aziz kini manfaatkan untuk melumasi kepala kontolku, satu gerakan yang membuatku menggeliat untuk mengkompensasi getaran kenikmatan yang membanjiri tubuhku. "Punya Komandan besar sekali," bisiknya di telingaku; entah mengapa suaranya membuatku semakin terlecut. "Mhhhh..."

Aziz mengambil posisi duduk di sebelahku yang terbaring di atas tanah yang dingin sehingga ia berhadap-hadapan denganku. Tangan kirinya mulai beraksi mengocok kontolku dengan lembut, bahkan masih di dalam celana latihanku. Gesekan tangannya yang kasar dengan kontolku, ditambah gesekan celanaku dengan kedua bola testisku memberikan sensasi yang benar-benar baru. Sungguh jauh lebih nikmat dari semua rangsangan yang pernah diberikan istriku. Aku mengerang tak terkendali ketika Aziz mulai mempercepat kocokannya, dan ia pun mengocok kontolnya sendiri dengan tangan kanannya. "Azizzzz... Ooohhh enak sekali Zizzzz..." "Suka Ndan?" Aku tak menjawab, hanya mengerang keenakan. Aziz mendadak menghentikan kocokannya di kontolku dan hanya mengelus-elus kepala kontolku, membuatku bergetar. Istriku memang pernah memainkan kontolku di dalam celana, tapi tak seenak yang dilakukan Aziz sekarang. "Tegang banget Ndan, istrinya pasti betah banget," bisik Aziz. "Kamu mau merasakannya?" "Dengan senang hari Ndan."

Tanpa disuruh, ia memosisikan diriku setengah bersandar pada tembok. "Sabar Ndan, saya pingin menghisap kontol Komandan." Darahku seakan mendidih; istriku tak pernah melakukannya. Pembicaraan kotor dengan rekan-rekanku pernah menyinggung hal itu, dan menurut mereka itu enak sekali. Aziz membuka celanaku sampai sebatas lutut. Aku sedikit menggigil ketika udara dingin menerpa bagian pribadiku, yang sudah tidak lagi milikku pribadi (selain milik istriku tentu saja). Aziz menyadarinya, maka ia menghembuskan nafasnya pada kontolku. Kehangatan yang ia berikan membuatku semakin terangsang. "Ziz..." Ia memasukkan tangan kanannya ke dalam bajuku, memberikan kehangatan lain. Ia meraba-raba otot-otot perutku, kemudian naik ke dadaku dan memainkan putingku. "Ziz, hisap Ziz...," desahku tak sabaran. Aziz tidak menjawab, hanya mengelus-elus kontolku dengan perlahan. "Ziz..." Ia memainkan ibu jarinya di kepala kontolku yang sudah basah mengilat oleh precumku, membuatku bergetar sekali lagi. Beberapa saat ia melakukan hal itu sebelum tiba-tiba ia menjilat zakarku. "Oooohhh..." Belum pernah aku merasa kontolku sekeras ini. "Ziiizzzzhhh..." Desakan untuk muncrat pun mulai mendera, jadi aku menghentikannya. "Berhenti Ziz, sumpah aku mau muncrat sekarang..." "Gapapa Ndan, keluarin saja di mulutku." Belum sempat aku menolaknya lebih lanjut, ia langsung melahap kontolku dan mengenyotnya. "Oooohhhh Ziiiizzzzhh jangaaannnhhh... mmmmhhh..." Badanku bergetar menahan tekanan di bawah sana selagi berusaha menikmati servis Aziz, namun rupanya otakku berkata lain. "Aaakkhhh Ziiizzz aku mau keluaaarrr..." Tak dapat kutahan lagi desakan itu, kulesakkan kontolku sedalam-dalamnya ke dalam tenggorokan Aziz dan kutembakkan spermaku. Aziz sedikit tersedak ketika semburan demi semburan cairan kejantanku mengaliri tenggorokannya, namun ia telan dengan cepat. "Mmmmhhh..." Badanku langsung lemas setelah semprotan terakhirku, aku pun tergeletak begitu saja di tanah. Namun...

Aziz tetap memompa kontolku dengan mulutnya. "Ziiizzz...," desahku kegelian. "Geli Ziz..." Ia mengabaikanku; seperti anak domba yang kehausan susu ibunya, ia terus mengenyot kontolku demi mendapatkan lagi sari pati kejantananku. "Ziiizzz sudah Ziizzz... Aaakkhh..." Kontolku mulai terasa agak nyeri, namun rasa itu anehnya menjaga kontolku tetap tegang. Ia mulai menggerakkan mulutnya naik turun di sepanjang batang kontolku. Rasa nyeri pun mulai berkurang; walaupun masih terasa geli, hisapan Aziz membuatku terbakar kembali. Aku meracau tak karuan ketika tangannya kembali berulah menjelajahi tubuhku, entah dadaku atau bola zakarku tak luput dari serangan rabaan tangannya. Mungkin ada lima menit ia menghisap kontolku dengan canggihnya, dan selama itu aku hanya bisa mengerang pasrah. Ia bahkan tak lagi memainkan kontolnya, dan ajaibnya kontolnya tetap tegang walaupun tak setegang milikku. "Ziz mau keluar lagi...," bisikku. Entah apa yang ada di pikirannya karena ia merespon dengan menghentikan hisapannya. Aku memandangnya keheranan, namun dengan segera Aziz menyerangku kembali dengan mengocok kontolku. "Aku ingin lihat raut puas Komandan waktu ngecret," bisiknya, lalu ia mengocok kontolku cepat-cepat. "Aaahhh Ziiizzz pelan-pelannhh... Kau... Mmmhhh.. Ooohhh... Nikmat Ziizzz... Teruskan Ziizzz... Kocok terus Ziiizzz... Aaahhh... Aku... Aku... Ooohhh Ziiizzz ya enak di situuhhh... Mmmhh... Keluaarr Ziizzz... Aku mau... Ooohhh... Ziiizzz... Aaahhh..." Aku mengerang panjang sambil mencengkeram tangannya yang bebas, dan aku pun tak bisa menahannya lagi.

Aku ejakulasi untuk kedua kalinya. Spermaku muncrat cukup kuat hingga mengenai wajah Aziz, meleleh di tangannya yang masih terus mengocok kontolku selagi aku muncrat. Baru ketika pancaran spermaku melemah ia memperlambat kocokannya hingga hanya menekan-nekan bola-bola zakarku, seakan ingin memerah seluruh cairan kejantananku. Aku terengah-engah, badanku penuh keringat membahasi bajuku. Aziz hanya tersenyum melihatku, lalu ia mulai melayani dirinya sendiri. Aku seakan kehabisan tenaga, hanya bisa terbaring di tanah sambil melihatnya mengocok kontolnya sendiri. Setelah aku bisa mengatur nafas kembali, kuamati Aziz. Ia menikmati kocokannya sendiri. Aku merasa berhutang padanya, namun dalam hati aku bimbang. Apa yang harus kulakukan untuk memuaskannya? Separuh hatiku melarangnya; kau pria normal dan sudah beristri! Ngapain kau main kontol pria lain?

Di sisi lain, aku ingin menikmatinya seperti Aziz menikmati milikku...