Jumat, 10 Agustus 2012

Laporan Perkosaan (bagian 1)

Entah kenapa hari itu aku horny sekali. Sudah lama aku tidak bercinta dengan seseorang, dan kontolku tidak bisa diajak kompromi. Mau ngapa-ngapain juga tidak konsentrasi, tapi aku bosan ngocok sendiri. Ah, perkenalkan dulu, aku Zakaria, umurku 28 tahun. Yah, namaku memang agak seronok, tapi sepertinya itu memberiku berkah tersendiri: zakarku besar, hehehe... Aku memang ada keturunan Arab dan Iran, dan kalian tahu sendiri lah kontol orang sana seberapa gedenya... Aku gay dan seorang top tulen. Aku punya fetish pada orang berseragam, terutama polisi, dan sudah beberapa kali aku dapat kesempatan ngentot polisi. Enak betul rasanya. Sayang aku harus pindah kota karena pekerjaan, dan di kota yang baru ini aku belum ngentot polisi sama sekali. Cari ah...

Kali ini, ideku adalah melaporkan seseorang (fiktif, tentu saja) yang sudah memperkosaku. Tentu laporan seperti itu jarang kan, apalagi kota kecil ini (sebut saja kota X) sepertinya alim sekali. Siapa sih cowok yang berani lapor bahwa dia dientot? Malunya tak ketulungan. Tapi, karena aku super horny, dan ingin ngentot polisi, ya sudah lah nekad saja, toh sepertinya kasus seperti itu nggak bakal ditanggapi serius... Biasanya, di suatu kota, saya akan cari target dulu polisi mana yang kira-kira mau dientot. Biasanya saya cuma cari yang bodinya proporsional saja, yang perutnya sudah mulai membesar bikin aku ilfil. Kontolnya nggak harus besar, justru aku menghindari itu supaya tidak dientot pula (maklum, aku top murni, dan untung sekali selama ini aku selalu dapat polisi yang bot). Nggak harus gay juga, biseks pun ga masalah. Bahkan pernah sekali aku dapat polisi yang straight, tapi ia langsung menghilang setelah itu. Berhubung kali ini aku super horny, aku nggak peduli dah polisi seperti apa yang bakal kudapat nanti. Yang penting dicoba dulu.

Malam itu, akhirnya niatku terlaksana. Aku pergi ke kantor polsek Z sekitar pukul dua belas malam, kurasa jam segitu di kota sekecil ini hanya ada sedikit yang bertugas. Benar saja, di luar hanya ada satu orang yang berjaga. "Malam Pak," sapaku loyo, mengondisikan diri seperti benar-benar habis diperkosa, padahal aku yang hendak memperkosa! "Malam Dik," sapa polisi jaga itu. Parno kulihat namanya. "Ada yang bisa saya bantu?" "Iya Pak," aku mencoba sedikit panik, "saya mau melaporkan sesuatu. Saya habis... habis..." "Ya Dik, habis diapakan?" "Saya malu Pak bilangnya..." "Nggak usah malu Dik, nggak usah takut juga, kami akan melindungi Adik kalau memang Adik habis jadi korban kejahatan. Laporkan saja Dik, nanti kami proses." "Tapi nama saya nanti dirahasiakan ya Pak?" "Tergantung kasus Adik, tapi kami akan berusaha sebisanya. Nah sekarang coba duduk di sini dulu, lalu ceritakan pelan-pelan Adik habis jadi korban kejahatan apa." Parno mengambilkan aku kursi, lalu aku duduk sambil curi-curi pandang. Bodi Parno OK juga, cukup ramping namun tidak kurus-kurus amat, kulihat ada sedikit otot lengan. Pahanya boleh lah, tonjolan kontolnya juga cukupan. Sekilas kurasa aku melihat ia agak ngaceng, tapi berhubung Parno langsung mengajakku bicara, aku tidak melihatnya lebih jauh. "Jadi Adik habis kena apa?" Sambil sedikit berbisik, aku bilang, "Saya... saya... habis... habis... diperkosa Pak..." "Oh." Sudah kuduga reaksi Parno agak pendek. "Mungkin saya panggilkan rekan saya saja ya, nanti coba bicara di dalam, ada ruangan tersendiri kok, jadi Adik bisa cerita lebih lengkap tanpa harus malu." "Boleh Pak, makasih," jawabku pelan. Ah ternyata bukan dia target entotanku. Ketika Parno bangkit berdiri dan masuk ke dalam, kulihat pantatnya. Nggak terlalu ranum juga sih. Keberuntunganku berarti, siapa tahu polisi temannya lebih seksi.

"Cin, ada kerjaan!" Otakku langsung bekerja. Nama panggilannya aneh sekali, Cin...? Waduh jangan-jangan Cindy... Nafsuku langsung hilang begitu saja. Kalau cewek mah mending aku lapor di tempat lain saja... tapi begitu polisi yang dimaksud keluar, nafsuku langsung memuncak lagi. Wow, ini polisi idamanku! Ternyata dia cowok, namanya Cinde (nama Sunda kali ya). Badannya seksi sekali, sepertinya dia masih fresh. Wajahnya cakep, lebih cakep dari Parno. Dadanya berisi, perutnya masih ramping, kakinya kekar, tonjolan kontolnya menggunung di balik celana dinas coklatnya (sesaat aku membayangkan rasanya dientot kontolnya. Nggak ada salahnya kali ya kalau sama polisi seperti Cinde ini, hehehe). Selagi Cinde berbicara dengan Parno, kuamati pantatnya. Wuih seksinya... aku bak kucing kelaparan yang akhirnya melihat tikus, mataku jelalatan ke sana kemari. "Ayo Dik sama rekan saya di dalam, coba cerita dulu apa adanya, nanti kami proses. Nggak usah sungkan, orangnya baik kok." "Iya Pak makasih." Aku pun dituntun Cinde menuju sebuah ruangan khusus, sepertinya cukup privat. Hanya ada satu meja kerja di situ yang merapat di tembok, beberapa kursi, dan sofa. Ada kipas angin di pojok ruangan, ada jendela yang tertutup rapat, kurasa supaya nyamuk tidak masuk. "Dik pintunya saya kunci apa tidak masalah? Supaya tidak diganggu orang lain." "Oh iya Pak dikunci apa ga pa pa." "Ah panggil saja saya Cinde, saya masih muda kok." Wih akrab sekali orang ini! "Nah, jadi," selagi menyalakan komputer, kurasa untuk mencatat laporanku, "bisa cerita Dik kronologi kejadiannya. Boleh tahu namanya siapa?" "Zakaria Mas, panggil Zak aja." (rasanya ga tepat ya orang Sunda dipanggil Mas, tapi toh kota ini ada di Jawa...) "Nah Zak, gimana? Kamu diperkosa siapa?" Ia memposisikan diri berhadap-hadapan denganku, tentu saja ia duduk di depan komputer.

"Saya sendiri juga nggak tahu Mas, awalnya cuma diajak ngobrol di kedai A, terus dia ngajak ngobrol di rumahnya. Berhubung saya nggak ada kerjaan, ya ikut deh. Ditawari minum apa, saya minta air putih saja. Ternyata air putihnya dikasih semacam obat kayanya Mas, setelah minum itu nggak terjadi apa-apa sih, tapi kira-kira setengah jam begitu saya jadi ngantuk berat. Akhirnya saya izin nginap di rumahnya. Malam-malam, tahu-tahu saya diperkosa..."
"Kamu masih ingat orangnya gimana?" Aku mencoba mendeskripsikan sengawurku, toh laporan itu ya fiktif. "Lain kali jangan mudah percaya sama orang yang baru dikenal Zak. Bahaya, walaupun di kota sekecil ini. Barang-barangmu nggak ada yang hilang?" "Nggak ada Mas, semuanya utuh." "Ya syukurlah kalau begitu. Lain kali jaga diri ya, kalau ada apa-apa kontak saya aja." Ia ngasih nomor HP. Asyiknya! "Nah, saya tahu ini sulit Zak, tapi kamu bisa cerita nggak kejadian lebih lengkapnya seperti apa? Ini cuma untuk arsip aja kok, nggak akan disebarkan ke mana-mana. Supaya kita bisa tahu kalau lain kali ada kejadian serupa, modus operandinya ternyata sama, jadi kita bisa menyimpulkan kalau pelakunya sama." Aku sejenak pura-pura agak bimbang sambil memutar otak tentang kronologi perkosaan itu, aku mencoba mengingat-ingat kejadian-kejadian sebelumnya. "Gini Mas.
Obat tidurnya mungkin ga terlalu kuat juga ya Mas, soalnya saya ingat sedikit-sedikit. Awalnya rada ngantuk-ngantuk gitu, saya ingat dada saya diraba-raba, terus ada yang nyium saya. Mungkin saya ya lagi horny gitu jadi saya ikuti ciumannya, cuma ada tangan yang raba-raba paha saya."
"Sori nyela, tapi berarti ada lebih dari satu orang?" tanya Cinde.
"Kayanya iya Mas, saya ga bisa lihat jelas, kamarnya pas gelap. Tapi saya ingat persis si X itu ada, saya ingat suaranya."
"Oke lanjutin Zak." Sejenak aku melihat ia mengetik secepat mungkin di komputernya, kupikir canggih juga nih polisi, sepertinya dia melek teknologi.
"Nah dicium dan diraba-raba kaya gitu kan pasti bikin terangsang Mas, jadi ya kontolku berdiri. Ternyata aku sudah ditelanjangi saat itu, soalnya aku ingat persis pake jins yang rada ketat, cuma kontolku kok bisa tegang dengan bebas." Aku sengaja mengubah gaya bicaraku supaya terasa lebih akrab dan menggoda. "Cuma ya memang aku bingung, ini yang mainin cowok apa cewek."
"Sori Zak sebelumnya, tapi aku boleh tanya sesuatu yang agak pribadi?" Wah dia pasti ngecek aku gay atau nggak nih. "Iya Mas?" "Kamu gay bukan?" "Eee... aku sendiri agak bingung Mas, suka cewek tapi kok kadang-kadang ya suka sama cowok." Padahal jelas-jelas aku gay, dan aku nafsu sekali lihat si polisi Cinde ini! "Kenapa Mas?" "Oh ga pa pa kok," jawab Cinde agak salah tingkah. Aku perhatikan dirinya sementara ia kembali mengetik, tapi sesaat ia membetulkan posisi kontolnya. Aha! "Terus?"
"Yaa kontolku diraba-raba Mas, terus ada yang isep. Isepannya mantap Mas, cuma aku nggak tahu itu si X atau temannya, mereka nggak bersuara. Ada yang ngisep, terus putingku juga diisep, wih enaknya Mas. Mas pernah digituin?"
"Nggak pernah Zak, ga ada waktu sih..."
"Nah aku ga tahan Mas, akhirnya muncrat deh. Setelah itu baru deh aku diperkosa. Kakiku diangkat, terus pantatku dimasukin jari sama pelumas. Ga beberapa lama, orangnya langsung tancapin kontolnya ke pantatku. Blesss..."
"Sakit ga Zak?"
"Ya sakit lah Mas, wong ga siap. Tapi denger-denger pantat itu lebih keset dari memek lho." Kupancing pembicaraannya ke arah situ untuk mengecek apakah si polisi Cinde juga gay atau bukan.
"Iya dengar-dengar sih gitu."
"Pernah nyoba ngentot pantat Mas?"
"Ah mana ada yang mau Zak..."
"Kan ga harus cewek Mas."
"Ngentot cowok maksudmu?"
"Iya."
"Kalau dientot dulu sih pernah di akademi. Tapi itu sudah lama banget..."
"Enak ga pas itu Mas?"
"Ya... kalau dipikir-pikir, enak juga sih lama-lama..." Pancinganku kena juga akhirnya... Aku melirik ke selangkangannya, sepertinya mulai bangun tuh si adek. "Terus gimana Zak lanjutannya?"
"Ya jadilah aku dientot dobel Mas, pantatku dientot, mulutku juga dientot. Sesekali ganti posisi, aku sempat nungging kaya anjing gitu..."
"Hmmm ya ya ya..."

Cinde tidak berkomentar lebih lanjut, ia membetulkan posisi kontolnya sekali lagi sambil mengetik. Aku iseng mendekat dan bertanya, "Kenapa Mas? Jadi ngaceng ya?" Kuletakkan tanganku di atas pahanya untuk melihat reaksinya. Ia hanya melihatku tanpa bersuara. "Kalau Mas pingin, aku bisa bantu kok." Kugerakkan tanganku naik ke pahanya sambil melihat reaksinya. Cinde bernafas agak berat, lalu ia berkata, "Nggak usah Zak." Sepertinya ada sedikit perlawanan. "Ga pa pa kok Mas, aku makasih sekali Mas mau denger ceritaku, sekarang aku pingin bantu Mas." Kusenggol kontolnya, benar saja, ia ngaceng berat. "Kasihan kontolnya Mas, biar lega." Kuremas-remas kontol polisi itu dengan lembut. Cinde mengerang pelan, lalu ia mengangkangkan kakinya lebih lebar supaya aku lebih leluasa. Aku mengatur dudukku lebih dekat, lalu kubisikkan sesuatu di telinganya agar lebih sensual. "Kontolnya gede banget Mas," sambil kuremas-remas kontolnya. Cinde mengerang di telingaku, membuatku semakin terangsang. Tanpa kuduga, namun kuharapkan, Cinde pun membalas mengelus-elus kontolku. "Kontolmu juga gede Zak..." Aku mencoba mencium polisi itu, dan ternyata ia pun membalasnya. Ah mimpi apa aku semalam, dapat polisi seseksi ini, gay pula! Setelah puas berciuman dan menggoda kontolnya sampai celana dinasnya basah dengan precum, aku mencoba peruntunganku. "Mas mau ga dientot kaya di akademi dulu?"
"Wah sudah lama Zak aku ga dientot, takut sakit..."
"Tahan dikit Mas, nanti pasti enak kok. Mau ya?" Cinde sepertinya masih bimbang, jadi kurayu lagi dia. "Nanti Mas kalau mau boleh deh ngentot aku. Masih perawan kok pantatku." Sebetulnya aku juga takut dientot, tapi demi polisiku Cinde, boleh deh... Sementara ia ragu, kubuka resleting celana dinasnya, lalu kukeluarkan kontolnya. Gila, keras betul! Kontolnya berurat dan cukup panjang, walaupun tidak sepanjang punyaku tentu saja, paling hanya 18 cm, tapi tebal juga, kira-kira 4 cm tebalnya. Dia sudah disunat, dan kepala kontolnya saat itu cukup merah dan berkilauan dengan precum yang masih terus menetes. "Mau ya Mas?" kugoda ia lagi sambil mengelus-elus kepala kontol polisi idamanku itu. Cinde hanya bisa mengerang keenakan. "Mas dulu deh yang ngentot saya, gimana?" Kuurut batang kontol polisi itu dengan perlahan untuk membuatnya semakin keras. Supaya jiwa top nya muncul, kuputuskan untuk menghisap kontolnya. Tanpa ba bi bu lagi kuserbu kontol itu bak kucing melahap tikus buruannya, dan Cinde pun hanya bisa pasrah dengan sergapanku itu. Kucoba menghapus segala keraguannya dengan terus menyerbu kontolnya, sehingga keinginannya untuk ngentot bertambah besar. Dan akhirnya usahaku pun lumayan berhasil. Polisi Cinde mulai menggoyang-goyangkan pinggulnya mengikuti irama, mengentot mulutku. Ia mengerang dengan setiap entotannya, membuatku bernafsu sekali. Suaranya begitu jantan! Aku memang suka dengan polisi yang bermain dengan seragam lengkap seperti Cinde sekarang ini, sensasinya benar-benar luar biasa. Dan sekarang kurasa ia hampir keluar karena gerakannya mulai cepat. Kucabut kontolnya dari mulutku. "Sabar Mas, jangan keluar dulu," bisikku sambil meremas biji-biji kontolnya yang masih terlindung di celana dinasnya. Cinde hanya mengerang. "Keluarin di pantatku," bisikku menggoda.

Aku pun melepas celana jinsku dan melucuti celana dalamku. "Mas duduk di sini aja, biar aku yang masukin." Aku mengambil pelumas yang sudah kusiapkan dari tasku, lalu melumuri kontol polisi Cinde dengan pelumas sebanyak mungkin. "Ah dingin Zak..." "Iya Mas, ini biar kontolnya Mas bisa gampang masuk ke pantatku." Kokocok-kocok sebentar kontolnya untuk mempertahankan kekerasannya, lalu aku pun berdiri di hadapannya. Cinde tersenyum melihat kontolku yang mengacung di hadapannya. "Bentar Zak, aku pingin isep punyamu..." "Nanti aja Mas aku ga masalah, yang penting Mas keluar dulu," elakku. Keburu aku keluar juga nanti! "Mas masih kuat kan mainnya?" "Kuat kok." Maka perlahan-lahan aku menduduki kontolnya. Awalnya sulit juga masuk, mungkin karena aku sendiri belum pernah dientot, dan aku tidak pemanasan sama sekali. Akhirnya kulumasi pula jari-jariku dan kumasukkan ke lubang pantatku untuk beberapa saat. Cinde hanya melihatku agak terheran-heran. "Biar gampang masuknya Mas," ujarku. Setelah kurasa cukup, kukocok lagi kontol Cinde yang agak kendor kekerasannya, lalu kududuki lagi. Mulai bisa masuk sih, hanya saja sakitnya luar biasa. Yah mungkin karena aku belum pernah dimasukin sih. Cinde sendiri cuma bisa mengerang, "Aaahhh Zak sempit banget lubangmu, enak bener ternyata..." Untuk mengurangi rasa sakit, aku mencoba memandangi Cinde si polisiku sambil memeluknya. Setelah berjuang sekian lama, akhirnya pantatku beradu dengan pahanya, dan aku merasakan kontolnya menusuk prostatku. Cinde dengan nakalnya menggerak-gerakkan otot kontolnya di dalam, menggesek-gesek prostatku. Wih, kenikmatan apa ini, belum pernah kurasakan sebelumnya, jadi aku mengerang agak keras. "Aaaah, nakal betul kau Cin! Jadi polisi ga boleh nakal-nakal!" "Untuk yang satu ini boleh kan..." "Iya boleh Mas." "Sakit ga?" "Tadi waktu masuk sih sakit, cuma sekarang udah ga. Enak ga Mas?" "Enak bener Zak." "Kalau diginiin?" Aku mencoba mengejan seolah-olah hendak buang air besar, sehingga lubang pantatku mencengkeram kontol si polisi CInde dengan kuat. "Oooohhh enak Zaakkk... Pelan-pelan, patah ntar batangku..." Kami tertawa pelan, dan aku pun menciumnya. "Jadian yuk Mas, mau ga? Ntar Mas bisa ngentot aku kapan aja, aku rela kok." "Bukannya kamu top Zak?" "Ga pa pa Mas, aku suka kontolnya Mas di pantatku. Tapi Mas sendiri kuentot mau ga?" "Eee.. liat-liat nanti ya Zak, kontolmu kontol kuda gitu, gede bener..." "Ga usah takut Mas, kukasih servis paling enak deh. Hitung-hitung balas jasa Mas, Mas kan sudah susah payah jadi polisi melayani masyarakat, nah aku khusus melayani kontol Mas. Gimana?" "Hahaha, bisa aja kamu Zak." "Yuk lanjut Mas."

Karena polisi Cinde belum pernah ngentot sebelumnya, aku yang berinisiatif menggenjot kontolnya dalam pantatku. Aku bergerak naik turun dalam pangkuannya, sambil kupeluk polisiku itu, yang terus mengerang keenakan di telingaku. Kontolku sendiri bergesekan dengan perutnya yang masih berseragam, sejenak aku khawatir apa kata temannya nanti kalau melihat seragamnya basah dengan precum, tapi aku tak peduli sekarang. Aku dan Cinde sudah dibutakan nafsu. Sesekali kusodokkan kontolnya masuk ke pantatku untuk menyentuh prostatku, dan luar biasa kenikmatan yang kudapatkan. Setelah aku agak kelelahan, akhirnya naluri Cinde muncul sendiri untuk mengentot pantatku, jadi aku hanya berpegangan pada tubuh seksinya sambil menikmati entotan Cinde. Lumayan juga entotannya, tapi rupanya ia sudah tidak tahan. "Zak aku mau keluar...," desahnya. "Keluarin aja Mas, tembakin aku pakai pistol kejantananmu itu..." Ia mendesah pendek-pendek, keringat membasahi seragamnya yang membuatnya semakin terlihat seksi dan menggairahkan. "Aaaaahhhhh..." Ia menyodok sangat keras dan dalam ke dalam pantatku, lalu aku merasakan sesuatu muncrat di dinding ususku, menyodok prostatku pula. Gila, aku rasanya juga mau keluar! "Oh Mas aku juga mau keluar Mas," ujarku cepat, mencoba menahan dorongan itu. "Mas nanti bajunya kena spermaku gimana?" Si polisi Cinde masih menikmati orgasmenya, dan entah bagaimana caranya ia malah mengocok kontolku! "Oooooohhh Maaaaassss..." Sungguh aku tak tahan! Croooottt... Spermaku muncrat tinggi sekali dan mendarat di wajah Cinde. Muncratan berikutnya kurasa betulan mendarat di seragamnya, aku jadi merasa bersalah dibuatnya. Setelah kami berdua selesai orgasme, aku pun mencabut kontol si polisi Cinde dari pantatku. Kami berciuman lama sekali. Karena seragam Cinde belepotan, aku pun berinisiatif menjilati spermaku sampai bersih, jadi paling tidak hanya keringat saja yang tertinggal di situ, selain aku sendiri ingin mencium bau keringatnya.

"Makasih ya Zak, lega banget rasanya. Udah lama ga kukeluarin," kata Cinde ketika aku kembali duduk ke kursiku, masih belum mengenakan kembali celanaku. "Sebenarnya sudah lama aku mencari orang sepertimu, tapi aku takut ketahuan. Karirku bisa tamat kalau sampai ketahuan." "Iya Mas sayang kan susah-susah lulus dari akademi terus dipecat cuma gara-gara ngisep kontol." "Aku mau deh jadian sama kamu Zak, servis tiap hari ya." "Beres, siap komandan!" Kami berdua pun berdiri dan berpelukan sambil berciuman, dan kurasa Cinde terangsang lagi. "Berdiri lagi nih Mas?" godaku sambil meremas kontolnya yang sudah kembali bersarang di celana dinasnya. "Gede juga nafsu polisi, hahaha..." Cinde hanya tersipu malu. "Eh Zak kau belum ngentot aku pula." "Ga pa pa kah Mas lanjut di sini? Nanti yang lain curiga lagi, bikin laporannya kok lama bener." "Gini aja, jam dinasku bentar lagi selesai, kamu mau tunggu di rumahmu? Bisa kan di rumahmu?" Aku mengangguk. "Nanti kutelepon kalau sudah selesai." "Sip Mas. Ini kukeluarin dulu lagi aja biar temen-temen Mas ga curiga, hehehe..." Setelah kubersihkan dengan celana dalamku, kuhisap habis-habisan kontol si polisi Cinde sampai ia sendiri kewalahan berdiri tegap dan muncrat untuk kedua kalinya. Gila juga ni polisi, walaupun muncrat kedua kalinya, spermanya masih banyak saja! Setelah puas, kami merapikan diri, Cinde menyelesaikan laporannya, dan aku pun keluar dari polsek dengan perasaan sangat puas. Bahkan permainan kami masih akan berlanjut sebentar lagi, dan aku akhirnya akan bisa merasakan pantat polisi Cinde!


"Gila kau Cin, habis diapakan saja sama bocah itu sampai basah kuyup begitu?!" komentar Parno. "Diperkosa?"
"Ya ga lah No, pikiranmu parno abis deh," elak Cinde sambil tertawa lepas. "Cuma diservis aja kok. Gila enak betul servisnya No!"
"Aku mau dong," ujar Parno sambil mengelus-elus kontolnya yang tegang. "Ah kau sih mau semuanya!" ujar Cinde sambil meremas kontol Parno agak kuat. "Eh sialan kau Cin!" Sejenak mereka bergumul ringan berusaha meremas kontol lawan sambil tertawa-tawa. "Eh beneran aku pingin nih... Ikut dong kalau main!" "Enak aja! Aku mau jadian sama dia tahu! Cari sendiri sono!" "Wih jadian kau Cin? Cepet amat? Main bertiga dong, ya ya ya?" "Aku tanyakan sama dia dulu, mau ga orangnya. Dah aku keluar dulu, mau lanjut yang tadi!" Cinde pun melesat pergi setelah meremas kontol si polisi Parno yang dongkol setengah mati dibuatnya. Ia memacu motornya ke alamat yang diberikan Zakaria padanya, kontolnya berdiri lagi dalam dinginnya malam. Sebentar lagi ia akan merasakan kenikmatan yang sudah ia tidak rasakan bertahun-tahun lalu...

(bersambung)

3 komentar:

Komentar Anda akan dimoderasi sebelum ditayangkan. Berkomentarlah sopan dan terjaga. Promosi akan otomatis dihapus. Tuliskan juga jika Anda tidak ingin komentar ditayangkan (misalnya jika hanya memberi informasi).