Sabtu, 31 Desember 2011

Selamat Natal 2011 dan Tahun Baru 2012

Untuk semuanya, mohon maaf sekali saya tidak bisa menulis dalam beberapa bulan terakhir karena kesibukan yang begitu intensnya. Selagi masih dalam masa liburan, saya ingin mengucapkan selamat Natal 2011 bagi siapa saja yang merayakannya, dan selamat tahun baru 2012 (walaupun mungkin terlalu cepat satu jam saat tulisan ini diterbitkan). Semoga tahun 2012 dapat menjadi tahun yang lebih bermakna untuk kita semua. Mudah-mudahan saya dapat aktif menulis kembali seiring dengan mulai berkurangnya kesibukan saya. Usul, saran, dan kritik tetap ditunggu seperti biasa, dan saya tetap berharap rekan-rekan sekalian tetap mau menjalin tali persahabatan di antara kita.

Untuk para polisi/tentara/satpam yang terpaksa tetap bertugas di malam tahun baru ini, selamat bertugas, terima kasih sudah mengorbankan waktu dan tenaga untuk mengamankan perayaan seluruh umat manusia setahun sekali ini.

See you in 2012!



Minggu, 04 September 2011

Paman temanku tentara yang gay (bagian 2)

"Ngapain kalian di sini? Ngerokok ya?" tuduh satpam itu dengan nada keras.
"Sudah kubilang Pak, mana mungkin ngerokok di sekolah?" jawab Prasojo ketus. "Udah digeledah juga kan akunya? Mana rokoknya?
"Jangan bohong!!! Pasti dibawa temanmu!" Satpam itu rupanya keras kepala juga. "Ayo sini keluar!!!" Aku diseret satpam itu keluar; untungnya bajuku sudah cukup rapi. "Mana rokoknya???"
"Rokok apaan Pak?" tanyaku. "Aku tidak merokok."
"Bohong!!! Cepat serahkan rokoknya!"
"Ada apa ini?" sebuah suara berat terdengar. Rupanya Tri sudah merapikan diri pula. Ia pun keluar dengan membusungkan dada, bergaya khas tentara. Gaya itu rupanya cukup membuat keder si satpam, bahkan ia langsung memberi hormat. "Siap komandan! Saya mencurigai dua anak ini merokok di lingkungan sekolah Ndan!"
"Mana buktinya?" tanya Tri balik. Satpam itu gelagapan. "Mana rokoknya? Saya dari tadi di toilet ini dan tidak mencium bau rokok. Kamu jangan asal tuduh aja ya!" Nada suaranya mulai naik, berlagak menggertak. "Kamu tahu saya ini siapa, hah??!!" Satpam itu hanya terdiam di tempat sambil tertunduk malu. "Mau saya hajar kamu?!"
"Ampun Ndan, saya mengaku salah!" ujar satpam itu ketakutan. "Anak-anak biasanya sembunyi-sembunyi merokok di toilet, dan tidak ada yang mau mengaku kalau ditanyai!"
"Ya tapi bukan berarti semua yang masuk toilet berarti merokok! Goblok kau!!" sergah Tri marah. "Kau mau dihukum ya?!"
"Ampun Ndan..." Mendadak Tri maju dan berdiri di belakang satpam itu, lalu memitingnya. "Aaahh...," satpam itu mengerang kesakitan. Ia meronta-ronta, namun Tri mengunci badan satpam itu, membuatnya tidak bisa melepaskan diri. Apalagi tenaga Tri sebagai seorang tentara jelas lebih besar daripada satpam itu. "Bro, geledah dia!" perintah Tri. "Jangan-jangan justru dia yang bawa rokok!" Awalnya aku agak ragu, namun melihat Tri memerintahku sekali lagi dengan kepalanya, aku pun melakukannya. Awalnya kucek kantung bajunya, tidak ada kotak rokok di sana. Di saku celananya... Dari depan kuraba-raba, ada sesuatu yang menonjol di saku kanannya. Kurogoh ke dalam, ternyata hanya dompet. Iseng kurogoh-rogoh saku celana kirinya agak dalam hingga menyentuh kontolnya. Satpam itu sedikit berontak ketika kontolnya kusentuh, namun Tri dengan cepat menendang kakinya menyuruhnya diam. Tinggal satu lagi yang belum kuperiksa: kantung celana belakangnya...

"Wah apa ini ya?" ujarku. Di saku belakangnya ada satu dompet lagi yang lebih tipis. Saat kubuka, ternyata isinya kondom. "Wah wah wah, kau pingin 'merokok' yang lain ya," ujar Tri menuduh. "Ampun Ndan, saya tidak tahu maksudnya Ndan," jawab satpam itu. "A lah, sudah jangan bohong! Kau homo juga kan? Bro, coba kau rangsang dia, ngaceng tidak!"
"Tapi..."
"Sudah lakukan saja! Dia pasti bawa kunci, kunci dulu toilet ini!" Memang saat itu aku melihat segerombol kunci di saku belakang celana satpam itu, maka kuambil dan kukunci toilet itu dari dalam. "Pras, kau pegangi kakinya!" Herannya Pras pun menuruti perintah pamannya dan memegangi kedua kaki satpam itu. "Ndan saya mau diapakan?" tanya satpam itu cemas. "Diam saja kau kalau ingin selamat!" ancam Tri. "Kalau kau sampai berteriak, kubunuh kau!" Satpam itu memekik ketika sesuatu yang tajam menusuk punggungnya, dikiranya itu pisau padahal hanya jari Tri. "Buka kedua kakinya Pras." Pras pun membuka kaki satpam itu sehingga tersedia ruang cukup lebar bagiku. "Rangsang kontolnya Bro. Aku mau tahu dia ngaceng atau tidak."
Aku pun memulai aksiku. Awalnya agak canggung karena itu satpam sekolahku yang terkenal cukup galak, namun dalam hati aku agak geli juga karena satpam itu takut sekali pada Tri. Tanpa pikir panjang aku pun menggenggam kontol satpam itu dan meremasnya. Awalnya satpam itu meronta-ronta, namun dengan tusukan palsu Tri, akhirnya satpam itu pun diam. Kontol satpam itu cukup besar, namun kukira yang besar adalah bola zakarnya. Batangnya agak kecil menurutku kalau dibandingkan punya Tri dan Pras, tapi tak apa lah, kapan lagi aku bisa menikmati kontol orang lain, bahkan satpamku yang galak itu. Namun setelah beberapa lama, batang kontolnya tak kunjung mengeras. "Lembek nih," ujarku. "Hei, kau impoten ya," ujar Tri. "Nggak Ndan! Saya bisa ngaceng!"
"Mana, lemas gitu!" Tri pun melepaskan salah satu kunciannya dan meremas kontol satpam itu agak kasar, membuat satpam itu mengerang. "Apa ini, lembek sekali! Kau ini cowok bukan!"
"Saya ngacengnya kalau nonton film Ndan!"
"Film apa? Bokep? Cowok cewek?" Satpam itu tidak menjawab, sepertinya ia malu membuka rahasianya. "Jawab!!!" ancam Tri sambil meremas kuat-kuat kontol satpam itu. "Aaaaahhh..." Saat itu aku melihat kontolnya mulai ngaceng. "Oooo aku tahu sekarang, kau rupanya hanya ngaceng kalau disiksa ya!" ujar Tri. "Kau suka disiksa, hah?! Jawab!!!" Satu lagi remasan kuat pada kontolnya. Ajaibnya, kontolnya justru ngaceng! "Bro, siksa dia!"
"Eh? Aku?"
"Ya iya lah, masa si Pras, mana berani dia!"
"Eh Paman, sudah lah, toh kita ya nggak melakukan yang dituduhkannya," ujar Pras. "Bisa runyam nanti masalahnya..."
"Jangan takut, dia harus dihukum biar nggak sembarangan nuduh! Kalau kalian diancam, bilang saja padaku, kuberi pelajaran dia nanti!" Satu lagi remasan kontol pada satpam itu. "Ayo Bro!"

Aku belum pernah menyiksa seseorang sebelumnya, namun sesekali aku pernah melihat videonya di Internet, dan kadang aku pingin coba juga. Aneh juga melihat seseorang bisa ngaceng kalau kontolnya disiksa. Pras berhenti memegangi kedua kaki satpam itu; ia sepertinya pasrah pada apa yang akan terjadi padanya. Bahkan Tri pun melepaskan kunciannya. Satpam itu kini berdiri tegak di hadapanku. Diapain dulu ya...
Tanpa pikir panjang aku mengepalkan tanganku dan meninju kontolnya. Satpam itu terhentak dan mengerang pelan. Aku duduk di hadapannya hingga kontolnya ada berada sedikit di atas kepalaku. Kuperlakukan seperti sansak tinju, kupukul berulang-ulang kontol satpam itu hingga satpam itu terengah-engah. Kuberikan sedikit waktu untuknya beristirahat sebelum sesi berikutnya. Kali ini Tri membantuku dengan menjaga tubuh satpam itu tetap berdiri tegak, karena tiap kali kuhajar kontolnya satpam itu refleks memegangi kontolnya. Kali ini tidak ada lagi yang melindungi kontolnya, maka... Kutendang dengan sepatu ketsku. Awalnya kutendang seperti menendang bola, dan memang bola kontolnya yang kutendang. Berikutnya, kupraktekkan sedikit jurus tendangan karate yang kupelajari iseng-iseng dari Internet. Tendangan ketiga kugunakan ujung sepatuku. Tiga tendangan berturut-turut itu sepertinya menguras habis tenaga si satpam, keringatnya bercucuran membasahi tubuhnya, dan entah kenapa aku jadi terangsang kembali. Kupegang kontolnya dan ternyata batangnya sudah sekeras kayu. "Mau diterusin atau mau dikeluarin nih?" tanyaku pada diriku sendiri. "Udah keras kah Bro?" tanya Tri. Tanpa menunggu aku menjawabnya, ia pun menjamah dan meremas keras kontol satpam itu, membuatnya mengerang lagi. "Wah mantap nih. Terserah dia dah. Mau diterusin atau dikeluarin?"
"Terusin dikit lagi Ndan...," rintih satpam itu. "Enak..."
"Wogh dia kecanduan gayamu Bro!" puji Tri. "Lanjutin gih! Ngaceng juga aku dibuatnya!"
Maka aku pun melanjutkan permainanku, walaupun jujur saja aku kehabisan akal. Akhirnya kugunakan ingatanku sebisanya, mengingat-ingat film atau kejadian apa saja yang berhubungan dengan serangan pada kontol. Kebanyakan berhubungan dengan pukulan, namun gerakan yang paling kusuka adalah ketika aku berdiri, menggenggam kontol satpam itu, dan menariknya ke atas. Satpam itu berjingkat sambil mengerang kesakitan. Kontolku berdenyut-denyut melihat reaksi satpam itu, tak terasa precum pun mulai membasahi celanaku. "Sudah cukup Bro, sekarang puaskan dia," ujar Tri. "Kasihan."

Maka kuelus-elus kontol satpam itu yang masih meringis kesakitan. Aku nekad menciumnya, entah keberanian dari mana datangnya, dan ajaibnya satpam itu membalasku. Kubuka perlahan celananya sampai kudapatkan kontolnya. Bola-bolanya sepertinya bengkak dan berdenyut panas ketika kupegang, satpam itu pun meringis kesakitan. Maka hanya kugenggam kontolnya dan kukocok perlahan-lahan untuk menghilangkan sakitnya sambil tetap menciumnya. Aku bisa merasakan kontolku juga dimainkan, namun aku tak tahu siapa yang memainkannya karena aku sibuk dengan satpam sekolahku. Aku mengerang dalam ciumanku ketika seseorang menjilati kontolku dan menghembusinya dengan nafas hangat; kontol satpam itu mulai mengeluarkan precum yang kujadikan pelumas untuk mengocoknya. Kusempatkan melihat siapa penghisap kontolku, dan aku agak terkejut. Ternyata si Pras! Kukira ia bukan gay, tapi ternyata ia mau juga menghisap kontolku, dan hisapannya cukup mahir. Tri sendiri kulihat juga kembali terangsang dan sedang mengocok kontolnya sendiri; aku bisa melihat kontolnya mulai mengilat oleh precumnya. Kulanjutkan kocokanku, satpam itu menikmatinya untuk beberapa saat sebelum ia mengerang kesakitan kembali. Ternyata Tri kembali meremas kedua bola zakar satpam itu, sambil berusaha memasukkan kontolnya ke pantat si satpam. "Ooookkhhh sempitnya pantatmuuu... belum pernah dientot yaahhh...," desau Tri dengan nafas beratnya. "Belum Ndan... Aaaakh..." Blesss... kontol Tri dengan kejamnya menghunjam pantat si satpam sampai masuk seluruhnya. Seakan tahu peranku, aku pun semakin gencar mengocok kontol si satpam untuk meredakan sakit pada pantatnya. Tri pun mengentot satpam itu tanpa ampun, karena tadi ia belum muncrat sama sekali. "Aaaahhh Praaasss... hisapanmu enak banget..."
"Kau suka Bro?" tanyanya sambil mengelus-elus kepala kontolku, membuatku kelojotan. "Suka banget Pras... tak kuduga kau mau menghisap kontolku..."
"Kelihatannya enak Bro, dan ternyata memang enak..." Tanpa berkomentar lagi ia kembali memasukkan kontolku ke mulutnya dan menghisap-hisapnya. "Oooohhh..." Aku seakan-akan berada di langit tertinggi: kontolku dihisap sahabatku sendiri dan aku sedang memainkan kontol satpam sekolahku yang galak itu, yang saat ini juga sedang dientot seorang tentara. Lengkap rasanya, tapi akan lebih lengkap lagi kalau pada muncrat...

Sodokan demi sodokan kontol Tri pada pantat satpam itu sesekali menyentuh prostatnya, membuatnya merem melek. Belum lagi kontolnya mendapat servis dariku, dan Tri pun memainkan puting susu si satpam, rupanya membuat si satpam tidak tahan lagi. Nafasnya mendadak menderu, dan ia melenguh panjang. "Oooooohhhhh....." Kuremas kedua bola zakarnya dan kupegang pangkal kontolnya kuat-kuat sambil kuarahkan menjauh dariku agar spermanya tidak mengotori bajuku maupun Pras. Satu detik kemudian... Crooottt... Tembakan pertama si satpam jauh sekali sampai mengenai dinding toilet, dan... berhenti. Aku agak heran dibuatnya, kok hanya sekali tembak... Kukocok kuat-kuat kontol satpam itu, dan erangan panjang kembali keluar dari mulut si satpam. "Ooooohhhh..." Tembakan kedua nyaris mengenai Pras, aku lupa mengarahkan kontolnya menjauh. Aneh sekali, pikirku, mirip senjata saja harus dikokang dulu. Maka kukocok-kocok kontolnya dan satpam itu pun menembakkan spermanya. Tujuh tembakan berikutnya benar-benar menguras habis persediaan spermanya, bahkan setelah kuperas buah zakarnya. Tak lama kemudian, kudengar erangan Tri menunjukkan ciri-ciri yang sama. "Aku mau keluaaaarrr.... Aaaaahhhh..." Badannya sedikit bergetar, namun kutebak ia sudah mulai muncrat di dalam pantat si satpam. Si satpam tidak bereaksi apa-apa. Setelah Tri bisa mengendalikan badannya, ia menciumi leher satpam itu. "Nah, kalau nurut enak kan?" Satpam itu hanya mengangguk. "Bro, kau sudah muncrat?"
"Dikit lagiii...," jawabku bergetar. Pras rupanya ikut bersemangat mengetahui dua orang sudah muncrat, maka ia menggenjot kontolku kuat-kuat, bahkan ia ikut meremas-remas bola zakarku. "Praasss... awaaasss... aku mau muncraaattthhh... Hhhhhh...." Aku takut aku muncrat di dalam mulutnya, namun ia tidak kunjung mengeluarkan kontolku dari mulutku, malah semakin asyik menghisapnya. "Aaaaahhhh..." Akhirnya aku pun muncrat di dalam mulut Pras. Hanya empat tembakan karena sebelumnya aku sudah muncrat di dalam pantat Tri, namun semua spermaku ditelan Pras. "Makasih Pras, kau sahabatku yang terbaik..." Tak sadar air mata meleleh di mataku. "Tak apa Bro, ini gunanya sahabat kan?" ujar Pras sambil menghapus air mataku dan memelukku. Rasanya hangat sekali, dan aku luar biasa bahagianya bisa dipeluk Pras. "Pras kau belum keluar kan? Kukeluarin yah..."
"Nggak usah Bro, tadi aku kan udah keluar."
"Tapi kau masih tegang gini Pras... nanti sakit lho!" Tanpa menunggu persetujuannya, ganti aku menghisap kontolnya, dan Pras kini tak menolak sama sekali. Kuberikan hisapan terbaikku, dan Pras meracau selama hisapanku itu, seringnya memanggilku. Tak terlalu lama ia pun muncrat, dan dengan senang hati kutelan seluruh spermanya tanpa bersisa.

Sejak saat itu, aku menjadi semakin erat dengan Pras, walaupun ia masih suka dengan cewek. Sesekali kami  memadu kasih, walaupun ia tak mau disodomi dan menyodomi aku. Cukup lah bisa menghisap kontolnya dan dihisap olehnya... Selama pamannya masih dinas di sini, sesekali kami main bertiga, dan aku lebih sering disuruh berlagak sebagai atasan Tri yang kejam serta suka menyiksa. Tri rupanya juga suka disiksa, mungkin akibat pengalaman pribadinya saat jadi taruna dulu. Jika bermain denganku saja, Tri lebih suka dientot. Sesekali satpam sekolahku juga minta jatah padaku, dan kulakukan selepas pulang sekolah. Tentu saja, ini menjadi rahasia kami berempat, dan semuanya berkat paman temanku tentara yang gay.

Senin, 15 Agustus 2011

Video penakluk polisi (bagian 1)

"Aldy! Sini sebentar Nak!"
"Bentar Pi, tanggung!" Kupercepat kocokanku pada Kardi satpam rumahku. Nafasnya semakin memburu, dan akhirnya semenit kemudian ia orgasme. "Aldy!!" teriak ayahnya lebih keras. "Iya Pi!!!" balas Aldy tak kalah kerasnya. "Kau bersih-bersih sendiri ya. Jangan sampai Papi tahu kau di kamarku." "Iya Den," jawab Kardi patuh sementara Aldy bergegas membersihkan tangannya, lalu turun ke bawah menemui ayahnya. "Ada apa sih Pi, ngebet banget ketemu Aldy?" tanyanya sambil menggelayut manja di bahu ayahnya.
"Ayah punya hadiah untukmu. Untuk ultahmu besok."
"Yah Ayah...," nada kecewa tersirat dari ucapan Aldy. Ia tahu, ayahnya takkan ada di ulang tahunnya besok, apalagi besok adalah ulang tahunnya yang ketujuh belas. Dua tahun berturut-turut ayahnya melewatkan ulang tahunnya, walaupun ia tetap mendapat hadiah. Ayah Aldy adalah seorang direktur di sebuah perusahaan elektronik inovator, maksudnya perusahaan ini selalu mengeluarkan produk-produk hi-tech hasil riset mereka sendiri. "Eits, siapa bilang Ayah besok bakal sibuk. Besok kan hari Minggu!"
"Lha kok dikasih sekarang Yah?" tanya Aldy was-was. "Jangan-jangan besok..."
"Nggak kok Sayang, Ayah sudah pesan ke sekretaris Ayah, besok Ayah tidak mau diganggu sama sekali. Besok kan ultahmu yang ketujuh belas kan? Masa Ayah melewatkannya." Ia kemudian memeluk Aldy dan membiarkan anak semata wayangnya itu menggelayut manja, walaupun terasa ada yang mengganjal di bawah. "Besok aja Yah kalau gitu, biar jadi hadiah ultah beneran!" usul Aldy. "Sekarang Aldy bobo dulu ya, ngantuk nih. Ayah juga jangan tidur malam-malam, nanti sakit lho!" Ia mengecup kening ayahnya, sebuah kebiasaan sebelum tidur yang selalu ia lakukan sejak kecil. Sayang ibunya sudah tidak ada lagi; orang tuanya bercerai ketika ia berumur belasan tahun, dan hak asuh jatuh ke ayahnya. Berhubung ayahnya sangat kaya dan Aldy adalah anak semata wayang, hampir semua kemauan Aldy dituruti. Namun Aldy juga tahu diri, ia tidak sampai mabuk-mabukan atau menggunakan narkoba, dan ia cukup jarang berfoya-foya. Ayah Aldy sendiri masih trauma atas pengkhianatan mantan istrinya yang selingkuh, sehingga sampai lima tahun kemudian ia belum juga menikah kembali.

Aldy sendiri tidak punya masalah dengan cewek, kecuali bahwa ia gay. Parasnya sendiri tampan, banyak yang bilang ia mirip artis Korea. Badannya atletis karena rajin fitness, tingginya sekitar 180cm karena ia suka main basket. Kehidupan seksualnya cukup menantang, yang jelas ia doyan kontol. Sejak ia melihat satpam rumahnya ngocok, ia mulai suka pada kontol. Setelah pendekatan beberapa lama, akhirnya ia bisa menikmati kontol satpam rumahnya. Namun jiwa mudanya menginginkan lebih. Ia menginginkan kontol polisi. Dari yang ia dengar, kontol polisi biasanya besar-besar. Namanya juga anak muda, ia penasaran dengan kontol polisi.

Namun rasa penasarannya akan segera terwujud.

Keesokan harinya, Aldy bangun dengan tergesa-gesa. Ia segera mencari ayahnya, namun rumah itu sepi bukan main. Hanya ada Heru, satpam sif pagi. "Ayah ke mana Her?" tanya Aldy. "Tadi pagi tergesa-gesa Den, sepertinya ada masalah. Tapi Tuan menitipkan ini untuk Aden." Ia menyerahkan sesuatu pada Aldy yang langsung dibukanya. Ada sebuah pulpen di dalamnya dan sebuah catatan kecil:

Aldy,


Maafkan Ayah, namun Ayah harus pergi. Tadi pagi-pagi buta Ayah mendapat kabar kalau pamanmu kecelakaan dan sekarang ada di RS X. Ayah tidak tega membangunkanmu, jadi ayah langsung pergi. Jangan menyusul dulu ke rumah sakit, nanti Ayah kabari kalau semuanya sudah membaik. Di laci meja belajarmu ada sedikit uang, gunakanlah untuk merayakan ulang tahunmu hari ini. Kadomu adalah sebuah pulpen berkamera, petunjuknya ada di dalam.
Selamat bersenang-senang hari ini. Ayah cinta padamu.

Walaupun agak kecewa karena ayahnya tidak bisa merayakan ultahnya, Aldy suka dengan kadonya. Pulpen berkamera itu terlihat seperti pulpen biasa, dan sangat mudah mengoperasikannya. Rekaman pertamanya adalah aksi ganti baju Heru di pos, yang diselingi sedikit bonus aksi membetulkan posisi kontol di dalam celana. Pulpen itu sengaja ditinggalnya ketika Aldy main ke pos. Pikiran nakal Aldy pun berputar, bagaimana cara mendapatkan kontol polisi dengan mainan barunya itu. Dan ia pun mendapatkan ide.
Namun, tanpa perlu menjalankan ide itu, ia akan segera mendapatkannya.

Esok harinya, seperti biasa ia berangkat ke sekolah dengan motor kesayangannya. Karena jarak rumah dan sekolah tidak terlalu jauh, ia jarang menggunakan helm, toh setelah sekolah ia langsung pulang, apalagi tak pernah ada polisi. Ia sendiri tak pernah berurusan dengan polisi, namun ia selalu berharap bisa berurusan dengan polisi dalam hal kontol. Pagi itu ia memacu motornya dengan kecepatan normal. Priiiiittt!!! Seorang polantas menyuruhnya minggir. Aldy pun meminggirkan motornya.
"Pagi Dik," sapa polantas itu. "Pagi Pak. Ada apa ya?"
"Hanya pengecekan biasa kok Dik. Tolong SIM dan STNK-nya." Aldy pun menyerahkan surat-surat tersebut. Sambil menunggu, Aldy pun mengamati polisi itu. Tingginya sekitar 185cm, beratnya mungkin 80an kg, umurnya sekitar 30an. Wajahnya tampan juga dengan kumis tercukur rapi, rambutnya mungkin cepak karena polisi itu mengenakan helm. Namanya Syaiful S. Kacamata hitamnya semakin menambah kegagahan polisi itu. Aldy mencoba mencuri-curi pandang selangkangan polisi itu, besar juga. Otak Aldy mulai berputar, ia ingin mendapatkan polisi itu. Ia raih diam-diam pulpen kamera di sakunya, lalu ia nyalakan dan sebisa mungkin ia arahkan ke wajah polisi itu. "Kenapa tidak pakai helm?"
"Iya Pak helm saya lagi dipinjam teman, ini mau saya ambil di sekolah."
"Tapi kan bahaya nggak pakai helm? Mau saya tilang?"
"Jangan lah Pak..."
"Kamu ada duit berapa?" Polisi itu tidak sadar dirinya sedang direkam.
"Cuma lima puluh ribu Pak, buat makan siang dan bensin."
"Udah kasih saya saja buat damai, daripada saya tilang, jatuhnya lebih banyak nanti, buat atasan saya. Hitung-hitung buat Lebaran."
"Ya sudah deh Pak." Ia menyerahkan selembar uang lima puluh ribu pada polisi itu, dan segera ia dibebaskan.

Seharian itu ia tidak konsen pada pelajarannya. Ia masih terbayang-bayang pada Syaiful si polisi. Kontolnya berontak di celana seragam abu-abunya. Saat sekolah berakhir, ia cepat-cepat pulang, memelankan motornya saat mendekati pos polantas tempatnya ditilang tadi pagi, berharap ia bisa melihat Syaiful. Benar saja, Syaiful si polantas masih di sana, namun melihat Aldy ia hanya tersenyum. Senyuman termanis yang pernah dilihatnya. Sampai di rumah, tanpa mengganti bajunya Aldy langsung memindahkan video dari pulpennya ke komputer dan memutarnya. Ooohh betapa tampannya Syaiful si polantas... Aldy pun mengelus-elus kontolnya yang sudah tegang dari tadi. Sejenak ia menikmati video itu sambil memainkan kontolnya. Suara Syaiful begitu jantan, membuatnya sangat bernafsu. Ia bertekad menikmati tubuh polisi itu. Tapi bagaimana caranya ya...

Di akhir pemutaran ketiga, ia mendapat akal. Polisi kan harusnya tidak boleh terima uang damai, bisa dihukum atau bahkan dipecat. Apalagi tadi dia menyebut atasannya juga terima uang damai. Fitnah atau menghina atasannya. Disalin dulu ah... Ia salin video itu ke HP-nya untuk ditunjukkan ke polisi itu nantinya, agar ia dapat menundukkannya. Kebetulan sekali rumahnya sepi, ayahnya tentu saja bekerja dan tadi pagi sudah berpesan bahwa ia akan pergi ke rumah sakit dulu, sehingga pulangnya pasti malam. Ia mengeluarkan motornya kembali, sengaja tetap mengenakan seragam sekolahnya dan tidak membawa helm. Ia memacu motornya menuju pos polisi itu...

...dan sesuai harapan, ia diberhentikan lagi oleh seorang polisi, tak lain dan tak bukan Syaiful sendiri. "Kamu lagi. Masih nggak pakai helm juga?" tanya Syaiful agak tegas. "Iya Pak, ada barang ketinggalan di sekolah."
"Mana helmmu?"
"Ketinggalan di sekolah Pak."
"Jangan alasan kamu! Sengaja ya? Mau saya tilang beneran, hah?"
"Silakan Pak, saya nggak takut!" tantang Aldy.
"Eeee, nantang ya kamu! Belum pernah disel ya?!!"
"Jangan sok galak dulu Pak," ujar Aldy tenang. "Lihat ini dulu." Ia mengeluarkan HP-nya lalu memutar video kejadian tadi pagi.
"Apa ini? Apa maksudnya ini?"
"Tonton dulu sampai selesai."
"Kamu mau meras saya ya?"
"Nggak kok Pak. Saya cuma pingin tanya, kalau video ini diupload ke Youtube, kira-kira Bapak bakal terkenal ga ya kaya Briptu Norman?"
"Jangan bercanda kamu!!!" hardik Syaiful sambil merebut HP Aldy dan membantingnya hingga hancur berkeping-keping. "Sekarang mau apa kamu, hahaha!!!" Polisi itu tertawa menang.
"Jangan senang dulu Pak. Saya madih punya banyak rekamannya. Di situ hanya ada wajah Bapak, pasti Bapak yang kena duluan. Gimana?" Aldy tersenyum sementara polisi itu mulai ketakutan. Ia menarik Aldy ke belakang pos agar tidak ada yang melihat. "Baik, saya menyerah! Jangan sebarkan video itu. Apa maumu? Ini uangmu saya kembalikan." Polisi itu merogoh kantong belakangnya hendak mengeluarkan dompet, namun Aldy mencegahnya. "Nggak usah Pak, saya ikhlas kok. Saya cuma mau burung Bapak." Aldy pun meremas kontol polisi itu.
"Jangan main-main kamu ya!" hardik polisi itu dan menepis tangan Aldy.
"Ya sudah kalau gitu Pak, saya permisi dulu." Aldy melangkah pergi, namun dengan segera polisi itu menghadangnya. "Jangan Dik, Bapak mohon. Bapak harus menghidupi istri Bapak, Bapak nggak tahu harus kerja apa lagi. Bapak bersedia melakukan apa saja, asal Adik tidak sebarkan video itu."
"Kalau gitu, saya minta kontolnya Bapak," ujar Aldy sambil meremas kembali kontol polisi itu.
"Jangan Dik," kali ini polisi itu hanya memegangi tangan Aldy. "Saya mohon, yang lain saja. Saya masih setia sama istri saya." Wah ternyata si polisi cowok straight, pikir Aldy. Pasti tambah enak menikmati kontolnya, biar ketagihan.
"Gak bisa Pak, saya mau ini!!!" sergah Aldy sambil meremas kontol polisi itu agak keras, membuat polisi itu mengerang kesakitan. "Atau saya sebarkan video Bapak." Polisi itu berpikir sejenak, namun dengan satu remasan lagi dari Aldy membuat polisi itu menjawab, "Baik! Baiklah! Saya turuti apa maumu!" Dalam hati Aldy kasihan juga melihat raut wajah polisi itu yang memelas, namun sudah kepalang tanggung... Ia lepaskan remasannya, dan selagi polisi itu bernapas lega, Aldy mengeluarkan pulpennya dan menuliskan alamat serta nomor teleponnya. "Ini alamat saya. Datang ke rumah saya kalau Bapak sudah selesai dinas. Rumah saya sebelah minimart. Telepon saya di nomor itu kalau sudah sampai. Ingat, jangan ganti seragamnya!" Aldy berpamitan dengan meremas sekali lagi kontol polisi itu, lalu ia melangkah keluar dengan penuh kemenangan. Akhirnya!

Sampai di rumah, Aldy langsung memasang kamera rahasia di sekeliling kamarnya. Ia tentu saja tak ingin momen langka itu hilang begitu saja, momen ketika ia memperkosa seorang polisi. Ia tak perlu khawatir wajahnya terekam, teknologi yang dimiliki perusahaan ayahnya sudah mampu menyamarkan atau bahkan mengganti wajah seseorang dalam suatu video. Tepat setelah merapikan semuanya, HP Aldy satunya berdering. Dari nomor tidak dikenal. Sepertinya polisi itu. "Halo, siapa ini?"
"Ini saya, Syaiful."
"Oh ya sudah, saya ke depan." Ia menyuruh satpam membukakan pintu untuk polisi itu. "Ayo masuk Pak, tidak perlu lepas sepatunya." Ia membimbing polisi itu ke kamarnya, lalu mengunci pintu. "Mau diapakan saya Dik?"
Tanpa komando Aldy langsung membanting polisi itu ke ranjang. "Bapak santai saja, nikmati semuanya. Anggap saya istri Bapak." Aldy pun membelai wajah polisi itu. "Bapak tampan sekali." Polisi itu diam saja. "Istri Bapak memang tidak salah pilih. Bodinya..." Aldy meraba dada bidang polisi itu. "Jangan Dik..." "Tenang saja Pak," ujar Aldy sambil menghunjamkan kepalan tangannya ke selangkangan polisi itu. "Aaaakkkhh..." Erangan polisi itu tertutup ciuman Aldy yang penuh nafsu. Syaiful pun meronta-ronta, dan sejenak mereka bergumul. Aldy berusaha meraih borgol yang sudah ia siapkan di sisi ranjang, dan setelah terkena beberapa kali tendangan, ia berhasil memborgol polisi itu. Terengah-engah, Aldy berkata, "Bapak, saya sebenarnya tidak mau main keras, melukai Bapak. Tapi kalau Bapak melawan terus, saya harus main keras juga." Ia menaiki tubuh polisi itu dan berbisik, "jadi, kalau Bapak menurut, saya tidak akan melakukan ini." Ia menusuk kontol polisi itu dengan lututnya, membuatnya mengerang. "Aaarrghhh! Jahanam kau!!! Kau tidak akan lepas dari ini!!!"
"Oh ya?" ejek Aldy sambil memperdalam tusukannya, memberikan rasa sakit yang lebih kuat pada polisi itu. Peluh mulai bercucuran di dahi polisi itu, seragam coklatnya mulai basah karena keringat. "Ingat Bapak, saya punya rekaman tadi. Begitu rekaman itu tersebar, walaupun saya dipenjara, nama Bapak akan selamanya tercemar. Bahkan mungkin istri Bapak akan meninggalkan Bapak, menceraikan Bapak kalau tahu Bapak ternyata menerima suap."
"Jangaaannn...," isak polisi itu. "Saya tidak mau hidup saya hancur..." Aldy agak terkejut juga, polisi yang selama ini ia kira jantan dan tegar ternyata bisa menangis juga. Ah polisi juga manusia... "Saya tidak akan melakukannya kalau Bapak berserah diri pada saya. Turuti saja apa yang saya perintahkan, dan saya jamin rahasia ini akan terjaga selamanya. Setuju?" Aldy melepaskan lututnya dari kontol polisi itu dan membelainya wajah polisi itu. Polisi itu mengangguk sambil masih terisak. Aldy menghapus air matanya dan perlahan mencium polisi itu. Pada awalnya polisi itu diam saja, masih terisak-isak, namun akhirnya isakannya terhenti. Perlahan-lahan polisi itu mulai menikmati ciuman Aldy, bahkan lama-kelamaan ia membalasnya, seakan-akan sekarang ia sedang berpagutan dengan istrinya. Kebetulan saja istrinya sedang datang bulan, sehingga lima hari ini ia tidak dapat jatah.
"Pak Syaiful, kalau saya lepas borgolnya, Bapak janji tidak akan berontak?" tanya Aldy. Polisi itu mengangguk. Maka Aldy pun melepaskan borgol yang membelenggu kedua tangan Syaiful. Mereka pun kembali berpagutan, kali ini justru Syaiful yang bernafsu. Lima menit berciuman, polisi itu terbaring lelah. "Wah masa sudah capek Pak," goda Aldy. "Kasihan kontolnya nih, kepalang tanggung sudah bangun." Memang, saat diraba Aldy, bonggolan daging yang tersembunyi di balik celana dinas polisi itu sudah semakin menggunung. Batang kontolnya tercetak jelas di celana coklat itu. "Saya mainin ya Pak." Polisi itu hanya mengangguk, lalu ia membuka kedua kakinya. Awalnya Aldy hanya mengelus-elus onderdil polisi itu, namun lama-lama ia tak tahan. Dibenamkannya mukanya pada selangkangan polisi itu, dihirupnya aroma kejantanannya. Bau keringat akibat berdiri seharian penuh di terik matahari semakin menambah aroma kejantanan polisi itu. Sambil salah satu tangannya meraba-raba dada polisi itu, ia sapukan hidungnya pada batang kontol polisi itu, sambil sesekali ia sundul-sundul bola-bolanya. Syaiful bernafas dengan berat, walaupun separuh otaknya mengatakan itu laki-laki yang sedang bermain dengannya, separuh lagi menyukainya. "Besar nih senjatanya Bapak, istrinya pasti suka ya," puji Aldy. "Pernah dihisap Pak?"
"Pernah sama istri, tapi cuma sekali saja. Katanya kegedean."
"Ya pasti lah Pak, tapi kalau saya yang hisap pasti muat. Dan enak."
Belum sempat polisi itu bereaksi, Aldy mulai melucuti bagian bawah polisi itu. Pertama-tama, dibukanya sabuk putih kebanggaan polantas itu. Tidak sampai ia tanggalkan. Ia langsung membuka kait celana polisi itu dan menurunkan resletingnya. Ia menurunkan celana itu sampai sebatas paha. Tampaklah kini area segitiga emas polisi itu, masih terbalut celana dalam hitam. Dengan nakalnya Aldy menjilati perut bawah polisi itu, membuatnya menggelinjang. Satu tangan Aldy menelusup ke dada polisi itu, tanpa berusaha melepaskan kemejanya, dan memainkan putingnya. "Oooohhh, enak Dik... Istriku tak pernah bermain seperti ini..."
"Percaya saya deh Pak, saya akan kasih Bapak servis yang lebih nikmat lagi." Digigitnya celana dalam polisi itu dan disibaknya turun, sehingga batang kontol polisi itu langsung menyambut dan menampar wajah Aldy. "Hmmmm... Kontol Bapak besar sekali..."

Selasa, 09 Agustus 2011

Di kereta Surabaya-Jakarta (bagian 3)

Setelah aku mengangguk tanda aku tidak akan memberontak, provost itu mengendorkan dekapannya, namun tidak melepaskanku. Kepalaku dielus-elusnya dengan penuh sayang; karena provost itu lebih tinggi besar dariku, seakan-akan provost itu bapak yang sedang memeluk anaknya. Aku pun memberanikan diri melingkarkan tanganku di pinggang provost itu. Benar-benar pinggang yang ramping namun berisi. Kontolnya sedikit di atas kontolku dan menekan keras tubuhku. "Aku tahu kamu gay sejak di kereta itu," bisiknya. "Puaskan aku." "Tapi aku tak mau menusuk dan ditusuk," bisikku balik sambil meremas kontolnya agak keras hingga provost itu mengerang pelan. "Tak apa, kocok atau hisap kontolku," pintanya. "Lalu kedua temanmu?" "Lakukan yang sama sepertiku." Dengan sedikit anggukan provost itu menyuruh kedua rekannya merapat, dan mereka berdua ikut memelukku. Aku seakan dipeluk tiga raksasa sehingga agak kepanasan dan kesulitan bernafas, namun untuk sejenak kunikmati diriku dipeluk sambil tanganku leluasa menjelajahi kontol dua provost sekaligus. Kuhirup aroma lelaki provost itu, rupanya ia menggunakan parfum maskulin. Dua provost lainnya masih menikmati permainan tanganku pada kontol mereka. Setelah aku memberikan sinyal untuk menghentikan pelukan itu dengan meremas kuat kontol kedua provost itu, permainan sebenarnya pun dimulai.

Aku duduk di sofa di ujung kamar sementara ketiga provost itu berdiri tegap di depanku. Santoso masih tidur dengan nyenyak, sepertinya ia memang kecapaian. Karena ketiga provost itu tidak ingin saling melayani, aku berusaha melayani mereka bertiga. Provost pertama bernama Jacky, kulayani terlebih dahulu. Kudekatkan mukaku dengan kontolnya yang sudah tercetak dengan sangat jelas di celana dinasnya saking ketatnya. Kubenamkan wajahku di kontolnya untuk menghirup aroma kejantanannya. Setelah puas, kusundul-sundul bola-bola kontolnya dengan hidungku dan kugigit-gigit ringan batang kontolnya, membuat Jacky mengerang pelan. Gemas dengan erangannya, kukepalkan tanganku dan kutinju pelan kontolnya. Ia berpura-pura kesakitan sambil memegangi kontolnya dan mengerang kembali. Kedua rekannya hanya tertawa melihat Jacky; sekilas kulihat kontol mereka masih tegang walaupun tidak kumainkan lagi. Kupegang tangan kekar Jacky untuk membuka pertahanan kontolnya, kemudian kupecundangi lagi provost itu dengan membuka resleting celananya. Kurogoh ke dalam, agak terkejut ketika aku langsung mendapati barang pusakanya yang hangat dan berdenyut itu. Kukeluarkan batang kontol Jacky, kemudian kubiarkan kedua rekannya mengagumi batang kejantanan itu; kuberi bonus remasan-remasan lembut pada kontol mereka berdua. Kontol Jacky sudah disunat ketat, berurat di sepanjang batangnya; saat itu kontolnya berdenyut-denyut. Kupegang kepala kontolnya dan kuelus sepanjang pinggiran kepalanya dalam gerakan memutar. Gerakan itu rupanya menimbulkan sensasi geli namun nikmat yang luar biasa; Jacky melenguh seperti lembu hendak disembelih dan kelojotan tak karuan. Precum mulai meleleh dari ujung lubang kencingnya, langsung kujilati. Agak getir dan asin, namun aku suka. Kukeluarkan buah zakarnya dan kuremas-remas beberapa saat untuk merangsang kontolnya mengeluarkan precum lagi. Setelah puas, kujilati seluruh jengkal batang kontolnya dari ujung hingga ke pangkal. Kuciumi dan kujilati pangkal kontolnya sementara kukocok-kocok kepalanya, membuat Jacky belingsatan tak karuan. Walaupun begitu, tak ada tanda-tanda ia akan orgasme. Kurasa stamina provost ini masih sangat prima. Kupandangi wajah Jacky dan ia balas memandangku. Kuberikan senyumanku, kemudian kujilati kontol itu seperti es krim. Tak terlalu lama aku melakukannya, karena aku sendiri sudah tak tahan ingin merasakan tongkat kejantanan provost itu di dalam mulutku. Maka kucaplok kontolnya dan kumasukkan perlahan-lahan. Kontol Jacky lumayan panjang walaupun tidak terlalu besar, kutaksir panjangnya sekitar 18cm dan tebalnya 3-4cm. Hingga pangkalnya masuk, aku bisa merasakan ujung kontolnya menyentuh dinding tenggorokanku. Jacky dengan nakalnya menggerak-gerakkan kontolnya, memukul-mukul dinding tenggorokanku dan membuatku mual. Ia mendorong kepalaku hingga aku terbenam dalam selangkangannya, namun masih terhalang celananya. Kubuka kaitan celananya agar aku lebih leluasa menikmati selangkangannya. Entah kenapa provost itu tidak mengenakan sabuk, padahal aku ingin sekali melucuti sabuk itu seperti tadi aku melucuti Santoso. Kuturunkan celananya sampai sebatas paha, lalu Jacky kembali membenamkan kepalaku pada selangkangannya sambil menggerak-gerakkan kontolnya. Awalnya aku tersedak dan mual, namun bau jantan selangkangan Jacky membantu melawan rasa mual itu. Jacky mulai memompa kontolnya di mulutku; kuletakkan lidahku di bawah kontolnya dan kusempitkan mulutku untuk melipatgandakan kenikmatannya, dan benar saja, Jacky mengerang habis-habisan dibuatnya. Aku memeluk pantatnya yang montok berisi itu selagi ia mengentot mulutku. Sesekali cairan precum meleleh dari kontolnya, memberikan rasa asin getir yang kusuka itu.

Sepuluh menit kemudian, mulutku mulai lelah mengenyot kontol Jacky. Satu provost rekannya sudah muncrat terlebih dahulu, walaupun hanya kuremas-remas dari luar tanpa menanggalkan sehelai benang pun dari tubuhnya sehingga noda sperma pun menghiasi celananya, membuatku semakin terangsang. Satu rekannya lagi malah melemas kontolnya, membuatku penasaran sebenarnya, namun masih ada Jacky si provost pejantan tangguh. Aku memutar akal agar Jacky bisa cepat muncrat. Saat ia menarik kontolnya, aku sengaja menarik kepalaku agak jauh sehingga kontolnya keluar dari mulutku. "Ups...," bisikku. Kulahap lagi kontolnya, namun kali ini perlahan-lahan, dan kusisakan separuh batangnya. Kugunakan teknik terakhirku yang membuat Santoso muncrat tadi; kalau ini tidak berhasil, entah apa yang bisa membuat provost yang satu ini takluk. Kuhisap-hisap sambil kukocok kepala kontolnya dengan mulutku, sementara kukocok bergantian pangkal batang kontolnya dan bola-bolanya. Benar saja, Jacky mengerang cukup dalam, nafasnya semakin memburu. Kulakukan gerakan itu sepuluh kali, dan di tiap gerakan aku bisa merasakan kontol provost itu semakin membesar. "Aaaahhh akuu mauu keluaaarrr...," desah Jacky. Akhirnya! Kukenyot kepala kontolnya kuat-kuat sambil kuremas bola-bolanya. Jacky mendesah panjang, tubuhnya bergetar hebat. Kulihat bola-bolanya mulai melesak ke dalam, bersiap untuk menembakkan muatannya. Benar saja, ketika kuremas sekali lagi, aku bisa merasakan kepala kontolnya berdenyut dan membesar, kemudian cairan hangat yang agak cair meleleh di ludahku, diikuti semburan cairan kental yang lebih hangat lagi. Kali ini rasanya manis dan gurih. Kutelan secepat yang aku bisa karena tembakan provost itu cukup cepat dan banyak, bahkan rasanya ada yang meleleh di sisi mulutku. Sekitar setengah menit kemudian tembakannya melemah dan akhirnya berhenti sama sekali. Sisa spermanya tidak kutelan. Kukeluarkan kontolnya, kemudian aku bangkit berdiri dan memegang dan mengelus perlahan kontolnya. Jacky bergetar pelan, tubuhnya masih terpengaruh orgasme yang begitu hebat. Kucium provost itu, dan ia membalas ciumanku, bahkan ia mau menjilati spermanya sendiri yang masih ada di mulutku. Setelah spermanya di mulutku habis, aku pun kembali menjilati sisa-sisa sperma dari kontolnya hingga bersih. Keluar dari mulutku, kontol itu agak tegang lagi, namun aku masukkan ke dalam sarangnya. Kurapikan provost itu, dan kucium lagi sambil tetap kurangsang kontolnya. "Enak?"
"Enak banget, makasih banyak ya. Sayang kau bukan dari sini, coba kita bisa jadian." Wah, aku sih sudah jadian dengan Santoso, pikirku dalam hati.

Ah, tapi sekarang aku harus beralih ke rekannya. Provost kedua, yang muncrat dalam celana, bernama Sutandyo, tahu aku kelelahan menghisap kontol Jacky, maka ia hanya memintaku mengocok kontolnya sekali lagi. Kali ini kupegang betulan kontolnya tanpa halangan kain celananya. Kusuruh provost itu duduk di pangkuanku, kemudian kurogoh masuk tanganku. Agak sempit sebenarnya, namun masih cukup lah untuk memainkan kontolnya. Dengan sisa-sisa sperma yang masih melekat di celananya, kukocok kontolnya. Tak butuh waktu terlalu lama supaya ia muncrat untuk kedua kalinya. Tanganku jadi agak belepotan dibuatnya, namun kubiarkan tanganku tetap di celananya hingga kontolnya melemas. Rupanya provost ini terbiasa main cepat, pikirku.

Nah, tinggal si provost terakhir, Hari namanya. "Lemes nih Bang?" ujarku saat memainkan kontolnya. "Iya nih, susah nahan biar bisa ngaceng...," akunya. "Biasanya diapain dong Bang biar bisa muncrat?" "Kalau saya yang ngocok sendiri bisa, tapi kalau dikocokkan orang lain jarang banget bisa muncrat. Susah tegang." "Tenang aja Bang, ini temennya dikocok malah dua kali keluar..." "Dia mah kontol kuda, sekali dua kali kurang!" "Hmmmm, kalau gitu, saya butuh bantuan." Jacky yang horny kembali langsung mengerti maksudnya. Ia mencium rekannya itu sementara aku memeluk Hari dari belakang dan memerah kontolnya. "Lha tegang gini lho Bang," bisikku. Hari tidak menjawab, ia sibuk berpagutan dengan Jacky. Tangannya mulai meraba-raba liar tubuh Jacky yang gempal itu, sementara aku sibuk menelanjangi Hari. Kontolnya perlahan tegang dan langsung kukocok-kocok. Jacky membantu dengan memainkan dada Hari. Hari sendiri kini sibuk memainkan kontol Jacky. Kukira aku akan membutuhkan waktu lama untuk memuaskan Hari karena ceritanya tadi, apalagi kurasakan kontolnya belum terlalu tegang. Namun... Tanpa kuduga, Hari bergetar hebat dan muncratlah spermanya. Refleks aku menarik tanganku karena tidak siap, namun detik berikutnya aku langsung menadahi sperma Hari, kalau tidak tentu saja akan belepotan ke mana-mana. Sepertinya otak Hari sudah mengatakan cukup untuk ejakulasi, namun kontol Hari tidak merespon dengan ketegangan yang tepat. Entah apa yang harus kuceritakan pada Santoso kalau ia sampai menemukan bekas sperma di karpet, padahal semalaman kami bercinta di atas ranjang... Kulirik dirinya, dan ajaibnya ia tidak terbangun sama sekali, walaupun dengan riuhnya erangan ketiga provost itu.

Setelah membersihkan dan merapikan diri, ketiga provost itu pamit. Jacky meminta nomor teleponku agar ia bisa menghubungiku selama aku di Jakarta dan ia ingin merasakan sensasi semalam tadi. Kuberikan nomor kartu perdana yang baru kubeli tadi; aku memang terbiasa membeli nomor sekali pakai untuk menjaga privasiku. Sisa malam itu kuhabiskan dengan tidur sambil memeluk Santoso polisiku kekasihku.
Demikianlah, sisa hariku di Jakarta dihabiskan bersama Santoso si polisi. Siang hari aku bekerja, malam hari aku memadu kasih dengannya. Jacky si provost sempat menelepon di hari terakhirku di Jakarta, namun kutolak dengan halus karena jadwal kereta pagi sekali dan aku tidak ingin terlambat. Untunglah ia bisa mengerti. Keesokan harinya, aku dan Santoso kembali ke Surabaya menggunakan kereta. Karena saat itu siang hari, jelas tidak mungkin kami bermesraan seperti saat berangkat. Namun memang terjadi sesuatu di kereta Jakarta-Surabaya itu. Apa itu?

Itu kisah untuk lain kali. Untuk sekarang, biarlah kami merajut kisah kasih di kota tercinta ini.

Santoso I love you...

Jumat, 29 Juli 2011

Paman temanku tentara yang gay

Kisah ini terjadi sewaktu aku masih kelas sebelas. Aku bersabahat karib dengan, sebut saja Prasojo. Aku sendiri orangnya pendiam dan Prasojo luar biasa cerewetnya untuk ukuran laki-laki (tapi dia tidak sissy). Entah kenapa aku bisa cocok dengannya. Prasojo murah senyum, suka bercanda, dan pengetahuannya luas. Aku suka mendengarkan ceritanya tentang apa saja, bahkan sampai ke urusan cintanya. Yah, sayangnya ia sepertinya tidak tertarik denganku untuk urusan percintaan, karena ia berpacaran dengan cewek dari kelas sepuluh. Orangnya memang tampan. Aku sendiri berkaca mata, kurus, tidak suka olah raga, well, kau bisa bayangkan aku mirip Nobita. Tidak menarik kan? Sudah gitu, aku gay pula. Lengkap sudah penderitaanku, karena jarang sekali yang mau berpacaran denganku.

Sampai pamannya Prasojo datang.

Prasojo tidak pernah cerita tentang pamannya sampai suatu hari saat pulang sekolah ia menyuruhku untuk jangan pulang dulu. Lho kenapa? "Mulai hari ini aku dijemput pamanku. Kau ikut saja! Toh rumah kita sejalan kan?" Biasanya memang aku dan Pras (panggilanku padanya) pulang naik angkot bersama, maklum kami agak kurang beruntung untuk bisa punya motor sendiri.
"Pamanmu yang mana Pras?"
"Oh aku belum pernah cerita. Dia tentara, biasanya tugas di X, tapi sekarang lagi tugas di sini. Ya kebetulan sih! Kebetulan lagi dia punya mobil sendiri pula."
"Waaaa enak tuh, berangkat sama pulang bisa nunut pamanmu!"
"Ya gak selalu sih, kalau pas dia lagi nggak dinas aja. Tapi kalau pagi bisa sih dia antar kita berdua."
"Kita?"
"Iya, kau ikut saja denganku!"
"Sungkan ah sama pamanmu!"
"Eh ngapain sungkan juga, kita kan sahabat! Pamanku nggak nggigit kok! Tuh orangnya datang!"
Aku terkesima ketika melihat paman Pras berjalan mendekati kami. Orangnya masih muda, kira-kira umur tiga puluhan. Jalannya tegap sekali, yah maklum sih tentara... Saat itu ia mengenakan kaos hijau lumut yang agak ketat, aku bisa melihat kedua puting susunya tercetak jelas. Celananya hijau loreng khas angkatan darat. Aku berusaha melihat tonjolan selangkangannya, rasanya agak besar, tapi tersamar celana lorengnya. "Halo Pras," sapa pamannya. "Ini pasti temanmu ya?"
"Saya Sebastian Om," ujarku sambil menjabat tangannya. Jabatan tangannya mantap sekali. "Panggil Tri saja. Jangan Om ah, ketuaan!" Rupanya si om masih berjiwa muda nih. Apa termasuk bagian bawahnya yah... "Oi bro, kok ngelamun aja!" sergah Pras, lalu ia menusuk kontolku dengan cepatnya menggunakan jarinya. Walaupun straight, ia masih sering menggoda kontolku, dan ia tidak pernah merasa jijik memegangnya, bahkan ia pernah mengocok kontolku sampai muncrat. Aku jadi tak perlu sungkan lagi padanya kalau kepergok sedang ngaceng, dan saat itu aku memang agak ngaceng gara-gara mengamati bodi Tri yang aduhai. "Walah lagi ngaceng dia Paman!" seloroh Pras sambil meremas dan menunjukkan batang kontolku dari balik celana seragamku yang sudah agak keras. "Hahaha, jiwa muda memang ya! Bagus lah kalau masih bisa ngaceng! Pria sejati harus bisa ngaceng!" ujar Tri sambil menepuk-nepuk bahuku. Kemudian sambil berbisik tanpa canggung ia meremas-remas kontolku, "Mau kumainin?" Eh? "Walah Paman ini, malah ditambahin horninya...," ujar Pras. "Ntar dilihat orang lain malu lho."
"Ah kan udah sepi ni sekolahmu... Toilet di mana? Bro anterin dong! Pras kau tunggu di sini bentar ya!"
"Aih Paman ya lagi pingin toh? Dasar..."
"Udah kebelet dari tadi nih...," ujar Tri sambil memegangi kontolnya seakan kebelet pipis. "Kau ga mau ikut kah?" ajak Tri sambil memegang kontol Pras. "Daripada kau sendirian di sini! Ikut seru-seruan!"
"Ga seru Paman kalau ketahuan!"
"Tapi benernya kau ya mau kan? Ngaceng juga gini!"
"Ah Paman..." Sepertinya ia malu karena ketahuan ngaceng di depanku. Aku sendiri jarang sekali menyentuh kontol Pras, walaupun beberapa kali aku melihat tonjolannya itu membesar. "Dah ayo, tunjukkan toiletnya!"

Tak kusangka Pras mengantarkan aku dan pamannya menuju toilet di lantai dua (sengaja tidak di lantai satu karena masih ada yang ekskul dan ruang guru ada di lantai satu). Sesuai harapan tidak ada orang di situ. Pras masuk dulu ke salah satu ruangan WC diikuti aku dan Tri. Setelah mengunci pintu, "Berdiri dekat sini, hadap ke pintu," perintah Tri padaku dan Pras, berarti aku berdua membelakangi Tri. "Buka dikit kakinya." Tak lama aku merasakan tangan Tri menggerayangi kontolku dari bawah selangkanganku. Kulirik Pras, ia memejamkan mata dan menikmati permainan tangan Tri di kontolnya. Aku sendiri menikmati tangan Tri di kontolku, gila enak sekali. Bahkan Pras tak bisa memainkan kontolku seenak ini! Kontolku pun bangun dengan segera dan meronta ingin keluar. Tri masih saja memainkan tangannya. Tak lama kemudian aku mendengar bunyi resleting dibuka dan aku merasa udara dingin memasuki celanaku. Aku sempat menggigil karena, "Wah tak pakai celana dalam kau Bro?"
"Iya, nggak bebas rasanya kalau pakai celana dalam." Maka tangan Tri yang agak kasar itu pun langsung menyentuh kontolku. Agak geli karena ia meraba-raba kontolku untuk mengeluarkan batangnya, tapi ia langsung mendapatkannya. "Berbalik sini," perintah Tri. Begitu aku berbalik, ia langsung melahap batang kontolku dan mengisapnya. Aku belum pernah diisap sebelumnya, Pras paling banter hanya mengocoknya saja. Tanpa sadar aku mengerang agak keras. "Enak ya?" ujar Tri, aku hanya bisa mengangguk. Aku melihat Pras, ia hanya mengocok kontolnya, namun ia tidak malu-malu melakukannya. Tri terus intens mengisap kontolku, lidahnya yang kasar tak henti-hentinya menjilat tepian kepala kontolku yang sudah disunat itu. Geli betul. Kontolku terasa keras sekali. Belum puas aku menikmatinya, Tri menghentikan hisapannya dan bertanya, "Kau pernah nge-fuck?" Wah, itu sih hanya dalam mimpi dan dalam video yang kutonton. Mana ada yang mau di-fuck orang sejelek aku? "Belum pernah."
"Fuck me."

Tri pun berdiri dan membuka celana lorengnya itu, mengungkapkan kontolnya yang anehnya belum tegang sama sekali. Entah kenapa bulu jembutnya tipis sekali, mungkin habis dicukur. Ia menyuruhku membuka baju dan duduk di atas WC. Saat itu aku mendengar tipis suara erangan Pras, sepertinya ia mau keluar. Tri sejenak beralih padanya dan ganti mengocok kontol Pras. Anehnya Pras sama sekali tidak merasa jijik kontolnya dikocok pamannya, mungkin kapan-kapan aku harus mencobanya. Tak terlalu lama kemudian Pras pun muncrat, dan Tri menampung seluruh sperma Pras dengan tangannya. Kemudian ia berbalik padaku dan mengoleskan sperma Pras ke batang kontolku yang agak melemas namun dengan segera menegang kembali, apalagi diolesi sperma sahabat karibku. Sperma Pras terasa hangat dan kental, rupanya dijadikan pelumas oleh Tri. Kemudian ia berdiri dekat sekali denganku hingga kontolnya menempel di dadaku. Perlahan ia menduduki kontolku; sensasinya begitu asing namun menyenangkan. Lubang pantatnya begitu sempit; kukira tentara biasanya tidak pernah jadi bot. Tri terus memasukkan batang kontolku sampai masuk seluruhnya, kemudian ia diam menghimpun tenaga. Kumanfaatkan saat itu untuk memainkan kontolnya yang masih lemas itu. Ia mengubah arahnya sehingga kini ia memunggungi aku agar aku lebih leluasa mengocok kontolnya. Setelah kontolnya menegang, ia mulai "mengocok" kontolku dengan bergerak naik turun. Aku hanya melongo dengan gerakannya yang membutuhkan stamina itu karena ia tidak berpegangan pada apapun, hanya bertumpu pada kedua kakinya saja, namun itu bukan masalah bagi tentara seperti Tri. Gesekan kontolku dengan lubangnya yang sempit benar-benar membuatku nyaris lupa daratan. Aku jadi bernafsu ingin mengentotnya sendiri, dan ia sepertinya bisa membaca pikiranku. "Sambil berdiri yuk!"

Perlahan-lahan, agar kontolku tidak keluar dari pantatnya, ia membantuku berdiri. Pras keluar dari kamar itu dan membiarkanku berdua dengan Tri, namun ia tetap berjaga-jaga, siapa tahu ada orang masuk. Setelah posisinya nyaman (Tri sendiri sudah nungging), aku pun mencoba menggerakkan pinggulku maju mundur. Sensasi tadi pun kudapatkan kembali. Yes, akhirnya! Aku yang jelek ini bisa ngentot seseorang, tentara lagi! Aku dan Tri pun tanpa malu-malu mengerang keenakan. Entah apa reaksi Pras di luar sana, tapi kurasa ia diam-diam juga ingin merasakannya.

Sampai mendadak aku mendengar gedoran yang cukup keras di pintu kamar mandi. Awalnya kukira itu Pras yang memberi kode bahwa ada orang. Aku pun mempercepat entotanku, nanggung sekali kalau harus berhenti sekarang. Pras menggedor pintu sekali lagi, kali ini agak sering. Aku dan Tri pun diam, namun aku masih mengobok-obok pantat Tri. Gedoran ketiga datang tepat bersamaan dengan datangnya puncak kenikmatanku, aku muncrat di dalam pantat Tri. Terengah-engah, kubiarkan kontolku memompakan spermaku ke dalam pantat Tri. Setelah tak menyemprot lagi, kukeluarkan kontolku perlahan-lahan. Kami pun dengan segera mengenakan celana dan merapikan diri (entah apa celana Tri bakal basah nanti kalau spermaku keluar dari pantatnya), lalu aku keluar duluan.

Untuk langsung berhadapan dengan satpam sekolahku...

Kamis, 23 Juni 2011

Di kereta Surabaya-Jakarta (bagian 2)

Tak terasa subuh pun menjelang. Entah berapa kali tadi malam aku menyervis polisi itu di bawah selimut, tapi rasanya aku dan Santoso sama-sama tertidur. Aku terbangun karena kedinginan. Saat menggeliat untuk meregangkan otot, aku baru tersadar tanganku masih menggenggam kontol polisi itu, yang agak tegang, sepertinya karena dingin. Kukocok-kocok kontolnya selama beberapa saat sebelum kurapikan kembali celananya. Tangan kananku agak basah, sepertinya bekas spermanya tadi malam belum mengering. Setelah merapikan celanaku sendiri, aku beranjak ke toilet dan buang air kecil serta mencuci tangan. Kembali ke tempat duduk, kuamati polisi itu. Ia masih tertidur, sepertinya kecapekan. Wajahnya tampan juga. Kukecup keningnya, kemudian kulanjutkan tidurku. Masih sekitar empat-lima jam lagi sebelum kereta sampai di Jakarta.

Sekitar pukul tujuh aku terbangun. Santoso rupanya juga sudah bangun, masih saja menggoda kontolku walaupun ia tidak membuka celanaku. Aku mengerang malas sambil menggeliat. "Ntar aja lanjut lagi Mas, dah pagi nih... Ntar ada yang liat kan gawat." Aku mengatakan begitu karena biasanya selimut akan dikumpulkan lagi ke petugas kereta sekitar waktu itu. Dengan ogah-ogahan ia menarik tangannya. Kugoda dirinya dengan meremas cepat kontolnya, lalu kami berdua tertawa pelan.

Sisa perjalanan kami habiskan dengan berbincang. Tak terlalu banyak yang dibicarakan sebenarnya, jadi aku lebih banyak memandang keluar jendela. Gerbong kami agak lebih ramai dibandingkan tadi malam, dan di seberang ada seorang provost sendirian. Entah sejak kapan provost itu duduk di sana. Sekali-kali tak sengaja aku melihat provost itu melirik ke arahku atau Santoso, tapi lirikannya tajam sekali. "Mas, provost di sebelah kayanya sering melirik ke arah kita," bisikku pada Santoso. "Masa sih? Tenang aja, ada aku," jawabnya. "Paling dia heran kok aku pakai seragam dinas."
"Iya Mas kok ga pakai baju biasa aja tadi malam?"
"Nanggung, malas ganti baju. Bajuku di tas semua, malas bongkar-bongkar juga, hehehe..."
Tak terlalu lama kemudian kereta sampai juga di stasiun Gambir. Aku dan Santoso turun, diikuti provost itu. Dari sini seharusnya kami berpisah: aku ke arah Taman Anggrek untuk check in di hotel dan Santoso ke arah Grogol ke kosnya, namun karena aku hanya sendirian dan kamar hotel pastinya cukup untuk dua orang, maka Santoso kuajak menginap di hotel selama di Jakarta dan ia mau-mau saja. Semula aku ikut ke kosnya dulu karena ia hendak mengambil motornya dulu. Lumayan jadi tidak keluar ongkos transpor, pikirku. Provost tadi awalnya berjalan searah dengan kami sehingga sampai kukira ia membuntuti kami, namun rupanya ada provost lain yang menjemputnya. Kami pun naik ojek menuju kos Santoso di Grogol. Sesampainya di sana ia ganti baju biasa, kemudian aku diboncengnya menuju hotel di kawasan Taman Anggrek. Sepanjang perjalanan aku dengan cueknya memeluknya dan ia pun tak keberatan, toh tak ada yang mengenali kami. Hanya saja, di tengah perjalanan aku melihat dua orang provost berboncengan motor, salah satunya kurasa provost yang tadi. Ngapain ya mereka mengikuti kami, pikirku. Ah cuek aja, toh ga ngapa-ngapain yang salah...

Sesampainya di hotel, pas sekali waktunya check in. Setelah masuk kamar, aku beristirahat sebentar sebelum rapat pukul dua siang nanti. Agak malas sebenarnya, terutama setelah seorang polisi menjadi pacarku dan menemani hari-hariku di Jakarta, tapi demi tuntutan tugas... Saat itu sekitar pukul dua belas siang. Perutku berbunyi lagi, tapi aku belum mandi... "Mas, mandi bareng yuk!" ajakku. Santoso mau-mau saja diajak mandi bareng. Dengan guyuran air hangat, kami berdua saling menggosok punggung bergantian. Ia dengan nakalnya menggosok dadaku, terutama daerah sekitar puting, membuat kontolku yang tadinya lemas mulai bangun. "Jangan sekarang Mas, mau ngantor aku," bisikku. "Bentar aja," rayunya. "Kita kan udah resmi pacaran Mas. Aku dimasukin dong..." Aku agak tersentak mendengar permintaannya. Gagah-gagah gini ternyata bot toh. Kebetulan sekali! Aku sendiri versatile cenderung bot, dan sudah lama sekali ingin mencoba menjadi top. Apalagi menusuk polisi, itu impianku sejak lama. Akhirnya terwujud juga! Duh tambah malas saja rapat... "Nanti malam ya Mas," bujukku. Ia mulai mengocok-ngocok kontolku yang semakin mengeras karena aku sedang membayangkan malamku nanti. Aku menghentikan kocokannya dan menciumnya sambil menggoda bola-bolanya. Bola-bolanya lebih besar dari punyaku, mungkin itu yang membuatnya sering terangsang karena hormonnya banyak. Ia mengerang tertahan. Kumainkan sebentar kulupnya, kemudian kulepaskan ciuman dan pelukanku. Ia seakan kecewa, namun kubujuk perlahan dengan ciuman-ciuman pendek. Kuselesaikan mandiku cepat-cepat sebelum polisi itu mulai merangsangku lagi. Aku segera mengenakan baju resmi sementara Santoso hanya mengenakan kaos santai. "Katanya ke mabes Mas?" tanyaku keheranan. "Besok aja, capek nih..."
"Nah gitu tadi ngajak main," selorohku. "Dah istirahat aja Mas, ntar malam kita main lagi deh!"

Sisa hari itu kulalu dengan membosankan. Rapat di kantor berlangsung cukup lama dan aku hanya mencatat yang kuanggap perlu kucatat. Baru besok aku akan bekerja sehari penuh di sana. Sepulang dari kantor, diantar Santoso kami makan malam, kemudian pulang ke hotel. Sepanjang jalan kontolku sudah mengeras dan menempel ke pantat Santoso. Tiap ada kesempatan aku meremas kontolnya. Tanpa sadar ada yang mengikuti kami; aku tidak sadar karena padatnya lalu lintas Jakarta. Akhirnya kami sampai hotel. Di lift yang sepi kami sempat berciuman. Di lorong kami berjalan biasa karena Santoso mengenali kamera CCTV terpasang setiap sepuluh meter. Barulah ketika masuk kamar Santoso mulai bergerilya lagi. "Sabar Mas, pakai seragamnya dulu dong! Yang komplit ya!" Ia pun menuruti perintahku dan mengenakan seragam dinasnya dengan lengkap. Aku langsung terangsang melihat polisi itu; kutuntun ia ke ranjang dan langsung kutindih badanku sambil kucium. Kami berdua seakan sama-sama terbakar nafsu malam itu sehingga permainan kami jadi agak liar. Nafasku terengah-engah meladeni ciuman Santoso; kubalas dengan menggosok-gosokkan kontolku ke kontolnya. Kami berdua masih berpakaian lengkap, namun justru itu yang membuat malam ini terasa berbeda. Ini impianku sejak lama: bercinta dengan polisi dalam pakaian lengkap. Sebentar lagi satu lagi impianku juga akan terwujud: menyodomi polisi.

Kumulai impianku dengan mulai melucuti celananya sambil tak lupa tetap memainkan kontolnya. Saat baru resleting celananya yang terbuka, aku tergoda untuk memainkan kulupnya, maka sekali lagi kugunakan teknik remasanku untuk mengatur arah batang kontolnya. Setelah beberapa remasan akhirnya kontolnya menyembul keluar juga. Kutarik-tarik kulupnya untuk memunculkan kepala kontolnya yang merah muda itu. Kujilat-jilat sebentar "helm" polisi itu, membuatnya gelinjatan di atas ranjang. Puas memainkannya, kulucuti sabuknya dan kuturunkan celana dinasnya serta celana dalamnya sampai sebatas lutut. "Siap Mas?" tanyaku nakal. Ia menjawabnya dengan membuka kedua kakinya selebar mungkin, walaupun terhalang celananya. Kuambil pelumas dari tasku dan kuoleskan pada kontolku. Kulihat pantat polisi itu, sepertinya ia belum pernah ditusuk sebelumnya. "Masih perawan nih Mas?" tanyaku. Ia hanya mengangguk. "Yakin nih mau dimasukin?" "Ayo Mas masukin aja, aku siap demi dirimu..." Kuoleskan pelumas pada jari-jariku, kemudian kupanaskan lubangnya. Kumasukkan dulu satu jariku. "Gimana Mas?" "Bisa, ayo masukin aja kontolmu langsung." "Sabar Mas..." Kumainkan jari telunjukku di dalam dengan gerakan memutar untuk melemaskan otot-otot anusnya. Sesekali kusentuh prostatnya, dan ia mengerang serta mengacungkan kontolnya saat itu. Kumasukkan jari kedua dan ketiga sekaligus dan lubangnya merespons dengan memperbesar diri. Kurasa ia sudah siap, maka kusuruh polisi itu mengocok sebentar kontolku yang agak lemas karena tidak disentuh. Setelah tegang kembali, kumain-mainkan kontolku di lubang masuk pantatnya, membuatnya makin gelisah. "Ayo Mas masukin, udah ga sabar nii..." Aku hanya tersenyum dan tetap memainkan kontolku, sebelum dengan tiba-tiba kudorong masuk kontolku. Ia langsung mengerang kesakitan. Aku tak peduli, kudorong terus kontolku sampai masuk seluruhnya. Kupandangi polisi itu, ia terengah-engah dan sedikit berkeringat. "Sakit Mas?" tanyaku lembut. "Dikit, ayo goyangin aja biar enak lagi." Kukocok kontolnya yang layu sambil kugerak-gerakkan kontolku perlahan di dalam pantatnya. Awalnya erangannya masih menunjukkan kalau ia kesakitan, namun tak terlalu lama ia mulai menikmatinya. Kutusukkan kontolku sedalam-dalamnya hingga menyentuh prostatnya dan membuatnya mengerang dalam. Suara beradu tubuhku dengan pantatnya mulai terdengar saat kupercepat genjotanku. Tak lupa aku meracau nikmat. "Oooohhh pantatmu sempit banget Massshhh, enakkkhhh... Pantat polisi emang enakkkkhhh..." "Iya Maasss entotan Mas mantaappp... Aaahhh... Terus genjot Maaasss... Mainin kontolnya Maasss..." "Suka kontolku Mas? Kuberi kontolku di pantatmu... Uoookkkhhh... Yeeessssshhh... Mmmhhh..." Kuputuskan untuk berganti gaya; dengan kontolku masih menancap pada lubang polisi itu yang tak lagi perawan, kubimbing dirinya untuk nungging dan kulanjutkan genjotanku. Kali ini kuservis kontolnya dengan mengocok-ngocok kepala kontolnya. Kugoyangkan pinggulku memutar untuk memberikan sensasi baru. "Aaahhh Maaaasss aku mau keluaaarrr...," desaunya. "Jangan dulu Mas, tungguin dikit lagi..." Kuremas kuat-kuat kontolnya, katanya itu mampu mencegah seseorang ejakulasi. Kugenjot polisi itu semakin cepat; eranganku susul-menyusul dengan erangannya. "Kutembak di dalam ya Mas...," bisikku. Ia mengangguk, maka aku langsung menggenjotnya kembali. Aliran kenikmatan menerpaku kembali, dan kali ini aku tidak tahan lagi. "Ooooohhhhhh..." Croooottt... Tembakan pertamaku menyembur dinding anus polisi itu, rupanya sedikit memberikan tekanan pada prostatnya karena ia ikut mengerang panjang. Dengan segera kuremas kuat-kuat kepala kontolnya agar spermanya tidak jatuh begitu saja. Aku ingin menikmati spermanya. Aku masih menggenjot polisi itu sampai kontolku berhenti menembakkan spermanya. "Enak Mas?" "Enak banget ternyata, pantas aja bikin ketagihan... Aaaaahhh..." Kulepas remasanku dan kubiarkan polisi itu mengeluarkan spermanya, kutadahi dengan tanganku. Setelah tetesan terakhir, kuoleskan cairan kental itu ke kontolnya, membuatnya kelojotan. "Maaasss geliii..." Tanpa sengaja kontolku tercabut dari pantatnya, padahal aku masih ingin membiarkan kontolku di dalam. Ia membalikkan tubuhnya dan aku berbaring di sebelahnya, masih mengoleskan spermanya sendiri ke kontolnya. "Maaasss..." Aku tidak peduli, kuberanjak ke bagian bawah tubuhnya dan kujilati sperma yang menempel di kontolnya, membuatnya mengerang. "Masss capeekk ahhh, ooohhh... Aaahhh jangan di situ Maaassshhh... Ummmhhh... Oooohhh..." Kuhisap kontolnya. "Ooohhh Maasss, sumpah nggak kuat Maaasss, istirahat... Aaahhh... Istirahat dulu Maaasss..." Aku tidak memedulikannya, aku yakin polisi itu masih menyimpan sperma untukku, apalagi kontolnya tetap menegang. "Maaaasss... Mau keluaaarrrhhh... Aaarrrggghhh... Uoooohhhhh..." Akhirnya! Cairan kejantannya mulai meleleh di kepala kontolnya, langsung kulahap dan kutelan. "Mmmmhhh..." Tak terlalu banyak memang, tapi cukup lah untuk membuatku puas. Kukeluarkan kontolnya dari mulutku, kemudian aku berbaring di sampingnya sambil memegang kontolnya. Ia terengah-engah, maka kupeluk sambil sesekali kucium keningnya. Ternyata ia memang kelelahan. "Maaf Mas, kayanya aku kelewatan deh..." "Gapapa Mas, enak kok..." "Kalau gitu Mas istirahat aja sekarang... Besok aja dilanjutin lagi." Kami berciuman sekali lagi dan kubiarkan ia tertidur dalam pelukanku.

Aku sepertinya juga jatuh tertidur ketika bel tamu kamar tidurku berbunyi. Siapa malam-malam begini... Kulirik jam tanganku. Pukul satu pagi. Mana ada tamu jam segini, paling salah dengar... Bel itu berbunyi lagi. Duh sapa sih ngganggu aja pagi-pagi begini... Jangan-jangan anak iseng. Aku beranjak bangun, merapikan diri dan menyelimuti Santoso karena ia masih telanjang ke bawah, lalu melangkah malas menuju pintu. Kuintip... Tiga orang berseragam. Masa ada operasi, tidak mungkin di hotel berbintang lima seperti ini... Kubuka pintu dan hendak memberikan salam, "Selamat pagi..." Ketiga orang itu menyeruak masuk dan mendekapku. Aku hendak berteriak, namun seorang lagi langsung mendekap mulutku dengan kain. "Kami tidak akan macam-macam kalau kau menuruti perintah kami," aku mendengar salah seorang berbicara, anehnya tidak ada nada ancaman. Dalam keterkejutanku, aku mengamati penyergapku, dan semakin terkejut ketika mengenali seorang di antaranya.

Provost tadi pagi...

Kamis, 16 Juni 2011

Di kereta Surabaya-Jakarta (bagian 1)

Malam itu aku menuju stasiun Pasar Turi untuk naik kereta jurusan Surabaya-Jakarta. Aku ada tugas mengurus sesuatu di sana selama empat hari. Sebenarnya kantorku mengizinkan aku naik pesawat, namun aku menolaknya karena aku lebih suka naik kereta. Sesampainya di peron, aku pun menunggu di area bebas rokok dan melihat-lihat sekeliling. Tidak banyak penumpang yang terlihat. Sampai aku melihat sosok itu. Awalnya aku tidak terlalu memperhatikan, namun seiring dengan langkahnya menuju area bebas rokok mau tak mau aku pun memperhatikannya. Pria itu mengenakan jaket hitam, celana panjang coklat, dan sabuk putih yang segera kukenali sebagai sabuk polisi. Wajahnya tampan dan rapi sekali, tak ada satu helaipun kumis ataupun janggut--aku spontan mengelus kumisku yang agak jarang namun tak rapi karena belum kucukur. Badannya masih tegap berisi; kuamati perutnya belum membuncit. Kucuri pandang sedikit area bawah perutnya, cukup besar. Ideal nih, pikirku dalam hati. Apa ia bakal segerbong denganku ya... Tak dinyana ia duduk di sebelahku dan menyapa dengan ramah, "Malam Mas, ke Jakarta juga ya?"
"Malam juga Mas, iya ke Jakarta, ada urusan kerja."
"Sendiri aja Mas?"
"Iya nih nggak ada temannya. Kalau Mas sendiri?"
"Wah kebetulan saya juga mau ke Jakarta. Gerbong berapa Mas?"
"Gerbong lima."
"Lha saya juga gerbong lima, kursi berapa Mas?"
"5A. Jangan bilang Mas-nya 5B," ujarku sambil tertawa kecil, walaupun dalam hati aku sangat berharap demikian. "Kayanya memang kita ditakdirkan berdua Mas! Saya memang di 5B, hahahaha..."

Percakapan pun bergulir selagi menunggu kereta datang, karena ada sedikit delay. Polisi itu bernama Santoso, umurnya 28 tahun. Aku tidak menanyakan apa urusannya ke Jakarta, yang penting ia sejurusan denganku. Sekitar pukul 20.15 kereta pun datang, terlambat sekitar satu setengah jam dari jadwal seharusnya. Kami pun menuju gerbong nomor lima kursi 5A dan 5B. Aku memilih sisi jendela walaupun tidak ada yang bisa dilihat malam-malam begini. Setelah menaruh barang dan kereta berangkat, percakapan pun dilanjutkan. Santoso sangat ramah dan suka bercerita. Ia menceritakan padaku tentang pekerjaannya sebagai polisi, seakan-akan kami sudah kenal sejak lama. Banyak yang tidak suka karena ia selalu bertindak jujur. Justru kejujurannya itu membuatku kagum; ternyata masih ada juga orang yang teguh menempuh jalan yang lurus di tengah-tengah ketidakberesan negara ini. Yang tak kuduga adalah saat ia bercerita tentang kehidupan cintanya.

"Mas sudah punya pacar?" tanyanya duluan. "Belum Mas, belum ada yang cocok saja," jawabku diplomatis. Aku memang sedang menjomblo saat itu. "Mas sendiri? Ceweknya nggak diajak sekalian ke Jakarta, jalan-jalan?"
"Waduh kalau ketahuan bisa dihukum saya Mas," ia tertawa simpul, "lagian saya nggak punya cewek."
"Ah masa sih Mas, ganteng gagah gini kok nggak punya cewek?"
"Ya mungkin karena pekerjaan saya Mas, kadang mesti pindah kota dan nggak tahu kapan kan..."
"Ah kalau sudah cinta pasti bisa dikasih pengertian Mas," ujarku.
"Kalau benar-benar cinta Mas," desahnya. "Kenapa Mas? Kayanya trauma sama cewek?"
"Iya Mas, baru aja putus nih. Orientasinya duit pula, lha padahal gaji saya pas-pasan. Makan aja ngirit. Tapi dia ngambek kalau nggak diisiin pulsa."
"Wah susah Mas kalau orientasinya duit, mending cari yang lain aja."
"Iya, pikirnya saya banyak duit dari hasil tilang. Saya nggak pernah terima duit damai Mas. Mending hidup susah tapi nggak merasa bersalah karena uang haram." Sekali lagi aku merasa kagum padanya, tanpa sadar kupegang tangannya dan kutatap matanya. Ia balas menatap tanpa canggung sedikitpun. "Tangannya dingin amat Mas," ujarnya. "Iya lupa bawa jaket, lupa kalau kereta malam dinginnya minta ampun..."
"Pakai jaket saya aja," sahutnya lalu ia pun melepas resleting jaketnya. "Eh jangan Mas, ntar Masnya yang kedinginan." "Gapapa, saya pake pakaian dinas kok, lengannya kan panjang." Benar saja, begitu ia melepaskan jaketnya, aku bisa melihat seragam coklat kesukaanku itu. Sekarang aku bisa melihat dengan jelas badannya, dan aku tertegun. Dadanya cukup bidang... "Mas? Ini jaketnya," seruannya menyadarkanku. "Ah iya, makasih ya!" Aku segera mengenakan jaket itu; terasa begitu hangat. Sedikit tercium aroma tubuh polisi itu, harum dan begitu jantan, menggugah seleraku. "Lha dibagikan selimut tuh Mas!" ujarnya tiba-tiba. Benar saja, petugas kereta mulai membagikan selimut. Kulirik jam tanganku, ternyata sudah pukul setengah sepuluh malam. Setelah mengenakan selimut plus jaket polisi itu, badanku jadi benar-benar hangat. "Enak ya?" tanya Santoso. "Iya sudah hangat, berkat jaketnya Mas nih, hehehe..."
"Kalau pelukan pasti lebih hangat lagi ya," candanya.
"Ah memangnya Mas mau pelukan sama saya?" godaku sambil tertawa.
"Siapa takut," tantangnya memelankan suaranya. Seharusnya sudah mulai banyak yang mencoba tidur, dan kebetulan gerbong lima cukup sepi. Ia menaikkan tumpuan tangan yang membagi kursiku dan kursinya, kemudian dengan sengaja melebarkan selimutnya sehingga selimutnya bertumpuk dengan selimutku. Ia sedikit bergeser, kemudian ia memegang tanganku yang sudah tidak kedinginan itu. "Ada yang kedinginan nih Mas," bisiknya. "Nah to Mas-nya kedinginan," ujarku. "Pake jaketnya ya?"
"Nggak usah Mas, yang kedinginan sebelah sini kok." Ia menarik tanganku dan meletakkannya di atas tonjolan selangkangannya. Gerakan itu benar-benar tak kuduga, sehingga aku tertegun ketika ia menggerakkan tanganku mengelus-elus tonjolan itu. "Mumpung sepi Mas, dihangatin ya. Sudah lama nih nggak ada yang mainin," ujarnya tanpa basa-basi. Tanpa pikir panjang lagi aku mulai beraksi. Kuraba-raba tonjolan itu dan kuremas-remas. "Apa nih Mas?" godaku. "Kok gede amat? Pentungannya polisi ya?"
"Iya itu pentungannya polisi," jawabnya menggodaku. "Namanya kontol."
"Oooo ini kontolnya polisi ya," bisikku, kugunakan nada nakal saat mengatakan "kontol."
"Hu um, kamu suka ya Mas?" "Saya suka kontol, apalagi kontol polisi kaya punya Mas. Gede, kenyal, panjang, keras." Kuurut batang kontolnya yang kukira sudah menegang dari tadi. Ia membuat gerakan seolah-olah tertidur di bahuku dan membisikkan erangannya. Kuelus-elus lagi kontol polisi itu; perjalanan masih panjang namun aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Celananya yang halus dan ketat membuat seakan-akan aku menyentuh kontolnya langsung; walaupun tak bisa melihatnya, aku yakin selangkangannya sangat menonjol sekarang. Memikirkannya saja membuatku sangat terangsang, apalagi ketika polisi itu dengan nakalnya membuka resleting celanaku dan langsung mengocok kontolku. Aku mengerang tertahan; kubalas dengan menggenggam kontolnya sebisanya dan kutarik-tarik perlahan. Ia menjilat-jilat leherku dengan manja, kuberikan remasan pada kontolnya. "Kocokin dong," pintanya. "Ntar kalau muncrat gimana?"
"Kocokin di dalam aja."
"Lha celananya ketat gini, susah dong ngocoknya?"
"Ke WC yuk." Ia bangkit dan menuju WC, aku menyusul kemudian. Tidak ada satu orang pun yang masih terjaga sehingga aku dengan mudah menyusup ke dalam WC yang sudah terisi seorang polisi horny.

Begitu aku mengunci pintu, polisi itu langsung menciumku dengan penuh nafsu. Kuladeni ciumannya sambil berusaha melucuti pertahanan kontolnya. Kubuka resleting celana dinasnya yang sudah terasa sedikit basah, kemudian kucoba keluarkan batang kontolnya. Agak susah karena lubang celananya agak sempit, namun aku tidak kurang akal. Kuremas-remas dan kutarik-tarik kembali kontolnya, kali ini untuk mengarahkan batang kontolnya keluar. Setelah beberapa saat, dibantu kelojotan polisi itu yang mengira aku sedang menyervis kontolnya, akhirnya aku berhasil mengeluarkan tongkat kejantannya. Sambil tetap berciuman aku mengocok-ngocok dan memelintir perlahan batang kontol polisi itu. Dari tanganku kuperkirakan diameternya sekitar 5cm. Panjangnya belum bisa kuperkirakan karena aku masih memainkan kulupnya. Ya, ternyata polisi itu belum disunat. "Masih komplit ni Mas onderdilnya," godaku. "Iya Mas, saya nggak berani disunat."
"Wah polisi gagah begini kok nggak berani disunat, hehehe..."
"Iya Mas, kan habis disunat nggak boleh dimainin dulu. Saya orangnya nggak tahanan Mas, tiap hari pasti ngocok."
"Iya lah Mas lha wong pelinya gede-gede gitu..."
"Lagian kalau ntar ngaceng pas dipegang dokternya kan runyam Mas."
"Ya tinggal dimainin aja."
"Kocokin Mas..." Aku pun menggenggam kontol polisi itu dan mulai mengocoknya. Agak kagok sebenarnya karena aku belum pernah mengocok kontol yang belum disunat, tapi karena kulihat polisi itu menikmati kocokan awalku, aku pun memberanikan diri memperkencang kocokanku. "Pelan-pelan aja Maaaassss," pintanya manja. "Nggak pingin cepet keluaaarrr niii..."
"Lha nanti kalau ada orang gimana?"
"Biarkan aja Mas."
"Eh jangan lah Mas, apa kata orang nanti kalau melihat polisi berduaan di WC sama orang lain, cowok lagi. Gini aja deh, sekarang dikeluarin, ntar kalau balik ke tempat duduk Masnya kuservis lagi deh. Sampai subuh. Kuat nggak Mas?"
"Kuat laa, sapa dulu!"
"Siap ya."

Aku duduk di atas WC dan polisi itu berdiri dengan kontol mengacung tepat di mukaku. Awalnya aku melanjutkan kocokanku, namun di tengah-tengah dengan tiba-tiba kulahap batang kontolnya. Nyaris saja kubekap mulutnya; erangannya sangat keras seperti lembu hendak disembelih. "Jangan keras-keras Mas, ada orang gimana?" "Sssshhh isepiiinn Maasss..." Saat itu kereta sepertinya agak melambat sehingga tidak terlalu banyak goncangan, maka aku memegang pantat polisi itu dan menggerakkan pinggulnya maju mundur. Polisi itu sendiri memegang kepalaku, sesekali meremas rambutku. Baru saat itu kusadari kontolnya ternyata pendek, mungkin hanya 12cm panjangnya, sehingga aku tidak terlalu kesulitan melahap semuanya hingga pangkalnya. Kuhisap kuat-kuat kontolnya, dan...

"Maaaassss keluaaarrrhhh...," desahnya. Terlambat, aku sudah merasakan aliran spermanya mulai memenuhi mulutku. Kental, hangat, dan manis, kutelan spermanya selagi kontolnya memompakan persediaan spermanya keluar. Hanya saja, polisi itu tidak menembakkan spermanya, namun hanya meleleh keluar begitu saja. Aku pernah baca memang ada pria yang begitu. Hingga tetes terakhir kutelan semua, dan setelah tak ada lagi yang keluar aku pun menjilat-jilat ujung lubang kencingnya, membuat polisi itu kelojotan kegelian. Kubersihkan kepala kontolnya dan bagian kulupnya, kemudian kukeluarkan kontolnya dari mulutku. Kukembalikan kontolnya ke dalam celananya. "Mas nanti di Jakarta nginap sama aku mau ya? Belum puas nih ngisepnya, hehehe..."
"Boleh tuh, ntar kamu boleh ngisep kontolku sepuasnya."
"Sip deh!"
"Gantian sini kau kubikin kelojotan!"

Maka kami pun bertukar posisi. Polisi itu pun mengeluarkan kontolku dari celana jinsku. "Wah lebih panjang nih dari punyaku," pujinya. "Ah punya Mas lebih tebal," sanjungku. "Enak ngisepnya." Ia pun mengocok-ngocok kontolku sebentar, kemudian ia mulai menghisapnya. Benar saja, aku kelojotan dibuatnya. Hisapannya begitu maut, mengalahkan mantanku sebelumnya. Aku sampai tak tahan dan menembak polisi itu hanya dalam waktu singkat, mungkin hanya tiga menit. "Uooohhh gila Mas lihai bener," pujiku setelah aku memuntahkan seluruh laharku di mulut polisi itu dan merapikan diri. "Baru sekarang lho Mas aku keluarnya cepet!"
"Enak ya?"
"Woh gak enak lagi Mas. Super!!!"
"Hehehe sip lah. Kita suka isep-isepan ternyata. Jadian yuk!"
Aku tertegun mendengar perkataan Santoso; baru kali ini aku ditembak cowok. Sama polisi pula. "Aku mau Mas," jawabku, kemudian kupeluk dirinya dan terharu. Akhirnya kesampaian juga keinginanku berpacaran dengan polisi. Banyak yang bilang itu tidak enak, tapi aku tidak peduli. Kalau tahu caranya, apapun pasti bisa dinikmati. "Cium ya. Mulai sekarang kita pacaran." Kujawab dengan ciuman lembut; badanku serasa melayang ke awan. Entah berapa lama kami berciuman, sampai kusadari kereta berhenti. "Balik tempat duduk yuk Mas, kayanya lagi berhenti ni." Dengan berhati-hati kami keluar dari toilet, untungnya tidak ada yang melihat. Setelah duduk dan kereta berangkat, aku pun menepati janjiku menyervis kontol polisi itu semalam suntuk, walaupun hanya menggunakan tangan. Tanpa kami sadari ada yang memperhatikan gerak-gerik kami sedari tadi...

Senin, 09 Mei 2011

Satpam sekolahku (bagian 2)

Doni mengurut kontolku perlahan-lahan dan sensasi itu pun kembali menerpaku. Nikmat sekali rasanya. Beberapa kali satpam itu mengurut kontolku dan aku pun merasa ada sesuatu yang keluar dari kontolku, tapi aku tidak merasa sedang pipis. Mungkin ini ya yang namanya pelumas atau precum, pikirku. Nanti aja deh lihat punyanya Doni, dia keluarin itu juga ga. Mengetahui aku mengeluarkan precum agak banyak, Doni mengoleskannya pada kepala kontolku, membuatku menggeliat. "Geli ya," ujar Doni tersenyum melihatku. "Biar ga lecet nanti kontolnya waktu dikocok. Kalau kurang licin, pakai ludah bisa juga. Jangan pakai sabun, bisa perih nanti kalau kelamaan." Aku manggut-manggut mendengar penjelasannya. "Siap ya." Ia mulai menggenggam batang kontolku dan mengocoknya.

Awalnya terasa geli, namun berikutnya terpaan rasa nikmat menjalar di seluruh tubuhku, menegangkan otot-otot di sekitar selangkanganku, dan ada dorongan untuk... Mengerang. Untuk pertama kalinya aku mengerang karena rasa nikmat itu. Doni tampak lihai sekali dalam urusan mengocok kontol, dan sesekali ia juga mengocok kontolnya ketika mulai lemas. "Biar nanti kukocok kontolnya Mas," ujarku. Aku juga ingin mencoba mengocok kontol. Maka ia berhenti mengocok kontolnya dan tangannya yang bebas ia gunakan untuk meraba-raba tubuhku. "Jangan fokus di kontol aja, ada beberapa tempat di badanmu yang bisa bikin nikmat juga," jelasnya. "Misalnya di sini." Ia meraba dadaku dan puting susuku. Terasa geli, tapi anehnya rasa geli itu segera menjalar ke kontolku dan menambah rasa nikmat dari kocokan si satpam. Beberapa saat ia juga memainkan puting susuku sebelum ia berpindah sasaran. "Jangan lupa, kontol ini nggak cuma batang aja, tapi ada bola-bolanya. Bisa kaumainin supaya tambah enak." Benar saja, ketika ia merabai bola-bolaku, rasa geli bercampur nikmat menjalar lagi. "Enak?" "Enak banget Mas." "Nanti kalau mau keluar bilang ya." "Keluar apanya Mas?" "Maninya dong!" "Kapan tuh Mas?" "Ya ampun kau ini polos sekali, sering main kontol tapi ga pernah dikeluarin!" Ia tertawa kecil. "Nanti kau juga akan tahu sendiri kalau mau keluar. Dah dinikmati aja, ga usah banyak dipikir! Ni lemes lagi kan..."

Entah sudah berapa lama berlalu, mungkin sekitar sepuluh menit, mendadak aku merasa ada tekanan di sekitar selangkanganku, seperti ada cairan yang mendesak keluar. Perasaan tadi sudah pipis, jadi apa ya ini sebenarnya? Tapi aku malu bertanya ke Doni, katanya tadi dinikmati aja... Maka aku berusaha mengabaikan rasa itu, tapi semakin lama tekanannya semakin kuat. Kucoba menahannya dengan mengejan dan mengencangkan otot-otot selangkanganku. Doni tampaknya tahu gelagatku karena ia bertanya, "Mau keluar ya Bas?" "Kayanya si Mas, dah ga tahan ni..." "Keluarin di mulutku ya." Sebelum aku bisa mencerna apa maksudnya, satpam itu pun melahap kontolku dan menghisapnya. Hawa hangat menerpa kepala kontolku diikuti dengan sapuan sesuatu yang agak kasar, sepertinya lidahnya, memberikan sensasi baru bagiku. Sensasi yang begitu nikmat, membuat tekanan itu menjadi sangat kuat. "Maaaassss aku ga tahaaannnn... Aaaaahhhhhh....." Kulepaskan tekanan itu, dan kurasakan ada cairan yang mengalir dengan kencangnya di saluran kencing sepanjang kontolku, dan keluar begitu saja seperti disemprotkan. Setelah cairan itu keluar, aku merasa ada yang mengumpulkan tenaga kembali, lalu semprotan berikutnya pun terjadi, diikuti rasa lega yang luar biasa. Enam semprotan kuat dan tubuhku melemah. Capek sekali rasanya, tapi enak. Jauh lebih enak daripada saat aku terbangun dan menyadari celanaku basah. Jadi ini toh caranya supaya bisa keluar... Aku merasa kontolku mulai melemas, geli sedikit ketika Doni menjilati kepala kontolku. "Enak kan?" "Enak banget Mas." "Manimu juga enak, hangat dan manis. Mau lagi ya kapan-kapan?" "Iya Mas. Punya Mas sendiri ga dikeluarin?" "Keluarin dong Bas... Kocokin kaya tadi yah."

Maka kami pun bertukar posisi: aku sekarang duduk, satpam itu berdiri di depanku. Kontolnya agak lemas, tapi begitu kupegang kontol itu langsung hidup lagi dan mengeras. Precumnya mulai keluar, kuoles-oleskan ke kepala kontolnya. Doni tampak menikmati permainan itu. Kugenggam kontolnya dan mulai kukocok pelan-pelan, takut kalau sakit. Aku tak bersuara, hanya Doni yang mengerang pelan. "Basahin dikit Bas...," pintanya. Aku baru saja mau meludah ketika muncul ide iseng di kepalaku. Daripada begitu, mending dijilati saja! Langsung dari sumbernya! Lagipula kontol satpam itu menggiurkan sekali... Kutarik kontolnya dan Doni pun bereaksi dengan melangkah maju, sehingga kini kontolnya dekat sekali dengan wajahku. "Jangan ditarik dong Bas, ntar molor gimana dong?" candanya lalu tertawa. Tawanya langsung berganti desahan ketika kusapukan lidahku ke kepala kontolnya. "Ooooohhhh nakal kau Basssss... Terusiiinnn, enaaakkkhhh... Jilatin kontolkuuuu... Hhhhhh..." Aku terus menjilati kepala kontolnya hingga basah, lalu kulanjutkan sedikit di batangnya. Muncul lagi di benakku, kalau bola-bolanya dijilati juga, enak kali ya? Maka aku pun merogoh ke dalam celananya dan mengeluarkan bola-bola kontolnya, kemudian kujilati hingga basah. Tanganku yang menganggur meremas-remas kepala kontolnya dan mengocoknya perlahan. Doni gelinjatan dan mengerang tanpa henti. "Aaahhhh pintar banget kau Baassss... Teruuussss... Bikin aku keluar Baassss.... Mmmmhhhh ooohhhh..." Aku berhenti menjilati bola-bolanya dan kini fokus mengocok batang kontolnya. Kutatap satpam sekolahku itu dan tersenyum melihat raut wajahnya yang begitu menikmati permainanku. "Kocokanmuu enakkk Baaasss... Ooohhhh... Kencengin dikit Baasss... Aahhh yaa segitu, enakkkhhh... Oooohh aaaahh ooohhh aaahhh dikiittt lagiii Baaasss... Kencengiiinnn..." Kupercepat kocokanku, kuduga Doni mau keluar. Kusapukan pipiku pada pangkal kontolnya, lalu kujilat-jilat lagi daerah itu sambil terus kukocok kontolnya. "Uoooooohhhhh....." Satpam itu mengerang panjang, kemudian aku merasakan kedutan singkat yang sangat kuat pada kontolnya. Kujepit ujung lubang kencingnya, kemudian cepat-cepat kutarik wajahku; aku ingin melihat kontol satpam sekolahku beraksi. Kontolnya sudah berkedut hebat dua kali, dan pada kedutan ketiga kubuka tanganku. Croooooottttt... Aku terkesima ketika cairan putih kental menyembur dari kontol satpam itu, jauh sekali ke belakang. Tubuh Doni bergetar seiring dengan semburan berikutnya. Kupegang pangkal kontolnya untuk menikmati kedutan demi kedutan saat kontol itu menyemprotkan maninya. Semprotan kelima mulai melemah; kutadahkan tanganku untuk menampung maninya, dan setelah semprotan ketujuh kuoleskan maninya ke kontolnya. Doni mengerang dan sedikit menghentakkan kakinya. "Geli Bas..." Aku tak peduli dan terus mengocok kontolnya perlahan hingga tidak ada lagi mani yang keluar. "Enak ga Mas?" "Enak banget Bas, kau ahli bener. Sudah lama sekali Mas nggak dikocokin sehebat ini." Ia mengelus-elus kepalaku tanda terima kasih. "Kapan-kapan lagi ya Bas." Kujawab dengan remasan mantap pada kontolnya.

Setelah merapikan dan membersihkan diri di toilet, Doni dan aku kembali ke ruang tunggu dan bercanda kembali. Sesekali kuremas kontolnya dan ia kembali terangsang, sayangnya ayahku sudah datang menjemput. Hari-hari berikutnya, aku semakin akrab dengan Doni, bahkan ia juga mulai akrab dengan ayahku. Ia bahkan mulai sering jadi objek permainan kontol anak-anak kelas dua saat tidak ada guru yang melihat, namun ia hanya mau bermain hingga keluar denganku saja. Tiap kali ada kesempatan, terutama setelah ekstrakurikuler dan saat sekolah sepi, aku selalu memuaskan hasratnya. Sayang sekali waktu berlalu begitu cepat, dan akhirnya aku lulus juga. Aku sempat menangis saat hari terakhir bersekolah, namun Doni memelukku dan berjanji akan tetap berhubungan denganku saat aku SMA nanti. Benar saja, di SMA seminggu sekali aku main ke rumah kontrakannya, dan entah bagaimana caranya ia bisa pindah tugas ke SMA-ku sehingga kami bisa bermain seperti dulu. Bahkan, salah satu satpam SMA-ku ternyata juga gay, dan tak terlalu lama setelah itu aku pun rutin bermain bertiga dengan satpam-satpam sekolahku. Aku selalu memegang kendali atas satpam-satpam itu saat bermain, dan mereka selalu ketagihan. Mungkin lain kali bisa kuceritakan pengalamanku main bertiga dengan dua orang satpam. Yang jelas, itulah kisahku bermain dengan satpam sekolahku.

Kamis, 28 April 2011

Mendisiplinkan satpam nakal

Cerita ini adalah permintaan dari seseorang yang cukup jauh di sana di ibu kota, dan kebetulan juga sesekali jadi fantasi saya. Agak liar mungkin, dan kemungkinan tidak akurat karena saya sendiri belum pernah melakukannya :)

Malam itu membuatku cukup kesal. Hanya karena tas belanjaanku membuat alarm supermarket itu berbunyi, seorang satpam menggelandangku ke suatu ruangan dan menginterogasiku dengan cara yang sangat tidak menyenangkan. Entah berapa lama aku dibentak-bentak, sesekali ditampar, diperlakukan seperti pencuri, padahal aku membayar semua barang belanjaanku. Hanya ketika kasir swalayan itu tergopoh-gopoh masuk dan menyatakan dirinya yang lupa melepaskan alat pengaman dari barang belanjaanku, barulah satpam itu melunak, bahkan meminta maaf padaku setelah semua orang pergi.
Tentu saja aku tidak terima.

Kukunci ruangan itu dan balik kubentak-bentak satpam itu. Ia hanya tertunduk sambil terus meminta maaf. "Kau tak tahu kau bisa kulaporkan polisi atas perbuatan tidak menyenangkan??? Main bentak-bentak, tampar-tampar seenaknya!!! Masuk penjara nyaho kau!! Kau mau disodomi di sel, hah???!!" Sebenarnya aku hanya asal ceplos saja karena aku sendiri tidak pernah dipenjara. Satpam itu hanya tertunduk, tak bersuara. Kudekati dia dan kubentak, "Lihat sini kalau ada orang bicara!!!" Refleks kuremas kontolnya kuat-kuat; sering kulakukan itu pada pria yang berbuat salah dan tidak mengaku. Satpam itu mengerang kesakitan sambil memohon ampun. "Ampun Mas, saya ngaku salah, saya terlalu ceroboh... Ajaran dari atasan saya Mas untuk keras pada pencuri..."

"Aku bukan pencuri, geblek!" Kuremas lagi kontolnya dan kutarik ke atas, membuat satpam itu berjingkat dan mengerang menahan sakit. "Maaf Mas... Saya memang pantas dihukum..." Kulepaskan remasanku dan satpam itu pun membungkuk terengah-engah sambil memegangi kontolnya. Kecil juga kontolnya, pikirku, bahkan dibandingkan punyaku sendiri. Ia kok pasrah saja kuaniaya kontolnya... Jangan-jangan ia gay. Kuputuskan untuk menyiksanya sedikit lagi, toh ia juga tidak keberatan... "Kau tugas sampai jam berapa?" "Jam sepuluh Mas." "Habis tugas ke tempat saya! Saya masih belum selesai denganmu!"

Kepala keamanan swalayan itu juga meminta maaf padaku serta membentak bawahannya yang sudah berlaku kasar padaku, namun kukatakan pada kepala keamanan itu bahwa aku akan menganggap semuanya selesai asal satpam itu harus ke tempatku. Ia setuju dan langsung menyuruh satpam itu mengikutiku. Aku melarangnya mengganti baju. Setiba di tempatku, kusuruh ia masuk ke kamarku. "Saya mau diapakan Mas?" tanya satpam itu agak ketakutan setelah aku mengunci pintu. "Nggak saya sakiti kok," ujarku kalem. "Kayanya kau menikmatinya tadi, eh?" "Nggak Mas..." "Ah sudah jangan bohong, kontolmu bangun tadi waktu kuremas..." Satpam itu tertunduk malu. "Nggak usah malu," ujarku sambil mendekat dan memeluk satpam itu, lalu kuremas kontolnya kuat-kuat. Satpam itu mengerang, tapi erangannya tercampur antara kesakitan dan kenikmatan. "Tuh kan kau suka," ujarku. "Kau suka disiksa ya." "Iya Mas," jawabnya malu-malu. "Gak sayang kontolnya kah?" "Masih bisa ngaceng kok Mas, lagian saya ga kepingin punya anak kalau andainya biji saya rusak."

Dengan jawaban itu, kutusuk kontolnya dengan lututku. Tak menduga serangan itu, satpam itu mengerang kesakitan. Kupeluk satpam muda itu dan kuelus-elus punggungnya untuk meringankan rasa sakitnya. Aku sendiri sudah lama terobsesi untuk menyakiti kontol pria lain, dan aku bisa keluar hanya dengan menonton video ballbusting. Sambil menunggu kekuatannya pulih, aku mencari-cari borgol satpam itu, yang ternyata ada di saku belakang celananya. "Kalau terlalu sakit bilang ya," bisikku. Aku agak tidak tega juga karena satpam itu masih muda, tapi ia bersikeras tidak apa-apa. Satpam itu kusuruh berdiri dalam posisi istirahat di tempat, kemudian kuborgol tangannya. Kuambil tongkat baton yang dari tadi tergantung di samping tubuhnya. "Siap ya Mas," ujarku dan ia mengangguk, lalu berdiri setegap mungkin. Aku mengambil ancang-ancang, lalu kupukulkan tongkat itu ke kontolnya sekuat tenaga.

Satpam itu melompat kecil di tempat, mulutnya tertutup namun erangan tertahan tetap saja meluncur dari mulutnya. Tubuhnya sedikit membungkuk namun tak terlalu lama ia kembali berdiri tegap. Kupegang sebentar kontolnya; ternyata sudah tegang walaupun tak terlalu keras. Kasihan kalau sampai patah, pikirku, maka kuatur batang kontolnya sehingga kedua bijinya benar-benar tidak terhalang sekarang. Setelah siap, aku pun menghajar selangkangan satpam itu dengan tongkatnya selama lima menit.

Lima menit berselang, satpam itu sepertinya kelelahan menahan sakit. Bajunya basah kuyup oleh keringat. Kucek sebentar kontolnya; untunglah tidak ada luka yang berarti, selain kedua bijinya yang mulai memerah dan bengkak berdenyut-denyut. Aku merasa kasihan pada satpam itu. "Sudah ya, kasihan kau," ujarku. "Aku sebenarnya gak benar-benar marah kok. Aku cuma pingin menghajar kontolmu." "Iya ga pa pa Mas," sahut satpam itu lemah. "Sering kah kau diginikan?" "Ini pertama kalinya sih Mas, sakit tapi enak betul Mas, hampir keluar aku tadi." "Mau dikeluarin kah?" "Iya Mas, lanjutin aja, tanggung." "Tapi kalau gak tahan bilang ya. Aku tak mau kau mati di sini." Satpam itu mengangguk, lalu berdiri tegap kembali. "Berlutut aja," perintahku. Aku tahu apa yang ingin kulakukan.

Satpam itu pun berlutut dan membuka kakinya lebar-lebar. Aku berdiri di depannya, mengambil ancang-ancang, dan menendang selangkangannya sekuat tenaga. Suara gemeretak seperti telur pecah pun terdengar, satpam itu jatuh telentang dan mengerang lebih keras, dan jantungku serasa mau copot. Apa aku terlalu keras menendangnya? Tergopoh-gopoh aku mengecek keadaannya. Wajahnya pucat dan basah oleh peluh; ia masih meringis menahan sakit. Kubuka celananya dan melihat noda lebar di situ, rupanya ia ejakulasi. Namun ada sedikit noda merah di celana dalamnya, kuduga darah. "Maafkan aku Mas, sampai luka begini...," ujarku cemas. "Mas ga pa pa kan?" Satpam itu menggeleng tak bersuara. Kupapah ia ke ranjangku lalu kubuka seluruh pakaiannya. Benar-benar basah oleh keringat. Kuambil handuk dan kubersihkan tubuhnya. Kubersihkan pula sisa-sisa sperma bercampur darah dari kontolnya. Kuberi minum dan kuselimuti satpam itu. "Kau tidur saja dulu supaya sakitnya reda," kataku dan ia mengangguk. Aku pun masuk ke selimut yang sama di sebelah satpam itu dan memeluknya untuk memberi kehangatan. Kubiarkan ia memainkan kontolku sebelum akhirnya ia jatuh tertidur. Aku sendiri tertidur beberapa saat kemudian.
Pagi harinya, kutelepon kepala keamanan swalayan itu untuk memintakan izin tidak masuk karena sakit untuk satpam itu, dan untungnya kepala keamanan itu maklum. Satpam itu memang sakit; badannya meriang, mungkin akibat luka dalam di biji kontolnya. Aku jadi makin merasa bersalah walaupun satpam itu tidak menyalahkanku. Kurawat satpam itu selama beberapa hari (aku sendiri juga izin sakit ke kantorku) hingga satpam itu sembuh. Selama itu pula, anehnya ia tidak kekurangan tenaga untuk menyervis kontolku. Sebelum kembali masuk, kutes kesehatan kontol satpam itu dengan mengocoknya, dan untunglah tidak ada lagi bercak merah di spermanya. Kedua bijinya pun tidak lagi bengkak.

Berkat kejadian itu, satpam itu akrab denganku. Seminggu sekali ia datang ke tempatku untuk disiksa, dan aku pun menahan diri untuk tidak melukainya. Seringkali ia meminta peran sebagai satpam yang nakal dan perlu didisiplinkan. Dan itulah caraku mendisiplinkan satpam nakal. Cara lain? Itu untuk kisah lain kali.

Rabu, 27 April 2011

Kegagahan seorang polisi (bagian 2)

"Aku pasrah Mas, mau diapain aja," bisik Bernard pelan. Suaranya yang berat menandakan ia mulai terangsang berat. Kuelus-elus sebentar kontolnya, lalu kupeluk polantas itu. Badannya yang besar sangat nyaman dipeluk, bau wangi masih tercium. Kuelus-elus punggungnya, turun ke pantat dan kuremas-remas. Bernard merespon dengan menggoyangkan pinggulnya, menggesek-gesekkan kontolnya ke perutku. "Sabar Mas," bisikku, kemudian aku melepaskan pelukanku sambil menepuk pantatnya. Kupandangi kembali dadanya yang bidang itu. Kuputuskan untuk mengisap puting susunya, namun sebelum itu aku memasukkan kedua tanganku ke dalam kaosnya dan mengelus-elus badannya.

Pertama kuelus-elus perutnya yang agak buncit itu, kemudian perlahan-lahan naik. Sampai juga di dadanya. Kuelus-elus daerah sekitar putingnya sambil kutatap wajah polisi tampan itu. Bernard tidak bersuara sama sekali, hanya saja nafasnya mulai berat. Aku tersenyum, kemudian kurangsang kedua putingnya. Kuusap-usap dengan jari-jariku dan Bernard pun mendesah. Ingin rasanya kucium polisi itu, tapi apa daya ia lebih tinggi dariku...

Bernard rupanya mengetahui isi hatiku, maka ia pun menunduk dan menciumku. Masih terlalu tinggi, maka aku membimbingnya ke tempat tidur dan kami pun duduk sambil berciuman. Tangan kiriku memegang kepalanya yang mengenakan helm sementara tangan kananku mengusap-usap selangkangannya. Kulakukan sehalus mungkin, ciumanku tidak terlalu bernafsu dan pijatanku sangat lembut, agar Bernard semakin penasaran dan meminta lebih. Precum sudah mulai membasahi celananya, tapi kubiarkan saja. Aku pun membuka kaos dalamnya sehingga ia kini bertelanjang dada. Iseng-iseng kupakaikan lagi kemeja dinasnya, hanya tidak kukancingkan. Kubaringkan polisi itu di atas ranjangku, kemudian dari samping aku pun berbaring sehingga kepalaku pas ada di dadanya. Kuminta Bernard berbaring miring, lalu kuhisap puting susunya sambil kupijat-pijat kontolnya. Tiap kali kujilat puting susunya, kupijat kepala kontolnya dengan lembut. Bernard mendesah tiap kali kulakukan itu; ia mengelus-elus kepalaku agar tidak menganggur. Ketika kuhisap puting susunya dengan kuat, kugenggam dan kuremas kontolnya kuat-kuat (tentunya tidak sampai menyakiti Bernard) untuk membuatnya melenguh bagaikan sapi jantan yang sedang birahi, dan kenyataannya ia memang sedang terangsang berat. Kulakukan itu cukup lama sampai celana dinasnya basah di bagian selangkangannya, seakan-akan polisi itu ngompol. "Enak ga Mas?" tanyaku. "Enak bener Mas, belum pernah aku digarap pelan-pelan gini. Tambah ngaceng berat Mas..." "Iya lha sampai basah kuyup gini," kuelus-elus celananya dan kugenggam kontolnya, lalu kokocok ringan. Bernard pun mengerang pelan. "Mau digarap ga Mas tongkatnya?" godaku. "Mau Mas..."

Sekarang kusuruh ia berbaring telentang dan aku pun berbaring di sampingnya. Pertama kucoba memasukkan tanganku dari perutnya, tapi ternyata sabuknya menyulitkan pergerakan tanganku, maka kulepas sabuknya. Setelah tanganku bisa masuk, kujelajahi bagian sakral polisi itu, langsung menembus pertahanannya. Kurasakan bonggolan daging yang luar biasa besar, hangat dan berdenyut serta basah oleh precum. Kuraba batang kontolnya yang keras itu, jauh lebih hangat lagi. Kugenggam batang itu dan kukocok pelan-pelan. Celananya yang sempit menyebabkan gesekan yang intens di sekujur kontolnya, memberikan sensasi luar biasa pada Bernard karena ia menggelinjang dan mengerang. Kumainkan seluruh jariku meraba-raba kontol polisi itu; kurasakan kedua testisnya yang menempel di tubuhnya saat itu. Besar juga, kayanya sudah lama nggak dikeluarin nih... Tanganku terus basah oleh precum yang mengalir keluar dari kontolnya, maka kuraih kepala kontolnya dan kumainkan lubang kencingnya. Polisi itu semakin menggelinjang dan mengerang. "Geli Mas," erangnya. Tak kuhiraukan erangannya, terus kuserang kontolnya dengan tanganku. Aku pun tak tahan ingin merasakan kehangatan kontol itu di mulutku. Diisep ga ya... Aku sempat bimbang sebelum memutuskan aku hanya akan mengocok kontol Bernard si polisi lalu lintas. Toh nanti ia nginep di sini, aku bisa puas-puas menikmati kontolnya. Biar dia ketagihan! Kubuka sedikit celananya dan kuturunkan sejauh atas lutut sehingga kontolnya dapat bergerak bebas, dan wow... Batang kontol yang coklat kehitaman itu menyembul dan berdiri dengan gagahnya. Kontol itu sudah disunat, kepalanya berkilauan basah oleh precum yang masih saja mengalir. Aku menelan ludah ingin mencicipi precum itu. Sabar... Sabar... "Diapain ni Mas kontolnya?" godaku. "Terserah Mas," jawabnya sambil meraih kontolku dan meremas-remasnya. Rupanya ia juga ingin memainkan kontolku. "Mau dikeluarin ga Mas?" "Iya, keluarin... Barengan ya, kukocokin punyamu juga." "Aku nanti aja Mas, yang penting Mas keluar dulu. Udah ga tahan ni kontolnya," godaku sambil meremas kedua testisnya. "Ah bisa aja kau," ujar Bernard dan tertawa. "Aku bisa tahan kok." "Yakin ni Mas tahan kalau kuginiin?"

Aku pun langsung mengocok kepala kontolnya dengan perlahan dengan tangan kananku, sementara tangan kiriku bergantian antara memainkan kedua testisnya dan putingnya. Aku tahu tidak semua orang suka main pelan, tapi biasanya malah banyak yang tidak tahan lama ketika aku mengurut kontolnya dengan perlahan. Benar saja, polisi itu mengerang panjang di tiap kocokanku, dan pada kocokan kesepuluh ia memegang tanganku. "Mau keluar Mas...," rintihnya. Kuhentikan kocokanku, namun tetap kuelus-elus kontolnya yang tampak sedikit membesar dan berkedut itu. Bernard sendiri mengerang menahan diri, peluh mulai berjatuhan dari keningnya. "Dikeluarin ga Mas?" tanyaku. "Kayanya udah mau meledak tu, kasian kontolnya..." "Terserah Mas, aku pasrah..." Aku ingin sekali menenggak maninya langsung dari sumbernya... Nanti malam saja!, separuh suara hatiku berkata. Nanti malam puas-puasin sedot kontol tu polisi! Akhirnya kukocok lagi kontol Bernard, dan hanya pada kocokan pertama polisi itu menyemburkan lava putihnya. Tidak menyembur sebenarnya, hanya meleleh saja, tapi luar biasa banyaknya. Aku seakan menyaksikan gunung berapi meletus dengan perlahan. Kubiarkan lava putih itu mengalir membasahi tanganku yang masih mengurut kontolnya dengan penuh rasa sayang. Tak berapa lama kemudian pancarannya mulai melemah dan berhenti. Kusaksikan polisi itu terengah-engah mengambil nafas setelah pancaran terakhir berhenti. Kuelus-elus wajahnya dengan tanganku yang bersih sambil tersenyum. Ia pun balas tersenyum, lalu setelah nafasnya mulai teratur kucium dia. Aku masih menggenggam kontolnya yang mulai melemas; kubiarkan kontol itu beristirahat dulu.

Gantian Bernard yang agresif memainkan kontolku; ia hanya membuka resleting celana jinsku dan mengocoknya dengan cukup cepat. Kocokannya mantap juga, bahkan ia menggunakan maninya sebagai pelumas. Hanya dalam lima menit aku pun keluar; spermaku muncrat ke tubuh Bernard, untungnya tidak sampai menodai seragamnya. Setelah aku keluar, aku memeluk polisi itu dan tidur di dadanya; tanganku masih menggenggam kontolnya yang rupanya sudah pulih. "Mau lagi nih Mas?" godaku. Ia hanya tersenyum, menandakan ya bagiku. Kali ini aku tak sabar menunggu malam tiba. Kuposisikan diriku dalam posisi 69 walaupun belum ada tanda-tanda Bernard akan menghisap kontolku juga. Aku tak peduli; aku harus merasakan kontol polisi itu sebelum terlambat. Kini kontol polisi itu ada di hadapanku; Bernard dengan nakalnya menegakkan kontolnya. Kuamat-amati kontolnya dengan seksama. Agak berurat di sana-sini, dengan panjang dan tebal idaman di atas rata-rata, dan ketahanan lamanya, menjadikan kontol polisi itu kontol terbaik yang pernah kumainkan dan kunikmati. Kuciumi kontol itu, kujilati pangkal pahanya sampai Bernard menggelinjang, kubasahi seluruh jengkal kontolnya hingga batangnya menegang seperti tadi. Benar-benar luar biasa. Kumasukkan kontol itu ke mulutku, kemudian kukenyot-kenyot. Bernard mengerang, dan ia pun membalas menjilati area sensitifku. Aku tetap bermain tenang dan pelan seperti saat aku mengocok kontolnya, sementara Bernard tetap agresif, bahkan sengaja menggigit kontolku beberapa kali. Kalau ia melakukan itu, kubalas dengan jilatan maut pada lubang kencingnya. Tak lupa kedua testisnya tetap kumainkan dengan tanganku. Aksi hisap-menghisap itu tak terlalu lama berlangsung, dan kali ini aku keluar bersamaan dengan Bernard si polantas. Lagi-lagi ia menunjukkan keperkasaannya dengan memuntahkan banyak sperma, yang kuminum dengan rakusnya. Setelah itu, kami berdua cukup kelelahan dan tertidur dengan kontol masih ada di mulut.

Aku bangun terlebih dahulu dengan perasaan nyaman di antara kedua kakiku. Rasanya ada yang merangsangku... Aku baru ingat kalau tadi kontolku masih di dalam mulut Bernard. Apa ini berarti ia menghisapku lagi? Baru saja mau membuka mata, sesuatu menggedor-gedor langit-langit mulutku, dan sesuatu menetes ke lidahku. Dengan segera kukenali rasa precum Bernard dan batang kontolnya yang kembali tegang, maka kugarap kembali polisi itu dengan hisapan mautku. Nikmatnya bisa ngemut kontol polisi... Sesi hisap-menghisap itu tak berlangsung lama, aku keluar duluan karena Bernard lebih dulu merangsangku, namun semenit kemudian ia pun keluar.

Sisa hari itu kuhabiskan bersama Bernard si polantas. Makan, mandi, nonton TV, bahkan tidur. Tak jarang kami berdua kembali terangsang, dan tanpa sungkan-sungkan lagi kupagut kontol Bernard. Keesokan harinya kusuruh ia tetap berdinas seperti biasa, namun pulang ke rumahku untuk memadu kasih. Untuk merasakan kegagahan seorang polisi.