Kamis, 01 Februari 2024

Patroli Malam Hari (bagian 1)

Cerita ini hanyalah rekaan semata, kesamaan nama dan tempat hanyalah kebetulan belaka. PERINGATAN: Konten ini mengandung materi dewasa dan homoseksualitas. Jika Anda tidak dapat menerima materi ini, segera tinggalkan blog ini.

"Oooohhh..."
Jadi ini rasanya dimainin pria lain...

Aku Irfan, seorang polisi straight usia 36 tahun. Aku sudah berkeluarga dan mempunyai dua anak yang kucintai. Hubunganku dengan istriku baik-baik saja, dan aku mencintainya. Jadi kenapa aku ada di sini?
Yah, karena akhirnya aku merasakan bagaimana pria lain memainkan kontolku.
Tak pernah sekali pun terlintas di pikiranku untuk bermain dengan sesama jenis. Kehidupan seksualku baik-baik saja dengan istriku, bahkan aku sudah mempunyai dua anak dari hubungan badanku dengan istriku. Namun, di usia yang sudah separuh kepala tiga ini, dorongan seksual istriku mulai berkurang, terutama karena dia sibuk mengurus kedua anak kami. Sementara itu, dorongan seksualku sangat tinggi. Saat awal-awal menikah dulu, tiap hari aku ngeseks dengan istriku, bahkan ada masa-masa saat aku melakukan seks kilat sebelum berangkat dinas, dan pulangnya pun aku ngeseks lagi dengan istriku, seringnya belum ganti baju. Dan istriku meladeni hasrat seksualku yang tinggi itu dengan baik. Sayang, sejak anak pertama lahir, nafsu seksual istriku agak menurun. Anak keduaku hanya terpaut satu setengah tahun saja dari anak pertama karena dorongan seksualku yang tinggi itu. Namun, setelah anak kedua lahir, istriku mulai menolak berhubungan seks. Takut kebobolan, katanya, dan dia tidak yakin sanggup menghidupi satu anak lagi. Yah, memang, aku hanya seorang polisi, walaupun karierku sudah cukup tinggi juga. Aku sudah berpangkat AKP dan memiliki jabatan cukup penting di tempat dinasku. Gajiku masih cukup untuk membiayai sekolah kedua anakku dan sesekali memanjakan mereka, namun memang kalau dihitung-hitung, punya anak ketiga akan membebani keuangan kami. Istriku sendiri tidak bekerja selain katering kecil-kecilan, dan walaupun penghasilannya lumayan, dia sendiri tidak suka berfoya-foya.
Hampir ideal ya hidupku? Aku merasa begitu, kecuali untuk dorongan seksualku. Setiap hari aku masih horny, dan walaupun istriku tahu itu, dia tidak melakukan apa-apa untuk memuaskan aku. Awal-awal dia masih menggodaku, namun beberapa tahun belakangan bahkan dia sudah tidak pernah menyentuh kontolku lagi. Dia tidak keberatan kalau aku coli, namun aku merasa bosan juga lama-lama coli di kamar mandi. Namun, aku tidak berani mencari wanita lain, terlalu berisiko untuk karierku dan kehidupanku sendiri. Jadi, paling banter aku hanya bisa menahannya di bawah meja kerjaku, sesekali kulampiaskan di toilet kantor.

Sampai aku mendengar tentang kehidupan kaum gay.

Yah, bukannya aku sama sekali tidak mendengar mereka sih. Di tengah maraknya internet dan kesadaran atas kaum LGBT mulai meningkat, tentu saja aku mendengar beberapa kasus kriminal yang melibatkan kaum gay, walaupun aku tidak pernah menangani langsung di tempat dinasku. Aku pun tidak berusaha mencari tahu lebih banyak tentang kehidupan kaum gay, namun aku juga tidak menaruh kebencian apa-apa pada mereka. Ada yang bilang mereka kaum banci atau waria, tapi setahuku tidak sepenuhnya demikian.
Ternyata memang demikian.
Aku tidak banyak bermain media sosial, namun aku punya akun Facebook. Teman-temanku di sana paling hanya keluargaku sendiri, terutama keluarga jauh, rekan-rekan kerja, dan beberapa teman sekolah, sekedar menjalin relasi. Beberapa kali aku mendapatkan undangan reuni sekolah dari sana, sehingga aku secara berkala memeriksa akun Facebook-ku. Hingga suatu hari, di suatu siang yang benar-benar membuatku jenuh, aku iseng membuka Facebook-ku. Ternyata ada permintaan pertemanan baru, dari seseorang bernama Ardi. Kuperiksa informasi akunnya, ternyata banyak teman mutual denganku, sesama teman SMP. Oh jangan-jangan ini Ardi si kutu buku itu? Ternyata benar, dia bersekolah di SMP Y. Aku cukup mengaguminya karena dia paling pintar seangkatanku, dan aku sering minta diajari olehnya. Setelah lulus SMP, aku pindah kota karena ayahku pindah lokasi dinas, sehingga aku agak kehilangan kontak, dan dia memang agak pendiam. Dipikir-pikir iya juga, kenapa aku tidak pernah ketemu dengannya selama ini waktu reuni ya? Fotonya benar-benar membuatku pangling, dia sekarang ganteng juga dan badannya cukup kekar. Tanpa pikir panjang lagi kuterima permintaan pertemanannya, dan aku mengirim pesan pribadi padanya.
"Ardi?"
Sambil menunggu jawabannya, iseng-iseng aku melihat profilnya. Ah dia bekerja di bidang IT ternyata, cocok untukknya. Eh di kota S? Lah itu kan di sini... kenapa aku tidak pernah mendengar atau ketemu dengannya ya? Kota ini tidak terlalu besar, jadi mestinya besar kemungkinan kami bertemu, entah di supermarket atau di plaza kecil. Apa mungkin dia baru pindah ke sini... kalau lihat profilnya sepertinya sih demikian.
"Halo Fan! Ga nyangka kamu jadi polisi sekarang ya hehehe..." Loh cepat juga dia membalas.
"Iya Ardi, maklum amanah bapak hahaha... Gimana kabarmu? Ke mana aja kok ga pernah nongol di reuni?"
"Iya... kamu tahu sendiri lah Fan aku orangnya pemalu... baru akhir-akhir ini memutuskan mulai mengurus lagi akunku ini, tapi temanku juga masih sedikit sih, baru teman SMP aja yang deket-deket... terus aku ketemu akunmu."
"Hahaha padahal dulu aku sering minta ajar dirimu lho... pernah saking desperate-nya sampai nginap di rumahmu, ingat ga?"
"Ingat lah Fan hahaha... dan sayangnya masih dapet merah aja ulanganmu waktu itu. Eh sekarang jadi polisi. Ampun Pak Pol..." Padahal kalau sudah akrab, dia bisa lugas dan bercanda. Entah kenapa dia lebih dikenal sebagai si anak kutu buku yang kuper, sehingga sedikit yang berkawan dengannya. Baik pula orangnya.
"Eh kamu kerja di S? Udah berapa lama?"
"Baru sebulanan ini aja kok Fan. Makanya aku request friend, kali-kali kamu bisa jadi guide-ku di kota S hehehe... ah tapi Pak Pol pasti sibuk yah..."
"Bisa diatur lah Ard... lepas kerja kamu kosong? Mau makan malam?"
"Boleh, aku kosong sih Fan. Tapi aku masih belum tahu apa-apa di sini..."
"Gampang Fan, aku jemput. Ada WA? Biar gampang kontaknya. Ini nomerku ###." Tak terlalu lama ada notif di HP-ku, dari Ardi. Kami pun janjian makan malam di sebuah tempat makan dan aku akan menjemputnya sekitar pukul lima sore selepas aku selesai dinas, sambil mengajaknya jalan-jalan keliling kota. Aku pun memberi tahu istriku bahwa aku tidak makan malam di rumah karena bertemu kawan lama--dia tidak pernah marah kalau aku tidak makan malam, karena aku bisa memakannya sebagai sarapan atau bekal makan siang besoknya. Tentu saja aku membawa mobil pribadiku, namun aku tidak ganti baju, toh masyarakat di sini sudah bisa melihatku berpakaian seragam sekalipun sudah lepas dinas, dan mereka juga tidak memperlakukanku seperti pejabat penting. Sekitar pukul lima aku menjemput Ardi di depan kantornya, dan kami pun menuju tempat makan itu. Perawakannya benar-benar berubah, dulu image-nya memang cocok sebagai seorang kutu buku karena fisiknya biasa saja dan cenderung kurus, namun sekarang badannya berisi sekalipun ia tetap mengenakan kaca mata tebal. Ternyata dia sebenarnya bekerja di Jakarta, namun kantornya memiliki cabang di kota ini dan dia ditugaskan di sini. Ia sempat ragu-ragu, namun katanya ia lelah dengan kehidupan Jakarta jadi ia mau mencoba sesuatu yang baru. Kami berbincang sangat seru malam itu, sampai tidak sengaja aku mengungkit kehidupan pribadinya.
"Jadi kamu ke sini boyong keluarga Ard?" tanyaku.
"Aku nggak nikah Fan," jawabnya tersenyum.
"Oh? Padahal sekarang kamu ganteng loh hahaha..." Kami berdua tertawa sebelum akhirnya dia menjawab.
"Aku... punya alasan sendiri Fan, dan sejujurnya aku belum yakin kamu akan menerimaku kalau aku beri tahu alasannya sekarang."
"Oh...?" Aku tidak menduga dia akan menjawab seperti itu. "Sori sori, aku kepo banget yah..."
"Nggak juga kok Fan, suatu saat nanti kalau aku siap aku pasti kasih tahu. Sekarang kita baru ketemu, aku nggak pingin kehilangan teman aja, kesepian soalnya aku di sini hehehe..."
"Oke oke, lupakan aja aku tanya itu tadi, " ujarku sambil menepuk-nepuk bahunya. "Kamu kan sudah punya nomerku sekarang, kalau ada apa-apa bilang aja OK? Jangan sungkan-sungkan. Kapan-kapan main lah ke rumah, ketemu istri dan anak-anakku." Ardi hanya mengangguk, dan sejenak aku merasa bersalah menanyakan hal itu. Namun ia dengan cepat menemukan topik baru bahkan menanyakan tentang keluargaku. Malam itu kami berjanji akan tetap berkomunikasi dan sesekali aku mengajaknya keliling-keliling kota.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, aku tidak merasakan perubahan apapun pada diri Ardi, walaupun terasa ia lebih supel sekarang. Dia mulai sering menghubungiku di WhatsApp dan percakapan kami normal-normal saja, sehingga istriku juga tidak terlalu kepo. Mungkin keadaan di Jakarta mengubahnya, siapa yang tahu. Namun, sekali-kali aku terheran juga dengan posting-postingnya di Facebook, terutama setelah aku memberitahunya tempat gym di sini. Lumayan sering dia pamer foto ngegym. Aku sendiri tidak terbiasa ngegym, namun aku tetap latihan serutin mungkin, biasanya jogging. Badanku sendiri tidak terlalu kekar dan usia mulai membuat perutku agak sedikit buncit, namun aku tidak lagi mempermasalahkan bentuk fisikku. Toh yang penting hasil kerjaku memuaskan.
Suatu hari, mendadak sekali mobilku harus masuk bengkel cukup lama karena harus ganti suku cadang dan perlu inden cukup lama--maklum mobil tua. Dengan terpaksa aku meminjam mobil kantor untuk berkendara, itu pun diberi pesan untuk tidak sering-sering menggunakannya untuk kepentingan pribadi kalau tidak terpaksa sekali, walaupun sebenarnya masyarakat juga tidak menyadarinya, dan hanya aku yang boleh mengendarainya. Kebetulan istriku tidak menyetir mobil, dan anak-anakku belum cukup umur untuk bisa membawa mobil sendiri, jadi aku menerima saja persyaratan-persyaratan itu. Aku juga berhasil meyakinkan bahwa mobil kantor itu, yang semestinya mobil patroli, amat jarang digunakan sebagaimana mestinya, jadi lebih baik kugunakan saja. Saat aku bercerita ke Ardi, dia mendadak tertarik untuk naik mobil polisi. Aku tidak keberatan sebetulnya, namun aku harus mengatur agar tidak banyak yang melihatnya, karena bagaimanapun juga mobil patroli itu bukan kendaraan umum. Aku hanya berjanji untuk mencari kesempatan yang tepat agar dia bisa naik mobil itu tanpa membuatku melanggar banyak aturan, karena bagaimanapun juga aku tetap terikat pada peraturan kepolisian.
Akhirnya kesempatan itu datang juga. Menjelang libur Natal dan Tahun Baru, tentunya wajar melihat polisi menjadi semakin sibuk dan patroli di mana-mana. Aku sendiri tidak punya kewajiban untuk patroli, namun itu berarti aku sedikit lebih bebas membawa mobil patroli ke mana-mana untuk sementara, aku bisa beralasan untuk memantau lokasi di lapangan--dan aku sesekali memang melakukannya tanpa ada pemberitahuan apa-apa. Suatu malam selepas jam kerja, Ardi memintaku jalan-jalan dengan mobil patroli, maka dengan senang hati aku menyanggupi permintaannya. Kebetulan hari itu ia sedikit lembur, jadi ia memintaku untuk menjemputnya di kantor, karena pasti hanya ada satpam di sana. Kira-kira pukul tujuh malam, ia muncul dari dalam kantor, dan setelah berpamitan pada satpam jaga, ia pun masuk ke mobilku.
"Waaah akhirnya keturutan juga hahaha," ujar Ardi riang. "Kapan lagi bisa naik mobil patroli!"
"Bayar lho Ard hahaha," godaku. "Kapan lagi kamu disetirin perwira polisi!" Kami berdua tertawa lepas.
"Beres Ndan, nanti aku kasih bayaran deh!" kelakarnya.
"Jadi Pak Bos, mau ke mana malam ini?" tanyaku.
"Kamu sudah makan Fan? Aku kelaparan nih."
"Ya udah, makan dulu kalau gitu. Mau agak jauhan dikit? Kamu besok libur kan?"
"Untungnya libur sih, tapi disuruh stand-by aja dari rumah. Kamu Fan?"
"Polisi malah sibuk-sibuknya pas Nataru gini Ard hehehe... tapi aku udah biasa kok. Oke, kita ke X ya, ada resto enak agak di pinggiran sana, habis itu kita bisa keliling-keliling sepuasmu."
"Siap Ndan 86!" seru Ardi sambil memberi hormat, lalu kami berdua tertawa. Senang juga rasanya setelah seharian pusing dengan kerjaan kantor, dan Ardi bisa kupercaya dengan keluh kesahku. Aku pun mengendarai mobil hingga ke restoran yang aku maksud, lalu kami makan malam di sana, sambil berkisah tentang kejadian hari itu maupun bahan obrolan lainnya, tentunya semuanya off the record. Selepas makan, aku pun membawanya berkeliling. "Kamu rasanya belum pernah lihat daerah ini Ard," kataku. "Agak pinggir memang, tapi pemandangannya cukup bagus sekalipun malam."
"Boleh Fan, aku ngikut aja apa kata Pak Pol, pasrah hehehe...," celetuknya.
"Tapi aku nanti sesekali mampir pos jaga gpp ya? Sekalian sidak. Daerah pinggir-pinggir katanya terkenal agak kurang perhatian."
"Siap, aku nunggu di dalam aja biar nggak kelihatan." Maka aku pun mengendarai mobil ke tempat-tempat itu, sesekali berhenti sebentar di pos jaga yang kulihat. Tak terasa sudah pukul setengah sepuluh malam saat aku membawanya ke sebuah tempat di pinggir kota S yang lebih tinggi dibanding sekitarnya, sehingga pemandangan malam kota S bisa nampak dari sana. Aku menghentikan mobil di sebuah tempat yang tidak terlalu terhalang dan mematikan lampu. Kubiarkan Ardi mengagumi pemandangan beberapa saat. "Bagus ya ternyata kota ini Fan," komentar Ardi.
"Iya Ard, aku cukup kerasan di sini. Orangnya baik-baik juga kebanyakan."
"Fan, aku mau cerita sesuatu. Tadi aku mau cerita waktu makan tapi rame banyak orang, jadi merasa nggak nyaman aja."
"Oh cerita apa Ard?" tanyaku tertarik. Sesekali sorotan lampu mobil atau motor dari depan maupun belakang menerangi interior mobil.
"Alasanku kenapa tidak menikah. Yang dulu kamu sempat tanyakan."
"Oh... nggak pa pa loh Ard kalau memang nggak pingin cerita," elakku.
"Aku mau cerita kok Fan. Aku sudah merasa sangat dekat denganmu, jadi aku percaya padamu. Aku berharap pertemanan kita setelah ini tetap apa adanya Fan, tapi aku nggak menyalahkan juga kalau kamu berubah sikap."
"Eh serius amat Ard," ujarku keheranan. "Kan kita udah akrab Ard, udah sering berbagi masalah dan solusi juga. Nyantai aja."
"Yang ini sejujurnya... agak beda sih Fan," sahut Ardi. "Aku tidak menikah karena... aku tidak tertarik wanita."
"Oh...," celetukku spontan, dan sejenak kemudian aku agak menyesal dengan reaksi itu. Kami terdiam agak lama, berusaha mencari kata-kata. "Ya... itu pilihanmu Ard, aku tidak punya hak apa-apa untuk menilai pilihanmu. Toh kamu tidak merugikan siapa-siapa dengan pilihanmu itu, ya kan?"
"Nggak kok Fan, kamu bisa percaya aku. Kamu kan tahu aku orangnya pilih-pilih. Ya memang jadinya aku gampang kesepian, tapi... aku nggak kaya orang-orang bodoh di berita-berita yang disetir hasrat seks aja."
"Aku percaya itu kok Ard. Kamu ga berusaha menggodaku kan hahaha...," ujarku mencoba bercanda.
"Emangnya kamu mau kugoda Fan? Banyak lho dari kaumku yang ngefans sama polisi!" Entah kenapa aku tertawa mendengarnya. "Jadi kamu ngefans aku Ard?"
"Yaaaa... ada dikit-dikit lah Fan!"
"Yakiiiiinnn?"
"Mau jawaban basa-basi atau to the point Fan?" ujar Ardi tertawa. "Astaga... aku ga nyangka reaksimu kaya gini Fan, sudah berhari-hari aku mikirin reaksimu waktu aku ngaku kalau aku gay. Ga kebayang kalau kamu malah ngetawain!"
"Halah santai aja lah Ard. Aku tahu pribadimu. Kamu orangnya baik di dalam. Masa gara-gara nggak suka cewek lalu aku jadi ketakutan? Toh selama ini kamu juga ga macam-macam sama aku Ard!"
"Mana berani lah aku Fan. I respect you lah. Ya memang sesekali aku mengagumimu, mengagumi badanmu, tapi bukankah cowok juga bisa mengagumi badan cowok lain, ya kan?"
"Ada benernya sih..."
"Tenang aja Fan. Aku ga kaya homo-homo haus seks lainnya. Kalau urusan bawah, aku ga akan menggodamu atau memaksamu. Aku menghormatimu sebagai kawanku. Aku cuma berharap pertemanan kita tidak berubah setelah kamu tahu fakta ini."
"Santai Ard," ujarku menepuk-nepuk bahunya, meyakinkan dirinya. "Aku nggak akan cerita ke siapa-siapa, ke istriku, ke teman-teman SMP kita... mereka udah pada tahu?"
"Jujurnya, kamu orang pertama yang aku kasih tahu Fan..."
"Oh..." Aku terdiam sejenak dibuatnya. "Emm... makasih Ard kamu sudah begitu percaya denganku."
"Dan aku makasih juga Fan kamu tidak menyuruhku turun sekarang di sini gara-gara tahu kamu semobil dengan seorang gay." Aku jadi tertawa dibuatnya. "Dasar kamu Ard, bisa aja becanda!" Kami tertawa lagi sebelum kembali tenggelam dalam pikiran masing-masing. "Mau jalan Ard?"
"Boleh bentar lagi ga Fan? Aku masih mau menikmati pemandangan di sini."
"Oke Bos, siap." Ardi memalingkan wajahnya untuk memandang keluar dan aku tidak mengganggunya. Sebelum aku menyadari dia terisak. "Kenapa Ard?"
"Fan... kamu tidak tahu betapa leganya aku sekarang...," jawab Ardi pelan sambil tetap memalingkan pandangannya dariku.
"No worries Ard... butuh tisu?" Entah kenapa aku memperlakukannya seperti anakku yang sedang sedih. Tanpa menunggu jawabannya, kuambilkan tisu dari dasbor dan kuberikan padanya. Ia membuang ingusnya selagi kuelus-elus punggungnya. "Aku tidak tahu seberapa besar perjuanganmu Ardi, tapi tenang saja, aku nggak akan menilaimu macam-macam."
"Makasih Fan..." Ia berusaha menenangkan dirinya dan akhirnya memberanikan diri menatapku. "Kamu baik banget."
"Ah biasa aja lah Ard! Udah, jangan sedih lagi ya. Ada aku di sini." Kami terdiam beberapa saat lagi, aku bingung harus berkata-kata apa lagi. Seumur-umur baru ini aku mendapati temanku gay. Tapi aku percaya, Ardi bukan gay sembarangan. Bahkan mungkin dia bisa membuka wawasanku menjadi lebih luas. Tapi itu nanti saja lah. "Pindah tempat yuk."
"Boleh." Aku kembali mengendarai mobil menuju tempat lain yang kukira bisa menaikkan mood Ardi, karena ia agak diam. Sebetulnya aku ada pertanyaan yang cukup personal, namun aku tidak terlalu yakin apakah dia mau menjawabnya dalam kondisi sekarang. Paling tidak kucoba dulu.
"Ard... kapan-kapan aku boleh tanya hal-hal yang agak pribadi? Kalau nggak juga ga pa pa kok."
"Tentang apa Fan?"
"Um... tentang seks sih Ard..."
"Oh hahaha..." Ia tidak menjawab sehingga aku agak menyesal menanyakannya, namun tiba-tiba ia menyeletuk, "Tanya aja Fan. Emang kalau dibanding dirimu yang sudah punya anak, kehidupan seksualku 'beda' sih..."
"Sori ya, soalnya aku buta sama sekali dengan dunia gay."
"Ga pa pa Fan. Banyak kesalahpahaman sih di negara kita, dan sebagian ya disebabkan kaumku sendiri. Tapi aslinya ya Fan, kalau ngomongin seks, kurasa ya mirip-mirip aja kok. Cuma beda alat kelamin hahaha..."
"Maksudnya kaya gimana tuh Ard?"
"Yaaa... kami kan ga doyan memek, doyannya kontol." Ia lalu menjelaskan berbagai istilah di dunia gay, terutama perbedaan tentang top dan bottom. Cukup membuka pikiran, walaupun perlu diakui pembicaraan itu agak membuatku sedikit terangsang. "Tapi kalau aku sih sementara ini side Fan."
"Apa lagi itu Ard?"
"Side itu orang-orang yang ga kepingin dientot atau ngentot sama sekali, tapi masih terlibat aktivitas seksual lain. Kalau orang normal... hmmm... mungkin mirip-mirip foreplay aja tapi ga sampai intercourse gitu Fan, ga mau kontol masuk memek atau masuk bool gitu... cukup kissing, petting, kalau mau ya hand job atau paling banter blow job lah."
"Waduh perlu berguru ini aku ke Pak Guru Ardi heheheh," ujarku terkekeh. "Itu istilah-istilah apa lagi coba..."
"Yaaah Fan, lah kamu dulu sama istrimu ngapain aja hahaha..." Ardi tertawa terbahak-bahak. "Itu loh istilah-istilah umum aktivitas seksual, terlepas dari dia mau normal kek, gay kek."
"Habis Inggrisan, udah kaya istilah-istilah IT aja!" kilahku.
"Ahahaha... ya udah, pake istilah lokal ya... Kissing pasti tahu kan Fan, jangan bilang kamu ga pernah cium istrimu."
"Itu rutin Ard hehehe..."
"Petting itu... ah ini yang ga ada istilahnya... raba-rabaan gitu Fan. Bisa masih pakai baju, bisa udah lepas. Elus-elus leher, cupangin, jilat-jilat kuping, raba-raba dada dan puting..."
"Oooh itu maksudnya petting...," ujarku manggut-manggut. Sial, aku jadi membayangkan istriku melakukan itu padaku! Tanpa bisa kucegah, kontolku mulai bangun perlahan-lahan.
"Kalau hand job gampang sih, terjemahin aja jadi pekerjaan tangan Fan. Kalau cowok jadinya ya... apa yang bisa dimainin pake tangan hahaha..."
"Coli?"
"Dicoliin lebih tepatnya, kalau coli kan solo. Hand job berarti istrimu ngocokin kontolmu Fan."
"Hmmm... enak..."
"Satunya lagi, blow job ini artinya mainin kontol pake mulut. Ya bisa sih sebetulnya cowok jilat-jilat memek, tapi itu nggak disebut blow job. Yang umum ya kontol diisep itu blow job. Kalau kontolnya gede panjang dan yang ngisepin bisa nelen sampai pangkalnya, namanya deep throat."
"Ooo ya ya... intinya diisepin gitu ya."
"Yes Fan. Istrimu pernah ngisepin punyamu?"
"Pernah sih..."
"Nah jadi aku ini cuma menikmati permainan seks macam itu, tanpa penetrasi ke bool. Relatif lebih aman, kamu kan tahu sendiri bool itu daerah kotor dan risiko luka lumayan gede kalau mainnya kasar atau baru pertama kali. Aku sih ga mau terlalu risiko aja, kalau ngisep masih enak Fan hahaha... bayangin aja kenikmatan makan pisang tapi pisangnya kenyal."
"Dasar kamu Ard hahaha, bikin pikiranku ke mana-mana nih!"
"Siapa suruh kamu tanya gitu-gitu hahaha..." Kami tertawa lagi walaupun sebenarnya aku jadi makin terangsang dibuatnya. "Napa Fan, kamu kepingin ya?" goda Ardi.
"Yaaaa... mau jawaban basa-basi atau to the point Ard?" godaku balik. Ardi tidak menjawab pertanyaanku dan hanya tertawa. Sejenak kami terdiam selagi aku membawa mobil ke sebuah tempat; saat itu sudah pukul sepuluh malam jadi jalanan mulai agak sepi. "Sejujurnya ya Ard, aku sudah lama tidak menikmati seks. Istriku sudah nggak mau diajak ngeseks."
"Oh... sori Fan... aku nggak tahu. Aku cuma tahu kalau cewek sudah menopause berarti dia sudah nggak bisa hamil lagi."
"Betul sih Ard, istriku belum menopause tapi dorongan seksnya juga menurun. Dia jadi lama terangsang dan kering di bawah sana, jadinya kesakitan kalau aku masukin. Lama-lama dia nolak berhubungan. Takut kebobolan juga Ard, nanti kalau punya anak lagi kami takut ga bisa menghidupi aja..."
"Oh gitu ya Fan," ujar Ardi manggut-manggut. Aku menghentikan mobilku dan kembali mematikan mobil. "Aku nggak ngerti psikologi cewek sih Fan, tapi istrimu nggak mau gitu diminta ngocokin atau ngisepin?"
"Udah nggak mau Ard," keluhku. "Padahal punyaku masih berfungsi baik dan aktif."
"Hmmm repot juga ya Fan kalau gitu... makanya banyak pria paruh baya yang selingkuh cari cewek muda ya."
"Betul. Atau 'jajan'. Masalahnya aku nggak mau kaya gitu Ard. Aku nggak mau selingkuhin istriku cuma demi seks. Kasihan anak-anakku. Lagian kamu tahu sendiri posisiku, karierku."
"Aku salut sama kamu Fan," ujar Ardi. "Istrimu beruntung betul punya suami yang cinta mati."
"Makasih Ard."
"Dan dia beruntung sebetulnya ya bisa ngerasain kontol polisi hahaha," celetuk Ardi. Aku ikut tertawa dibuatnya. "Emang sespesial itu kah polisi di kaum kalian?"
"Yaaa... ada yang ga suka dan benci polisi, tapi di kalangan normal pun gitu juga kan?" Aku mengangguk. "Tapi ada yang namanya fetish, yang mengagumi secara seksual. Polisi salah satunya. Seragam gitu lah. Bikin jantan banget gitu lah Fan hehehe... akuilah, kamu pernah kan dulu ngeseks sama istrimu masih pakai seragam polisi lengkap?"
"Ah tau aja kamu Ard, ngintip yaaaa..." Kami tertawa lagi.
"Merasa jantan banget nggak kamu menggagahi istrimu pakai seragam polisi? Jujur aja."
"Hmmm... dipikir-pikir iya sih Ard... ilmumu banyak juga ya hehehe..."
"Teori doang Fan, praktiknya masih jarang kok hahaha. Kenapa Fan, pingin coba?" Sejujurnya, pertanyaannya barusan memantik minatku, apalagi aku sedang ngaceng sekarang, walaupun untungnya kondisi dalam mobil patroli gelap. Ardi sepertinya merasa sungkan karena dengan cepat ia menyambung, "Sori Fan. Mestinya aku ga ngomong gitu sama kamu."
"Kamu tahu Ard," ujarku sambil sejenak menyalakan lampu dalam mobil. "Sejujurnya, percakapan kita ini membuat... penasaran." Ardi melirik selangkanganku yang tampak begitu menonjol dalam celana PDH-ku. "Punyamu gede yah Fan. Istrimu pasti suka banget."
"Dulu Ard," jawabku pendek. "Kamu mau pegang?"
"Emang boleh Fan?" Ardi tampak ragu. "Aku... jujur pingin sih, tapi..."
"Pegang aja Ard. Cuma ada kita berdua di sini." Aku membuka kakiku, mempertontonkan jendolan kontolku yang menegang itu. Sebenarnya nekat juga diriku, bagaimana kalau dia tersinggung? Sepertinya akalku dikalahkan hasratku malam ini... jantungku berdebar-debar menunggu reaksinya. Setelah sekian saat, akhirnya Ardi mengulurkan tangannya, memegang jendolan kontolku. "Gedenya Fan punyamu," ujarnya. "Ga heran sudah bisa menghasilkan dua anak."
"Udah lama ga dikeluarin itu Ard," ujarku lirih selagi Ardi mengelus-elus kontolku. "Bantuin aku ya?"
"Aku... boleh Fan?" Ardi sepertinya sungkan-sungkan denganku.
"Lakukan seperti ceritamu tadi Ard... please... aku udah bosan ngocok sendiri..."
"Fan... kalau ini caraku membantu dirimu, aku akan bantu... kamu ga perlu lakukan apa-apa ke aku ya, biar aku aja yang enakin kamu. Tapi bilang ya kalau kamu nggak nyaman."
"Iya Ard..."
"Mending matiin lampunya deh Fan, biar nggak kelihatan dari luar."
"Kaca filmnya tebal kok Ard, dari luar ga bakal bisa lihat ke dalam, sekalipun ada lampu ini."
"Bener ya Fan? Aku ga mau kamu kenapa-kenapa misal ada yang mergokin kita."
"Aman Ard. Makanya aku bawa kamu ke sini, tempat ini sepi."
"Ya udah Fan, aku percaya kamu. Ini juga rasa terima kasihku karena kamu menerimaku apa adanya. Nikmati ya Fan."

Aku menurunkan jok kursiku ke belakang untuk bisa tiduran. Ardi sejenak memosisikan diri sebisa mungkin menghadapku, lalu ia memulai permainannya. Tangan kirinya mulai meremas-remas kontolku dengan perlahan sementara tangan kirinya menjelajahi dadaku. Aku mengerang pelan. "Oooohhh..."
"Enak Fan?"
"Ngggghhh... udah lama Ard kontolku ga disentuh tangan selain tanganku..."
"Ini pertama kali kamu disentuh laki-laki?"
"Iya lah Ard... aaahhh..." Ardi memijat-mijat biji-biji kontolku. "Kalau sakit bilang ya Fan, aku suka soalnya remes-remes biji kontol hehehe..."
"Enak kok Fan... mmmhhh..." Aku menggeliat ketika jempolnya mulai menggerayangi batang kontolku yang dengan cepat mengeras dalam celana PDH-ku, agak miring ke arah kanan tubuhku. "Gedenya Fan batangmu... batang kontol polisi uuuuhhh... emang mantap kontol polisiii..." Kata-kata kotornya tidak membuatku jijik, malahan menambah gairah yang sudah kutahan-tahan sejak tadi. Aku mendesah ketika tangan kanannya menemukan puting dadaku dan mencubit-cubitnya dari luar kemeja PDH-ku. "Ooooohhhh..."
"Nikmati ya Bapak AKP Irfan...," bisik Ardi. "Ini ungkapan rasa terima kasih saya karena Bapak sudah melindungi dan mengayomi masyarakat kecil seperti saya... saya merasa begitu terhormat bisa melayani polisi seperti Pak AKP Irfan... memainkan kontol gede polisi... mmmmhhh..." Ia meremas-remas kontolku lebih kuat dibanding tadi, namun remasan-remasannya begitu nikmat mengaliri tubuhku. "Aaaahhhh... nikmaaat Aaard..."
"Ini kalau celanamu basah istrimu ga curiga Fan?" tanyanya tiba-tiba. "Ngaceng gini biasanya basah lho..."
"Sebetulnya istriku tahu kok Ard aku masih sering horny, tapi terserah kamu deh..."
"Ya udah, ntar kubantu mikir alasan deh kalau di dalam sana sampai basah kuyup hahaha..." Ardi kembali mengelus-elus kontolku yang semakin menegang, membuat celana PDH-ku semakin sesak. Ia berhasil mengurut batang kontolku hingga ke ujungnya, lalu ia memainkan jari-jarinya di kepala kontolku, membuatku menggelinjang. "Mmmmhhh... Aaarrrddd..." Tangannya yang satunya menggerayangi dadaku, mengelus-elus lencana polisiku dan berbagai atribut lain di sana. "Lencananya gede ya Pak Irfan... tapi lebih gede kontolnya... Ardi sukaaa..." Ia meremas biji-biji kontolku, membuatku mengerang. "Nggghhh Aaarrrddd..." Ia kembali mengurut batang kontolku, tidak terburu-buru namun tidak terlalu pelan juga, kecepatannya pas untuk memberiku kenikmatan. "Aaaarrrdddhhh... kamu kok pinter mainin kontolkuuu... nnggghhh..."
"Kamu cowok pertama sih Fan yang aku mainin kontolnya hehehe..."
"Enak banget Ard... mmmhhh... sering nonton video porno ya..."
"Nggak juga Fan, kalau video gituan mah malah langsung telanjang biasanya. Aku beberapa baca dari blog Fei's Fantasy, di situ kumpulan cerita-cerita dewasa pria gay berseragam, dan biasanya ada 'menu pembuka' jadi ga langsung sat set telanjang dan ngentot. Kaya yang kulakukan sekarang ini deh hehehe..."
"Hmmm menarik... nanti minta alamatnya ya Ard..."
"Siap Ndan, abis kubikin crot dirimu ya hahaha..." Ardi kemudian beringsut mendekat, wajahnya ia benamkan pada jendolan kontolku. Aku bisa merasakan bibirnya menjamah lembut biji-biji kontolku. "Ngggghhh Aaarrrddd..." Tangannya semakin liar menjamahi dadaku dan atribut-atributku, sesekali mencubit putingku membuatku terpekik. Bibirnya mulai mengatup di batang kontolku dan dia pun bergerak naik perlahan-lahan, mengurut batang kontolku dengan mulutnya. "Mmmmhhh... sssshhhh... lagiiii Aaaarrrddd..." Ia melakukan itu beberapa kali, dan terakhir ia berhenti di ujung kepala kontolku. Ia menggunakan lidahnya untuk menekan-nekan kepala kontolku. "Ooooohhhh Aaaarrrddd... ntar basaaaahhhh..."
"Ga pa pa Fan, nanti kena AC kering lagi," jawab Ardi nakal, lalu ia menggunakan tangan kirinya untuk menggenggam batang kontolku dan mengocok-ngocoknya pelan sambil tetap menjilat-jilat kepala kontolku dari balik celanaku, membuatku menggelinjang. Aku sampai harus berpegangan di tepi jokku, tubuhku seakan tersetrum aliran kenikmatan yang luar biasa, yang sudah lama tidak kurasakan. "Aaaarrrrdddhhh... nnnggghhh... mau keluaarrr..." Kucengkeram tangan Ardi kuat-kuat untuk menghentikan tangannya, dan untungnya ia menghentikan permainannya pada tubuhku. Aku terengah-engah pada jokku, peluhku mulai membanjiri keningku dan sepertinya mulai membasahi kaos dalamku. Ardi sejenak kembali ke joknya walaupun tangannya masih memegangi kontolku yang berdenyut-denyut tidak karuan itu, meronta-ronta ingin segera menembakkan cairan kenikmatan. Sepertinya ia sedikit menekan batang kontolku supaya aku tidak ngecrot. Ia memandangku sambil tersenyum. "Enak Fan?"
"Enak banget Ard... hhh... aku hampir keluar tadi..."
"Keluarin aja Fan, biar lega..."
"Jangan di dalam Ard... nanti istriku bakal curiga kok celanaku basah..."
"Bisa diatur lah Fan hehehe..." Ardi kembali beringsut mendekat, namun kali ini mendekat ke wajahku sehingga aku menatapnya. "Kamu ganteng Fan..."
"Iya dong, siapa dulu hahaha... nnnggghhh..." Dengan nakalnya tangan kirinya kembali menggerayangi lencanaku, lalu langsung turun ke pentilku dan memainkannya. "Aaaahhh Aaaarrrddd..." Tangan kanannya menggenggam tanganku dan aku pun balas menggenggam tangannya, begitu hangat.
"Aku... boleh ga cium kamu Fan?" Tangan kanannya mengelus-elus kepalaku dan sedikit mendorong kepalaku semakin mendekat ke dirinya. Sejenak aku tertegun; tentu saja aku belum pernah berciuman dengan sesama lelaki, namun nafsuku sudah mengalahkan akal sehatku. Sudah lama aku tidak bercumbu selagi bercinta. Ah tidak ada yang tahu apa yang sedang kami lakukan di sini, dan toh istriku sudah tidak pernah menciumku di bibir...
Belum juga aku memberi jawaban, Ardi sudah mendorong kepalaku mendekat ke kepalanya, dan bibirku pun beradu dengan bibirnya. Begitu hangat. Ciumannya tidak agresif, mungkin Ardi tidak mau memaksaku, atau barangkali kalau aku menolak. Sebenarnya ada bagian di diriku yang merasa aneh atau bahkan jijik; cowok normal mana yang mau berciuman di bibir dengan cowok lain? Namun... ciumannya terasa berbeda. Sedikit bernafsu, namun terasa lembut. Seperti orang yang... mencintai? Aku memutuskan untuk menikmatinya saja, maka kubalas ciumannya. Aku beringsut memiringkan tubuhku agar lebih nyaman berciuman, dan Ardi pun menjadi semakin berani dengan memainkan lidahnya di bibirku. Aku belum banyak bereaksi dan membiarkan dia yang lebih aktif. Rasanya enak juga, ketika ia memagut bibirku dan menyentuh tempat-tempat yang sudah lama tidak tersentuh, membangkitkan gairahku. Kehangatan tangannya memeluk kepalaku membuatku terasa begitu... dicintai. Aku pun memejamkan mata dan menikmati ciuman Ardi.

Kalau saja ia tidak juga mengocok kontolku.

"Mmmhhh... nggghhh... mmfffhfhh..." Eranganku tertahan Ardi yang masih menciumku. Aku mulai merasakan tekanan yang semakin kuat di kontolku. "Mmfffhhh! Rrrrddd!" Kuhentakkan pinggulku ke belakang untuk membebaskan diri dari tangan Ardi, namun dengan cepat ia meraih lagi kontolku dan meremasnya dengan cepat. "Hnngggghh!" Belum sempat aku protes, ia kembali menekan batang kontolku kuat-kuat sebelum melepaskan ciumannya. "Mau keluar lagi ya Fan?"
"Iyaaaahhhh... hhhh... hhhh..." Aku tergolek lemas di jokku, berusaha mengatur nafasku. Jantungku berdetak cukup cepat, membuat peluh kembali membanjiri keningku. Aku mati-matian mengatur nafsuku supaya aku tidak keluar, walaupun sebenarnya aku begitu ingin keluar. "Duduk tegak coba Fan," ujar Ardi sambil membimbingku bangkit dari jokku. Aku pun mencoba duduk tegak, dan ternyata benar hasratku untuk ngecrot agak tertahan. Ardi mengelus-elus punggungku untuk sedikit menenangkanku. "Wih pak pol nya basah nih hehehe..."
"Hot banget sih kamu mainin kontolku Ard...," ujarku masih terengah-engah. "Sumpah aku belum pernah dibikin begini... hampir crot dua kali dalam celana..."
"Mau yang ketiga kali Fan?" tanya Ardi nakal sambil meremas-remas kontolku. "Jarang-jarang kan polisi crot dalam celana dinas?"
"Nggghhh Ard..." Aku tidak kuasa menolak ketika ia kembali memainkan jari-jarinya di atas kontolku dari luar celana PDH-ku. Ia fokus pada biji-biji kontolku sehingga aku masih dapat menahan diri, walaupun sebenarnya pijatan-pijatannya enak juga. "Ooooohhh..."
"Fan, kamu bawa borgol nggak?" tanyanya tiba-tiba.
"Bawa."
"Sama kuncinya kan?"
"Ya pasti lah!" Aku agak heran dengan pertanyaannya. Kenapa menanyakan borgolku.
"Kamu mau kumainin sambil diborgol di jok?" Aku sejenak tertegun dengan pertanyaannya. "Jadi kamu ga bisa narik tanganku kalau pingin keluar. Pokoknya aku yang menentukan kapan kamu keluar. Kau cuma boleh bilang kalau pingin keluar. Mau?"
"Hmmmm... mmmhhh..." Aku tidak bisa berpikir karena dia terus menggoda biji-biji kontolku. Sepertinya menarik juga. "Borgolku di kopel Ard... cari sendiri gih kalau kamu mau mainin aku kaya gitu!"
"Siap Ndan 86!" Ia mulai meraba-raba daerah kopelku sebelum akhirnya menemukan sarung borgolku. Ia pun membukanya dan mengambil borgolku beserta kuncinya--kuncinya ia letakkan di laci mobil agar mudah dicari nanti. "Jadi ceritanya saya nangkap polisi nakal yang ternyata lagi horny, Pak AKP Irfan. Saya sebagai atasan Pak Irfan perlu mendisiplinkan Pak AKP Irfan."
"Siap Ndan, siap salah!" Entah kenapa aku jadi menuruti permainannya. Ardi pun menaikkan jokku lalu melingkarkan tanganku ke belakang jok, lalu memborgolku di sana. "Jangan berontak ya Pak AKP Irfan. Saya kasih kenikmatan tiada tara," ujar Ardi nakal, lalu ia langsung meremas-remas kontolku kembali. "Oooohhh Aarrrddd..." Ia menggenggam kontolku dan memainkan jempolnya di pucuk kepala kontolku dengan gerakan memutar. "Aaaaaggghhh... Aaarrrddd... geliiiihhhh... nnnnggghhhh..." Aku meronta-ronta namun tentu saja tubuhku tertahan karena tanganku terborgol di belakang. Aku hanya bisa beringsut ke sana kemari, menekuk tubuhku sebisa mungkin, namun tetap saja tidak cukup untuk menghalangi tangan Ardi yang dengan bebasnya menggerayangi dan memainkan kontolku. "Aaaarrrrddd!!!" pekikku ketika ia mengocok kontolku dengan cepat. "Jangan cepat-cepat Aaarrrddd... aaarrrgghhh..." Ardi hanya tersenyum sambil malah mempercepat kocokannya. "Aaaaaahhhhh..."
Nyaris ketika aku hampir tidak tahan lagi, ia melepaskan tangannya. Kenikmatan yang tiba-tiba hilang itu justru membuatku frustrasi; aku pun meronta-ronta dalam jokku, bahkan aku sampai menggerakkan pinggulku maju mundur agar tetap mendapatkan kenikmatan, yang sedikit-sedikit kudapatkan dari gesekan kontolku dengan celana dalamku dan celana PDH-ku. Ardi malah meremas biji kontolku kuat-kuat. "Aaaaarrrggghhh..." Rasa ngilu itu refleks membuatku mengapitkan kakiku rapat-rapat untuk melindungi kontolku. Ardi sepertinya menjadi makin beringas karena ia menggunakan tangan kanannya untuk menutup mulutku. "Mmmmfffhhh... Aaarrrddd..." Ia tidak memedulikan erangan protesku, namun kini remasannya tidak sekuat tadi. Ia mulai berpindah kembali ke kepala kontolku, mengelus-elus kepala kontolku kembali. "Nnngggghhhh! Mmmmmhhh!" Aku meronta-ronta kegelian, kali ini lebih tertahan lagi karena Ardi menahan kepalaku dengan tangan kanannya.
"Geli ya Pak AKP Irfan?" ujar Ardi terkekeh. "Udah mau crot Pak?"
"Mmhh..." aku menjawab sambil menganggukkan kepala.
"Tapi malam masih panjang Pak Irfan... kalau dimainin terus sampai pagi bisa crot berapa kali nih?" Ardi mulai mengurut batang kontolku, mengocoknya dengan sangat pelan, membuatku menggelinjang. "Nnngggghhh! Nnggh nnggh!" Kakiku mulai bergetar walaupun aku dalam posisi duduk. "Mmmmggghhhh!!!" Ardi hanya menggunakan tiga jarinya untuk mengocok kontolku dari luar celana PDH-ku. Kenikmatan itu rasanya sudah mencapai ubun-ubunku.
"NNNNNNNNGGGGGGGHHHHH!!!"
Lagi-lagi tepat saat aku hendak orgasme, Ardi menekan batang kontolku kuat-kuat. Kali ini, dia cepat-cepat menciumku. "Mmmmffffhhh..." Ciumannya kali ini cukup bernafsu, namun karena aku juga sudah sangat terangsang, aku pun membalas ciumannya dengan ganas. Mendapatkan kesempatan itu, Ardi kembali mengocok batang kontolku.
"HHHHNNNNGGGGGGHHHHHH!!!"

Aku tak kuasa menahannya.

Croooottt...

Tubuhku mengejang di jok tertahan ciuman Ardi selagi aku orgasme dan kontolku memompakan cairan kejantananku keluar, perlahan-lahan membanjiri celana dalamku. Kakiku sempat membentur dasbor namun aku tak peduli lagi; aku kini telah mendapatkan kenikmatan dan kelegaan itu. Entah berapa kali kontolku berkedut, dan selagi itu Ardi tetap mengocok-ngocok batang kontolku walaupun tidak sekencang tadi. Pandanganku sedikit kabur, peluhku masih terus mengalir membasahi tubuhku. Kenapa tadi aku tidak menyalakan AC ya... "Nnnggghhh..." eranganku pun mulai melemah seiring dengan melemahnya pancaran pejuhku di dalam celana PDH-ku. Aku pun mulai merasakan batang kontolku beradu dengan pejuhku sendiri, memberi sensasi licin, namun karena aku habis orgasme, kontolku jadi sangat sensitif. "Mmmhhh!" Ardi tidak melepaskan ciumannya, demikian juga kocokannya pada kontolku. "Ffffhhhh! Nnnnggghhh!" Aku protes dan berusaha melepaskan diri dari ciuman Ardi, kontolku terasa agak ngilu namun ada sedikit kenikmatan di sana. Aku jarang orgasme lebih dari sekali, biasanya istriku tidak melanjutkannya setelah aku orgasme, dan aku pun tidak pernah memaksanya meladeniku lagi. Tapi kali ini... Ardi benar-benar tahu caranya memanjakan kontol... "Nngggghhh..."
"Enak kan Pak AKP Irfan?" ujar Ardi menyeringai. "Lagi ya Pak, ini pasti masih banyak tabungan pejuhnya," godanya sambil mengelus-elus dan meremas-remas biji-biji kontolku. "Oooohhh Aaarrrddd... jangan sekarang pleasseee... Ngiluuu... nnnggghhh..." Tidak memedulikan protesku, ia mengelus-elus kembali kepala kontolku yang masih sensitif itu, membuatku menggelinjang. "Aaaarrrdddhhh..." Pejuhku memberikan sensasi baru di kontolku, berfungsi sebagai pelicin ketika kontolku bergesekan dengan celana dalamku. Setelah puas melihatku meronta-ronta, ia mengocok-ngocok batang kontolku. "Aaaahhhh Aaarrrddd... udah pliiisss..."
"Lagi ya Pak AKP Irfan, sedikit lagi ajah," jawab Ardi manja dan nakal. Ia mempercepat kocokannya. Aku hanya bisa pasrah meronta-ronta. "Aaaarrrdddhhh.... fffffhhhh... hhhhh..."
"Ayo Pak Irfan... yessss.... nngggghhh..." Ardi mulai melontarkan kata-kata kotor dan ikut mendesah, memantik nafsuku kembali. "Tunjukkan kejantanan polisiiii... yeeaaahhh... kontol polisiiii... uuuggghhh... ayo Paaakkk... tembakkan lagiiiii..."
"Arrrddd..."
"Ayo Pak Irfaaannn... yeaaahhh... kontol polisiii... tegangnya sempurnaaaa.... yeeeesss...."
"Aaaaahhh... Aaaarrrddd..." Aku mulai merasakan tekanan itu lagi. Gila, ia berhasil membangkitkan nafsuku secepat itu! "Aaarrrddddddd!!! Hhhhhhhgggghhhhh!!! HHHHHHNNNNGGGHHHH!!!" Ardi semakin beringas mempercepat kocokannya pada batang kontolku, sambil kembali ia meraba-raba atribut-atributku dan mencubit-cubit pentilku. "AAAARRRRDDDDHHHHHHH!!!!!!!"

Crooottt...

"HNNNGGGHHH!!! OOOOOHHHHH!!!" Aku hampir tak bisa mengendalikan tubuhku yang mengejang selagi setruman kenikmatan itu datang lagi, berawal dari kontolku yang kembali memuntahkan cairan kejantananku, lalu mengalir ke perutku, bercabang ke paha dan torsoku, lalu ke kakiku dan tanganku. Pandanganku kembali kabur selagi tubuhku melepaskan dopamin dan otakku merasakan kenikmatan tiada tara. Ardi masih saja mengocok-ngocok batang kontolku selagi memuntahkan pejuhku, namun kali ini ia menghentikannya ketika batang kontolku sudah tak mampu lagi memberikan pejuh. Ardi pun meremas-remas kontolku dengan lembut selagi aku mengatur nafasku. "Arrrrddd... gila kamu yaaaa... hhhhh..."
"Hahaha... maaf Fan, kayanya aku kelepasan," ujar Ardi terkekeh. "Tapi enak kan?"
"Sumpah Ard... enak banget... aku sudah lama banget ga merasa gini... udahan dulu ya..."
"Iya Fan, sori banget loh hehehe..."
"Gpp Ard..." Aku mulai bisa mengendalikan diri, nafasku mulai teratur kembali, walaupun badanku jadi basah kuyup semua. "Basah semua kamu Fan," celetuk Ardi.
"Aku memang gampang keringatan sih Ard," jawabku. "Semua di kantor sudah pada tahu."
"Kalau gitu jangan nyalain AC ya, nanti kamu masuk angin."
"Iya Ard." Aku melirik celana PDH-ku. Walaupun samar-samar, namun aku bisa melihat noda gelap di sana. "Bocor juga kayanya Ard celanaku hahaha..."
"Pejuhmu pasti banyak banget ya Fan, udah lama ga dikeluarin." Aku mengangguk. "Aku bantu bersihin gimana Fan?"
"Gimana caranya Ard?" tanyaku keheranan.
"Yaaa... paling nggak pejuhmu yang masih di dalam nggak meluber ke mana-mana. Sandaran aja Fan, merem aja kalau kamu malu." Tanpa basa-basi lagi dia mulai meraih kepala kopelku dan membukanya, lalu ia juga membuka sabuk kecilku sebelum akhirnya membuka kait celana PDH-ku dan menurunkan resletingnya. Aku agak malu sebenarnya, karena hanya istriku yang pernah menelanjangiku seperti itu, namun aku penasaran apa yang hendak dia lakukan. Ardi beringsut dan mendekatkan kepalanya ke selangkanganku, lalu ia menurunkan celana dalamku yang basah kuyup itu, aroma pejuhku mulai menyeruak menerpa hidungku, dan...
Ia menjilati celana dalamku?
Sejenak aku agak mual melihat ia menjilati pejuhku, namun ia terlihat begitu menikmatinya. Seperti apa ya rasanya? Aku sendiri tidak pernah menjilati pejuhku, dan istriku pun tidak pernah. Ia juga menjilati daerah selangkanganku yang terlihat ada pejuh, membuatku kegelian. "Ard... geli..."
"Tahan ya Fan, geli-geli enak kok benernya. Awas ngaceng lagi hahaha..." Ia terus melanjutkan "membersihkan" pejuhku walaupun aku menggeliat-geliat kegelian. Hingga ia sampai di kontolku, dan ia menjilati biji-bijiku. "Oooohhh Ard... geli..."
"Biar mayan bersih Fan," tukas Ardi pendek sambil menjilati biji-biji kontolku. Kehangatan dan kasarnya lidahku sempat membuat nafsuku naik lagi, batang kontolku perlahan-lahan bangun lagi walaupun tidak secepat tadi. Ardi pun mulai menjilati batang kontolku. "Mmmmffffhhh Aaarrrddd..."
"Wah ngaceng lagi ini Pak Pol hahaha..." Ia menjilati kepala kontolku. "Aaaaahhhh..." Kemudian ia sampai di pucuk kepala kontolku. "Kubersihin dalamnya ya Fan."
Tanpa sempat kucegah, ia menjilati lubang pipisku, lalu mengenyot kontolku. "Ooooohhhh Aaarrrddd.... udah Arrrrddd... nnnggghhh..." Aku menggelinjang dibuatnya. Sudah lama sekali sejak terakhir istriku menghisap kontolku. "Arrrrddd..." Ia pun mengeluarkan kontolku yang tegang itu dari mulutnya lalu menyeringai. "Udah cukup deh Pak Pol intronya, kapan-kapan aja ya kuisepin sampai puaaaasss..." Ia menyentil kepala kontolku hingga aku terpekik; berkali-kali hingga kontolku kehilangan kekerasannya. "Dah burungnya Pak Pol bobo dulu yaaaa...," ujarnya nakal sambil menyarungkan kembali kontolku ke celana dalamku, lalu ia pun merapikan celana PDH-ku dan sabuk serta kopelku. Selesai itu, ia meremas kontolku agak kuat, membuatku mengerang. "Aaaahhh Ard nakal banget sih kamu!"
"Aku gemes Fan, kamu polisi pertama yang mau kuginiin hahaha... kamu mau lagi kan kapan-kapan kumainin?"
"Mau Ard... enakin aku..."
"Mau hari ini juga nggak Fan? Sampai pagi?"
"Jangan dulu Ard. Istriku nanti nyariin."
"Tapi kamu yakin mau pulang dengan celana kena pejuh gitu hehehe..." Benar juga. Aku alasan apa nanti waktu pulang? "Kamu ada baju ganti?"
"Di kantor adanya."
"Gimana kalau seragammu taruh kosku dulu? Kalau sempat nanti aku cucikan. Ada seragam lagi kan?"
"Eh jangan Ard, ngerepotin kamu..."
"Ga pa pa Fan, anggap permintaan maafku karena bikin kamu ngecrot di celana hehehe..." Aku agak bimbang sebenarnya, "terus aku alasan apa ya ke istriku kalau dia lihat aku pulang tanpa seragam?"
"Bilang aja kotor kena lumpur atau got, lalu daripada kamu masuk angin kamu ganti baju. Seragamnya ditinggal di kantor, nanti dicuciin anak buahmu." Hmmm masuk akal juga pemikirannya. "Pinter juga kamu Ard."
"Kalau ga pinter ga kerja IT aku Fan hahaha..." Kami berdua tertawa lepas. "Oke deh, aku ikuti rencanamu!"
"Siap!"

Maka, aku membatalkan rencana sidak ke beberapa pos di pinggir kota dan kembali ke kantor untuk mengambil baju ganti. Saat itu sudah pukul sebelas malam, jadi kantor agak sepi sehingga aku tidak perlu malu andainya ada anak buahku yang melihat celanaku basah di daerah selangkangan. Aku memutuskan untuk tidak ganti baju di kantor supaya tidak ada yang curiga jika melihatku ganti baju. Setelah mengambil baju, aku menuju ke kos Ardi dan melaksanakan rencana tadi. Aku akan ganti baju di kos Ardi, kemudian pulang ke rumah. Kalau istriku bertanya kenapa aku tidak pakai seragam, aku akan bilang tadi sempat kecipratan lumpur dari pengendara yang ceroboh, jadi seragamnya kutinggal di kantor untuk dicuci.

Kecuali aku tidak menyadari bahwa Ardi punya rencana lain... sebuah rencana yang akan membuatku terjaga penuh malam itu...

(BERSAMBUNG)