Senin, 15 Agustus 2011

Video penakluk polisi (bagian 1)

"Aldy! Sini sebentar Nak!"
"Bentar Pi, tanggung!" Kupercepat kocokanku pada Kardi satpam rumahku. Nafasnya semakin memburu, dan akhirnya semenit kemudian ia orgasme. "Aldy!!" teriak ayahnya lebih keras. "Iya Pi!!!" balas Aldy tak kalah kerasnya. "Kau bersih-bersih sendiri ya. Jangan sampai Papi tahu kau di kamarku." "Iya Den," jawab Kardi patuh sementara Aldy bergegas membersihkan tangannya, lalu turun ke bawah menemui ayahnya. "Ada apa sih Pi, ngebet banget ketemu Aldy?" tanyanya sambil menggelayut manja di bahu ayahnya.
"Ayah punya hadiah untukmu. Untuk ultahmu besok."
"Yah Ayah...," nada kecewa tersirat dari ucapan Aldy. Ia tahu, ayahnya takkan ada di ulang tahunnya besok, apalagi besok adalah ulang tahunnya yang ketujuh belas. Dua tahun berturut-turut ayahnya melewatkan ulang tahunnya, walaupun ia tetap mendapat hadiah. Ayah Aldy adalah seorang direktur di sebuah perusahaan elektronik inovator, maksudnya perusahaan ini selalu mengeluarkan produk-produk hi-tech hasil riset mereka sendiri. "Eits, siapa bilang Ayah besok bakal sibuk. Besok kan hari Minggu!"
"Lha kok dikasih sekarang Yah?" tanya Aldy was-was. "Jangan-jangan besok..."
"Nggak kok Sayang, Ayah sudah pesan ke sekretaris Ayah, besok Ayah tidak mau diganggu sama sekali. Besok kan ultahmu yang ketujuh belas kan? Masa Ayah melewatkannya." Ia kemudian memeluk Aldy dan membiarkan anak semata wayangnya itu menggelayut manja, walaupun terasa ada yang mengganjal di bawah. "Besok aja Yah kalau gitu, biar jadi hadiah ultah beneran!" usul Aldy. "Sekarang Aldy bobo dulu ya, ngantuk nih. Ayah juga jangan tidur malam-malam, nanti sakit lho!" Ia mengecup kening ayahnya, sebuah kebiasaan sebelum tidur yang selalu ia lakukan sejak kecil. Sayang ibunya sudah tidak ada lagi; orang tuanya bercerai ketika ia berumur belasan tahun, dan hak asuh jatuh ke ayahnya. Berhubung ayahnya sangat kaya dan Aldy adalah anak semata wayang, hampir semua kemauan Aldy dituruti. Namun Aldy juga tahu diri, ia tidak sampai mabuk-mabukan atau menggunakan narkoba, dan ia cukup jarang berfoya-foya. Ayah Aldy sendiri masih trauma atas pengkhianatan mantan istrinya yang selingkuh, sehingga sampai lima tahun kemudian ia belum juga menikah kembali.

Aldy sendiri tidak punya masalah dengan cewek, kecuali bahwa ia gay. Parasnya sendiri tampan, banyak yang bilang ia mirip artis Korea. Badannya atletis karena rajin fitness, tingginya sekitar 180cm karena ia suka main basket. Kehidupan seksualnya cukup menantang, yang jelas ia doyan kontol. Sejak ia melihat satpam rumahnya ngocok, ia mulai suka pada kontol. Setelah pendekatan beberapa lama, akhirnya ia bisa menikmati kontol satpam rumahnya. Namun jiwa mudanya menginginkan lebih. Ia menginginkan kontol polisi. Dari yang ia dengar, kontol polisi biasanya besar-besar. Namanya juga anak muda, ia penasaran dengan kontol polisi.

Namun rasa penasarannya akan segera terwujud.

Keesokan harinya, Aldy bangun dengan tergesa-gesa. Ia segera mencari ayahnya, namun rumah itu sepi bukan main. Hanya ada Heru, satpam sif pagi. "Ayah ke mana Her?" tanya Aldy. "Tadi pagi tergesa-gesa Den, sepertinya ada masalah. Tapi Tuan menitipkan ini untuk Aden." Ia menyerahkan sesuatu pada Aldy yang langsung dibukanya. Ada sebuah pulpen di dalamnya dan sebuah catatan kecil:

Aldy,


Maafkan Ayah, namun Ayah harus pergi. Tadi pagi-pagi buta Ayah mendapat kabar kalau pamanmu kecelakaan dan sekarang ada di RS X. Ayah tidak tega membangunkanmu, jadi ayah langsung pergi. Jangan menyusul dulu ke rumah sakit, nanti Ayah kabari kalau semuanya sudah membaik. Di laci meja belajarmu ada sedikit uang, gunakanlah untuk merayakan ulang tahunmu hari ini. Kadomu adalah sebuah pulpen berkamera, petunjuknya ada di dalam.
Selamat bersenang-senang hari ini. Ayah cinta padamu.

Walaupun agak kecewa karena ayahnya tidak bisa merayakan ultahnya, Aldy suka dengan kadonya. Pulpen berkamera itu terlihat seperti pulpen biasa, dan sangat mudah mengoperasikannya. Rekaman pertamanya adalah aksi ganti baju Heru di pos, yang diselingi sedikit bonus aksi membetulkan posisi kontol di dalam celana. Pulpen itu sengaja ditinggalnya ketika Aldy main ke pos. Pikiran nakal Aldy pun berputar, bagaimana cara mendapatkan kontol polisi dengan mainan barunya itu. Dan ia pun mendapatkan ide.
Namun, tanpa perlu menjalankan ide itu, ia akan segera mendapatkannya.

Esok harinya, seperti biasa ia berangkat ke sekolah dengan motor kesayangannya. Karena jarak rumah dan sekolah tidak terlalu jauh, ia jarang menggunakan helm, toh setelah sekolah ia langsung pulang, apalagi tak pernah ada polisi. Ia sendiri tak pernah berurusan dengan polisi, namun ia selalu berharap bisa berurusan dengan polisi dalam hal kontol. Pagi itu ia memacu motornya dengan kecepatan normal. Priiiiittt!!! Seorang polantas menyuruhnya minggir. Aldy pun meminggirkan motornya.
"Pagi Dik," sapa polantas itu. "Pagi Pak. Ada apa ya?"
"Hanya pengecekan biasa kok Dik. Tolong SIM dan STNK-nya." Aldy pun menyerahkan surat-surat tersebut. Sambil menunggu, Aldy pun mengamati polisi itu. Tingginya sekitar 185cm, beratnya mungkin 80an kg, umurnya sekitar 30an. Wajahnya tampan juga dengan kumis tercukur rapi, rambutnya mungkin cepak karena polisi itu mengenakan helm. Namanya Syaiful S. Kacamata hitamnya semakin menambah kegagahan polisi itu. Aldy mencoba mencuri-curi pandang selangkangan polisi itu, besar juga. Otak Aldy mulai berputar, ia ingin mendapatkan polisi itu. Ia raih diam-diam pulpen kamera di sakunya, lalu ia nyalakan dan sebisa mungkin ia arahkan ke wajah polisi itu. "Kenapa tidak pakai helm?"
"Iya Pak helm saya lagi dipinjam teman, ini mau saya ambil di sekolah."
"Tapi kan bahaya nggak pakai helm? Mau saya tilang?"
"Jangan lah Pak..."
"Kamu ada duit berapa?" Polisi itu tidak sadar dirinya sedang direkam.
"Cuma lima puluh ribu Pak, buat makan siang dan bensin."
"Udah kasih saya saja buat damai, daripada saya tilang, jatuhnya lebih banyak nanti, buat atasan saya. Hitung-hitung buat Lebaran."
"Ya sudah deh Pak." Ia menyerahkan selembar uang lima puluh ribu pada polisi itu, dan segera ia dibebaskan.

Seharian itu ia tidak konsen pada pelajarannya. Ia masih terbayang-bayang pada Syaiful si polisi. Kontolnya berontak di celana seragam abu-abunya. Saat sekolah berakhir, ia cepat-cepat pulang, memelankan motornya saat mendekati pos polantas tempatnya ditilang tadi pagi, berharap ia bisa melihat Syaiful. Benar saja, Syaiful si polantas masih di sana, namun melihat Aldy ia hanya tersenyum. Senyuman termanis yang pernah dilihatnya. Sampai di rumah, tanpa mengganti bajunya Aldy langsung memindahkan video dari pulpennya ke komputer dan memutarnya. Ooohh betapa tampannya Syaiful si polantas... Aldy pun mengelus-elus kontolnya yang sudah tegang dari tadi. Sejenak ia menikmati video itu sambil memainkan kontolnya. Suara Syaiful begitu jantan, membuatnya sangat bernafsu. Ia bertekad menikmati tubuh polisi itu. Tapi bagaimana caranya ya...

Di akhir pemutaran ketiga, ia mendapat akal. Polisi kan harusnya tidak boleh terima uang damai, bisa dihukum atau bahkan dipecat. Apalagi tadi dia menyebut atasannya juga terima uang damai. Fitnah atau menghina atasannya. Disalin dulu ah... Ia salin video itu ke HP-nya untuk ditunjukkan ke polisi itu nantinya, agar ia dapat menundukkannya. Kebetulan sekali rumahnya sepi, ayahnya tentu saja bekerja dan tadi pagi sudah berpesan bahwa ia akan pergi ke rumah sakit dulu, sehingga pulangnya pasti malam. Ia mengeluarkan motornya kembali, sengaja tetap mengenakan seragam sekolahnya dan tidak membawa helm. Ia memacu motornya menuju pos polisi itu...

...dan sesuai harapan, ia diberhentikan lagi oleh seorang polisi, tak lain dan tak bukan Syaiful sendiri. "Kamu lagi. Masih nggak pakai helm juga?" tanya Syaiful agak tegas. "Iya Pak, ada barang ketinggalan di sekolah."
"Mana helmmu?"
"Ketinggalan di sekolah Pak."
"Jangan alasan kamu! Sengaja ya? Mau saya tilang beneran, hah?"
"Silakan Pak, saya nggak takut!" tantang Aldy.
"Eeee, nantang ya kamu! Belum pernah disel ya?!!"
"Jangan sok galak dulu Pak," ujar Aldy tenang. "Lihat ini dulu." Ia mengeluarkan HP-nya lalu memutar video kejadian tadi pagi.
"Apa ini? Apa maksudnya ini?"
"Tonton dulu sampai selesai."
"Kamu mau meras saya ya?"
"Nggak kok Pak. Saya cuma pingin tanya, kalau video ini diupload ke Youtube, kira-kira Bapak bakal terkenal ga ya kaya Briptu Norman?"
"Jangan bercanda kamu!!!" hardik Syaiful sambil merebut HP Aldy dan membantingnya hingga hancur berkeping-keping. "Sekarang mau apa kamu, hahaha!!!" Polisi itu tertawa menang.
"Jangan senang dulu Pak. Saya madih punya banyak rekamannya. Di situ hanya ada wajah Bapak, pasti Bapak yang kena duluan. Gimana?" Aldy tersenyum sementara polisi itu mulai ketakutan. Ia menarik Aldy ke belakang pos agar tidak ada yang melihat. "Baik, saya menyerah! Jangan sebarkan video itu. Apa maumu? Ini uangmu saya kembalikan." Polisi itu merogoh kantong belakangnya hendak mengeluarkan dompet, namun Aldy mencegahnya. "Nggak usah Pak, saya ikhlas kok. Saya cuma mau burung Bapak." Aldy pun meremas kontol polisi itu.
"Jangan main-main kamu ya!" hardik polisi itu dan menepis tangan Aldy.
"Ya sudah kalau gitu Pak, saya permisi dulu." Aldy melangkah pergi, namun dengan segera polisi itu menghadangnya. "Jangan Dik, Bapak mohon. Bapak harus menghidupi istri Bapak, Bapak nggak tahu harus kerja apa lagi. Bapak bersedia melakukan apa saja, asal Adik tidak sebarkan video itu."
"Kalau gitu, saya minta kontolnya Bapak," ujar Aldy sambil meremas kembali kontol polisi itu.
"Jangan Dik," kali ini polisi itu hanya memegangi tangan Aldy. "Saya mohon, yang lain saja. Saya masih setia sama istri saya." Wah ternyata si polisi cowok straight, pikir Aldy. Pasti tambah enak menikmati kontolnya, biar ketagihan.
"Gak bisa Pak, saya mau ini!!!" sergah Aldy sambil meremas kontol polisi itu agak keras, membuat polisi itu mengerang kesakitan. "Atau saya sebarkan video Bapak." Polisi itu berpikir sejenak, namun dengan satu remasan lagi dari Aldy membuat polisi itu menjawab, "Baik! Baiklah! Saya turuti apa maumu!" Dalam hati Aldy kasihan juga melihat raut wajah polisi itu yang memelas, namun sudah kepalang tanggung... Ia lepaskan remasannya, dan selagi polisi itu bernapas lega, Aldy mengeluarkan pulpennya dan menuliskan alamat serta nomor teleponnya. "Ini alamat saya. Datang ke rumah saya kalau Bapak sudah selesai dinas. Rumah saya sebelah minimart. Telepon saya di nomor itu kalau sudah sampai. Ingat, jangan ganti seragamnya!" Aldy berpamitan dengan meremas sekali lagi kontol polisi itu, lalu ia melangkah keluar dengan penuh kemenangan. Akhirnya!

Sampai di rumah, Aldy langsung memasang kamera rahasia di sekeliling kamarnya. Ia tentu saja tak ingin momen langka itu hilang begitu saja, momen ketika ia memperkosa seorang polisi. Ia tak perlu khawatir wajahnya terekam, teknologi yang dimiliki perusahaan ayahnya sudah mampu menyamarkan atau bahkan mengganti wajah seseorang dalam suatu video. Tepat setelah merapikan semuanya, HP Aldy satunya berdering. Dari nomor tidak dikenal. Sepertinya polisi itu. "Halo, siapa ini?"
"Ini saya, Syaiful."
"Oh ya sudah, saya ke depan." Ia menyuruh satpam membukakan pintu untuk polisi itu. "Ayo masuk Pak, tidak perlu lepas sepatunya." Ia membimbing polisi itu ke kamarnya, lalu mengunci pintu. "Mau diapakan saya Dik?"
Tanpa komando Aldy langsung membanting polisi itu ke ranjang. "Bapak santai saja, nikmati semuanya. Anggap saya istri Bapak." Aldy pun membelai wajah polisi itu. "Bapak tampan sekali." Polisi itu diam saja. "Istri Bapak memang tidak salah pilih. Bodinya..." Aldy meraba dada bidang polisi itu. "Jangan Dik..." "Tenang saja Pak," ujar Aldy sambil menghunjamkan kepalan tangannya ke selangkangan polisi itu. "Aaaakkkhh..." Erangan polisi itu tertutup ciuman Aldy yang penuh nafsu. Syaiful pun meronta-ronta, dan sejenak mereka bergumul. Aldy berusaha meraih borgol yang sudah ia siapkan di sisi ranjang, dan setelah terkena beberapa kali tendangan, ia berhasil memborgol polisi itu. Terengah-engah, Aldy berkata, "Bapak, saya sebenarnya tidak mau main keras, melukai Bapak. Tapi kalau Bapak melawan terus, saya harus main keras juga." Ia menaiki tubuh polisi itu dan berbisik, "jadi, kalau Bapak menurut, saya tidak akan melakukan ini." Ia menusuk kontol polisi itu dengan lututnya, membuatnya mengerang. "Aaarrghhh! Jahanam kau!!! Kau tidak akan lepas dari ini!!!"
"Oh ya?" ejek Aldy sambil memperdalam tusukannya, memberikan rasa sakit yang lebih kuat pada polisi itu. Peluh mulai bercucuran di dahi polisi itu, seragam coklatnya mulai basah karena keringat. "Ingat Bapak, saya punya rekaman tadi. Begitu rekaman itu tersebar, walaupun saya dipenjara, nama Bapak akan selamanya tercemar. Bahkan mungkin istri Bapak akan meninggalkan Bapak, menceraikan Bapak kalau tahu Bapak ternyata menerima suap."
"Jangaaannn...," isak polisi itu. "Saya tidak mau hidup saya hancur..." Aldy agak terkejut juga, polisi yang selama ini ia kira jantan dan tegar ternyata bisa menangis juga. Ah polisi juga manusia... "Saya tidak akan melakukannya kalau Bapak berserah diri pada saya. Turuti saja apa yang saya perintahkan, dan saya jamin rahasia ini akan terjaga selamanya. Setuju?" Aldy melepaskan lututnya dari kontol polisi itu dan membelainya wajah polisi itu. Polisi itu mengangguk sambil masih terisak. Aldy menghapus air matanya dan perlahan mencium polisi itu. Pada awalnya polisi itu diam saja, masih terisak-isak, namun akhirnya isakannya terhenti. Perlahan-lahan polisi itu mulai menikmati ciuman Aldy, bahkan lama-kelamaan ia membalasnya, seakan-akan sekarang ia sedang berpagutan dengan istrinya. Kebetulan saja istrinya sedang datang bulan, sehingga lima hari ini ia tidak dapat jatah.
"Pak Syaiful, kalau saya lepas borgolnya, Bapak janji tidak akan berontak?" tanya Aldy. Polisi itu mengangguk. Maka Aldy pun melepaskan borgol yang membelenggu kedua tangan Syaiful. Mereka pun kembali berpagutan, kali ini justru Syaiful yang bernafsu. Lima menit berciuman, polisi itu terbaring lelah. "Wah masa sudah capek Pak," goda Aldy. "Kasihan kontolnya nih, kepalang tanggung sudah bangun." Memang, saat diraba Aldy, bonggolan daging yang tersembunyi di balik celana dinas polisi itu sudah semakin menggunung. Batang kontolnya tercetak jelas di celana coklat itu. "Saya mainin ya Pak." Polisi itu hanya mengangguk, lalu ia membuka kedua kakinya. Awalnya Aldy hanya mengelus-elus onderdil polisi itu, namun lama-lama ia tak tahan. Dibenamkannya mukanya pada selangkangan polisi itu, dihirupnya aroma kejantanannya. Bau keringat akibat berdiri seharian penuh di terik matahari semakin menambah aroma kejantanan polisi itu. Sambil salah satu tangannya meraba-raba dada polisi itu, ia sapukan hidungnya pada batang kontol polisi itu, sambil sesekali ia sundul-sundul bola-bolanya. Syaiful bernafas dengan berat, walaupun separuh otaknya mengatakan itu laki-laki yang sedang bermain dengannya, separuh lagi menyukainya. "Besar nih senjatanya Bapak, istrinya pasti suka ya," puji Aldy. "Pernah dihisap Pak?"
"Pernah sama istri, tapi cuma sekali saja. Katanya kegedean."
"Ya pasti lah Pak, tapi kalau saya yang hisap pasti muat. Dan enak."
Belum sempat polisi itu bereaksi, Aldy mulai melucuti bagian bawah polisi itu. Pertama-tama, dibukanya sabuk putih kebanggaan polantas itu. Tidak sampai ia tanggalkan. Ia langsung membuka kait celana polisi itu dan menurunkan resletingnya. Ia menurunkan celana itu sampai sebatas paha. Tampaklah kini area segitiga emas polisi itu, masih terbalut celana dalam hitam. Dengan nakalnya Aldy menjilati perut bawah polisi itu, membuatnya menggelinjang. Satu tangan Aldy menelusup ke dada polisi itu, tanpa berusaha melepaskan kemejanya, dan memainkan putingnya. "Oooohhh, enak Dik... Istriku tak pernah bermain seperti ini..."
"Percaya saya deh Pak, saya akan kasih Bapak servis yang lebih nikmat lagi." Digigitnya celana dalam polisi itu dan disibaknya turun, sehingga batang kontol polisi itu langsung menyambut dan menampar wajah Aldy. "Hmmmm... Kontol Bapak besar sekali..."

Selasa, 09 Agustus 2011

Di kereta Surabaya-Jakarta (bagian 3)

Setelah aku mengangguk tanda aku tidak akan memberontak, provost itu mengendorkan dekapannya, namun tidak melepaskanku. Kepalaku dielus-elusnya dengan penuh sayang; karena provost itu lebih tinggi besar dariku, seakan-akan provost itu bapak yang sedang memeluk anaknya. Aku pun memberanikan diri melingkarkan tanganku di pinggang provost itu. Benar-benar pinggang yang ramping namun berisi. Kontolnya sedikit di atas kontolku dan menekan keras tubuhku. "Aku tahu kamu gay sejak di kereta itu," bisiknya. "Puaskan aku." "Tapi aku tak mau menusuk dan ditusuk," bisikku balik sambil meremas kontolnya agak keras hingga provost itu mengerang pelan. "Tak apa, kocok atau hisap kontolku," pintanya. "Lalu kedua temanmu?" "Lakukan yang sama sepertiku." Dengan sedikit anggukan provost itu menyuruh kedua rekannya merapat, dan mereka berdua ikut memelukku. Aku seakan dipeluk tiga raksasa sehingga agak kepanasan dan kesulitan bernafas, namun untuk sejenak kunikmati diriku dipeluk sambil tanganku leluasa menjelajahi kontol dua provost sekaligus. Kuhirup aroma lelaki provost itu, rupanya ia menggunakan parfum maskulin. Dua provost lainnya masih menikmati permainan tanganku pada kontol mereka. Setelah aku memberikan sinyal untuk menghentikan pelukan itu dengan meremas kuat kontol kedua provost itu, permainan sebenarnya pun dimulai.

Aku duduk di sofa di ujung kamar sementara ketiga provost itu berdiri tegap di depanku. Santoso masih tidur dengan nyenyak, sepertinya ia memang kecapaian. Karena ketiga provost itu tidak ingin saling melayani, aku berusaha melayani mereka bertiga. Provost pertama bernama Jacky, kulayani terlebih dahulu. Kudekatkan mukaku dengan kontolnya yang sudah tercetak dengan sangat jelas di celana dinasnya saking ketatnya. Kubenamkan wajahku di kontolnya untuk menghirup aroma kejantanannya. Setelah puas, kusundul-sundul bola-bola kontolnya dengan hidungku dan kugigit-gigit ringan batang kontolnya, membuat Jacky mengerang pelan. Gemas dengan erangannya, kukepalkan tanganku dan kutinju pelan kontolnya. Ia berpura-pura kesakitan sambil memegangi kontolnya dan mengerang kembali. Kedua rekannya hanya tertawa melihat Jacky; sekilas kulihat kontol mereka masih tegang walaupun tidak kumainkan lagi. Kupegang tangan kekar Jacky untuk membuka pertahanan kontolnya, kemudian kupecundangi lagi provost itu dengan membuka resleting celananya. Kurogoh ke dalam, agak terkejut ketika aku langsung mendapati barang pusakanya yang hangat dan berdenyut itu. Kukeluarkan batang kontol Jacky, kemudian kubiarkan kedua rekannya mengagumi batang kejantanan itu; kuberi bonus remasan-remasan lembut pada kontol mereka berdua. Kontol Jacky sudah disunat ketat, berurat di sepanjang batangnya; saat itu kontolnya berdenyut-denyut. Kupegang kepala kontolnya dan kuelus sepanjang pinggiran kepalanya dalam gerakan memutar. Gerakan itu rupanya menimbulkan sensasi geli namun nikmat yang luar biasa; Jacky melenguh seperti lembu hendak disembelih dan kelojotan tak karuan. Precum mulai meleleh dari ujung lubang kencingnya, langsung kujilati. Agak getir dan asin, namun aku suka. Kukeluarkan buah zakarnya dan kuremas-remas beberapa saat untuk merangsang kontolnya mengeluarkan precum lagi. Setelah puas, kujilati seluruh jengkal batang kontolnya dari ujung hingga ke pangkal. Kuciumi dan kujilati pangkal kontolnya sementara kukocok-kocok kepalanya, membuat Jacky belingsatan tak karuan. Walaupun begitu, tak ada tanda-tanda ia akan orgasme. Kurasa stamina provost ini masih sangat prima. Kupandangi wajah Jacky dan ia balas memandangku. Kuberikan senyumanku, kemudian kujilati kontol itu seperti es krim. Tak terlalu lama aku melakukannya, karena aku sendiri sudah tak tahan ingin merasakan tongkat kejantanan provost itu di dalam mulutku. Maka kucaplok kontolnya dan kumasukkan perlahan-lahan. Kontol Jacky lumayan panjang walaupun tidak terlalu besar, kutaksir panjangnya sekitar 18cm dan tebalnya 3-4cm. Hingga pangkalnya masuk, aku bisa merasakan ujung kontolnya menyentuh dinding tenggorokanku. Jacky dengan nakalnya menggerak-gerakkan kontolnya, memukul-mukul dinding tenggorokanku dan membuatku mual. Ia mendorong kepalaku hingga aku terbenam dalam selangkangannya, namun masih terhalang celananya. Kubuka kaitan celananya agar aku lebih leluasa menikmati selangkangannya. Entah kenapa provost itu tidak mengenakan sabuk, padahal aku ingin sekali melucuti sabuk itu seperti tadi aku melucuti Santoso. Kuturunkan celananya sampai sebatas paha, lalu Jacky kembali membenamkan kepalaku pada selangkangannya sambil menggerak-gerakkan kontolnya. Awalnya aku tersedak dan mual, namun bau jantan selangkangan Jacky membantu melawan rasa mual itu. Jacky mulai memompa kontolnya di mulutku; kuletakkan lidahku di bawah kontolnya dan kusempitkan mulutku untuk melipatgandakan kenikmatannya, dan benar saja, Jacky mengerang habis-habisan dibuatnya. Aku memeluk pantatnya yang montok berisi itu selagi ia mengentot mulutku. Sesekali cairan precum meleleh dari kontolnya, memberikan rasa asin getir yang kusuka itu.

Sepuluh menit kemudian, mulutku mulai lelah mengenyot kontol Jacky. Satu provost rekannya sudah muncrat terlebih dahulu, walaupun hanya kuremas-remas dari luar tanpa menanggalkan sehelai benang pun dari tubuhnya sehingga noda sperma pun menghiasi celananya, membuatku semakin terangsang. Satu rekannya lagi malah melemas kontolnya, membuatku penasaran sebenarnya, namun masih ada Jacky si provost pejantan tangguh. Aku memutar akal agar Jacky bisa cepat muncrat. Saat ia menarik kontolnya, aku sengaja menarik kepalaku agak jauh sehingga kontolnya keluar dari mulutku. "Ups...," bisikku. Kulahap lagi kontolnya, namun kali ini perlahan-lahan, dan kusisakan separuh batangnya. Kugunakan teknik terakhirku yang membuat Santoso muncrat tadi; kalau ini tidak berhasil, entah apa yang bisa membuat provost yang satu ini takluk. Kuhisap-hisap sambil kukocok kepala kontolnya dengan mulutku, sementara kukocok bergantian pangkal batang kontolnya dan bola-bolanya. Benar saja, Jacky mengerang cukup dalam, nafasnya semakin memburu. Kulakukan gerakan itu sepuluh kali, dan di tiap gerakan aku bisa merasakan kontol provost itu semakin membesar. "Aaaahhh akuu mauu keluaaarrr...," desah Jacky. Akhirnya! Kukenyot kepala kontolnya kuat-kuat sambil kuremas bola-bolanya. Jacky mendesah panjang, tubuhnya bergetar hebat. Kulihat bola-bolanya mulai melesak ke dalam, bersiap untuk menembakkan muatannya. Benar saja, ketika kuremas sekali lagi, aku bisa merasakan kepala kontolnya berdenyut dan membesar, kemudian cairan hangat yang agak cair meleleh di ludahku, diikuti semburan cairan kental yang lebih hangat lagi. Kali ini rasanya manis dan gurih. Kutelan secepat yang aku bisa karena tembakan provost itu cukup cepat dan banyak, bahkan rasanya ada yang meleleh di sisi mulutku. Sekitar setengah menit kemudian tembakannya melemah dan akhirnya berhenti sama sekali. Sisa spermanya tidak kutelan. Kukeluarkan kontolnya, kemudian aku bangkit berdiri dan memegang dan mengelus perlahan kontolnya. Jacky bergetar pelan, tubuhnya masih terpengaruh orgasme yang begitu hebat. Kucium provost itu, dan ia membalas ciumanku, bahkan ia mau menjilati spermanya sendiri yang masih ada di mulutku. Setelah spermanya di mulutku habis, aku pun kembali menjilati sisa-sisa sperma dari kontolnya hingga bersih. Keluar dari mulutku, kontol itu agak tegang lagi, namun aku masukkan ke dalam sarangnya. Kurapikan provost itu, dan kucium lagi sambil tetap kurangsang kontolnya. "Enak?"
"Enak banget, makasih banyak ya. Sayang kau bukan dari sini, coba kita bisa jadian." Wah, aku sih sudah jadian dengan Santoso, pikirku dalam hati.

Ah, tapi sekarang aku harus beralih ke rekannya. Provost kedua, yang muncrat dalam celana, bernama Sutandyo, tahu aku kelelahan menghisap kontol Jacky, maka ia hanya memintaku mengocok kontolnya sekali lagi. Kali ini kupegang betulan kontolnya tanpa halangan kain celananya. Kusuruh provost itu duduk di pangkuanku, kemudian kurogoh masuk tanganku. Agak sempit sebenarnya, namun masih cukup lah untuk memainkan kontolnya. Dengan sisa-sisa sperma yang masih melekat di celananya, kukocok kontolnya. Tak butuh waktu terlalu lama supaya ia muncrat untuk kedua kalinya. Tanganku jadi agak belepotan dibuatnya, namun kubiarkan tanganku tetap di celananya hingga kontolnya melemas. Rupanya provost ini terbiasa main cepat, pikirku.

Nah, tinggal si provost terakhir, Hari namanya. "Lemes nih Bang?" ujarku saat memainkan kontolnya. "Iya nih, susah nahan biar bisa ngaceng...," akunya. "Biasanya diapain dong Bang biar bisa muncrat?" "Kalau saya yang ngocok sendiri bisa, tapi kalau dikocokkan orang lain jarang banget bisa muncrat. Susah tegang." "Tenang aja Bang, ini temennya dikocok malah dua kali keluar..." "Dia mah kontol kuda, sekali dua kali kurang!" "Hmmmm, kalau gitu, saya butuh bantuan." Jacky yang horny kembali langsung mengerti maksudnya. Ia mencium rekannya itu sementara aku memeluk Hari dari belakang dan memerah kontolnya. "Lha tegang gini lho Bang," bisikku. Hari tidak menjawab, ia sibuk berpagutan dengan Jacky. Tangannya mulai meraba-raba liar tubuh Jacky yang gempal itu, sementara aku sibuk menelanjangi Hari. Kontolnya perlahan tegang dan langsung kukocok-kocok. Jacky membantu dengan memainkan dada Hari. Hari sendiri kini sibuk memainkan kontol Jacky. Kukira aku akan membutuhkan waktu lama untuk memuaskan Hari karena ceritanya tadi, apalagi kurasakan kontolnya belum terlalu tegang. Namun... Tanpa kuduga, Hari bergetar hebat dan muncratlah spermanya. Refleks aku menarik tanganku karena tidak siap, namun detik berikutnya aku langsung menadahi sperma Hari, kalau tidak tentu saja akan belepotan ke mana-mana. Sepertinya otak Hari sudah mengatakan cukup untuk ejakulasi, namun kontol Hari tidak merespon dengan ketegangan yang tepat. Entah apa yang harus kuceritakan pada Santoso kalau ia sampai menemukan bekas sperma di karpet, padahal semalaman kami bercinta di atas ranjang... Kulirik dirinya, dan ajaibnya ia tidak terbangun sama sekali, walaupun dengan riuhnya erangan ketiga provost itu.

Setelah membersihkan dan merapikan diri, ketiga provost itu pamit. Jacky meminta nomor teleponku agar ia bisa menghubungiku selama aku di Jakarta dan ia ingin merasakan sensasi semalam tadi. Kuberikan nomor kartu perdana yang baru kubeli tadi; aku memang terbiasa membeli nomor sekali pakai untuk menjaga privasiku. Sisa malam itu kuhabiskan dengan tidur sambil memeluk Santoso polisiku kekasihku.
Demikianlah, sisa hariku di Jakarta dihabiskan bersama Santoso si polisi. Siang hari aku bekerja, malam hari aku memadu kasih dengannya. Jacky si provost sempat menelepon di hari terakhirku di Jakarta, namun kutolak dengan halus karena jadwal kereta pagi sekali dan aku tidak ingin terlambat. Untunglah ia bisa mengerti. Keesokan harinya, aku dan Santoso kembali ke Surabaya menggunakan kereta. Karena saat itu siang hari, jelas tidak mungkin kami bermesraan seperti saat berangkat. Namun memang terjadi sesuatu di kereta Jakarta-Surabaya itu. Apa itu?

Itu kisah untuk lain kali. Untuk sekarang, biarlah kami merajut kisah kasih di kota tercinta ini.

Santoso I love you...