Sabtu, 05 Agustus 2017

[Naskah] Bis Kota (Polisi)

Ini adalah versi cerita untuk penyuka polisi. Versi untuk penyuka tentara (mungkin) akan segera ditulis.

Bis kota. Sempit. Panas. Murah. Tidak banyak yang bisa ditawarkan oleh bis kota.

Kecuali, kalau kau sangat beruntung, seorang polisi. Bukan, bukan polisi yang melakukan operasi dadakan. Polisi yang... bisa kauajak...

"Main."

Kehidupanku di ibu kota ini bisa dibilang tidak terlalu menyenangkan seperti yang dibayangkan di sinetron-sinetron. Tiap hari aku harus menempuh perjalanan sejauh satu setengah jam untuk mencapai kantor, dengan naik bis kota. Yah, apa daya, rumahku memang jauh dari kantor. Rumah itu satu-satunya peninggalan orang tuaku. Mereka meninggal dalam kecelakaan kereta api beberapa tahun lalu, dan berhubung kakakku sudah mantap tinggal di luar negeri bersama pasangannya, akhirnya rumah itu diwariskan padaku. Aku tidak berencana menjualnya atau menyewakannya; terlalu banyak kenangan di rumah itu. Aku lahir dan dibesarkan di sana. Lagipula kakakku sesekali pulang ke Indonesia; ia juga tidak setuju rumah itu dijual atau disewakan. "Untuk keluargamu saja," katanya. "Makanya cepat kawin!"

Ya, di umurku yang mulai menginjak akhir masa dua puluhan, aku belum menikah. Karirku memang sedang bagus-bagusnya, tapi bukan itu alasanku untuk mencari pendamping hidup dan berkeluarga seperti layaknya orang-orang. Tidak ada yang tahu kalau aku gay. Entah apa yang membuatku gay, aku sendiri juga tidak tahu. Ketiadaan ayah dan kakakku? Mungkin, tapi aku juga terbiasa hidup sendirian. Toh sesekali aku juga membawa teman-temanku ke rumah. Rekan-rekan kantorku juga lumayan sering tanya, kapan nikah. Bahkan aku sering dikenalkan ke cewek-cewek yang menurut mereka cocok denganku. Dan memang ada yang cocok. Tapi aku merasa belum siap saja untuk melangkah ke jenjang berikutnya. Apalagi aku lebih suka bercinta dengan sesamaku. Jarang sih aku melakukannya, bahkan aku sendiri tidak punya pacar cowok. Ya mungkin memang aku terlalu sibuk dengan karir? Hampir semua percobaan hubungan ke jenjang yang lebih serius berakhir begitu saja hanya karena aku terlalu sering mengabaikan mereka demi karir. Memang betul, karir dan kehidupan pribadi tidak bisa berjalan bersamaan. Salah satu harus dikorbankan...

Aku sendiri boleh dibilang cukup menarik perhatian. Darah Tiongkok--ah entah kenapa sih mereka memutuskan mengganti nama itu, padahal aku sudah menerimanya juga--mengalir di tubuhku, dan aku diberkahi kulit yang lebih putih dibandingkan orang-orang kebanyakan. Badanku cukup tinggi karena aku suka berolah raga, terutama basket. Yah memang sejak kerja aku hanya bisa melakukannya saat akhir pekan. Fitness hanya sesekali saja kalau diajak teman; aku tidak terlalu suka "olah raga" yang satu itu. Kurasa otot bukan segalanya; kalau hanya dipakai untuk pamer, untuk apa buang-buang uang? Mending ditabung untuk masa depan. Tapi kalau kau memang ingin tahu, yaa... badanku berotot sih. Tidak terlalu six pack, tapi paling tidak juga tidak berlemak. Dan perlukah kuberi tahu ukuran "itu" sekarang?

Well, tentang perjalananku tiap hari, biasanya kuakali dengan mendengarkan musik dari ponselku. Ponselku tentu saja tersembunyi rapi di suatu tempat yang sulit dijangkau tangan-tangan jahil. Hampir setiap waktu aku dapat tempat duduk, tapi kalau tidak dapat, ya terpaksa berdiri untuk beberapa lama. Kalau benar-benar apes, ya berdiri terus dari awal sampai pulang. Banyak yang menyarankan untuk beli motor saja, tapi setelah kuhitung-hitung, malah lebih boros. Toh aku juga jarang bepergian keluar rumah--semua hiburanku ada di rumah. Masak? Aku bisa masak, walaupun aku masih mengandalkan bibiku yang sudah menemaniku sejak kecil. Mau keluar? Ada satpam di rumah--aku juga tidak tega untuk memberhentikannya sejak ayah ibu tidak ada, lagipula beliau juga sudah kuanggap keluarga sendiri. Ada memang motor milik kakakku, tapi aku sendiri jarang menggunakannya. Paling kusuruh Pak Wadji menggunakan dan merawatnya. Aku sendiri juga malas membawa motor ke kantor, tahu sendiri lah macetnya jalan ibukota. Daripada begitu, mending naik bis kota. Sama-sama capek, tapi yang capek supir bisnya.

Dan akhirnya hari itu tiba juga.

Hari itu aku keluar kantor agak terlambat karena suatu urusan. Wah, pasti bakal lama ini pulangnya, pikirku muram. Sebenarnya aku pingin lembur, tapi bosku menyuruhku untuk mengerjakannya besok saja--yah, bosku juga sama khawatirnya dengan rekan-rekanku, takut aku bekerja terlalu banyak. Enggan sih, aku orangnya tidak bisa meninggalkan kerjaan yang belum selesai. Tapi ya sudah lah, aku sendiri juga capek... Aku menunggu bis kota biasanya yang memang lewat persis depan kantor, jadi paling tidak selagi menunggu aku masih bisa bercanda dengan rekan-rekan lain yang sama-sama beranjak pulang. Kalau sudah sepi, paling aku bercanda dengan satpam kantor. Agak lama, bis yang kutunggu akhirnya datang juga. Aku dapat tempat duduk agak di tengah, kebetulan sekali. Sebelahku seorang lelaki gendut, tapi dia sedang tertidur. Aku sendiri juga cukup lelah... Setelah duduk di kursi itu, aku pun menopangkan kepalaku dengan tangan kiriku di atas pegangan kursi. Perjalananku masih jauh dan aku sudah mulai mengantuk, jadi tidak ada salahnya lah tidur sejenak...

Entah berapa lama aku tertidur dan terbangun, tertidur lagi dan terbangun lagi, tapi sepertinya bis itu mulai penuh sesak--sayup-sayup aku mendengar suara hiruk pikuk orang-orang yang menaiki bis itu dan sesekali si kondektur yang berteriak menyebutkan lokasi atau menyuruh orang-orang untuk semakin masuk ke dalam. Entah kenapa rasa kantuk begitu hebat menyerangku, kepalaku sampai terangguk-angguk. Hingga akhirnya aku merasa kepalaku ditopang sesuatu. Seseorang yang jelas. Di... pahanya? Namun entah akunya yang kurang ajar atau terlalu mengantuk sampai malah membuat kepalaku nyaman dengan sandaran itu, atau orangnya yang diam saja, orang itu membiarkan kepalaku bersandar. Lumayan lah, hehehe...

Sampai aku merasa ada sesuatu yang hangat di telingaku. Bis kota biasanya memang panas sih, tapi yang di pipiku ini lain. Masa pahanya sehangat itu ya? Kemudian aku merasakan ada yang bergerak-gerak. Ah aku sedang bermimpi mungkin... Tapi lama-kelamaan sesuatu itu menjadi semakin keras dan gerakannya menjadi lebih tajam. Ini... kontol kah? Aku tersentak begitu memikirkan benda yang satu itu, dan aku pun terbangun. Ya ampun, aku bersandar di kontol orang? Sontak kulihat siapa orang itu.

Jantungku berdegup keras ketika melihat celana coklat itu, yang terlilit sebuah sabuk putih dengan gesper emas yang besar. Mati aku... aku bersandar di kontol polisi??? Segera aku menoleh ke atas, dan benar saja, seorang polisi berdiri menghadapku. "Aduh maaf Pak, saya ketiduran," ujarku gugup.
"Oh ga pa pa kok," jawab polisi itu sambil tersenyum. "Kamu pasti kecapekan sekali ya? Tidur aja bersandar kaya tadi." Sejenak aku melihat ke arah selangkangannya dan sedikit terkesiap. Besar juga bonggolan kontolnya. Aku menatapnya kembali dan dia hanya tersenyum sambil memberi kode supaya aku bersandar seperti tadi. Ya sudah, kalau dia yang minta... Aku kembali menopang kepalaku dengan tangan kiriku, lalu perlahan-lahan bersandar ke polisi itu. Sekarang tanganku kuatur supaya pas menyentuh kontol polisi itu--dia sendiri juga mencari posisi supaya pas. Kebetulan sekali bangku di bis kota itu sangat tinggi sehingga aksiku tidak terlihat oleh orang lain, sekalipun oleh orang yang berdiri di sampingnya--dan entah kenapa orang-orang di sampingnya menghadap ke arah yang berlawanan, sehingga praktis hanya lelaki gendut yang tertidur itu yang hanya bisa mengacaukan aksiku. Walaupun begitu, aku tetap pura-pura tertidur sambil sengaja bersandar ke polisi itu. Punggung tanganku mengelus-elus kontol polisi itu, yang belum mengeras sepenuhnya namun sudah tercetak jelas di celana dinasnya. Mungkin panjangnya sekitar 16 cm? Aku tidak tahu pasti, tapi yang aku tahu, seperitnya asyik bisa memainkan kontolnya. Sesekali kulirik polisi itu, dan ia pun tersenyum, sesekali berbisik "enak", "lagi dong", atau sekedar membuka mulutnya seakan mendesah. Kubalik tanganku sehingga kini jari-jariku yang bersentuhan langsung dengan kontolnya, dan kupijat-pijat perlahan. Sesekali aku melirik lelaki di sebelahku, siapa tahu ia tiba-tiba terbangun, namun ia masih tertidur pulas--ngorok pula. Jadi kadang-kadang aku pun sengaja menggunakan tangan kananku untuk meremas-remas kontol polisi itu. Celananya yang cukup ketat memberikan kesan tersendiri pada permainanku itu; kedua biji pelirnya tertata rapi dan menonjol, sepertinya berkat celana dalam yang ketat dan berkualitas. Biji pelir itu begitu menggoda, sesekali kujepit dengan kedua jariku, seakan-akan hendak mengguntingnya, dan polisi itu membuat raut muka yang menggairahkan tiap kali aku melakukannya. Batang kontolnya pertama agak tertekuk, namun sudah kubantu meluruskannya, walaupun tetap saja posisinya tidak dapat lurus benar; masih melengkung ke arah paha kirinya.

Seru juga ternyata memainkan kontol di tempat umum seperti itu!

Setelah puas meremas-remas kontol polisi itu dari luar celana dinasnya, aku pun berbuat lebih jauh. Kubuka resleting celananya, lalu kutelusupkan tanganku ke dalam. Agak susah memang karena lubang resleting celana itu tidak terlalu lebar dan bis terus bergoyang ke sana kemari, dan setelah beberapa saat mencoba aku pun menyerah mengeluarkan kontolnya. Tapi, yang jelas, polisi itu benar-benar terangsang hebat. Mungkin aku memang lihai merangsang kontol dengan pijatan sensual ya, hehehe... aku jadi agak enggan untuk turun ketika mendengar si kondektur meneriakkan nama wilayah yang kukenal... tinggal dua pemberhentian lagi. Jadi, kurapikan kembali celana dinas polisi itu supaya dia tidak terkena malu dilihat orang lain, lalu aku mencoba berbicara dengannya. "Dua halte lagi aku turun."
"Aku juga," katanya. "Lanjut di tempatmu ya?"
"Boleh." Entah kenapa aku tidak berpikir panjang lagi. Kontolku sendiri juga sudah mengeras dari tadi akibat memainkan kontol polisi itu, dan tidak seperti dirinya yang tetap kering walaupun terangsang hebat, aku bisa merasakan precum menembus celana kainku. Aku pun berkenalan dengannya. Oh, bahkan aku lupa memperkenalkan diri! Namaku Ronald. Si polisi itu bernama Rinaldi. Mirip ya?

Akhirnya, dua halte berikutnya, setelah berjuang dengan susah payah untuk keluar dari bis itu, tanpa peduli lagi kontolku bergesekan dengan apa dan siapa, aku dan Rinaldi turun dari bis. Dari halte itu, aku masih harus berjalan selama sekitar lima belas menit lagi. Ya lumayan lah, sekarang aku ditemani seorang polisi. Selagi berjalan, aku pun berusaha mengenalnya lebih dekat lagi, sekaligus untuk mencairkan suasana setelah tadi aku hanya berdiam diri terfokus memainkan kontolnya. Dia sebenarnya punya motor, namun motornya hari itu rusak dan sedang diperbaiki di bengkel dekat kantornya, sehingga ia terpaksa pulang dengan bis kota. Hanya selisih satu halte denganku. Dia berasal dari luar pulau, asli orang Indonesia. Dan setelah berbincang-bincang tentang perkenalan masing-masing, akhirnya kami sampai juga ke percakapan itu.
"Di, kamu top atau bot?" tanyaku.
"Aku bisa dua-duanya," jawab Rinaldi. "Tapi malam ini aku pingin kamu entot Nal. Pingin tahu rasanya dientot zhongguoren." Aku terkesiap mendengarnya, tapi aku segera tertawa. "Ha ha ha Di, kamu tau dari mana kata itu???" tanyaku sambil tergelak.
"Teman-temanku dulu banyak kok yang keturunan, sama kaya kamu. Jadi aku ya tahu lah!" Ia ikut tertawa renyah.
"Emang apa bedanya Nal?"
"Ya ga tau, makanya pingin tau aja, hahaha..."
"Punyaku ga gede-gede amat lho, malah kayanya gedean punyamu," ujarku sambil mengelus selangkangannya. Rinaldi hanya tertawa renyah dan berpura-pura jaim dengan menepis tanganku. "Dilihat orang nanti Nal!"
"Hahaha, udah sampai kok." Memang saat itu akhirnya kami sampai di rumahku. Aku menekan bel dan tak terlalu lama Pak Wadji tergopoh-gopoh membukakan pintu. "Selamat datang Den." Dia memang suka memanggilku aden. "Aden ada masalah apa sampai bawa polisi?"
"Oh nggak kok Pak, ini temanku," jawabku menenangkan dirinya yang tampak tegang. Maklumlah, Pak Wadji juga sudah menganggapku seperti anaknya sendiri. "Kenalkan Pak, ini Rinaldi." Rinaldi pun mengulurkan tangan hendak berjabatan, namun Pak Wadji terlebih dahulu memberi hormat. "Suasana aman terkendali Pak?" tanyanya seolah-olah inspeksi.
"Lapor Ndan, semua aman terkendali, 86!"
"86!" Dalam hati aku tertawa melihat perilaku mereka berdua. Ah sudah lama sekali rasanya sejak aku membawa teman ke rumah ini dengan canda tawa... "Yuk masuk Di!" ajakku. Pak Wadji pun kembali ke posnya sementara aku dan Rinaldi beranjak masuk. "Eh satpammu cakep juga ya?" bisik Rinaldi.
"Eh gila lu Di, masa satpamku juga kauembat... Pak Wadji normal tau! Dan dia udah beristri beranak! Mana doyan dia sama polisi kaya kamu!"
"Dasar kau ya," Rinaldi mencubit pinggangku. Ah sial, dia tahu saja kelemahanku; aku paling geli kalau dicubit di pinggang! Awalnya ingin kubalas, namun aku teringat kalau kami masih di luar, Pak Wadji bisa saja melihatku "bermesraan" dengan Rinaldi. Apa katanya nanti kalau aku ketahuan bermesraan dengan seorang pria...
"Di, makan dulu yuk!" ajakku setelah kami berada di dalam rumah. "Di, jangan bengong gitu dong!"
"Hehehe, sori-sori, aku ga pernah lihat rumah segede ini," ujarnya. Dia memang terlihat seperti anak kecil, terheran-heran melihat rumahku yang besar itu. "Maklum Nal, polisi rendahan kaya aku gini gajinya kecil, habis buat bayar kontrakan..."
"Kalau mau, kamu tinggal di sini aja," tawarku. "Lumayan kan ga usah bayar kontrakan."
"Ah nggak usah Nal, kita baru ketemu, aku nggak enak sama kamu..."
"Ga pa pa kok, lagian biar aku ada temannya."
"Memang kamu sendirian di sini Nal?" Aku hanya mengangguk. "Ortu?"
"Sudah nggak ada."
"Oh." Dia tampak menyesal, jadi aku langsung menyahut, "Ga pa pa kok Di, aku sudah ikhlas. Aku tetep nawarin kamu tinggal bareng sama aku, tapi terserah kamu deh mau atau nggak nya. Pikir-pikir dulu aja." Aku pun mengajaknya ke ruang makan, dan di sana sudah tersaji menu kesukaanku: tempe penyet. "Wah Nal kamu berada gini tapi makannya sederhana amat?" tanyanya. Aku hanya tertawa kecil. "Iya Di, sejak kecil papa mama membiasakan untuk makan sederhana, pokoknya bisa dimakan dan lezat. Kamu suka kah?"
"Suka lah kalau tempe Di."
"Kapan-kapan deh kita makan agak mewah dikit."
"Ah ga usah Nal, ngerepotin..."
"Nyante aja kali Di, kita kan udah sohiban baik, hehehe..." Dia pun tertawa mendengarnya. "Aku mau aja si jadi budakmu Nal!"
"Eh Di lu kok ngomong gitu sih, ga baik ah!"
"Budak seks maksudnya Nal..."
"Ga lah, kita sohiban aja. Kalau kau mau, pacaran juga bole kok. Atau mau jadi pasangan hidup juga bole, tapi kecepetan deh aku nanya sekarang..."
"...aku mau Nal...," Rinaldi memandangku dengan serius. "Kamu sepertinya orangnya baik banget. Aku mau hidup denganmu..."
"Hahaha, ga usah buru-buru Di!" ujarku menepuk-nepuk bahunya. "Kita baru kenal juga, siapa tahu aku ternyata bukan tipemu. Mana kenalannya gara-gara kontol pula!" Dia tertawa mendengarnya. "Ya sudah deh, kita lihat aja nanti ya."
"Dah dah, makan dulu yuk! Keroncongan ni perut!" Perutku memang sudah berbunyi saat itu. Segera kami makan dengan lahapnya, sambil sesekali bercerita dan bercanda gurau. Perlahan-lahan aku pun mulai menyukainya. Mungkinkah dia sosok yang kuidam-idamkan selama ini?

Setelah makan, kusuruh bibi untuk tidak mengganggu kami--termasuk mengabari Pak Wadji--dan kukunci semua pintu masuk. Akhirnya aku bisa berduaan dengan si polisi Rinaldi, dan dia pun sepertinya tidak sabar untuk melanjutkan permainanku tadi. "Nal...," panggilnya.
"Ya?"
"Mulai yuk..." Tanpa basa-basa lagi ia langsung menciumku. Pertama-tama aku agak kagok; sudah lama sekali sejak seseorang menciumku di bibir, tapi lama-kelamaan aku bisa mengimbanginya, walaupun ciumannya tergolong liar juga. Aku menatap matanya dan dia juga menatapku. "Di... kamu ganteng..."
"Makasih..."
"Ganteng-ganteng kok jadi polisi sih?"
"Emang ga boleh ya?"
"Ga niat jadi artis?"
"Ga ah, itu si Norman mana kabarnya sejak keluar dari Polri? Bodo banget dia!" Aku hanya tertawa mendengarnya. "Iya deh polteng... Ga cuma ganteng, jantan pula!"
"Ah masa?"
"Ni buktinya." Aku memegang kontolnya.
"Ah itu mah kamu juga punya Nal!" Dia pun memegang kontolku.
"Tapi kamu jantan banget Di, berdiri kaya tadi sambil ngaceng." Kuelus-elus kontol Rinaldi, dan dia pun mulai mendesah. "Sini Di!" Kugiring dia menuju anak tangga; aku duduk di tangga dan kusuruh dia menaikkan kakinya dua anak tangga dariku. "Pose jantan Di!" celetukku. Dia hanya tertawa. "Masa kaya gini jantan sih?"
"Jantan dong kalau kuginikan." Aku kembali mengelus-elus kontol polisi itu. Rinaldi hanya bisa menatapku sambil kembali mendesah. Kupijat-pijat pelan bola-bola kontolnya. "Aaahhh aku suka Nal... enaakkk..." Tonjolan kontol polisi itu benar-benar terbuka di hadapanku, tak terlindungi oleh apapun selain celana dinas coklat khas polisi. Aku bisa melihat batang kontolnya mulai membesar dan mengeras. Sebenarnya aku tak sabar ingin segera menikmati kontol Rinaldi, namun aku juga selalu punya angan-angan untuk menggoda kejantanan polisi. Aku ingin polisi itu meminta-minta untuk memberikan kenikmatan lebih. Dan aku bertekad supaya Rinaldi juga tunduk seperti keinginanku.
Kusundul-sundul bonggol kejantanan polisi Rinaldi dengna buku-buku jariku, membuatnya mendesah dan mengerang. "Jantan kamu Di," bisikku sambil memegang kontolnya dan sedikit meremasnya. "Tapi untuk malam ini kejantananmu jadi milikku."
"Iya Nal, aku pasrah...," jawabnya mendesah. "Beri aku kenikmatan Nal... please..."
"Lu ga akan melupakan malam ini Di," bisikku sambil bangkit dan kembali menciumnya, sambil membuat elusan memutar-mutar di atas kontolnya. Polisi itu hanya membalas ciumanku sambil terus mendesah. Setelah puas menciumnya, aku kembali duduk dan menggoda bonggolan kontolnya. "Aaaahhh Nal... kocokin please..."
"Sabar Di, malam masih panjang," jawabku nakal sambil mengurut batang kontolnya dari pangkal. "Kontol polisi seperti punyamu ini harus dilayani semalam suntuk."
"Aku mau Nal... kocokin please..." Aku tidak menjawab, hanya mengelus-elus pangkal paha polisi itu. Kemudian kukagumi perutnya. Tidak terlalu buncit, mungkin dia memang menjaga perutnya dengan baik. Kukagumi gesper emas besar yang menghiasi perutnya itu, bersama dengan sabuk putih khas polisi. Sesekali tak lupa kusentuh kembali bonggolan kontol Rinaldi dan meremas-remasnya selama beberapa saat sebelum aku melanjutkan kembali mengagumi tubuhnya. Kini kukagumi pantatnya; dengan posisi berdirinya seperti itu, pantatnya terekspos dengan baik. Cukup besar, kenyal, dan berisi. "Di kamu pernah dientot?" tanyaku.
"Dulu pernah Nal, tapi udah lama banget. Seret kok Nal bokongku, perawanin gih." Aku tertawa kecil mendengarnya. "Sabar Di..." Aku kembali memuja pantatnya, dan kali ini kubenamkan wajahku di bonggolan kontolnya. Kuhirup dalam-dalam aroma kejantanan polisi itu; lumayan tercium bau keringat. Pastilah dia habis berpeluh setelah bertugas seharian tadi, dan bis tadi juga cukup panas. Kugoda kembali kontolnya dengan wajahku; kugosok-gosokkan hidungku di selangkangan polisi itu. Rinaldi hanya mendesah pelan, kecuali saat dengan isengnya kutusukkan jariku di pantatnya.
Puas memuja pantatnya, kualihkan perhatianku pada bagian atas tubuhnya. Rinaldi hanya menatapku ketika aku menjelajahi perut atasnya untuk menuju dadanya. Entah atribut apa saja yang ada di atas dadanya itu, yang kukenali hanya lencana polisi. Kuelus-elus lencana itu sambil tetap mengelus-elus barang kesayangan polisi itu. Lalu mendadak aku punya ide yang liar. Aku mencoba melepas lencananya. Rinaldi hanya terheran-heran melihat aksiku. "Mau kamu apain Nal? Itu dapetinnya susah..."
"Tenang aja Di, nggak akan kuhilangin atau kurusakin kok," jawabku sambil tersenyum. "Ini emas betulan kah?" tanyaku sambil mengamat-amati lencana polisi itu.
"Nggak lah, kalau iya ntar pada ditukar duit semua dong!" Aku menimang-nimang lencana itu, kemudian kuelus-eluskan permukaannya pada bonggolan kontol Rinaldi. Ia tak pernah menduganya, dan pasti tidak ada yang pernah melakukan itu padanya. Yah, siapa sih yang berani menggesek-gesekkan lencana lambang kekuatan polisi pada bagian pribadinya? Mulutnya terbuka sedikit seakan tak percaya, namun kemudian rasa nikmat itu menderanya. Permukaan tak rata lencana polisi itu memberikan sensasi tersendiri pada bonggolan kontolnya; otaknya terpacu antara marah, malu, dan suka: seakan-akan ia yang biasanya punya kuasa penuh menilang pengendara motot yang tak pakai helm kini harus pasrah diperkosa orang biasa.

[Naskah] [Cerpen] Si abang satpam

Cerita ini khusus buat salah satu pembaca setia yang kebetulan ulang tahun kemarin (telat sih, tapi ga apa lah, hehehe...). Karena ini cerpen, mungkin lebih pendek dari biasanya.

"HAPPY BIRTHDAY!!!" Seruan meriah itu mendadak pecah dari sebuah ruangan yang kukira sudah terkunci. Hari itu sudah menjelang malam, di luar jam kerja memang, dan dompetku ketinggalan, jadi aku balik untuk mengambilnya. Kalau nggak diambil, bisa nggak makan! Untung saja nggak ada razia, aku jadinya nggak bawa SIM deh tadi... Walaupun hanya ada tiga orang sahabatku, tapi itu cukup lah untuk menghiburku. Pesta sederhana sih, hanya kue ultah, mi goreng, dan bir dingin, tapi dengan sahabat-sahabat, tentunya mengasyikkan! Becanda-becanda, menertawakan masalah kerjaan atau mengutuk bos, toh nggak ada yang dengar!

Sampai akhirnya ada yang membuka pintu dengan tiba-tiba. Kami semua langsung menoleh ke arah pintu. "Sapa tuh?" ujarku.
"Oh pantes kok ribut amat dari luar!" ujar satpam itu. Ups... "Lembur nih Mas-Mas?"
"Kagak Chell," jawab temanku. Satpam itu namanya Meichell. Lucu ya namanya? Sebenarnya serba salah mau manggil Mei, kok girly amat, tapi Chell juga sama aja. Untungnya dia nggak keberatan dipanggil Mei atau Chell, walaupun bosku biasanya memanggil namanya lengkap. Satpam itu beda banget dengan namanya; dia manly tulen. Suaranya berat, badannya berisi, ya memang sih perutnya agak sedikit buncit, tapi sedikit sekali, dan tangannya kekar. Tapi orangnya ramah dan suka bercanda. "Nih si Rio ulang tahun!"
"Oooo... wah met ultah ya Mas Rio!" Satpam itu menghampiriku dan menjabat tanganku memberikan selamat. "Makan-makan dong!"
"Iya ni, hehehe... makasih ya Mei. Mau ikut makan? Tapi tinggal dikit nih kuenya."
"Ntar aja Mas, aku lagi keliling..."
"Halah bentar aja Chell!" ujar temanku sambil mendorong satpam itu untuk duduk, dan memberinya sebotol bir dingin. "Nih biar lu melek!"
"Ah ga usah Bang, ntar aja kalau kerjaan saya udah selesai..."
"Alah udah de Chell, toh udah ga ada orang! Ada CCTV juga khan! Minum dulu lah!" Walaupun ragu-ragu, tapi mungkin karena sungkan, akhirnya satpam itu minum juga sebotol. Temanku menyerahkan sepotong kue untuknya dimakan, dan dimakannya juga. Kami sempat bercanda-canda sebentar sebelum si Meichell memutuskan untuk patroli sebentar. "Ntar balik sini ya lu! Masih banyak botolnya!"
"Iya Mas, cuma bentar kok, mastiin semua udah aman! 86!" Ia memberi hormat dengan lucunya, lalu pergi keluar. Aku hanya mengamati satpam itu keluar dari ruangan, dan entah kenapa aku mengamati pantatnya. Pantatnya sangat berisi dan seksi, mungkin isinya otot semua. Entah karena memang aku masih jomblo jadi jablay, aku jadi horny melihatnya. "Eh lu liat apaan Yo?" Kadang aku memang dipanggil Yo begitu saja.
"Tuh bokong si Meichell seksi amat ya."
"Lu pingin bro?"
"Pingin apaan?"
"Ya lu kalau liat pantat seksi terus pingin apaan dong? Ah dasar lu jomblo!"
"Ya gimana lagi brooo, masa ama perek... ntar sakit gimana?"
"Ya pake kondom lah!"
"Mahal bro, duitku abis udah buat bayar kos, makan, ini itu..."
"Mau yang murah?" Mendadak ia mendekat dan sedikit berbisik. "Tuh Meichell."
"Eh gila lu bro! Itu cowok tau!"
"Lu belum pernah sih! Ngentotin pantat cowok itu sama sensasinya sama pantat cewek bro! Malah cowok lebih tahan sakit! Lebih seksi bro! Cowok biasanya seret juga bro, pasti perawan semua!"
"Emang lu pernah?"
"Dia kan gay bro, pernah lah," celetuk temanku yang satunya. Oh iya, aku lupa kalau temanku ini gay! Aku nggak masalah sih sebenarnya kalau dia gay; dia juga tidak pernah macam-macam denganku. Tapi kali ini sepertinya dia agak sedikit menggodaku; mungkin karena pengaruh bir? Tapi aku horny juga sih, dan aku jadi tertarik dengan penawarannya...
"Emang enak?" tanyaku begitu saja.
"Enak bro! Tuh dia pernah ngerasain!"
"Ha? Bener?"
"Gua sih yang dia entot."
"Emangnya lu gay juga?'
"Eh ga la brooo," elak temanku. "Gua masih suka cewek lah! Tapi emang enak juga dientot cowok! Gua kapan hari juga dibolehin ngentot dia, ternyata enak broo! Lebih ga riskan, ga perlu takut ngehamilin!"
"Bener lu?"
"Sumpah!"
"Yuk ngentotin si Meichell! Gua pingin ngerasain pantat dia. Ah gara-gara lu ngomong pantatnya jadi horny nih gua!" Ia mengelus-elus selangkangkannya. "Lu tanggung jawab ni Yo!" Spontan dia mengelus-elus selangkanganku. Tentu saja kutepis. Tapi sebenarnya enak juga sih... "Iya nih gua jadi horny juga..."
"Lu belum pernah main ama cowok kan Yo?"
"Belum lah! Lu ga ngajakin sih!"
"Emang lu mau?"
"Kagak, amit-amit!" Kami bertiga tertawa lepas. "Tapi yakin deh Yo, habis ngentot si Meichell, lu bakal ketagihan!"
"Enak bener ya? Tapi gimana caranya tuh biar dia bisa dientot? Mana mau mah orangnya!"
"Aku ada rencana brooo..."

Akhirnya si satpam Meichell kembali dan ikut berpesta. Dia ternyata kuat minum, jadi rencana awal untuk membuatnya mabuk agak kacau, tapi ternyata temanku sudah sigap dengan menambahkan sedikit obat pada kue yang dia makan. Awalnya dia agak curiga karena mulai mengantuk, namun teman-temanku terus meyakinkannya bahwa dia hanya mabuk atau kecapekan. Akhirnya dia terkulai lemas, sepertinya agak mengantuk. "Lu tunggu di sini Yo, jagain dia! Kasih minum lagi kalau dia bangun!"
"Lu mau ke mana?"
"Ambil barang-barang bentar!" Kedua temanku keluar dengan agak tergesa-gesa, meninggalkanku sendirian dengan satpam itu. Aku sendiri juga sudah mulai mabuk, kebanyakan minum mungkin. Aku pun duduk di lantai, di sebelah satpam Meichell. Kuperhatikan badannya. Entah kenapa aku merasa horny sekali melihat badan satpam itu, padahal itu badan seorang cowok. Dadanya... Entah pandanganku yang kabur atau memang begitu, dadanya terlihat ranum sekali seperti dada seorang cewek. Aku jadi penasaran, maka kuraba-raba dadanya. Agak takut-takut karena ini baru pertama kalinya aku hendak memperkosa seorang cowok, dan si satpam Meichell harusnya bisa dengan mudah mengalahkanku kalau harus beradu fisik. Tapi dia sedang dalam keadaan lemas dan mabuk... Ia hanya bernafas berat dan tidak bereaksi ketika kuelus-elus dadanya. Sedikit kuremas-remas... dia juga tidak bereaksi. Kuturunkan tanganku dan mengelus-elus perutnya. Keras juga, pasti dia suka latihan.
Dan tibalah aku pada bagian tubuh cowok yang biasanya terlarang. Aku agak ragu memegangnya. Seumur-umur aku tidak pernah memegang kontol cowok lain. Aku memang pernah coli, tapi itu saja. Temanku yang gay itu pun jarang sekali memegang kontolku. Tapi punya si satpam Meichell menonjol juga... aku jadi penasaran dibuatnya. Kusentuhkan tanganku pada bonggolan kontolnya. Besar juga. Dan sepertinya punyanya agak mengeras juga. Masa dikasih obat kuat sama temanku itu... aku jadi semakin penasaran dengan benda itu. Kuremas-remas, dan sepertinya si satpam Meichell agak bereaksi. Kutarik langsung tanganku dan melihat reaksinya. Dia diam saja. Nafasnya kayanya tambah berat aja nih... kuberanikan diri lagi untuk memegang kontolnya lagi. Kuremas-remas lagi kontol satpam itu, kali ini lebih keras dari yang tadi. Si Meichell diam saja. Keenakan kali ya? Aku jadi penasaran bentuknya. Seumur-umur aku tidak pernah melihat kontol cowok lain juga. Apa punyanya sama denganku? Kalau ukurannya sih kayanya punyaku lebih besar. Buka resleting celananya ah...
"Woi Bro, dinikmatin sendirian aja!" celetuk temanku, membuatku terlompat kaget. "Lu ketagihan kaannn?"
"Enak aja!" kilahku. "Penasaran aja!"
"Penasaran barangnya? Tungguin kita-kita dong! Emang cuma lu aja yang mau ama ntu satpam?"
"Terus dia mau diapain?"
"Bantu bawain ke brankas!"
"Mo diapain dia?"
"Dah ikut aja, ntar lu tau enaknya!" Aku dan temanku akhirnya berdua membopong si satpam Meichell itu. Berat juga badannya! Dan aku nggak salah lihat kah, temanku pegang selangkangan si satpam? Sambil menyelam minum air rupanya. Temanku rupanya tahu kombinasi nomor pintu brankas karena dia bisa membukanya dengan mudah, tapi aku tidak komentar apa-apa. Aku sendiri jarang masuk ruangan itu. "Mau diapain dia?"

Entah bagaimana caranya temanku itu bisa membawa peralatan-peralatan aneh yang belum pernah kulihat sebelumnya, dan entah bagaimana caranya dia bisa mengikat si satpam Meichell sehingga berdiri dengan kedua tangan terentang. Seksi juga dia diikat seperti itu, aku jadi semakin horny. "Terus dia diapain?" tanyaku.
"Lu liat aja." Ia menyiramkan sedikit bir dingin ke muka si satpam Meichell sehingga agak tersentak dan sadar. "Di... di... di mana ini..."
"Nyantai Chell, bentar lagi enak kok," bisik temanku sambil meremas-remas dada satpam Meichell dari belakang.
"Saya... saya... mau diapain Bang..." Sepertinya dia masih kena pengaruh obat dan bir. Sedikit meronta-ronta tidak rela tubuhnya diraba-raba seorang cowok, tapi sedikit bagian dari tubuhnya mengatakan berbeda.
"Ga diapa-apain kok, pokoknya enak." Pelan-pelan ia membuka kancing baju seragam hitam si satpam Meichell, kemudian mengelus-elus dadanya, di sekitaran puting susunya. "Aaaahhh...." satpam Meichell hanya bisa mengerang keenakan. "Jangan Bang..."
"Dah nikmati aja Chell." Aku mengamati tonjolan kontolnya, sepertinya mulai membesar lagi. "Yo, mainin dah tuh kontolnya!" Aku pun berjongkok di depannya. "Jangan Mas..." Kuremas-remas bonggolan kontol itu. Satpam Meichell pun agak meronta-ronta ketika barang pribadinya disentuh cowok lain. Aku pun sebenarnya bakal geli juga kalau ada cowok lain menyentuh kontolku, tapi kali ini aku benar-benar penasaran. "Mas..."
"Gede ga barangnya Yo?" Ia memelintir kedua puting susu satpam Meichell yang masih tersimpan di balik kaos singletnya. Satpam Meichell mulai mengerang, antara kesakitan dan keenakan. "Bang..." Nafasnya tetap berat, tidak diragukan lagi ia terangsang berat. Temanku satunya sepertinya menikmati pantat si satpam Meichell. Lama-lama aku jadi menikmati permainan itu. Jadi begini toh rasanya mainin kontol cowok...
"Yon, ambilin gunting!" Temanku yang bernama Dion tapi lebih sering dipanggil Yon itu pun mengambil gunting. "Mau... mau apa Bang..."
"Dah lu diem aja!" Dengan gunting itu, ia membuat lubang pada kaos singletnya, tepat di sekitar puting susunya. Aku bisa melihat kedua puting susunya melenting. Sekilas agak mirip puting susu cewek... tapi sayangnya kedua temanku itu langsung menikmati puting susu si satpam Meichell dengan mengisap-isapnya, meninggalkanku dengan kontolnya. Akhirnya aku memutuskan untuk membuka resleting celananya untuk memuaskan rasa penasaranku atas bentuk kontolnya. Kurogoh ke dalam dan kukeluarkan kontolnya. Kontolnya baru setengah tegang tapi besar juga ternyata, dan sudah meneteskan precum. Si satpam Meichell mengerang ketika aku mengelus-elus barang pribadinya itu. "Bang... Mas... jangaaannnhhhh..." Sesekali si satpam memekik ketika teman-temanku menggigit-gigit puting susunya, namun setelah itu ia mengerang keenakan lagi. Tak terasa celanaku mulai terasa sesak juga. Kenapa aku jadi terangsang karena kontol? Tapi sekarang aku penasaran membuatnya muncrat... Kukocok-kocok kontolnya untuk membuatnya semakin menegang. "Yo lu canggih amat ngocoknya," celetuk temanku melihat aku mengocok kontol satpam itu. "Dia merem melek tuh!" Aku tidak menghiraukannya dan terus mengocok batang kontol satpam itu. Entah apa lagi yang dilakukan temanku itu ketika si satpam sesekali memekik. Akhirnya aku penasaran dan menoleh ke atas. Gila, temanku itu sedang mencabuti bulu dada si satpam! Tapi dengan tiap pekikan, kontol si satpam malah bergerak mengacung. Apa dia menikmati disiksa?
Terdengar suara sobekan; ternyata temanku malah menyobek singlet si satpam. Aku pun berdiri melihat hasilnya. "Gilaaaa.... itu bulu apa bulu tuh???" Bulu dadanya cukup halus di atas, namun semakin ke bawah semakin lebat, dan tidak terputus sampai di perutnya, bahkan ke selangkangannya. Aku tadi memang sempat sedikit merasakan rambut jembutnya, namun karena kontolnya sudah menyembul dari balik celana dalamnya, aku tidak tahu selebat apa di dalam. "Lu kocokin terus aja bro kontolnya, biar dia tetap keenakan!" Aku sih senang-senang saja mengocok kontolnya. Kali ini aku mendekapnya dari belakang dan mengocok kontol si satpam Meichell seakan-akan mengocok kontolku sendiri. Kontolku menyentuh pantatnya yang padat dan hangat. Gilaaa, pikirku. Ni kaya pantat cewek aja! Secara naluriah kugesek-gesekkan kontolku ke pantatnya. Kurasakan sensasi yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Si satpam Meichell tetap terpekik ketika bulu-bulunya dicabut satu per satu. Ketika pekikannya berhenti, aku pun terheran. Sudah selesai kah?
Rupanya belum. Temanku hanya mengambil sepasang alat yang belum pernah kulihat sebelumnya. Ia meletakkan alat itu pada puting susu si satpam Meichell, dan entah apa lagi yang ia lakukan, sehingga kini tampak seakan-akan puting susunya besar sekali. Ia memainkan "puting" baru si satpam, dan mungkin puting itu memberikan sensasi campur aduk bagi si satpam karena ia memekik sambil mendesah. Dion temanku ternyata malah menjilati bola-bola kontol si satpam!
"Eh lu udah siap belum?" temanku tiba-tiba bertanya.
"Siap apa?"
"Ngentotin dia lah! Udah ngaceng berat belum lu?" Tanpa ba bi bu ia meraih kontolku dan meremas-remasnya. "Kurang keras ini mah Bro! Sini kukerasin lagi!" Sebelum aku bisa menolaknya, ia langsung membuka kait celana jinsku dan menurunkannya, lalu mengeluarkan batang kontolku dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Ia menghisap kontolku. Gila nikmatnya! Tanpa permisi lagi aku mengerang keenakan ketika temanku dengan buas menghisap kontolku maju mundur. Aku bahkan hampir siap untuk mengentot mulutnya ketika ia berhenti. "Loh kok berhenti?"
"Waktunya lu ngentot si Meichell!" Agak kecewa sebenarnya karena kenikmatanku berhenti, jadi kukocok-kocok kontolku agar tetap ngaceng. Temanku kembali membawa gunting, dan tanpa kuduga ia menggunting celana si satpam! Ia membuat lubang yang lumayan besar di kedua pipi pantat si satpam, dan satu lagi di sekitar lubang pantatnya. Benar-benar pantat yang ranum! Ia menepuk-nepuk pantat si satpam sampai merah, lalu mempersilakan aku untuk mulai beraksi. Aku agak ragu-ragu...

...namun nafsu sudah mendorongku terlalu jauh. Tak ragu-ragu lagi kudorong kontolku memasuki lubang pantatnya.

[Naskah] Supir ojekku seorang anggota polisi

Setahuku anggota polisi itu jarang yang bekerja sampingan sebagai supir ojek. Apalagi di kota ini, yang ga mengenal budaya ojek. Tapi, sejak ojek online mulai populer, mulai ada juga yang memanfaatkannya, termasuk diriku. Maklum, ga punya kendaraan sendiri.

Dan mungkin itu malam keberuntunganku, karena supir ojekku seorang anggota polisi. Yang akhirnya kugodain.

Malam itu malam Sabtu biasa. Aku yang sudah jenuh dengan kerjaan sehari-hari pun akhirnya ngemal di kawasan timur. Ya memang ga level sih, barang-barangnya bermerk dan mahal, tapi mal itu dingin dan ramainya ga kebangetan seperti mal tengah kota. Aku makan sendirian, jalan-jalan sendirian. Kasihan banget ya? Sampai akhirnya waktunya pulang, aku pun memesan ojek online favoritku, katakanlah ojek online X. Nemu sih, tapi ga biasanya jauh amat, sekitar 8 menit lagi baru nyampe. Ya sudah lah... Si supir pun juga akhirnya nelpon aku, nanyain ga pa pa kah nunggu agak lama dikit. Karena toh aku ga keburu, ya sudah kuiyakan. Kutunggu di luar lobi, karena lobi mal itu ga cocok buat motor (ga level juga kali ojek jemput di lobi). Sambil menunggu, iseng kulihat foto supir ojekku. Ganteng juga. Rambutnya potongan pendek rapi kaya tentara. Tapi ya masa sih ada tentara ngojek? Kalau ada, disenggol-senggol dikit selangkangannya gpp kali ya, hehehe... Biar dah rating jelek, tinggal bikin akun baru. Angin bertiup agak kencang, membuatku agak kedinginan. Kenapa aku tadi ga bawa jaket ya... Habis beberapa hari terakhir panas terus sih cuacanya... Semoga ga hujan aja.

Lamunanku dibuyarkan dengan suara motor yang berhenti di depanku. Sepertinya ojek pesananku sudah datang. "Mas Fajar?" sapanya. "Pesan ojek X ya?"
"Iya, Mas Husein?" Tentu saja aku tahu nama supir ojekku, kan muncul di app-nya! Ia mengiyakan. "Diantar ke mana Mas?" Aku menyebutkan sebuah daerah di kawasan barat kota. "Wah jauh bener ya?"
"Iya Mas, nanti saya bayar dobel deh." Aku sudah terbiasa membayar dobel kalau jaraknya jauh. "Nanti dilihat deh Mas jatuhnya berapa kata aplikasinya." Mas Husein memberikan helmnya padaku, dan aku pun mengenakannya sampai terdengar bunyi klik. Aku mengamati sebentar motornya. Wuih motor sport, keren nih... Dan tentu saja, joknya agak miring ke depan. Asyik ada kesempatan gesek-gesek kontol nih, hehehe... Mas Husein pun tampak punya perawakan bagus. Sepatunya... Kaya sepatu buts dinas?
"Ayo Mas berangkat," kata Mas Husein. Aku pun terbuyar dari lamunanku dan berusaha naik motornya. Tinggi juga. "Pegangan aja Mas gpp kalau ga nyampe." Sialan, tau aja dia aku ga pernah naik motor sport... "Sudah Mas?" Aku pun menganggukkan kepala tanda siap. "Kalau takut jatuh, pegangan pinggang saya aja ya Mas." Waduh, mancing nih? Oke, siapa takut!

Dan jadilah aku berpegangan pinggangnya selagi dia mengendarai motornya menuju tujuanku. Dia memilih jalur yang tidak ramai, karena walau bagaimanapun juga itu jam pulang mal, dan biasanya jam pulang mal agak padat. Tentu saja dia sudah minta izin padaku kalau ambil jalur yang agak jauh, dan aku pun tidak keberatan. Saat berhenti di lampu merah, dia sempat mengajakku ngobrol dan membetulkan posisi duduknya, tapi dia tidak pernah memintaku untuk mundur dikit. Malah dia cuek saja ketika pantatnya bersentuhan dengan kontolku yang sudah lama jablay. Sampai di perempatan yang agak sepi, akhirnya aku memberanikan diri. "Masnya ini anggota kah?"
"Loh kok tau mas? Saya jaketan padahal."
"Sepatunya kan ga jaketan, hehehe... Dan dari tadi saya ngerasain sabuk Mas Husein gede bener, biasanya anggota kan yang sabuknya gede."
"Iya Mas, saya biasanya jaga di pos perempatan Y sana." Oh polantas toh. "Kata temen-temen nyambi ngojek aja, lumayan penghasilannya. Ya ada benernya juga sih."
"Udah lama mas nyambi ngojek?"
"Baru seminggu mas." Sayangnya lampu hijau, jadi percakapan terpaksa disudahi dulu. Tapi tanpa sengaja motor Mas Husein menerjang lubang, sehingga aku agak terlonjak sedikit. Tanganku agak melorot ke bawah sehingga pas ada di atas kontolnya. "Eh maaf Mas ga kelihatan." "Ga pa pa Mas, biasa lah jalan di sini, jelek!" Malah kesempatan bagiku buat megang kontol polisi! Aku tidak berusaha membetulkan posisi tanganku untuk melihat reaksi Husein. Dia tidak bereaksi. Sampai di ruas jalan yang agak gelap, dia berkata, "Mainin aja Mas kalau suka." "Boleh nih Mas?" tanyaku pura-pura memastikan. Padahal tanpa izinnya pun pasti nanti kumainkan kontolnya! "Iya boleh, tapi jangan pas rame ya Mas." Lampu hijau bagiku!

Tanpa ragu-ragu lagi kuraba tonjolan kontol Mas Husein si polantas yang sekarang jadi supir ojekku. Gede juga. Mungkin karena antisipasi aku memainkan kontolnya sejak tadi, kontolnya sudah sedikit mengeras. Kuberikan remasan-remasan mantap pada kontolnya, sekaligus mengarahkan batang kontolnya ke atas supaya nanti dia tidak kesakitan ketika tegang penuh, apalagi celana dinasnya ketat juga. Sempat terpikir untuk membuka resletingnya nanti dan mengocok kontolnya, tapi kasihan juga sih kalau sampai ada yang lihat... mungkin nanti saja megang langsung kontolnya pas di rumah, toh rumahku ga ada orang. Saat ada cukup banyak motor di sekeliling, aku hanya memegang kontolnya dan mengelus-elus batangnya. Saat sepi... tentunya aku all out. Kujepit kepala kontolnya dengan jempol dan telunjukku, lalu kutarik-tarik sambil kutekan-tekan. Sayang aku tidak bisa mendengar erangan Mas Husein, tapi rasanya dia keenakan. Kira-kira muncrat duluan sebelum nyampai rumah ga ya, hehehe... Kadang-kadang aku menggunakan telapak tanganku untuk menggencet kontolnya dan menggesek-gesek batangnya dengan telapak tanganku sementara jari-jariku memainkan bola-bola kontolnya. Celana dinas coklatnya cukup halus dan luwes, bisa mengikuti segala macam trikku (halah) pada kontol Mas Husein si pemilik celana, memberikan sensasi yang berbeda pada permainan kontol. "Enak banget Mas," pujinya saat di lampu merah yang lumayan sepi. "Padahal cuma diremas-remas tapi aku hampir ngecrot."
"Crot aja Mas, ga usah malu-malu, kan ga ada yang lihat, hehehe..." balasku sambil kembali meremas-remas kontolnya, dan dia pun balas meremas kontolku yang dari tadi sudah keras dan menempel erat di bokongnya.
"Masih jauh kah Mas ini?"
"Udah deket sih, paling 15 menitan lagi. Cukup lah Mas buat ngecrot sekali. Kalau Mas mau, nanti di rumah saya kasih bonus."
"Bonus apa Mas?'
"Yaaa... isepan maut? Atau kalau Mas mau, entot saya."
"Mas aja yang entot saya. Kasihan itu dedeknya dari tadi nempel aja, hehehe..." Oh ternyata dia bot toh.
"Boleh deh." Lampu hijau pun menyala, namun aku tidak berhenti melancarkan aksiku di kontol polantas Husein. Entah bagaimana caranya dia bisa tetap berkonsentrasi mengendarai motornya sambil kontolnya dimainkan. Celananya sudah tidak mampu lagi menampung cairan precum yang aku yakin terus mengalir dari kontolnya. Sebenarnya aku sendiri sudah kehabisan teknik untuk mengerjai kontolnya, jadi sekarang aku berusaha sebisa mungkin untuk mengocok kontolnya dari luar celana.
"Mas, masih jauh?" tanyanya terbata-bata. Sepertinya dia menahan diri untuk tidak ngecrot! "Oh udah deket sih Mas, ntar di depan sana ada perempatan tinggal belok kiri, jalan terus dikit terus masuk kanan, ada pos satpam. Kalau udah nyampe sana ntar saya arahin lagi." Aku merasa Mas Husein agak mempercepat laju motornya. Aku pun semakin intens memainkan kontolnya. Ia tidak berusaha menghentikanku, namun terlihat ia agak gelisah. "Mau crot kah Mas?" Ia hanya mengangguk. Tangan kiriku yang dari tadi hanya memegangi pinggangnya sekarang kupakai bergerilya di balik jaketnya, menuju ke dadanya. Aksiku itu hanya bisa kulakukan sebentar, karena ternyata dia sudah berbelok ke kanan menuju pintu masuk perumahanku, yang dijaga satpam seperti arahanku tadi. Sudah malam gini, harusnya portalnya sudah ditutup. Tapi aku ingat hari ini adalah giliran jaga Mas Mustakim, satpam yang pernah kubuat crot di celana dan sejak itu dia ketagihan. Baguslah, aku tidak perlu menghentikan aksiku ke Mas Husein. Sekalian bisa kugoda Mas Mustakim, hihihi... kontolnya biasa saja, tapi dia tahan lama dan tiap ngecrot cairannya selalu kental dan muncratnya jauh. Dia tinggal jauh dari istri dan anak, jadi setiap kali butuh melepaskan hasrat itu, tangan dan mulutku beraksi. "Malam Pak Mustakim," sapaku dari luar pos.
"Malam Mas Fajar," balas Mas Mustakim. "Malam amat Mas?"
"Iya, habis jalan-jalan." Aku sengaja menarik tangan kananku dari kontol Mas Husein, namun aku tetap memainkan kontol Mas Husein menggunakan tangan kiriku. Satpam Mustakim pun membukakan portal. Awalnya dia tidak memperhatikan, namun saat kembali ke tempatnya ia pun melihat tangan kiriku sedang meremas-remas kontol Mas Husein. Ia tidak berkomentar apa-apa, tapi aku yakin habis ini libidonya naik. Sudah lama sejak Pak Mustakim minta dilayani. "Mari Mas," pamitku dan Mas Husein pun tancap gas. "Habis ini ke mana Mas?" tanya Mas Husein. Aku pun menjawabnya dengan menggerakkan kontolnya ke kiri dan ke kanan seperti joystick (katanya ini "tongkat bahagia?" Memang membuatku bahagia!), memberinya petunjuk arah. Tak lama kemudian sampailah kami di depan rumahku. Sudah tidak ada siapa-siapa di luar (tentu saja!). "Gimana Mas, mau lanjut?" tawarku sambil menarik-narik kontolnya naik.
"Bentar Mas, ini distop dulu aplikasinya." Mas Husein mengeluarkan HP-nya dari saku jaket, lalu membuka aplikasi dan menghentikan perjalanan, selagi aku tetap memainkan kontolnya. Mas Husein mulai berani mengerang. "Eh sabar Mas, nanti ada yang dengar,," bisikku. "Masuk dulu yuk!" Awalnya ia merasa enggan karena itu berarti tanganku harus lepas dari kontolnya, namun Mas Husein pun menurut. Kubukakan pagar rumahku agak lebar agar Mas Husein bisa menuntun motornya masuk, lalu kututup dan kukunci lagi pagar. "Yuk masuk! Motornya masukin aja Mas, biar lebih aman."

Setelah aku menutup pintu depan dan menyalakan lampu, kulihat Mas Husein. Ia melepaskan jaket hitamnya, dan tampaklah kini tubuhnya yang masih terbalut seragam dinas polantas. Celananya... sudah basah kuyup! "Ayo Mas..." Mas Husein meminta memelas. "Tanggung..."
"Posisi kaya tadi ya Mas," pintaku. "Anggep aja ini masih di jalan. Mas Husein belum pernah kan ngecrot sambil naik motor?"
"Belum." Tanpa berlama-lama ia pun menaiki motornya, dan kususul naik di belakangnya. Tentunya, karena motornya tidak bergerak, Mas Husein harus menggunakan kedua kakinya untuk menyeimbangkan motor, namun itu juga yang kumau. Berarti posisi kontolnya sedang agak terjepit di jok motor. "Ayo Mas..." Kupegang kontolnya; agak lemas tapi masih keras. Tentu saja, kubuat keras kembali dengan meremas-remas kontolnya. Kali ini si polantas bisa mengerang sepuasnya tanpa harus malu-malu; oh betapa jantan suara erangannya. Kubantu dengan jilatan-jilatan dan cipokan-cipokan di leher dan belakang telinganya, sambil kucium aromanya. Aroma keringat yang menggugah selera. Tangan kiriku menelusuri sabuk kecil yang melintang di badannya. Saat sampai di lencananya, kuremas tubuhnya di sekitar lencana itu, sekalipun aku tahu lencananya tidak benar-benar pas ada di dadanya. Kuraba-raba lencana itu untuk kepuasanku sendiri sekaligus membuat penasaran Mas Husein yang masih menikmati permainan tanganku di kontolnya. Puas memainkan lencananya, aku menurunkan tanganku ke kantong bajunya. Targetku jelas: puting susunya. Aku tahu dia pasti masih mengenakan kaos dalaman, tapi harusnya aku masih bisa memainkan putingnya. Cukup melenting dan Mas Husein memekik ketika kuraba-raba putingnya. "Mas... mau keluar..." rintihnya.
Maka kucubit-cubit putingnya. Mas Husein pun melenguh, kontolnya berkedut-kedut di dalam celana dinasnya, sebenarnya berontak minta dibebaskan namun aku tentu saja tidak mengizinkannya. Kugerakkan kontolnya dengan gerakan mengulir, memutar kontolnya kesana kemari dalam celana dinasnya. Mas Husein mengerang dan mendesis keenakan diperlakukan seperti itu. Kutarik-tarik kontolnya dengan gerakan memerah, dan...
"Aaaaaaahhhhh..."
Akhirnya muncrat juga.
Mas Husein menggenggam setang motornya erat-erat selagi setruman orgasme melanda sekujur tubuhnya. Kontolnya berkedut-kedut di dalam celana dinasnya, ngecrot. Crot. Crot. Crot. Kuremas-remas untuk membantu tembakannya. Tanganku pun mulai terasa basah; rasa-rasanya spermanya berhasil juga tembus ke luar! Kurasa ada delapan kali crot kuat dari kontolnya sebelum kedutannya melemah dan Mas Husein terengah-engah sambil tetap mendesah. Tetap kuremas-remas kontolnya hingga tetes terakhir (kaya iklan susu aja) dan Mas Husein berhenti orgasme. "Gimana Mas?" tanyaku sambil menciumi lehernya.
"Enak banget Mas. Kok bisa ya cuma diremes-remes aja tapi muncrat. Mas ahli bener nih mainin kontol!"
"Iya dong Mas, aku kan punya kontol, rajin main tiap hari." Aku memang rutin coli; katanya sehat lho!
"Kontolku ga ada yang mainin Mas."
"Ah masa? Mas Husein polisi gini, banyak yang cari lho!"
"Iya tapi saya takut diperas. Kan bisa gawat karir saya."
"Sama saya tapi percaya?"
"Yaa... Mas ga ada tampang jahat sih..." Ya iya lah, secara aku tampan! Masa mukaku kaya preman!
"Tenang aja Mas, aku ga segitunya kok. Ngapain juga meras polisi. Meras kontolnya polisi yang aku suka!" Kuperas kontolnya lagi, dan Mas Husein pun mengerang. "Geli Mas!"
"Nyantai Mas. Belum kuisep kan? Yuk!"

Kami berdua pun turun dari motornya. Aku meminta Mas Husein berdiri dengan kaki terbuka dan merapat ke tembok, lalu tanpa sungkan-sungkan kucium polantas itu sambil tetap kuremas-remas kontolnya. Aku tidak peduli kontolnya lagi sensitif karena habis orgasme; kalau dia kuat, biasanya kontolnya bisa tegang lagi! Mas Husein agak menggeliat-geliat sambil memegangi tanganku yang meremas-remas kontolnya; tentu ia kegelian. Tapi aku tetap gigih.
Dan akhirnya kegigihanku membuahkan hasil. Lama-kelamaan kontolnya mengeras lagi. Karena aku janji mengisap kontolnya, aku tidak terlalu lama memainkan kontolnya dari luar celana. Kubuka resleting celananya dan kucoba mengeluarkan kontolnya. Mas Husein kembali kelojotan kegelian; kau mungkin tak pernah melihat polisi berseragam lengkap kelojotan! Karena spermanya yang begitu banyak dan kontolnya belum mengeras sempurna, aku jadi cukup mudah mengeluarkan batang kontolnya. Sedikit belepotan spermanya, tapi tidak apa. Bisa kubersihkan dengan lidahku nanti. Kukeluarkan juga kedua bola kontolnya. Jembutnya agak lebat, tapi tidak mengganggu usaha ngisepku nanti. Aku pun tersenyum pada Mas Husein si polantas, kemudian berlutut di depannya. Kukagumi kontol Mas Husein yang menggantung gagah di depanku, keluar dari celana dinas seorang polisi. Ujung kepalanya mulai mengeluarkan cairan precum. Kedua bola kontolnya juga menggantung indah di bawah batang kontolnya. Waktunya memuaskan polisi ini.

Sebagai menu pembuka, kusapukan lidahku pada batang kontolnya yang basah dengan spermanya. Mas Husein mendesah sambil sedikit kelojotan, sepertinya dia agak kegelian. Bisa jadi juga dia belum pernah dihisap kontolnya. Spermanya sudah dingin, tapi masih terasa gurih dan kental. Harusnya persediannya masih banyak. Kutatap kedua bola kontolnya yang menggantung. Kelihatan ranum, jadi kumasukkan salah satu bola kontolnya ke mulutku dan kukulum. Mas Husein mendesis, berjinjit dan memegang kepalaku. "Ah Mas, ngilu..." Kuelus-elus batang kontolnya hingga desisannya berubah menjadi desahan. "Enak Mas?"
"Enak tapi ngilu Mas..."
"Belum pernah diginiin ya?"
"Belum Mas... biasanya cuma dikocok aja..."
"Nanti aku kasih yang lebih hot lagi Mas, sabar." Puas mengenyot bola kontolnya, aku mengarahkan bibirku ke pangkal batang kontolnya dan mengapitkan bibirku. Lidahku sendiri juga kusentuhkan ke kontolnya. Perlahan-lahan kuurut batang kontolnya dengan bibirku sambil lidahku menyapu kontolnya. Mas Husein mengerang dan menggelinjang selagi aku sampai di ujung kepala kontolnya yang kembali meneteskan precum dengan derasnya. Kurasa polantas Mas Husein ini sudah kembali ke kondisi primanya. Kondisi prima untuk diperah kontolnya.
Maka kumasukkan batang kontol Mas Husein ke mulutku. Dan kuhisap.

"Aaaaaahhhhh.... Teeeeettt..."

Eh? Bunyi apa itu? Masa erangan Mas Husein seperti itu? Kuhisap lagi kontol Mas Husein dan ia pun mengerang panjang kembali, tapi bunyi itu pun muncul lagi. Setelah tiga kali, aku baru sadar. Itu bunyi bel rumahku. Dan dari pola pencetannya, itu pasti Mas Mustakim. Aku memang pernah menyuruhnya memencet bel rumahku dengan pola tertentu, sebagai kode kalau dia minta jatah. Dengan enggan kukeluarkan batang kontol Mas Husein dari mulutku. "Kok berhenti Mas? Tanggung..."
"Ada tamu Mas."
"Malam-malam begini?"
"Iya. Satpam yang tadi, minta jatah Mas. Maklum jauh dari istri." Raut muka Mas Husein sejenak menjadi kecut, kecewa karena permainannya terganggu. "Mas mau main bareng Mas Mustakim? Kontolnya gede Mas. Tapi dia normal, jadi ga mau mainin kontol. Gimana?" Supaya yakin, tetap kukocok-kocok lembut kontolnya.
"Dia suka ngentot ga?"
"Belum pernah sih kalau sama saya. Tanyain aja ntar Mas. Mestinya mau. Kalau ga mau, paksa aja. Masnya kan polisi, harusnya satpam nurut sama polisi kan?"
"Iya sih tapi saya polantas Mas."
"Ah sama-sama seragam coklatnya, dia ga bakal tau bedanya! Kubukain dulu ya. Mas Husein tunggu aja di sini, ga usah diberesin celananya." Sedikit enggan, tapi karena mengantisipasi ceritaku, Mas Husein pun mengangguk. Aku pun membukakan pintu untuk satpam Mustakim. "Malam Mas Fajar," ujarnya basa-basi. "Malam Pak Mustakim," balasku sambil meremas kontolnya. "Udah penuh lagi nih Pak?"
"Iya Mas, apalagi Masnya tadi mainin punya temennya ya? Punya saya juga dong..."
"Ayo deh Pak, mari masuk!" Kutarik kontol Pak Mustakin membimbingnya masuk. "Eh tapi temennya?"
"Ga usah khawatir Pak, kita main bertiga. Dia juga pingin ngerasain kontol Pak Mustakim. Bapak udah lama ga ngentot kan? Dia mau dientot." Sejenak kulihat mata Pak Mustakim berbinar-binar, tapi mungkin perasaanku saja.

Begitu di dalam, aku nyaris tertawa. Pak Satpam Mustakim mendadak berdiri dalam posisi tegap, memberi hormat pada Mas Polisi Husein, yang rupanya agak malu sehingga ia merapikan diri. Tapi tentu saja ia tidak bisa menyembunyikan noda bekas sperma di celana dinasnya. "Lapor! Saya mau... saya mau... mau..."
"Udah Pak nyantai aja! Bapak nggak dihukum kok! Ayo kenalan dulu!" Dengan canggung mereka pun bersalaman tanpa bertukar nama--tentu saja, nama mereka ada di seragam! Untuk mencairkan suasana, supaya mereka tidak saling canggung, aku memberikan pemanasan. Pak Mustakim sudah agak terbiasa melihatku memainkan kontolnya, jadi kuminta mereka berdua berdiri bersandar pada tembok.
Kuremas-remas kontol polisi dan satpam itu.
Mungkin dua-duanya tidak terbiasa ada orang lain sehingga awal-awal mereka diam saja. Tentunya aku tidak hilang akal. Kukeluarkan jurus terbaikku pada kontol kedua pria itu, namun tetap menjaga agar Mas Polisi Husein tidak muncrat duluan karena dia sudah kupanaskan cukup lama. Selang beberapa saat, akhirnya kecanggungan itu pun mulai luntur. Mas Polisi Husein mengerang duluan. "Ayo Mas isepin lagi..." pintanya memelas. Aku pun menuruti permintaannya. Kubuka resleting celana polisi dan satpam itu bersamaan, dan kukeluarkan kontol mereka. Pak Mustakim juga sudah terangsang hebat sehingga kontolnya mengacung keras dengan gagahnya. Kontol Mas Husein belum menegang sempurna, namun aku yakin sebentar lagi ia akan menyusul. Maka kumainkan kontol polisi Husein terlebih dahulu. Kukocok-kocok sebentar, lalu kuhisap, dengan berhati-hati agar Mas Husein tidak keluar terlebih dahulu. Setahuku, kalau kau sudah keluar, akan sakit kalau dientot kemudian. Mungkin biar Pak Satpam Mustakim ini saja yang bikin Mas Polisi Husein ngecrot sendiri gara-gara dientot.

* tengah-tengah ngisep, bel rumah bunyi. Mas Husein dipegang kontolnya dan ditarik ke arah interkom. Si pak satpam Mustakim. Minta diisep. Akhirnya Mas Mustakim join, diisep gantian sama mas polisi Husein. Adu kontol buat dipijat pakai mulut dari pangkal kontol polisi ke pangkal kontol satpam. Mas polisi Husein dibikin muncrat dulu. Mas Mustakim ditawari ngentot Mas Husein.