Kamis, 07 Desember 2023

Ketua OSIS dan satpam sekolah

Cerita ini hanyalah rekaan semata, kesamaan nama dan tempat hanyalah kebetulan belaka. PERINGATAN: Konten ini mengandung materi dewasa dan homoseksualitas. Jika Anda tidak dapat menerima materi ini, segera tinggalkan blog ini.

Terinspirasi dari sebuah rangkaian foto-foto yang cukup viral di Twitter kapan hari, Fei mencoba membuatkan ceritanya. Fei sudah dapat izin dari si pemilik foto hehehe...



Ah... andai aku bisa melupakan semuanya ini. Namun aku sudah terlalu jauh terjerumus ke dalamnya.

Aku Mario, usia 30 tahun. Bukan, aku bukan tukang ledeng. Aku bekerja sebagai seorang satpam di SMA X di ibu kota. Aku terpaksa merantau ke ibu kota karena kehidupanku yang kurang berkecukupan, apalagi aku sudah menikah dan mempunyai seorang anak yang masih balita. Aku sadar, aku akan membutuhkan dana yang cukup banyak untuk membiayai kehidupan anakku, dan penghasilanku sebagai seorang buruh tidaklah mencukupi. Karena itu, aku memaksakan diri untuk berpisah dari istri dan anakku, yang kutitipkan ke orang tuaku, dan merantau sendirian ke Jakarta. Kehidupanku di awal kedatanganku ke Jakarta pun tidak semulus yang kubayangkan; ujung-ujungnya aku jadi pekerja kasar dulu dan hidup pas-pasan, bahkan aku malu karena beberapa bulan pertama tidak bisa mengirim uang ke istri dan anakku. Untunglah ada seseorang yang berbaik hati, belakangan kuketahui sebagai kepala sekolah SMA X, yang melihatku sesenggukan di pojok jalan, ketika aku begitu putus asa atas keadaanku saat itu. Ia berbaik hati menawariku pekerjaan sebagai satpam SMA X, karena satpam sebelumnya meninggal dunia, dan agensi security sedang kekurangan orang. Walaupun aku tidak punya ijazah satpam, aku tetap dipekerjakan sebagai satpam, dibelikan seragam, diberikan kamar kos yang dekat dengan sekolah walaupun cukup kecil, bahkan aku pada akhirnya juga diberikan pelatihan satpam yang layak dan berbagai keterampilan lainnya, supaya suatu saat nanti jika aku memutuskan untuk berhenti menjadi satpam dan mencari pekerjaan yang lebih baik, aku memiliki keahlian yang cukup. Namun, siapa yang tega meninggalkan kebaikan hati seseorang yang telah menyelamatkanku dari keputusasaan? Aku bertekad akan menjadi satpam sekolah itu sampai jasaku tidak dibutuhkan lagi. Memang gajiku tidak terlalu besar, namun cukup untuk kusisihkan setiap bulannya untuk biaya hidup istri dan anakku, apalagi SMA itu ternyata cukup bergengsi. Banyak murid-muridnya yang berasal dari keluarga berada bahkan keluarga kaya, sehingga kadang-kadang ada yang memberi rezeki tambahkan untukku.

Namun, semuanya tidak sebanding dengan apa yang akan kuceritakan di sini.

Kira-kira tiga tahun setelah aku menjadi satpam di sekolah itu, aku pun dikenal dan disayangi banyak siswa SMA karena aku supel dan suka menolong. Bukannya aku ingin menjilat supaya diberi upah, namun aku memang ringan tangan. Tentunya ada beberapa siswa yang tidak suka atau memandang rendah diriku karena aku hanya pekerja rendahan dan miskin, namun biasanya aku tidak menghiraukan mereka. Toh ketika event-event sekolah aku juga selalu membantu sebisaku. Karena dulu aku pekerja kasar, badanku cukup bugar dan aku kuat jika diminta mengangkat benda-benda berat. Tanpa harus pergi ke gym, otot-otot tubuhku sudah terbentuk dengan sendirinya. Tentu saja, saat itu aku tidak mengenal apa itu gay dan dunianya, apalagi terpikir untuk memuaskan hasrat seksualku dengan seseorang selain istriku. Kalau kangen, aku hanya bisa memuaskan diri dengan coli saja, itu pun tidak terlalu sering, mungkin lima hari sekali. Memang aku sesekali melihat ada beberapa siswa SMA yang sangat akrab dan sesekali memegang kontol temannya, namun itu kurasa karena kenakalan remaja saja--siapa yang tidak pernah mengalami kenakalan remaja seperti itu? Jadi aku tidak terlalu berpikir macam-macam, dan siswa-siswi SMA pun juga tidak ada yang menggodaku.
Hingga tahun itu, ketika seorang siswa terpilih menjadi ketua OSIS yang baru. Dia kelas XI-4, namanya Patrick. Tubuhnya cukup gempal dan tinggi, aku sering melihatnya main basket selepas sekolah dan setahuku pernah memenangkan berbagai perlombaan. Orangnya supel dan pandai bergaul, jadi dengan cepat dia populer di sekolah, terutama dari kalangan siswi-siswi SMA. Namun, aku belum pernah melihatnya berpacaran, sekalipun sesekali ia terlihat dengan beberapa siswi. Pantas saja ia terpilih jadi ketua OSIS. Ia juga baik kepadaku, bahkan beberapa kali aku diberi bingkisan, katanya titipan dari orang tuanya, dan aku tak kuasa menolaknya karena ia selalu memaksa.
Hingga suatu hari aku mendapatkan kabar yang cukup mengejutkan dari kampung halaman: anakku didiagnosis terkena sebuah tumor yang sebenarnya jinak, namun dapat membesar dan mengganggu perkembangan tubuhnya jika dibiarkan, jadi dokter menyarankan operasi. Tentu saja aku bimbang dan sedih: istriku bilang tabungannya kurang, bahkan sudah termasuk uang yang kukirimkan setiap bulan dan dana bantuan dari tetangga sekitar. Kekurangannya cukup besar bagiku, lima juta rupiah. Aku kebingungan, dari mana dana sebanyak itu. Gajiku yang bisa kusisihkan tiap bulan hanya lima ratus ribu rupiah, tentunya aku tidak bisa menunggu selama sepuluh bulan. Ini membuatku murung, dan sebaik-baiknya aku menyembunyikan raut kekhawatiranku saat bertugas, ada yang mengamatinya juga.

Siang itu sedang hujan cukup deras. Sekolah sudah berakhir sejak dua jam lalu, sehingga keadaan sudah agak sepi, kecuali beberapa siswa yang masih melakukan ekstrakurikuler ataupun terjebak hujan. Salah satunya Patrick, dan entah kenapa hari itu ia memilih menunggu jemputan di bangku depan pos satpam di gerbang sekolah. Di sekolah itu ada tempat jemputan tersendiri yang terlindungi dari hujan. Basa-basi aku menyapanya.
"Loh belum pulang Patrick?" sapaku.
"Belum Bang, ini kena macet katanya sopir, hujan deras gini sih. Duduk sini dong Bang, temenin Patrick!" Dia memang terbiasa memanggilku Abang dan aku pun tidak keberatan. Aku pun duduk di sebelahnya, toh aku juga tidak ada pekerjaan saat itu. Entah kenapa saat itu aku tidak bisa menemukan topik pembicaraan dengannya, padahal biasanya aku mampu ngobrol dengannya. Patrick rupanya menyadari hal itu. "Kok murung amat Bang? Ada masalah kah?"
"Ah... ngg... nggak kok," jawabku berkilah. "Abang lagi capek aja."
"Ah Abang, keliatan banget tuh dari raut mukanya kalau lagi murung!" sergah Patrick. "Cerita gih ke Patrick, barangkali Patrick bisa bantu."
"Ah nggak pa pa kok Patrick... Abang nggak mau ngerepotin Patrick, jangan..."
"Ayolaaah Baaannng..." Patrick mendadak melingkarkan tangannya di bahuku dan menepuk-nepuknya. Baru kali ini aku mendengar suaranya agak manja seperti itu, padahal ia dikenal bersuara jantan. Ia juga tidak biasanya menyentuhku secara fisik seperti itu.  "Biar plong, biar ga murung lagi lah! Yuk spill aja, ada masalah apa Abangku yang baek ini hehehe..."
Aku pun menghela nafas dan akhirnya menceritakan nasib anakku yang butuh biaya operasi. Selesai bercerita, Patrick pun manggut-manggut. "Jadi Abang butuh biaya buat operasi anak Abang yah. Gampang, biar Patrick kasih tahu pak kepsek!"
"Eh jangan Patrick!" sergahku. "Abang udah banyak ngerepotin Pak Amal, Abang bisa kerja di sini juga karena Pak Amal. Abang nggak mau berhutang budi lebih banyak lagi."
"Yaaa... kalau gitu Patrick pikirin jalan lain deh! Yang pasti, Patrick akan bantu Abang!" Mendadak terdengar suara klakson yang familiar bagi Patrick, karena ia langsung bangkit berdiri dan menyiapkan tasnya. "Nanti Patrick kabari lagi Bang!" ujarnya tanpa bisa kucegah, ia langsung berlari menembus hujan menuju mobil jemputannya. Dalam hati aku merasa sedikit lega, namun aku juga semakin kalut. Aku yang hanya seorang satpam ini, layak kah menerima bantuan dari murid sekolah ini? Bagaimana kalau Pak Amal nanti sampai tahu? Ah semestinya aku tidak bercerita padanya...



Di perjalanan pulang, aku berpikir bagaimana caranya membantu Bang Mario. Mestinya sudah paling betul kasih tahu Pak Amal kepala sekolah, tapi tadi Abang menolak. Kalau aku melakukan penggalangan dana pun, semuanya jadi tahu, dan aku harus minta izin dulu sama Bang Mario, belum tentu Abang mau. Kasihan, orangnya baik padahal, tapi aku ga tahu dia serong ga hahaha...
Ya, aku memang berhasil menyembunyikannya di sekolah, tapi aku akan mengakui kalau aku gay. Aku sendiri tidak tahu dari mana asal-usulnya sehingga aku bisa jadi gay, tapi mungkin aku bisa menyalahkan sedikit papaku yang jarang sekali menemuiku dan membesarkan aku. Aku tahu, memang papa bekerja keras demi keluarga sehingga aku bisa menikmati kekayaan ini, namun aku juga rindu kehadiran seorang papa, apalagi aku anak tunggal. Mama memang masih menyempatkan untuk membesarkan aku, namun mama juga seseorang yang sibuk, dengan jasa bakery-nya yang cukup besar dan sukses, sehingga di rumah aku lebih banyak ditemani butler (eh jadi merasa mewah banget kalau disebut begini hehehe), sekolah diantar supir, dan rumah dijaga satpam. Mungkin gara-gara itu aku jadi suka cowok, walaupun aku belum berani mengungkapkannya ke papa mama. Rasanya mereka berharap aku orang normal--ya orang tua mana sih yang tidak berharap begitu--namun aku sudah cukup kenyang dengan kasih sayang dari wanita, entah itu mama, entah itu perawatku. Bahkan aku masih merasa cukup dimanja di usia tujuh belas tahun ini!
Yah, ini mungkin salah satu pengaruh buruk Internet bagiku, tapi dari sanalah aku mengenal namanya fetish, dan aku akhirnya tahu kalau aku suka seragam satpam. Satpam di rumahku berseragam dan aku sering curi-curi pandang, bahkan kadang-kadang kalau sedang bercanda ya aku sempat pegang-pegang selangkangannya, tapi aku tidak berbuat lebih jauh dari itu, dan dia pun juga tidak berani berbuat aneh-aneh kepadaku. Jadinya, kadang-kadang aku hanya bisa memuaskan nafsuku dengan melihat foto-foto satpam rumah yang kuambil diam-diam, atau foto satpam dari Internet. Dari situ juga aku mempelajari bondage, yang kurasa cukup menarik.
Eh...
Berbicara bondage, tiba-tiba aku punya ide menarik untuk membantu Bang Mario. Tapi aku takut dia tidak mau dan malah marah jadinya... bagaimana kalau dilaporkan ke mama papa ya... tapi aku juga suka padanya, dan ingin merasakan tubuhnya... hmmm... apa salahnya dicoba lah! Kurasa dia bakal malu juga kalau lapor bahwa aku memberinya uang dengan jalan itu... Aku jadi bersemangat merencanakan sesuatu sepanjang perjalanan macet itu. Semoga Abang Mario mau.



"Bang, besok kan long weekend tuh," ujar Patrick yang lagi-lagi duduk di bangku pos satpam saat menunggu jemputan. Akhir-akhir ini entah kenapa dia sering menunggu di sana dibanding menunggu bersama teman-temannya. Sudah tiga hari sejak aku bercerita tentang masalahku padanya. "Patrick pingin staycation, tapi ga ada temennya. Mau ikut ya? Ya ya ya?"
"Loh ngapain Patrick staycation? Nggak ada ulangan?" tanyaku kebingungan. Ngapain aku diajak staycation? Apa kata orang nanti kalau tahu?
"Nggak ada, jadwal Patrick kosong minggu depan. Patrick bosen Bang di rumah, temenin Patrick ya? Ya ya ya?"
"Emang papa mama nggak ikut libur?"
"Ya itu Bang..." Raut muka Patrick mendadak berubah sehingga aku jadi merasa bersalah menanyakan hal itu. "Papa tetep ada kerjaan selagi long weekend, mama tambah ramai yang pesen bakery, jadi Patrick dikasih uang jajan buat staycation. Cuma Patrick males aja sama temen-temen, pengen nyoba suasana baru. Tapi Patrick ga mau sendirian juga. Makanya Patrick ajak Abang. Abang ajuin cuti juga gih! Ya ya ya..." Entah kenapa tangan Patrick saat itu berada di pahaku, namun aku tidak terlalu merisaukannya. "Biar Abang refreshing gitu, biar seger lagi! Mau ya?" Aku kebingungan menjawabnya sehingga aku hanya bisa terdiam cukup lama, namun wajah Patrick benar-benar seperti memelas mengajakku ikut. Aku sendiri tidak pernah melakukan apa itu namanya staycation, uang dari mana. Hiburanku selama ini hanya televisi butut dan HP-ku saja. "Patrick minta izin ke Pak Amal dulu deh biar Abang boleh cuti!" Mendadak Patrick bangkit dan langsung melesat menuju ruang kepala sekolah. "Eh, Patrick! Patrick!" Dia bahkan tidak menghiraukan panggilanku. Dalam hati aku berkecamuk: sebenarnya aku penasaran seperti apa itu staycation. Tapi, apa kata orang nanti kalau tahu aku yang hanya seorang satpam ini diajak staycation seorang anak SMA? Anak orang kaya pula. Ya harusnya Patrick nggak akan berbuat aneh-aneh sih, aku tahu sendiri anaknya bagaimana.
Atau itu yang kukira.
Tak lama kemudian, Patrick kembali tergesa-gesa ke pos satpam. "Abang dipanggil Pak Amal! Yuk cepetan!" Tanpa aku bisa menjawab, ia menggaet tanganku dan menarikku segera ke ruang kepala sekolah. Aneh sekali anak ini, kenapa ya dia ngebet sekali? Tergopoh-gopoh aku mengikuti langkahnya hingga ke ruang kepala sekolah, dan aku pun langsung memberi hormat pada Pak Amal, sekalipun nafasku agak tersengal-sengal. "Pak Mario, kata Patrick Bapak ingin mengajukan cuti selama long weekend ini?" tanya Pak Amal dengan nada bicara biasanya. Aku hanya bisa gelagapan menjawabnya. "Anu... anu Pak Amal..."
"Pak Mario, nggak perlu sungkan-sungkan begitu!" seru Pak Amal sambil tersenyum, berdiri dan menepuk-nepuk punggungku. "Bapak sudah bekerja begitu keras di sekolah ini selama ini, dan saya baru mengamati Bapak jarang ambil cuti sebenarnya." Eh benarkah? Aku sendiri tidak menyadarinya. "Jangan lupa Pak, Bapak punya jatah cuti sepuluh hari setahun." Sebenarnya bisa kupakai untuk pulang menjenguk anakku, tapi aku belum punya dana untuk membayar operasinya... "Nggak masalah Pak! Nikmati cutinya selama long weekend! Nanti saya minta Pak Muchlis menggantikan Bapak, harusnya beliau nggak keberatan."
"Terima kasih Pak Amal," ucapku sedikit terbata-bata, walaupun Patrick terlihat kegirangan di belakangku. "Saya undur diri dulu." Pak Amal hanya tersenyum ketika aku pamit dan kembali ke pos jagaku. "Besok temenin Patrick ya Bang, Patrick jemput di kontrakan Abang gimana?"
"Eh nggak usah Patrick," ujarku berkilah. "Biar Abang aja yang ke sana."
"Oke siap Bang! Tukeran nomer WA ya, biar gampang kontaknya!" Patrick pun memberiku nomor WA-nya dan aku memberikan nomor WA-ku, kemudian ia memberikan info hotel dan nomor ruangannya. "Abang tahu X Hotel kan? Yang di kawasan Y? Pernah nginap hotel kan Bang?"
"Anu... nggak pernah sih Patrick... apalagi X Hotel kan mahal... beneran nggak pa pa nih?"
"Eh tenang aja Bang, Patrick udah order kamar kok, udah lunas juga. Kamarnya gede, Abang pasti suka. Daripada Patrick sendirian kan mending ditemenin Abang hehehe..." Sayangnya percakapan itu harus terhenti karena mobil jemputan Patrick sudah tiba, jadi sisanya dilanjutkan di WA. Hanya saja, salah satu WA-nya yang membuatku bertanya-tanya adalah:
"Bang, besok pakai seragam satpam Abang kaya biasanya ya."
Aku agak keheranan, kenapa Patrick memintaku seperti itu. Namun, karena dia yang mengajakku untuk staycation di hotel kelas atas, aku tidak kuasa menolaknya. Maka aku hanya bisa menjawab ya.
Barulah keesokan harinya aku tahu mengapa dia memintaku mengenakan seragam satpamku.



Akhirnya Abang Mario mau juga kuajak ke hotel! Walaupun sekalian staycation, aku pingin melakukan itu hahaha... aku pun sibuk menyiapkan segala peralatan yang perlu kubawa, termasuk beberapa "peralatan" yang sudah kubeli selama ini namun belum pernah kupakai, hanya pernah melihat caranya di Internet. Aku sudah mempelajarinya baik-baik. Besok harusnya akan jadi hari yang menyenangkan!



Keesokan harinya, aku pun tiba di lobi hotel X dengan membawa tas ransel yang berisi baju dan beberapa perlengkapan satpam yang tidak kupakai langsung--Patrick pun menyuruhku mengenakan jaket agar tidak dilihati banyak orang. Kata Patrick, kami akan menginap empat hari tiga malam, jadi aku diminta bawa baju agak banyak. Karena itu pertama kalinya aku memasuki hotel mewah, aku agak deg-degan rasanya dan ada rasa minder. Semestinya kemarin aku tidak menolak tawaran Patrick untuk dijemput... sekarang bagaimana ini? Aku pun mengeluarkan handphone-ku dan mengirim WA ke Patrick.
"Abang sudah sampai di lobi."
Ting! "Bentar ya Bang, Patrick masih mandi. Kalau mau naik duluan, Abang bisa ke resepsionis dulu, Patrick tadi sudah nitip untuk ngasih spare key ke Abang, terus minta aja diantar naik ke kamar 2010. Kalau ditanyai atas nama siapa, bilang aja atas nama Patrick Kanginan. Abang bawa KTP kan? Tunjukin aja KTP-nya, Abang udah kudaftarin juga sebagai tamu di kamar 2010."
Hmmmm... aku bimbang antara menunggu Patrick selesai mandi, atau mencoba sesuai sarannya. Kelak aku bisa cerita ke istriku bagaimana rasanya menginap di hotel mewah, semoga aku bisa punya cukup uang untuk membawanya ke kota ini dan menginap... dengan jantung berdebar aku menuju resepsionis.
"Selamat siang Bapak, ada yang bisa saya bantu?" tanya resepsionis itu dengan ramah.
"Anu... saya mau menuju kamar 2010, saya sudah didaftarkan dengan Patrick Kanginan."
"Baik Bapak, boleh pinjam KTP-nya?" Aku pun menyerahkan KTP-ku dan resepsionis itu dengan cekatan memeriksanya. "Baik Bapak Mario, betul Bapak terdaftar sebagai tamu kami di kamar 2010. Ini kunci kamar Bapak sesuai titipan Bapak Patrick." Ia menyerahkan sebuah kartu yang aku sebenarnya kebingungan: katanya kunci, kok bentuknya kartu? "Selamat menikmati istirahat Bapak di hotel kami!"
"Anu... apakah saya bisa diantarkan ke kamar 2010? Saya baru pertama kali menginap di sini," ujarku sambil agak menunduk malu.
"Baik Bapak, mohon ditunggu sebentar ya." Resepsionis itu memanggil seseorang, yang belakangan kuketahui adalah seorang bellboy. "Selamat siang Bapak, saya yang akan mengantar Bapak ke ruang 2010. Silakan Pak!" Aku pun mengikuti pria itu menuju ke lift, dan kebetulan sekali lift-nya kosong padahal lobi saat itu cukup padat pengunjung. "Silakan tap kartunya Pak ke sini, kemudian tekan lantai yang ingin dituju. Ini hanya untuk naik saja dan mengakses area-area khusus tamu Hotel X, untuk ke lobi tidak perlu pakai kartu. Harap disimpan dengan baik ya Pak kartunya, jika kehilangan atau rusak akan dikenakan biaya penggantian kartu seratus lima puluh ribu rupiah. Apa Bapak ingin diantar hingga ke kamar?"
"Boleh Mas," jawabku. Aku takut juga berada di lift sendirian; aku tidak pernah naik lift sebelumnya.
"Baik Bapak, mari." Ia membantu menekankan tombol ke lantai 20, dan lift itu pun langsung naik. Aku tidak berbicara apa-apa selama itu, sampai tiba-tiba bellboy itu memecah kesunyian dengan bertanya, "Bapak anggota?"
"Oh bukan Mas, saya cuma satpam," jawabku sambil keheranan, dari mana dia menyimpulkan begitu.
"Oh baik Pak, saya kira anggota soalnya sepatunya khas anggota hehehe... soalnya hotel ini memang sering juga jadi jujugan anggota, entah rapat atau event gitu Pak." Aku hanya manggut-manggut saja dan kami tidak berbicara lagi hingga lift berhenti di lantai 20. Bellboy itu kemudian mengantarku hingga depan kamar 2010 dan mengajariku cara membuka pintu menggunakan kartu. Ia pun meninggalkanku di kamar itu, sehingga kini aku sendirian walaupun aku mendengar suara gemericik air di sebelah kiriku--rupanya Patrick masih mandi. Lho berarti kamarnya tidak dikunci tadi? Bagaimana kalau bellboy itu yang masuk ya... aku pun melangkah masuk dan berdecak kagum dengan pemandangan kamar itu. Kamarnya cukup luas, bahkan lebih luas dari kontrakanku. Ada dapur mini, ada ruang tengah dengan sofa dan TV yang cukup besar, kemudian ada ruang lain yang kuintip adalah kamar tidur. Wah ranjangnya hanya satu... berarti nanti aku tidur sama Patrick? Apa tidak apa-apa ya... tapi ranjang itu besar sekali, rasanya pasti cukup kalau istri dan anakku tidur juga di situ. Ah aku jadi kepikiran anakku... perasaanku campur aduk betul saat itu: bahagia karena bisa mendapatkan kesempatan menikmati kamar hotel mewah, namun sedih karena hanya aku sendiri yang menikmatinya. Tak sadar air mata pun mulai menggenang di pucuk mataku--ah malu nanti kalau dilihat Patrick! Segera kuseka air mataku dan kufokuskan diriku untuk melihat-lihat sekeliling. TV saat itu sedang memutar sesuatu yang aku tidak pahami--sepertinya berbahasa Inggris. Ah Patrick pasti bisa memahami acara ini, dia kan pintar di sekolah! Entah kenapa aku tiba-tiba merasa sayang dengan Patrick... mungkin karena orang tuanya agak kurang memberinya kasih sayang. Tapi siapalah aku ini menggantikan orang tuanya, apalagi aku hanya seorang satpam... Sofanya sepertinya nyaman sekali, namun aku tidak berani duduk dulu, nanti Patrick berpikir macam-macam... aku melihat ke luar jendela dan merasa kagum. Baru kali ini aku melihat ibu kota dari atas, ternyata cantik juga. Pantas banyak yang suka menginap di hotel bertingkat tinggi. Mungkin kalau malam lebih cantik lagi ya...
"Abaaaannnggg...," aku mendengar suara Patrick dari belakangku, maka aku pun berbalik dan melihatnya menyambutku dengan tangan terbuka. Lho, kok dia pakai seragam sekolah? Belum sempat aku bereaksi, dia memelukku dengan manja, seolah-olah aku ini abangnya. Apa mungkin dia memang sekesepian itu ya... sejenak aku agak canggung karena dia sebenarnya lebih tinggi dariku, jadi seolah-olah malah aku yang menjadi adiknya. "Makasih Bang udah mau nemenin Patrick ya!"
"Abang yang makasih banyak Patrick, Abang mimpi apa bisa nginap di hotel semewah ini," ucapku sedikit bergetar ketika Patrick melepaskan pelukannya. Entah kenapa kesedihan itu menerpaku kembali.
"Udah gpp Bang, Patrick kesepian soalnya di rumah. Yuk nyantai!" Patrick membantuku menanggalkan tas ransel dan jaketku, dan barulah aku merasa ruangan itu ternyata dingin. Patrick pun menyuruhku duduk di sofa itu, diikuti dia duduk di sebelahku. "Abang ga kedinginan kan? Mau Patrick kecilin AC-nya?"
"Nggak usah Patrick, Abang kuat kok. Di desa Abang dingin juga."
"Bang, boleh ga panggil Patrick Pat aja? Patrick di rumah dipanggil Pat doang, kata papa itu soalnya pas kecil Patrick manja banget, minta dipuk puk, nah itu Inggrisnya kan Pat juga hehehe..."
"Ga pa pa nih?"
"Ga pa pa kok Abang, kan kita cuma berduaan di sini. Papa Mama juga tahu kok kalau Patrick staycation ngajakin Abang. Patrick suka cerita kalau Abang itu orangnya baiiiik banget, suka bantuin Patrick, jadi kenapa nggak gantian Patrick yang baikin Abang."
"Ah bisa aja kamu Patrick... Pat... Abang cuma bertugas aja kok."
"Tapi sumpah, Abang tu jauuuuuh lebih baek dibandingin Mas Muchlis, ih galak bener dia! Patrick pernah dimarahin gara-gara bikin kotor lorong sekolah, lah kan pas ujan juga, otomatis sepatu Patrick banyak lumpurnya dong!"
"Ya mungkin maksudnya biar Pak Pur nggak repot-repot bersihinnya Pat."
"Tetep aja lah Bang, kan lagi hujan juga..." Patrick bergeser mendekat, sejenak membuatku salah tingkah. "Abang ganteng yah," celetuk Patrick tiba-tiba sambil memandangku. Eh? "Ga salah deh istrinya pilih Abang hehehe..." Aku hanya tersenyum sambil berpikir, kenapa dia tiba-tiba menyebut istriku. "Abang kalau kangen istri gimana?"
"Ya telpon sih Pat, walaupun nggak bisa video call. Sinyalnya belum sebaik itu di desa." Patrick terlihat manggut-manggut.
"Kalau kangen 'begituan' gimana Bang? Punya Abang gede tuh..." Ah pertanyaannya terang-terangan sekali, tapi mungkin wajar ya di kota besar seperti ini... dan mungkin tidak ada yang mengajarinya karena dia anak tunggal, kalau orang tuanya sesibuk itu...
"Ya Abang coli aja sih Pat, tapi nggak sering-sering amat, paling lima hari sekali." Entah kenapa ya aku menjawabnya biasa saja...
"Emang Abang terakhir coli kapan?" Sejujurnya, aku tidak pernah menghitung kapan terakhir aku coli.
"Yaaa... mungkin ada semingguan kali Pat, lagi nggak selera aja. Abang kepikiran anak Abang di rumah..." Sejenak aku menyesal berbicara begitu, karena suasananya mendadak menjadi muram. Aku sejenak mengintip ke luar jendela, awan tebal mulai menggantung di horizon. "Ah maafin Abang ya, kok tiba-tiba Abang bahas anak Abang... kan Patrick lagi mau menikmati liburan."



"Justru itu Abang, Patrick mau ngobrolin itu bentar sama Abang, kalau Abang bersedia," ujarku. Dalam hati, sebenarnya aku deg-degan juga. Pancinganku terlalu cepat dan mendadak, karena aku sudah tidak sabar ingin menikmati tubuh Bang Mario. Dari tadi aku lirik-lirik tubuhnya yang kekar terbalut seragam satpam sekolah, dan jendolannya yang bagiku gede, aku jadi horny sendiri. Semoga Bang Mario nggak melihat aku ngaceng.
"Eh... gimana Pat?" tanya Bang Mario kebingungan. "Bukannya kamu ngajak Abang ke sini buat staycation?"
"Iya Bang, tapi ingat nggak kapan hari Patrick bilang mau bantuin Abang?" ujarku. "Patrick mau utarain sekarang. Tapi Abang janji ya, Abang ga akan marah sama Patrick?"
"Marah... kenapa Pat?" Dari raut wajahnya, aku melihat Bang Mario semakin kebingungan, membuatku semakin gugup sebenarnya. Namun sudah sejauh ini, kepalang tanggung... apapun risikonya, harus kuterima!
"Abang janji dulu pokoknya!" ujarku semerajuk mungkin.
"Ya deee... Abang janji ga akan marah!" jawab Bang Mario.
"Jadi gini Bang... Patrick... ada dana buat bantu Abang. Tapi... Patrick pingin minta sesuatu dari Abang."
"Pat... jangan, Abang ga bisa nerima, Abang ini siapa, cuma satpam sekolah..."
"Ah Abang, demi anaknya loh! Patrick ga mau anaknya Abang kenapa-kenapa!" Aku memandang serius ke wajah Bang Mario, dan dia agak salah tingkah sebenarnya. Kelihatan dari matanya Bang Mario agak sedih, dan aku jadi agak bersalah sebenarnya, namun kutekadkan diri. "Patrick ada uang lebih, Abang butuh lima juta kan, Patrick bisa kasih Abang enam juta, sekalian buat jaga-jaga kalau ada apa-apa--ya amit-amit lah ya Bang!"
"Patrick... Abang... Abang perlu lakukan apa buat Patrick supaya Abang layak menerima uang segitu..." Loh... kok Bang Mario kaya pasrah gitu? Tapi aku melihat mata Bang Mario agak berkaca-kaca, jadi aku sendiri malah berjuang untuk mencari kata-kata yang tepat, supaya Bang Mario mau kunikmati badannya.
"Patrick... cuma pingin..." Ah aku kesulitan betul! Sepertinya aku mulai berkeringat dingin; belum pernah aku seintens ini!
"Bilang aja Pat, Abang turutin!" Mendadak Bang Mario menjadi teguh. "Patrick suruh Abang kerja di rumah bersih-bersih atau apa, Abang lakuin! Abang cuma mau yang terbaik buat keluarga Abang."
"Ya... Patrick ga akan nyuruh Abang untuk kerja keras lagi sih Bang..."
"Abang siap lakuin permintaan Patrick."
"Patrick mau enakin Abang malah." Hanya itu yang meluncur dari mulutku, membuat Bang Mario kebingungan.
"Mmm... maksudnya gimana Pat? Abang ga ngerti..." Aku berusaha mengatakannya dengan bahasa sesederhana mungkin... tapi sebelum ke sana, mungkin...
"Tapi Abang janji satu hal lagi ya. Ini rahasia kita berdua aja, tolong jangan kasih tahu ke siapa-siapa bahkan ke papa mama Patrick."
"Abang janji Pat. Abang juga belum pernah ketemu papa mama Patrick, Abang perlu berterima kasih suatu saat nanti."
"Bener ya Bang?"
"Patrick boleh tinju Abang deh kalau Abang ingkar janji." Ya nggak nolak sih sebetulnya... "Coba bilang aja Patrick mau apa dari Abang."
"Gini Bang... Patrick... pingin nikmatin badan Abang sambil ngiket Abang," ucapku dengan cepat. Benar dugaanku, raut wajah Bang Mario berubah dengan cepat, walaupun aku melihatnya masih kebingungan.
"Maksud... maksud Patrick... gimana?" Maka akhirnya kujelaskan semuanya ke Bang Mario. Dia orang pertama yang kuberi tahu kalau aku ini gay dan menyukai Bang Mario. Aku berencana melakukan soft bondage dan edging ke Bang Mario dengan bahasa sesederhana mungkin supaya Bang Mario memahami dengan jelas apa yang akan kulakukan. Aku juga mengatakan bahwa kegiatan itu akan kudokumentasikan, walaupun tentu saja nama Bang Mario akan kusamarkan, dan wajahnya tidak terlalu tampak jelas--aku juga akan menyamarkan wajahku; gila aja kalau sampai temen-temen SMA atau ortu tahu! Ke depan, dokumentasi itu bisa kujual dan Bang Mario akan kubagi separuh kalau ada yang beli. "Ini Patrick ga maksain Abang ya, kalau Abang ga mau Patrick bisa maklum kok, karena ini sesuatu yang besar, dan Patrick akan tetap kasih uang Abang enam juta seperti yang Patrick tadi bilang. Abang juga boleh ga jawab sekarang, kan masih ada empat hari tiga malam di sini, cuma Patrick tetap berharap Abang mau nemenin Patrick di sini sampai staycation usai. Apapun jawaban Abang, Patrick akan hargai itu." Bang Mario lama terdiam, sepertinya berpikir dan menimbang-nimbang, maka aku memberi jarak dengan sedikit menjauh dari Bang Mario dan berfokus pada tontonan televisi, walaupun aslinya jantungku berdebar parah. Semoga Bang Mario mau!

"Patrick mau melakukan itu ke Abang kapan?" ujar Bang Mario tiba-tiba setelah hampir lima belas menit berlalu. Aku bahkan sudah tidak sadar sudah berlalu selama itu!
"Ya... kalau Abang mau, setelah makan malam, kira-kira sejam setelahnya, biar makanannya udah turun, Abang sama Patrick bertenaga buat semalam suntuk!" ujarku bersemangat, sejenak berharap Bang Mario akan setuju. "Abang nyantai aja, Patrick pokoknya manjain Abang empat hari ini. Abang makan yang enak-enak, yang kenyang."
"Pat... kamu kok baik banget sama Abang... kenapa..." Aku melihat mata Bang Mario berkaca-kaca lagi, maka tanpa pikir panjang lagi kupeluk Bang Mario. "Udah jangan dipikirin lah Bang. Abang udah berjasa banyak buat sekolah Patrick, mumpung Patrick bisa membalas jasa Abang, ya Patrick balas jasa Abang. Abang tinggal pikirin tawaran Patrick tadi ya. Patrick bakal seneng banget kalau Abang mau, tapi Patrick ga maksain Abang kok."
"Abang mau." Jawaban Bang Mario membuatku langsung terbang ke langit ke tujuh. "Bener nih Bang?" tanyaku memastikan sambil mataku berbinar-binar.
"Tapi pelan-pelan ya, ajarin Abang."
"Siap Abangkuuuu..." Kucium pipi Bang Mario. "Patrick kasih yang enak-enak kok, nggak seserem itu kok Bang!"
"Ya udah Abang nurut, toh Abang juga kok tiba-tiba kepingin..." Ah rupanya Bang Mario horny juga akhirnya! Tapi hari masih panjang, saat itu masih pukul setengah tiga sore. "Abang nyantai dulu gih, jangan tegang. Nikmati liburan ini ya Bang."
"Makasih ya Pat..."
"Patrick yang makasih juga Bang, Abang mau nemenin Patrick di sini. Patrick jujur aja kesepian, dan Patrick juga jenuh bergaul sama temen-temen Patrick sebetulnya. Patrick kaya... kepingin... sosok abang..."
"Papa Mama kerja keras betul ya Pat," kata Bang Mario.
"Iya Bang, dan bukannya Patrick nggak bersyukur ya, malah Patrick bersyukur banget Patrick dimanjain kaya begini, sampai di usia begini Patrick sudah menikmati macam-macam. Tapi lama-lama Patrick bosan juga hidup begini. Patrick butuh... teman yang nggak melulu hedon. Sekedar ngobrol aja kaya gini Patrick udah seneng banget Bang."
"Kamu boleh lah ngobrol sama Abang, anggap abangmu sendiri gimana?"
"Abang... mau?"
"Yaa... kamu anak baik Pat, Abang senang di usiamu segini kamu sudah cukup dewasa menyikapi kehidupanmu, bahwa ada yang lebih penting dari uang. Kalau Abang bisa bantu walaupun hanya sekedar ngobrol saja, kenapa nggak?"
"Abang..." Entah kenapa aku jadi terharu dibuatnya. Ah kenapa juga aku ngobrolin itu tadi! Nanti malam kan aku mau menikmati tubuh Bang Mario! Tapi alangkah senangnya semua rencanaku berjalan dengan baik, bahkan dapat bonus Bang Mario mau jadi abangku! Tinggal eksekusi saja nanti malam... Kami berdua tenggelam dalam pikiran masing-masing, sementara di luar sana hujan mulai turun. Sepertinya akan susah ke mana-mana, tapi kalau mau sih sebenarnya ada jalan tembus ke mal. Ah hari ini biar di kamar saja, Bang Mario pastinya belum pernah menikmati ini semua. Besok saja kalau sudah mulai jenuh baru diajak jalan-jalan. "Abang capek? Kalau capek tidur dulu gih. Apa mau mandi?"
"Nanti aja Pat, ni TV-nya menarik ya, Abang jarang nonton TV." Rupanya Bang Mario tertarik dengan acara itu, walaupun aku hanya memutar National Geographic.
"Patrick boleh boboan di pangkuan Abang?"
"Sini deh." Bahagianya aku ketika Bang Mario mengizinkan aku tiduran di pahanya, karena aku bisa mengamati tubuh Bang Mario dari lebih dekat. Walaupun terbalut seragam satpam hitam-hitam, aku bisa melihat badannya tegap dan kekar. Selangkangannya sangat menarik dan mengundang, namun aku menahan diri untuk tidak menyentuhnya dulu.



Agak canggung juga sebenarnya, anak ketua OSIS di sekolah tempatku bekerja sekarang sedang tiduran di pangkuanku. Sejenak aku merasa Patrick seperti anakku sendiri yang sudah beranjak dewasa, walaupun anakku sekarang masih empat tahun dan sedang sakit. Ah anakku, Bapak sebentar lagi bisa memberikan dana untukmu operasi, tapi Bapak harus melakukan ini dulu... maafkan aku istriku, aku mencintaimu, tapi demi masa depan anak kita, aku harus melakukannya... aku berusaha mengusir rasa bersalahku dengan menonton acara TV. Sebenarnya aku penasaran juga apa yang akan dia lakukan padaku, apalagi aku juga sedang horny. Aku belum pernah disentuh sesama pria tentu saja, jadi ini pengalaman pertamaku nanti. Tapi kalau ini bisa menyembuhkan anakku... apapun akan kulakukan. Sesekali aku mengelus-elus kepala Patrick, mencoba membuat suasana menjadi lebih rileks. Rasanya ia mulai tertidur di pangkuanku. Kuamat-amati wajah anak SMA itu, ganteng juga. Pantas jadi idola banyak siswa-siswi dan memang cocok jadi ketua OSIS. Aku tidak menyangka saja di balik semua itu ada kesedihan sendiri yang ia pendam, padahal sehari-hari di sekolah dia terlihat selalu riang. Ah, memang nasib tiap manusia berbeda-beda... Aku menoleh ke luar, hujan cukup deras walaupun tidak terlalu terdengar suara rintik-rintiknya, hanya sesekali kulihat kilat dan suara petir menggelegar. Kembali kulihat Patrick... kuamat-amati tubuhnya. Gempal juga untuk ukuran anak SMA, tapi dia memang suka olah raga. Kakinya yang semampai, dan entah kenapa juga dia berseragam, walaupun tidak sampai mengenakan sepatu sekolah... atau mungkin dia bawa? Aku sendiri juga belum melepas sepatuku, dan lama-lama pahaku kesemutan juga. Perlahan-lahan kupindahkan kepala Patrick dari pahaku ke bantal yang ada di sofa itu, dan kulepaskan sepatu butsku. Sepertinya di kamar hotel ini tidak perlu bersepatu. Lama-lama aku sendiri ikut mengantuk, hawa dingin ini mengundang sekali walaupun aku tahu ini dari AC. Sepertinya aku ikut tidur saja, tapi aku masih sungkan untuk tidur di kamar. Mungkin aku istirahat sejenak di sofa saja, di samping Patrick...
"Bang... Bang Mario..." Sayup-sayup kudengar suara Patrick. Aku pun perlahan membuka mataku. Ah ternyata matahari sudah tenggelam. Jam berapa ini... apa aku tertidur selama itu? "Bang Mario, bangun yuk, udah malam," kata Patrick. "Kita makan dulu yuk, terus Patrick layanin Abang." Aku pun menggeliat. "Jam berapa ini Pat?"
"Jam enam lebih dikit sih. Kita makan di restoran bawah aja ya Bang, masih hujan tuh, kelihatannya awet ini hujannya."
"Abang ngikut aja Pat."
"Sip Bang. Abang pasti suka deh! Tapi ganti baju dulu aja ya, masa Abang pake seragam. Itu kan buat nanti malam hehehe..." Maka aku dan Patrick pun berganti baju dengan baju yang lebih santai. Patrick pun mengajakku turun dan makan di restoran di hotel tersebut. Patrick memilihkan menu untukku, dan aku benar-benar terharu dibuatnya. Makanan di hotel itu sangat enak, tidak seperti yang pernah kumakan selama ini, dan terasa begitu mewah. Makanan yang tidak akan pernah kunikmati lagi sepertinya. Suasananya juga cukup mewah, atau bahkan bisa kubilang romantis? Ah andai aku punya uang cukup untuk membawa istriku ke sini... entah sudah berapa kali aku memikirkan mereka; entah apakah Patrick mengamati itu atau tidak. Semoga ini tidak merusak suasana, karena aku merasakan Patrick benar-benar tulus memanjakan aku. Yah, walaupun dia memang meminta sesuatu dariku, namun aku tidak merasakan niatnya sepamrih itu. Apalagi banyak yang bilang, rezeki jangan ditolak. Mungkin ini sudah jadi rezekiku.

Dan malam itu hidupku sepertinya akan berubah.

"Gimana Bang makanan di sini?" ujar Patrick setelah kami kembali ke kamar. "Enak kan?"
"Enak banget Pat, Abang baru pertama kali makan seenak dan sebanyak itu. Kenyang deh Abang sekarang!"
"Jangan ketiduran lagi ya Bang. Kan malam ini kita mau senang-senang itu hehehe... Abang mau mandi dulu?" Baru aku sadar kalau aku belum mandi sore. "Boleh deh, tapi dingin nggak ya airnya?"
"Ada air panasnya Bang. Sini Patrick tunjukin!" Dia pun menunjukkan cara menggunakan shower yang pastinya aku tidak pernah menggunakannya sebelumnya. Setelah paham, aku pun menikmati mandi mewah itu sementara Patrick bilang dia akan menyiapkan alat-alatnya. Setelah puas, aku pun keluar dan langsung merasa kedinginan. Patrick hanya cekikikan melihatku menggigil. "Langsung pake ya Bang seragamnya!" Tak perlu disuruh lagi, aku pun segera mengenakan baju dan seragamku sesuai permintaan Patrick. Sebenarnya aku agak deg-degan, apa yang akan Patrick lakukan padaku? Tapi tentunya dia tidak akan menyiksaku, ya kan? Aku melihat berbagai benda dan alat yang tidak pernah kulihat sebelumnya. "Patrick dapat benda-benda ini dari mana?" tanyaku penasaran.
"Oh Patrick lihat di Internet Bang! Patrick udah belajar kok, jadi Abang ga perlu takut ya! Dinikmati aja hehehe..."
"Abang ngikut aja deh."
"Yuk Bang, sini, berdiri depan Patrick." Aku pun menuruti perintahnya. "Abang pasrah ya, kaya pura-puranya Abang dibekap Patrick."
"Siap Pat."
"Tangannya ke belakang Bang, kaya posisi istirahat di tempat." Aku pun meletakkan tanganku di belakang sesuai permintaannya. Patrick kemudian membawa semacam lakban. "Merem ya Bang." Aku pun memejamkan mata. Kudengar suara lakban ditarik dan aku merasakan wajahku di bagian mata ditutupi lakban. "Percaya sama Patrick ya Bang."
"Abang percaya sama Patrick," jawabku walaupun aku semakin deg-degan. Entah kenapa ini membuatku terangsang juga. Patrick benar-benar melakban wajahku sehingga aku tidak lagi bisa melihat apa-apa. "Oh iya, Patrick lupa sesuatu. Bentar ya Bang." Aku tidak tahu apa yang Patrick lupakan, namun tak terlalu lama ia menyentuhku. "Minum ini ya Bang. Ini bukan racun kok! Abang nanti pasti perkasa habis minum ini." Aku pun menurut saja, walaupun agak cemas juga. "Buka mulutnya ya Bang, Patrick suapin." Rupanya Patrick membawakan gelas untuk kuminum. Apapun cairan itu terasa dingin, namun kuteguk saja. Tidak ada rasa apa-apa, sepertinya air biasa. Kuteguk apapun itu sampai habis. "Patrick siapin lagi ya Bang." Aku hanya mengangguk. Selagi ia melanjutkan melakban mulutku, aku mulai merasakan sesuatu. Badanku menjadi terasa hangat, terutama di bawah sana. Mendadak aku jadi bersemangat; pandanganku tertutup rapat, aku tak bisa berbicara, tapi aku malah terangsang dibuatnya. Dari mana ya dia belajar ini semua... Aku mendengar suara "buk" pelan, lalu aku bisa merasakan Patrick memelukku dari belakang dan berbisik, "Abang nikmatin aja yah, Patrick beri kenikmatan lebih ke Abang..." Perkataannya membuatku terangsang, walaupun aku bisa merasakan satu lengannya mengapit leherku. "Ngggghhh..." Patrick meletakkan tangannya satu lagi di dada kiriku, dan aku bisa merasakan kehangatan yang membuatku terangsang, apalagi ia meletakkannya dekat puting dadaku. Aku baru menyadari bahkan kedua putingku pun terasa melenting. Apa dia memberiku minum pembangkit gairah? Aku tidak pernah meminumnya karena aku merasa gairahku sendiri sudah cukup tinggi untuk melayani istriku... mungkin Patrick memberiku itu agar aku bisa tetap terangsang, apalagi ini pengalaman pertamaku dilayani seorang pria...
"Patrick sayang Abang..." lagi-lagi ia membisiki telingaku sambil memelukku erat-erat. Pelukannya bermakna ganda: pelukan sayang dan pelukan nafsu. Tangannya mulai meraba-raba dadaku. "Mmmmmhhh..." aku bergetar ketika jari-jarinya menyentuh putingku yang melenting itu. "Enak kan Bang?" Aku hanya mengangguk sedikit karena Patrick masih mencekikku walaupun tidak sampai membuatku kesulitan bernafas.
"Patrick turun ke bawah ya." Aku merasakan tangannya mulai meraba bagian bawah tubuhku, dan langsung ke bagian pribadiku. "Mmmmhhh... gedenya punya Abang," bisik Patrick nakal sambil mengelus-elus batang kontolku yang sudah mengeras itu. "Ngggghhhh..." entah kenapa aku agak meronta-ronta sedikit. "Dinikmati Bang..." Aku bisa merasakan nafas Patrick hangat menyapu leherku, dan sesuatu yang lebih hangat dan basah menyapu sisi leherku. "Mmmmmhhh..." Aku semakin menggelinjang ketika Patrick mengelus-elus kepala kontolku yang terdesak di celana satpamku itu. "Nggggghhhh.... mmmmfffffhhh..." Aku melenguh panjang ketika Patrick mengurut batang kontolku yang benar-benar keras. "Yeaaaahhh... kontol Bang Mario gedeeeehhh... Patrick sukaaaa.... mmmhhhh... Patrick mainin kontolnya ya Bang... oooohhh..." Aku terpekik ketika ia meremas-remas biji-biji kontolku, namun lama-lama rasanya enak juga. Belum pernah aku dirangsang seperti ini. Entah berapa lama Patrick memainkan kontolku dan ia tidak berusaha mempercepat tempo permainan, ketika tiba-tiba aku tidak merasakan apa-apa lagi, bahkan kehangatan tubuh Patrick pun tiba-tiba lenyap. "Nnnngg?" Aku berusaha memanggil namanya, namun suaraku tertahan dan aku tidak dapat mengucapkannya. Tidak ada jawaban. Aku tidak berani melangkah karena mataku tertutup. "Nnnnggggg??"
Aku mendengar suara gemerisik yang tidak kukenali. Harusnya Patrick, tapi sedang apa dia? Kemudian aku mendengar suara langkah lagi, kukenali sebagai suara sepatu Patrick. Ah ternyata memang benar, kalau penglihatan tertutup seperti ini, pendengaran jadi lebih tajam. "Nnng?" aku berusaha memanggilnya. "Bang Mario sayang..." aku agak lega mendengar suara Patrick kembali. Ia menyentuh leherku dengan tangannya, yang sepertinya terbalut sesuatu karena rasanya begitu... halus? Apa dia pakai sarung tangan? Ia mendongakkan kepalaku, lalu berbisik, "Patrick sayang Bang Mario..." Aku hanya bisa menjawab dengan erangan tertahan, sebelum aku bisa merasakan sesuatu di bibirku.
Dia... menciumku?



Senangnya akhirnya aku bisa mencium bibir Bang Mario satpam sekolahku yang gagah itu, walaupun sekarang dalam posisi seperti itu dan masih terhalang lakban. Tentunya Bang Mario tidak bisa membalas ciumanku, namun yang penting aku sudah menciumnya. Belum tentu juga Bang Mario mau kalau kucium langsung di bibir! Kuelus-elus lehernya selagi aku mencium Bang Mario, dan Bang Mario hanya melenguh pelan. "Enak Bang?" Ia melenguh pelan saja. "Jawab dong Bang, kalau nggak Patrick nakalin loh!" Dengan nakalnya tangan kananku memegang kontol Bang Mario dan meremas-remasnya sehingga Bang Mario terpekik. "Hnnggghh!" Sensasi sarung tangan kulitku beradu dengan tubuh Bang Mario, suara-suara gemerisik sarung tangan itu terlipat-lipat saat meremas-remas kontol Bang Mario membuatku sangat bergairah. Kujepit-jepit kepala kontol Bang Mario dan ia pun merintih sambil berjinjit. "Mmmhhh... Iiihhhh... Ffffhhh..." Aku sudah menduga kontol Bang Mario gede, tapi tidak segede ini. Dan walaupun Bang Mario belum pernah main sama cowok, ternyata kontolnya bisa ngaceng keras juga! Kuurut batang kontol Bang Mario. "Nnnnggghhh..." Kuusap-usap telapak tanganku di kepala kontol Bang Mario. "Mmmmmffffhhhh..." Kulakukan itu beberapa saat dan kuvariasi kecepatannya sampai Bang Mario menggeliat-geliat. Sebetulnya aku tidak tahu ketahanan Bang Mario, kapan dia akan ngecrot. Kurasa aku hanya bisa tahu kalau kubuka mulutnya dan kubiarkan Bang Mario berbicara. Tapi aku juga ingin melakukan edging dengan kondisi dibekap begini. Mungkin pakai perasaan saja deh... akhirnya kuhentikan permainanku di kontol Bang Mario. Bang Mario pun terengah-engah, kulirik batang kontolnya keras sekali. Kupeluk Bang Mario dan kutepuk-tepuk dadanya. "Gimana Bang, enak nggak dimainin Patrick kaya gini?" bisikku. Bang Mario hanya bisa mengangguk terengah-engah. "Udah mau keluar belum Bang?" Bang Mario mengangguk lagi--ah untung saja kuhentikan. "Istirahat dulu ya Bang, kita foto-foto dulu aja. Bang Mario tinggal ikutin arahan Patrick." Sebenarnya tadi aku sudah mengambil beberapa foto, namun aku mau mengambil pose-pose lain.
Entah berapa lamanya aku mengambil foto-foto Bang Mario dengan berbagai pose, dan kontolnya masih tegang juga. Mulai dari foto Bang Mario berlutut dalam posisi diikat, tergolek lemah di ranjang, kontolnya kumasukkan kembali ke dalam celananya dan tampak menegang di celana satpamnya, hingga kontolnya yang menyembul dari resleting celananya dan meneteskan cairan precum yang memucuk di kepala kontolnya. Asyik banyak koleksi buat kelak aku coli hahaha... Setelah puas mengambil banyak foto, aku pun mulai memainkan kontol Bang Mario lagi. Kutuntun Bang Mario untuk duduk di sofa, sepertinya ia mulai kelelahan karena kusuruh berbagai macam pose yang memang cukup sulit, apalagi dalam posisi terikat. Biarlah kubiarkan Bang Mario terpuaskan dulu sebagai rasa terima kasihku. Maka kukeluarkan sepenuhnya kontol Bang Mario dari lubang resleting celana satpamnya. Kulumasi sarung tangan kulitku dengan pelumas cukup banyak, lalu kuelus-elus batang kontolnya.



"Mmmmmhhh..." Aku hanya bisa mengerang pelan. Entah berapa lama tadi aku diarahkan Patrick untuk berpose, dan badanku cukup pegal-pegal. Kontolku juga mulai pegal karena tegang dari tadi--rupanya ini efek samping obat kuat itu. "Sabar ya Bang, Patrick kasih yang enak-enak sekarang biar Bang Mario lega," ujarnya. "Nggghhh..." Aku bisa merasakan batang kontolku dikocok perlahan-lahan, sesuatu yang dingin menerpa batang kontolku namun ada sesuatu yang hangat menjelajahi biji-biji kontolku. Aku menggeliat kegelian, rasanya enak sekali. Sesekali aku merasa ngilu karena Patrick mengenyot biji kontolku, namun rasa itu tidak berlangsung lama karena Patrick terus mengocok kontolku. "Mmmmfffhhh... ssshhh..." Patrick mulai mempercepat kocokannya dengan sedikit variasi di sana-sini, aku tidak bisa melihat caranya mengocok kontolku namun aku bisa merasakan perbedaan tekanan di batang kontolku. Aku menggeliat-geliat saat Patrick mengocok kontolku dengan cepat. "Nggggghhh..." Aku mulai merasakan tekanan itu mengumpul di bawah dengan cepat dan aku mulai tidak tahan. "NGGGGGHHHHH...." "Ooooohhh..."
Aku tidak bisa mengendalikan tubuhku. Badanku mengejang dan hendak menekuk, namun Patrick menahan kedua kakiku. Aku bisa merasakan cairan pejuhku mengalir dengan deras di batang kontolku, namun ada sebuah tekanan lain yang lebih keras di pucuk kepala kontolku. Patrick... dia menggencet kepala kontolku? Selagi kontolku berusaha memuncratkan pejuhnya, cairan itu tertahan di kepala kontolku, membuat tekanan yang tidak nyaman. "MMMFFFFHHHH NGGGGHHHHH!!! ...GGGHHHH!!! HHHHHHHH!!!"
Mendadak aku merasa tekanan yang menutup lubang pipisku menghilang. "NNNNGGGGGG!!!" Aku merasakan semburan dahsyat dari kontolku. Sejenak kemudian aku bisa merasakan pejuhku mendarat di mana-mana: di wajahku, di rambutku, di dadaku... namun kenikmatan itu benar-benar tiada tara, belum pernah kurasakan sebelumnya dari istriku. Aku terengah-engah seiring dengan keluarnya pejuhku yang tertahan itu. Badanku benar-benar teraliri perasaan nikmat dan lega. "Nggggghhhh..."
"Gimana Bang Mario, enak ya?" bisik Patrick sambil perlahan-lahan membuka lakban di wajahku. Sejenak aku megap-megap terkena udara dingin di mulutku dan mataku silau melihat cahaya lampu di kamar hotel itu sekalipun cahayanya temaram. "Patrick..."
"Ya Bang."
"Enak banget... gila ya kamu bisa mainin Abang kaya gitu. Abang ga nyangka bisa muncrat cuma dikocokin, sama bocah SMA pula."
"Hehehe asyik deh kalau Bang Mario suka," seringai Patrick. "Patrick akan kasih lagi kalau Bang Mario mau selama staycation ini."
"Abang nggak nolak Pat..." Kulihat wajah Patrick berseri-seri mendengar jawabanku. "Patrick jamin Abang pasti suka deh!" Ia mengelus-elus kontolku yang kusadari masih sedikit tegang di luar celana navy satpamku itu. "Ah geli Pat... Abang istirahat dulu ya, badan Abang lumayan pegal nih..."
"Tapi Bang Mario masih kuat kan?" Patrick seolah memancingku sambil mengelus-elus biji-biji kontolku. Aku menggeliat dibuatnya, kehangatan tangan Patrick kontras sekali dengan dinginnya AC di kamar itu. "Nggghh..." Saat itu aku baru sadar badanku masih terikat di sana-sini, tanganku diikat ke belakang mulai terasa pegal. "Boleh lepasin ikatan di tangan Abang ga? Tangan Abang pegal nih..."
"Okeh Bang! Berdiri bentar yuk biar gampang!" Patrick pun membimbingku berdiri lalu ia mulai melepaskan beberapa ikatan di tubuhku, tapi rupanya hanya supaya tanganku tak lagi tertekuk ke belakang. "Abang kalau berdiri masih kuat?" tanyanya setelah selesai mengikat tanganku ke samping tubuhku.
"Kuat Pat, Abang kan sering berdiri berjam-jam di sekolah."
"Ya udah, nikmatin aja ya Bang, nggak usah malu-malu." Patrick berdiri di sampingku dan kembali mengelus-elus kontolku. Aku mengamati apa yang ia lakukan padaku. Badanku diikat dengan ikatan menyilang ke sana kemari, entah dari mana ia belajar seperti itu. Aku menyadari noda pejuhku masih melekat di seragamku--dicuci hilang kan ya? Masih ada satu setel di rumah, dan Patrick menyuruhku membawa dua setel. Aku melihat selangkangan Patrick, sepertinya dia sendiri juga tegang, bahkan sepertinya ada sedikit noda basah di celananya. Mendadak aku penasaran, seperti apa ya memegang kontol? Tapi aku malu melakukannya ke Patrick... ah biar saja nanti kalau dia kasih izin, toh sekarang tanganku tidak bebas bergerak. Tangan Patrick menggerayangi dadaku dan mencubit-cubit putingku dari luar seragamku, membuatku terpekik. Tapi enak juga... kontolku kembali tegang dibuatnya, separuh kurasa karena efek obat kuat itu masih terasa, separuh karena apa yang Patrick lakukan pada tubuhku. Aku hampir tidak pernah main dua ronde dengan istriku; selain karena dia tidak mau, nafsuku juga tidak sebesar itu. Malam ini, ternyata aku dibuat sangat bernafsu oleh siswa SMA tempatku bekerja... namun pikiranku tidak bisa melantur ke mana-mana karena rangsangan Patrick pada tubuhku cukup intens, saat ia kembali mengelus-elus biji-bijiku.
"Patrick isepin ya Bang."

Tanpa kuasa kutolak, Patrick berlutut di depanku, seorang satpam sekolah berseragam navy gelap dalam posisi terikat, dan mulai menggarap kontolku dengan mulutnya.
"Aaaaahhhh Paaaattt..." Aku merasakan lidah Patrick menjelajahi sisi bawah kepala kontolku, yang tak kuduga sensitif juga. Aku mulai menggeliat kegelian, terutama saat lidah Patrick mulai menyapu ujung kepala kontolku, tempat lubang pipisku. "Nggggghhhh..." Patrick tidak memegangi batang kontolku sehingga batang kontolku berayun ke mana-mana, seringkali menampar wajah Patrick yang kegirangan bisa merasakan kontolku. Ia mencium-cium ujung kepala kontolku sambil mulai mengelus-elus lagi biji-biji kontolku yang kedinginan karena AC. "Mmmmmhhhh.... uuuaaaahhh... Paaattt... enaaakkkhhhh... sssshhhh..." Sambil memijit-mijit biji-biji kontolku, Patrick perlahan-lahan mulai melahap batang kontolku, sengaja merapatkan bibirnya agar batang kontolku merasa seperti diurut. "Mmmmmhhh..." Aku bisa merasakan hidung Patrick menyentuh tubuhku. Dia... dia melahap batang kontolku sampai pangkalnya? "Oooohhhh..." Lidah Patrick menyapu pangkal batang kontolku, beradu dengan biji-biji kontolku. Kemudian dia memegangi dan meremas pantatku, lalu memulai menggarap kontolku dengan mulutnya.
Aku memejamkan mata menikmati sensasi yang baru kali ini kurasakan. Seseorang menghisap kontolku. Sesekali aku mendengar suara Patrick agak sedikit tersedak selain suara air liurnya yang membasahi kontolku, menjadikannya pelumas untuk bibirnya menggesek dan menjepit batang kontolku, ditambah lidahnya yang kasar menyapu bagian bawah batang kontolku... benar-benar melayang aku rasanya. "Aaaaahhh... Patriiiiccckkkk... uuummmhhhh... sssshhhhh... enaaaakkkhhhh..." Aku meracau tak karuan selagi Patrick terus menghisap kontolku maju mundur, tanganku memegangi tangannya. Begitu hangat. Bagaimana bisa ia pandai memainkan kontol seperti itu? Anak SMA yang seganteng dirinya, disukai banyak cewek sekolah, ternyata malah doyan kontol? Ah dunia ini memang tak terduga... demikian juga dengan tempo permainan Patrick yang berubah-ubah saat menghisap kontolku. "Pat... Abang mau keluarrrr... Ngggghhh..."
"Keluarin aja Bang," Patrick sejenak menghentikan hisapannya, ucapannya sengau terhalang batang kontolku yang masih berada di mulutnya. "Patrick mau ngerasain pejuh Abang."
"Kamu... mau ngerasain pejuh Abang?" Patrick hanya mengangguk.
"Abang terserah kamu Pat..." Tanpa membuang waktu Patrick kembali mengenyot batang kontolku. "Ohhhh... Paaattt... Mmmmhhh..." Kenikmatan itu kembali mengaliri tubuhku. "Nnnnnggggghhhh.... Abang mau kluaaarrr.... Oooooohhhhh..."
Aku tak bisa menahannya lagi.
Croooottt...
Tubuhku mengejan selagi kontolku memuncratkan pejuhnya berkali-kali, padahal tadi aku sudah keluar. Tidak kusangka banyak juga persediaan pejuhku yang belum dikeluarkan. Patrick memegangi tanganku seolah-olah menjagaku tidak rubuh, dan setelah kontolku selesai mengeluarkan pejuhnya kakiku terasa benar-benar lemas. Badanku terasa begitu ringan, nyaman, lega, dan bahagia. Jadi begini ya rasanya orgasme lebih dari sekali... Patrick masih menjilati lubang pipisku seolah tidak ingin menyisakan pejuhku setetes pun, dan lama-lama aku kegelian. "Geli Pat..." Patrick pun mengeluarkan kontolku dari mulutnya setelah yakin tidak ada pejuh yang tersisa. Kontolku agak lemas namun masih sedikit tegang, reaksi obat itu kuat sekali. "Cape ya Bang?" bisik Patrick.
"Mayan Pat... Abang duduk ya." Patrick membimbingku duduk di sofa dan duduk di sebelahku sambil tetap memegangi kontolku, mengelus-elusnya walaupun sangat perlahan. "Ngh..." Aku terengah-engah lelah. "Gimana Bang, enak diisepin Patrick?"
"Luar biasa Pat... kamu kok bisa pinter gitu sih ngisepnya, belajar dari mana?"
"Ini pertama kalinya Patrick ngisep kontol Bang hehehe... untunglah Abang suka." Ia menatapku selagi aku terbaring mengumpulkan energiku kembali. Sejenak kami tidak berbicara apa-apa, aku juga membiarkan Patrick tetap memegangi kontolku yang sepertinya belum lelah. "Makasih ya Pat..." aku memecah kesunyian.
"Patrick yang harus berterima kasih sama Abang," sahutnya. "Patrick takut aja Abang marah sama Patrick..."
"Jujur Abang kaget sih Pat, tapi Abang janji Abang ga akan kasih tahu siapa-siapa, ke papa mama Patrick, ke guru, ke kepsek."
"Makasih ya Bang..." Tanpa permisi dia menciumku di bibirku. Sejenak aku kaget; aku belum pernah dicium pria sebelumnya. Refleks aku hendak menolak, namun aku melihat air mata mengalir di pipi Patrick, membuatku campur aduk, bersalah dan iba. "Pat... kok nangis...? Abang ada salah kah?"
"Nggak, Abang nggak salah apa-apa," Patrick menyudahi ciumannya sambil menyeka air matanya. "Patrick cuma... bahagia..." Aku mencoba menenangkannya dengan mengelus-elus kepalanya. "Tidur yuk Pat, udah jam berapa ini..."
"Kelonin ya Bang."
"Iya, tapi lepasin dulu dong iketan Abang..." 

Malam itu aku dan Patrick tertidur dengan nyenyak. Patrick tertidur di pelukanku, aku jadi merasa memeluk anakku sendiri yang sudah besar, walaupun dia dengan nakalnya memasukkan tangannya di celanaku. Pagi harinya, aku terbangun dalam keadaan ngaceng, awalnya kukira pengaruh obat namun aku baru ingat kalau pagi aku memang sering ngaceng saat bangun, dan Patrick sudah kembali mengerjai kontolku kembali. Permainan pagi itu cukup sederhana, Patrick hanya mengocok-ngocok kontolku, namun sekali-kali ia variasi dengan mengenyot putingku yang melenting juga karena dinginnya AC, membuatku muncrat dalam waktu singkat. Hari itu ia hanya menggodaku sekali-kali, namun lebih banyak memanjakanku dengan makan makanan enak yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Rupanya Patrick ingin memulihkan tenagaku yang terkuras banyak kemarin setelah dibuatnya orgasme dua kali berturut-turut. Malamnya ia juga tidak terlalu intens memainkan kontolku. Hari ketiga staycation itu, baru ia menggarapku lebih intens selepas makan siang. Ia meminta izin padaku untuk melakukan edging dalam posisi terikat seperti hari pertama, dan aku baru tahu istilah itu darinya. Ia berhasil merayuku, dan selama dua jam berikutnya ia menikmati tubuhku dan kontolku selagi mencegahku untuk muncrat berkali-kali sebelum akhirnya aku tidak tahan lagi dan memuncratkan pejuhku sangat intens--mungkin kapan-kapan akan kuceritakan lengkapnya karena kisah ini sendiri sudah cukup panjang. Itu pun tidak hanya sekali, dua kali, namun tiga kali ia membuatku orgasme. Di hari terakhir staycation itu, sesuai janjinya Patrick memberiku tidak hanya enam juta rupiah, namun delapan juta rupiah untuk biaya anakku operasi dan biaya lain-lain. Hari itu menjadi hari yang paling mengharukan dari staycation itu; aku terharu karena akhirnya aku punya biaya untuk mengobati anakku, Patrick sedih karena staycation itu harus berakhir. Namun, aku berjanji padanya untuk membalas budinya. Seperti apa? Aku belum tahu.
Yang jelas, sejak itu hubunganku dengan Patrick berubah. Ia masih tetap ramah padaku dan menjaga sikapnya di depan teman-temannya, namun di belakang ia menjadi cukup manja. Aku akhirnya dikenalkan ke orang tuanya, dan sesekali aku diberi pekerjaan sampingan seperti menjadi tukang kebun atau bahkan menggantikan satpam rumahnya yang sedang ada keperluan, dan tentu saja saat-saat itu menjadi saat yang menyenangkan bagi Patrick, walaupun ia berusaha sebisa mungkin untuk tidak berlebihan dan ketahuan. Aku jadi menyayanginya seperti anakku sendiri, dan sempat sedih ketika Patrick akhirnya lulus dari SMA itu, namun ia berjanji akan terus menghubungiku, dan yang terutama memberikan kenikmatan padaku. Aku tetap menjadi satpam sekolah itu selama beberapa tahun kemudian sebelum akhirnya orang tua Patrick menawariku gaji yang lebih tinggi sebagai satpam rumahnya, tak terlalu lama setelah Patrick masuk universitas ternama. Tentu aku tak kuasa menolaknya, sekaligus menjadi balas budiku untuk Patrick yang telah membantuku menyembuhkan anakku.

Yah, siapa menyangka, inilah akhir yang baik bagi ketua OSIS dan satpam sekolah.

Kamis, 10 Agustus 2023

[Catatan Fei] Pencurian karya-karya Fei's Fantasy

Halo semua,

Fei terpaksa menuliskan catatan ini, karena Fei mendapat laporan bahwa karya Fei dicuri oleh seseorang di suatu platform dan dijual tanpa seizin Fei. Tentu saja ini tidak benar yah. Semua cerita Fei akan selalu tersedia dengan gratis alias tanpa dipungut biaya apapun, dan cerita Fei yang asli hanya ada di sini, Fei's Fantasy. Ke depan, Fei akan menambahkan beberapa trik dalam cerita Fei supaya bisa ketahuan kalau ada yang mencuri cerita Fei dan menjualnya. Sebisa mungkin Fei akan membuatnya supaya tidak merusak keseruan membaca cerita Fei.

Sebagai catatan, Fei tidak keberatan kalau cerita Fei disalin dan diterbitkan di tempat lain, asalkan ada tulisan bahwa cerita tersebut ditulis oleh Fei. Fei terpaksa menambahkan satu halaman, Ketentuan Penggunaan, untuk memperjelas hal ini dan mencegah pencurian karya-karya Fei terjadi lagi di kemudian hari. Fei juga menambahkan formulir laporan pelanggaran konten kalau-kalau ada yang mencuri karya Fei. Mohon bantuannya yah untuk melaporkan supaya tidak ada yang tertipu membeli karya tersebut ke orang lain.

[UPDATE 11 Agustus 2023]

Kreator yang bersangkutan sudah menghubungi saya, dan kami mencapai kesepakatan bahwa tiga cerita tersebut akan ditarik dari akun kreator. Ketiganya sudah ditarik, jadi saya juga menarik link ke tiga cerita tersebut dari catatan ini. Semoga ini jadi pembelajaran yah untuk saling menghargai karya orang lain.

Bagi kreator-kreator yang kebetulan juga mengunjungi blog Fei, berkreasilah dengan bijak. Buatlah karyamu sendiri. Menulis cerita bukanlah hal yang mudah; pengikut blog Fei pasti sudah tahu kalau cerita Fei sangat lama terbitnya, karena ide itu mahal. Terinspirasi boleh (Fei sendiri juga sering terinspirasi dari cerita lain), namun jangan kemudian serta-merta mengambil karya tulis orang lalu mengakuinya sebagai karya sendiri, bahkan menjualnya. Itu namanya plagiarisme, seperti yang sudah pernah Fei bahas, dan yang terakhir sudah termasuk pencurian. Percayalah, Anda akan kehilangan lebih banyak dari apa yang Anda dapatkan dari hasil mencuri. Mari berkarya sebaik-baiknya, Fei tidak ingin bersaing dengan siapapun, masing-masing punya pengikut dan pasarnya.

Terima kasih semuanya, dan selamat menikmati cerita Fei berikutnya.

Sabtu, 27 Mei 2023

Bersama Kasir Minimarket

Cerita ini hanyalah rekaan semata, kesamaan nama dan tempat hanyalah kebetulan belaka. PERINGATAN: Konten ini mengandung materi dewasa dan homoseksualitas. Jika Anda tidak dapat menerima materi ini, segera tinggalkan blog ini.

Ini sebenarnya adalah permintaan dari seorang teman di Twitter. Namanya Fei gunakan di cerita ini atas seizinnya (nama samaran sesuai di Twitter). Sebetulnya "minimarket"-nya spesifik, tapi daripada nanti viral dan jadi masalah, Fei samarkan saja dengan nama minimarket fiktif. Ceritanya tetap fiktif kok hehehe... Semoga berkenan yah!



"Terima kasih sudah belanja di Pasarindo, semoga layanannya memuaskan, silakan belanja lagi!" Itu kalimat yang sering kudengar dari kasir minimarket Titik Pasarindo yang buka 24 jam setiap kali ada pelanggan yang selesai belanja. Setahuku tidak ada kalimat "semoga layanannya memuaskan" di kasir Pasarindo yang lain, jadi entah kenapa kasir itu menambahkannya.

Suatu hari, akhirnya aku tahu kenapa.

Perkenalkan, aku Mike, usia 28 tahun. Aku sebenarnya bekerja sebagai pegawai biasa, namun aku mempunyai sebuah... sisi lain. Sisi lain yang tidak diketahui siapapun, yang kututup rapat-rapat kecuali di dunia itu. Kenapa, kau bertanya? Yah, sederhana saja sih. Aku gay, dan aku memiliki fetish yang cukup spesifik. Fetish seragam satpam. Fetish yang semestinya tidak terlalu aneh di dunia pelangi, namun ketika kamu bukan kaum "pribumi" alias keturunan, adalah sebuah kombinasi yang dipandang aneh. Paling tidak di bumi Jawa ya. Mungkin ada, namun jumlahnya pasti sedikit sekali. Langka. Satpam Chinese? Coba saja cari di Jakarta, hahaha... namun begitulah keadaannya. Aku sendiri tidak ingat kapan aku mulai menyukai seragam satpam, namun aku begitu tergila-gila dengan seragam satpam. Aku memiliki semua jenis seragam satpam, dimulai sejak masih berwarna putih-biru gelap, seragam malam, safari, maupun seragam satpam yang sempat mirip dengan polisi. Aku hanya tidak berminat dengan seragam satpam terbaru, yang berwarna kuning. Menurutku, kurang menggairahkan. Jadinya, aku banyak menggunakan seragam satpam lama maupun seragam satpam coklat. Aku bahkan sempat ikut pelatihan satpam, walaupun tentu saja banyak yang mencemoohku saat itu. Fisikku sebenarnya cukup lumayan karena aku juga suka gym, namun tentu saja keturunan di bumi Jawa ini masih dipandang sebelah mata untuk kasus-kasus tertentu. Kubuktikan dengan lulus dari pelatihan bahkan dengan prestasi terbaik, walaupun tentu saja aku tidak memilih bekerja sebagai satpam penuh waktu.

Atau mungkin sebaliknya?

Saking fetish-nya, daripada hasil pelatihan satpam terbuang sia-sia (tidak murah juga soalnya bagiku), akhirnya aku mengambil pekerjaan "sampingan" sebagai seorang satpam. Supaya tidak mengganggu pekerjaan utamaku, aku hanya mencari tempat yang mau mempekerjakan satpam saat akhir pekan saja, atau paling tidak hari Minggu saja. Memang agak sulit menemukan tempat seperti itu, namun aku pantang menyerah. Setelah berbulan-bulan mencari, ternyata ada minimarket yang membutuhkan satpam namun hanya di hari Sabtu dan Minggu. Langsung saja aku masukkan lamaran, dan dengan prestasiku yang bagus, walaupun awalnya agak disangsikan karena kulitku, akhirnya aku diterima juga, dengan gaji yang tentu saja tidak sebesar pekerjaanku saat ini, namun cukup lah untuk jajan tambahan. Kebetulan sekali saat itu kantorku juga hendak menjalankan uji coba 4 hari kerja, sehingga aku masih tetap mendapat istirahat akhir pekan walaupun hanya di hari Jumat saja. Dan yang melegakan, seragamku masih seragam coklat, bukan kuning.

Seperti yang kuduga, awal-awal aku sering mendapat tatapan aneh, kebanyakan dari pengunjung yang kebetulan berpapasan denganku. Karena minimarket itu ada lahan parkir yang cukup luas, satpam di sana juga merangkap sebagai tukang parkir seperlunya untuk menghindari tukang parkir liar. Aku mengambil shift malam supaya sedikit kemungkinan ada yang mengenaliku bekerja sebagai satpam (aku merahasiakannya dari kantorku), walaupun lokasi Titik Pasarindo itu jauh dari kantorku. Shift malam berlangsung selama sepuluh jam, mulai pukul delapan malam hingga enam pagi, dan aku diberi tahu biasanya di akhir pekan malam-malam malah semakin ramai hingga kira-kira pukul dua pagi, sehingga shift malam ada dua satpam yang akan bertugas. Dalam hati aku bertanya-tanya, bukannya biasanya Pasarindo tidak ada satpam ya, di tempat ini malah ada dua satpam? Namun aku tidak terlalu ambil pusing, yang penting aku bisa memuaskan hasratku sebagai satpam hehehe... dan tentu saja aku berharap suatu saat nanti akan ada yang "menggodaku" sehingga aku bisa memuaskan hasratku yang lain. Hasrat apa itu? Hasrat seks, tentu saja. Aku mengidentifikasikan diriku sebagai seorang versatile bot, jadi aku bisa-bisa saja ngentot sebenarnya, namun aku lebih suka dientot. Apalagi kalau dientot dengan seragam satpam, uuugh...

Sepertinya impianku itu tak lama akan terwujud juga, yang akan diabadikan menjadi sebuah cerita di blog Fei's Fantasy yang bisa kamu akses dengan gratis. Kalau kamu membayar untuk membaca cerita ini, langsung minta refund aja dan bantu laporkan cerita plus akun tersebut yah!

Berbulan-bulan kemudian, aku sudah mulai terbiasa bekerja menjadi seorang satpam di akhir pekan. Walaupun beberapa pengunjung masih belum terbiasa dengan wajahku, namun aku sudah mulai dikenal banyak orang. Tentu saja rekan-rekan satpamku, kasir-kasir Titik Pasarindo termasuk manajer dan karyawan lain, dan beberapa pelanggan setia yang suka menghabiskan waktu di kafe Titik Pasarindo. Aku perlu akui, tempatnya memang nyaman untuk nongkrong, makanya tempat itu populer dan cukup ramai sekalipun sudah lewat tengah malam. Kalau sedang sepi, tentu saja aku bercengkerama dengan rekan satpamku maupun sesekali menemani kasir. Ada satu orang kasir yang aku suka, namanya Dendi. Usianya 21 tahun, dia baru saja lulus kuliah namun belum dapat kerjaan, jadi selagi menunggu lamaran diterima ia mencari kesibukan dengan melamar di Pasarindo, dan ternyata ditugaskan di tempatku. Ia punya keahlian barista sebenarnya, sehingga dia lebih sering melayani di bagian kafe, namun saat tidak ada permintaan apa-apa di kafe ia menjadi kasir. Badannya cukup berisi dan tentu saja ia ramah pada semua orang, termasuk ramah padaku. Terlalu ramah bahkan, karena ia sering gemas menabok pantatku saat sepi. Aku sih suka-suka saja, walaupun awal-awal agak sedikit gengsi. Namun, di luar itu, kami bersahabat baik dan sering berkomunikasi di luar pekerjaan.
Suatu hari, karena alasan tertentu, hanya aku yang berdinas malam itu, dan kebetulan sekali hanya ada Dendi juga. Biasanya, akan ada satu orang yang berjaga di kafe dan satu di kasir, namun malam itu rupanya ada halangan tertentu sehingga tidak ada yang bisa menemani Dendi. Manajer berpesan agar aku membantu Dendi, dan tentu saja aku tidak keberatan, toh semasa aku bekerja menjadi satpam, tidak pernah terjadi insiden keamanan apapun. Kalau kebetulan sekali kami berdua harus beristirahat, misalnya karena panggilan alam, asalkan toko sepi atau bahkan tidak ada pelanggan sama sekali, toko boleh ditutup sebentar, tentunya dengan memberikan tanda tutup sementara. Entah rezeki apa yang menimpaku hari itu, tidak banyak yang berkunjung ke Titik Pasarindo malam itu. Kira-kira pukul dua belas malam, hanya ada satu orang yang sedang menikmati waktu bersantai di kafe. Aku pun memutuskan masuk ke dalam dan menemani Dendi. "Dengaren sepi ya Den," celetukku membuka pembicaraan.
"Musim liburan Ko," sahut Dendi santai. "Pada pulang semua." Lokasi toko itu memang relatif dekat dengan sebuah universitas dan biasanya dipakai tempat nongkrong atau kerja tugas. "Bakal sepi sih biasanya setelah jam satu." Benar saja, menjelang jam satu, orang satu-satunya di kafe itu pun pulang, sehingga tidak ada pelanggan lagi. "Lumayan Ko bisa istirahat hehehe," ujar Dendi sambil duduk di kursi kafe di belakang counter. Aku tetap berdiri untuk mengamati sekeliling, walaupun sebenarnya ada CCTV. Karena tidak pernah ada kejadian, rekaman CCTV biasanya tidak pernah diperhatikan dan langsung dibuang begitu saja saat sudah lewat 72 jam. Maka, aku tidak pernah risau kalau Dendi menabok bokongku, toh selama ini juga tidak ada yang memperhatikan. Dan benar saja, malam itu dimanfaatkan Dendi untuk kembali menabok bokongku. Aku membiarkan saja dia melakukan itu sampai puas, walaupun aku jadi agak ngaceng dibuatnya. "Ko bokongnya sekel amat gimana caranya sih?" mendadak Dendi bertanya demikian.
"Ya ga tau lah, udah dari sononya dapet bokong sekel hahaha... lu doyan bokong sekel ya?"
"Iya Ko, seksi banget gitu, bikin horny aja..." Wah sepertinya gayung bersambut nih.
"Emang lu suka bokong cowok?" tanyaku memancing.
"Suka-suka aja Ko, apalagi sekel begini, enak diuyel-uyel." Dendi tidak lagi menabok bokongku, namun mengelus-elus dan meremas-remas bokongku, lebih ke arah mengagumi bokongku. Ah aku jadi kesulitan menahan diri untuk tidak horny, kontolku mulai ngaceng di seragamku yang ketat itu. Apa Dendi ini penyuka sesama ya... "Dingin-dingin gini pasti enak nih ya pelukan," celetuk Dendi lagi.
"Lu kedinginan?" tanyaku ngasal.
"Dikit sih Ko, tapi kan SOP-nya ga boleh matiin AC kecuali pelanggan yang minta dikecilin," jawab Dendi. "Bikin ngaceng aja ya dingin-dingin gini!" Wah sudah mulai mancing nih dia sepertinya.
"Masih jam kerja oi Dendi!" sergahku sambil tertawa kecil. "Ini malah ngaceng..."
"Mumpung sepi Ko," ujar Dendi sambil tangannya mulai nakal berpindah ke depan menggerayangi pahaku dan akhirnya menyenggol kontolku yang sudah ngaceng. "Nah kan Ko Mike ngaceng juga!" Aku pura-pura tidak menghiraukan Dendi dan tetap berdiri mengambil posisi menghadap konter agar tidak terlalu terlihat CCTV, walaupun aku tahu sebenarnya konter itu masih tersorot CCTV. "Mayan gede ya Ko kontolnya," ujar Dendi sambil mengelus-elus batang kontolku dari luar celana satpamku yang ketat itu. "Nggghhh... Den..." Aku tak kuasa menggelinjang ketika Dendi menggelitik ujung kepala kontolku dengan telunjuknya. "Ditutup dulu Den tokonya, sebelum ada yang masuk." Aku pun beranjak menuju pintu sambil mengambil tanda tutup sementara, lalu mengunci pintu masuk toko. "Sampai jam dua aja ya Den?" Dendi mengangguk. Setelah yakin bahwa pintu terkunci dengan aman, termasuk pintu belakang yang sebenarnya pintu khusus karyawan dan supplier, aku pun masuk ke ruangan khusus karyawan yang tentu saja tidak diawasi CCTV. Di sebelah gudang, ada sebuah ruang kecil yang bisa digunakan untuk beristirahat bahkan tidur sejenak--manajer toko itu memang begitu memperhatikan kesejahteraan karyawannya, terutama karena toko itu buka 24 jam. Dendi sudah berada di sana menungguku; ia tersenyum begitu melihatku masuk. "Masih ngaceng aja ni Ko," senyumnya ketika aku mendekat dan dia pun langsung menggapai kontolku dan meremas-remasnya. "Aaaahhh..." Kubalas meremas-remas kontolnya. "Lagi pengen lu Den?"
"Iya Ko, pengen... gua udah lama merhatiin Koko, terutama bokong Koko yang sekel itu. Ngangenin..." Dendi memelukku agar ia bisa leluasa meremas-remas bokongku, jendolan kontolku beradu dengan kontolnya yang juga sudah ngaceng. Ternyata dia aktif juga; sambil mengagumi bokongku, dia menggesek-gesekkan kontolnya dengan kontolku. "Mmmmhhh..."
"Gua entot mau ya Ko," bisik Dendi agak memelas. "Gua udah berminggu-minggu pingin ngentot Koko, tapi gua ga berani bilang. Mumpung sekarang lagi sepi..."
"Lu kepedean amat Den kalau gua bot," bisikku terkekeh.
"Ya dengan bokong Koko sekel kaya begini, masa bukan bot sih Ko," bisik Dendi balik, lalu ia melepaskan pelukannya dan bergeser ke belakangku, kontolnya kini beradu dengan belahan bokongku. Ia meraba-raba dadaku dan mencoba mencubit-cubit putingku selagi menggesek-gesekkan kontolnya di bokongku. "Aaaahhh nakal lu Den.... mmmhhh..." Aku tak kuasa menghentikan godaan Dendi, tubuhku menggelinjang di pelukannya. Aku sudah lama juga tidak dientot, dan kontol Dendi sepertinya bisa memberikan kepuasan untukku. Dendi kembali menggerayangi kontolku yang sudah meronta-ronta ingin dibebaskan dari celana satpamku, sambil tetap memainkan salah satu putingku. "Duh Ko badan bagus muka cakep gini kok jadi satpam sih," bisik Dendi. "Tapi kontolnya oke banget sih buat ukuran satpam hahaha..."
"Lu suka Den?" tanyaku. Dendi menjawabnya dengan kembali menggelitik ujung kepala kontolku dengan telunjuknya, membuatku menggelinjang. "Ooooohhh geli Den..."
"Gua suka kontol satpam Ko...," bisik Dendi. "Tapi gua pingin ngentot Koko, boleh ya..."
"Isepin dulu Den... tapi jangan sampai crot ya." Dendi pun tanggap dan langsung berlutut di depanku, membuka resleting celana satpamku, dan mengeluarkan batang kontolku. Langsung ia lahap dengan rakusnya. "Oooooohhh Deeennn.... yeeeesss... di situuu... mmmmhhh... pinter juga lu ngisep kontollllll... uaaaahhh... sssshhh..." Aku menggelinjang kembali saat ia memegangi batang kontolku yang supertegang itu sambil menjilati lubang pipisku dengan rakusnya. "Aaaaahhh geliiii Deeeennn... mmmhhh..." Ia memegangi kedua tanganku dengan kuat selagi mengenyot batang kontolku dengan rakusnya, suara hisapannya begitu menggairahkan. "Aaaahhh..."
"Ini kebalik deh benernya Ko, masa gua yang mau ngentot malah gua yang ngisepin," ujar Dendi terkekeh. "Gantian!" Ia pun menghentikan hisapannya dan berdiri sambil mengelus-elus jendolan kontolnya di balik celana jinsnya. Aku pun tanggap, namun aku ikut berdiri juga, menciumi Dendi sambil berusaha mengeluarkan kontolnya dari celana jinsnya. Kesulitan menggunakan satu tangan saja, akhirnya kugunakan kedua tanganku untuk membebaskan batang kontol Dendi dari jinsnya. Begitu terbebas, aku mengagumi batang kontolnya. "Gede juga batang lu Den!"
"Isepin Ko, please..." Dendi mendadak memelas.
"Sabar Den... malam masih panjang," bisikku.
"Lah kita kan masih kerja Ko?" protes Dendi. "Ntar ketahuan kalau kita kelamaan nutup toko! Ayo Ko, isepin biar Dendi bisa cepet ngentotin Koko..."
"Siap Den 86!" Aku pun berlutut dan mulai mengisap kontol Dendi. "Aaaaahhh... enak Ko... mmmhhh... enaknya diisepin satpammm... mmmmhhh... nngggghhh... Koooooo... oooohhhh..." Gantian Dendi yang kelojotan kuhisap kontolnya. Tentu saja, aku tidak bisa lama-lama menghisap kontolnya karena Dendi sudah tidak sabar hendak mengentotku. Karena meja yang ada cukup rendah dan aku tidak yakin meja itu bisa menahan berat badanku, terutama ketika nanti bergoyang-goyang saat aku dientot, maka aku terpaksa membungkuk. "Bukain Den... lucuti gua..." Dendi dengan beringasnya membuka kopel satpamku, melepas kait kepala kopelnya, lalu membuka sabuk kecil yang sebetulnya sabuk polisi. "Ih Ko ngapain sih pakai dua sabuk, ribet amat," keluh Dendi ketika ia berhasil membuka sabuk kecil itu, lalu dengan cepat ia membuka kait celanaku dan memelorot celanaku beserta celana dalamku sampai ke lutut, mengekspos pantatku yang sekel itu. "Eits bentar Den, sebelum masuk, pasang pengaman dulu!" sergahku saat ia mulai menyapukan batang kontolnya di antara belahan pantatku. "Play safe ya!" Dendi langsung mengeluarkan satu sachet kondom dari saku kemejanya, dan buru-buru memasangnya di kontolnya. Setelah itu, barulah dia kembali memainkan kontolnya di antara belahan kontolku, lebih tepatnya di lubang boolku. "Siap ya Ko," kata Dendi sambil memegangi pinggangku.
Aku bisa merasakan batang kontolnya perlahan-lahan menembus lubangku yang sudah lama tidak dimasuki itu. Aku berusaha menahan perih dengan mencoba serileks mungkin, walaupun posisiku agak kurang menguntungkan. Tak lama aku merasakan bokongku beradu dengan tubuh Dendi, pertanda kontolnya sudah masuk semua. "Uuuughhh..." Dendi perlahan-lahan mulai menggoyangkan panggulnya, menarik dan mendorong kontolnya di lubang boolku, mengentotku dengan irama yang lama-kelamaan menjadi cepat. "Aaaahhh shiiiittt... enak banget ngentotin satpaaammm... ouuuggghhh yeeeesssshhh... sempit bangeetttt Kooooooohhhhh..."
"Oooohhh Deeennn... mentokin Deeenn... sssshhhh... ngggghhh... sssshhh..." Aku bercampur aduk antara perih dan nikmat. Dendi mengangkat kedua tanganku dan menggunakannya sebagai pegangan selagi dia asyik mengentot diriku. Erangan kami berdua sahut-menyahut bergema dalam ruangan kecil itu, sebuah saksi bisu atas perentotan aku sebagai seorang satpam oleh seorang kasir Pasarindo. Sebagai seorang top, Dendi benar-benar tahu cara mengentot yang nikmat. Entah berapa kali aku merasa prostatku dirojok kontol Dendi, memberikan setruman-setruman kenikmatan yang tiada tara. "Nnnnggghhh Kooooooooo... Dendi mau keluaaarrrhhh..."
"Keluarin aja Den, ayooohhh... oooohhh..." Dendi beristirahat sejenak sambil mengocok-ngocok kontolku yang rasanya dari tadi sudah meneteskan cairan precum ke lantai. "Nggghhh enak Deennn... ayooo... entotin lagiiii... mentokiiinnn.... keluariiinnn..." Dendi pun memulai kembali entotannya. "Ngggghhh... siap yaaa Koooooooo... oooohhhh... oooohhhh... ooohh ooohh ooohh oooh Koooooooo... Dendi mau keluaaaarrrrrggghhhh.... Nnnngggghhhh...!!!" Entotannya menjadi semakin kasar dan keras, namun aku bisa merasakan saat Dendi akhirnya orgasme. "Oooooooggggghhh..." Dendi menghentikan entotannya dan menikmati puncak orgasme itu untuk beberapa saat sebelum akhirnya ia menarik kontolnya keluar dari boolku. Aku pun berbalik dan melihat kondomnya penuh dengan pejuhnya yang kental itu. Ah kenapa tadi aku tidak minta dia keluar di mulutku saja ya... Dendi menarik keluar kondom itu sebelum membungkusnya dengan tisu. "Makasih ya Ko, enak banget boolnya Koko," ucap Dendi sambil mengecupku. "Giliran Dendi keluarin Koko." Tangannya pun langsung memegang kontolku yang sedikit melemas namun masih meneteskan precum. "Oooohhh enak Den..." Ia kembali memelukku dari belakang agar lebih enak mengocok kontolku. "Ngggghhh..." Dendi menjilati leher belakangku, membuatku menggelinjang kegelian. "Deeennn..." Ia tidak berbicara lagi, sibuk memberikan pekerjaan tangan terbaiknya pada kontolku yang sudah menegang sempurna itu. "Ooooohhh Deeennn... mau keluaaarrrhhh..."
"Keluarin Ko... keluarin pejuh satpammu Ko..."
"Ntar muncrat ke mana-mana gimana Dennnn..."
"Ntar Dendi bersihin, ga usah dipikirin Ko... ayo Ko... tunjukin kejantananmu... keluarin pejuh satpam... mmmmhhhh... oh yeeesss..."
"Ooooohhhhhh..." Aku pun akhirnya orgasme juga; kontolku berkedut menembakkan pejuh yang sudah menunggu dikeluarkan sedari tadi. Tubuhku bergoncang seiring dengan tembakan demi tembakan pejuhku yang tentu saja membasahi lantai ruangan itu. Lututku terasa sedikit lemas atas orgasme itu, namun Dendi memelukku dari belakang menyokong tubuhku yang teraliri kenikmatan itu. Dendi terus mengocok kontolku hingga tidak ada lagi pejuh yang menetes dari kontolku. Aku terengah-engah seiring dengan meredanya orgasmeku. Dendi pun melepaskan pelukannya dan keluar dari ruangan itu, tak lama kemudian kembali membawa ember dan kain pel lalu membersihkan pejuhku yang berceceran di lantai, selagi aku pun membereskan diri mengenakan kembali celanaku dan merapikan seragamku. Dengan cekatan Dendi membersihkan ruangan itu dan membuang kondomnya, lalu kembali dan menciumku sebagai penutup. "Makasih ya Ko, enak banget lubang Koko tadi," bisik Dendi. "Kapan-kapan lagi ya."
"Nanti setelah ganti shift lagi yuk Den, di kosmu atau kosku gimana?" ujarku sambil meremas kontolnya.
"Ah Koko ini, pengen lagi ya?" balasnya sambil juga meremas-remas kontolku.
"Nanti kita bisa main sepuasnya di ranjang Den, pasti lebih enak. Gua dudukin kontol lu."
"Agh pasti enak tuh Ko," Dendi mendesah. Sial, aku jadi ngaceng lagi, dan Dendi tahu itu karena ia kembali menggelitik kepala kontolku. "Ugh geli Den, lu nakal juga ya!"
"Kontol satpam memang menggoda," bisiknya tanpa berusaha menghentikan permainannya. "Kerja dulu yuk Ko, nanti dilanjut!"

Sisa shift malam itu terasa begitu lambat. Entah kenapa malam itu benar-benar sepi, bahkan sempat dalam sejam tidak ada yang datang sama sekali. Sesekali Dendi menggodaku dengan menabok atau mengelus-elus bokongku atau kontolku, dan kami pun berbicara lebih banyak tentang kehidupan seks kami saat tidak ada pelanggan yang perlu dilayani. Dendi ternyata top tulen, sehingga tidak mungkin aku memintanya untuk dientot nanti selepas shift. Ah ya sudah lah, biar aku dientot lagi, dan mungkin kali ini jangan dikeluarkan di dalam lagi. Pengunjung baru mulai berdatangan selepas sholat subuh, walaupun tak terlalu ramai. Hingga akhirnya shift malam itu berakhir juga pukul enam pagi. Setelah menyerahkan shift pada karyawan berikutnya, aku dan Dendi pun pergi mencari sarapan terlebih dahulu sebelum pulang ke kos Dendi. Niat untuk bercinta lagi di kos terpaksa diurungkan karena aku dan Dendi mengantuk, jadi akhirnya kami berdua tidur terlebih dahulu di ranjang Dendi yang agak sempit--untungnya kosnya ber-AC jadi kami bisa tidur dengan nyaman dan berpelukan, walaupun Dendi melarangku untuk ganti baju, selain aku juga tidak bawa baju ganti. "Pingin dong tidur meluk satpam," kata Dendi sambil mengelus-elus kontolku selagi aku menguap. Aku hanya tertawa kecil dan segera naik ke ranjang, disusul Dendi yang memelukku dari belakang dan tetap menggerayangi kontolku. Karena kelelahan, aku tertidur terlebih dahulu--sepertinya.
Entah berapa lama aku tertidur sebelum akhirnya terbangun dalam kondisi ngaceng. Rupanya Dendi masih memegangi kontolku walaupun ia sendiri masih tertidur, tangannya bahkan sudah menelusup masuk ke dalam celanaku. Aku tidak bisa bergerak karena posisinya, maka aku berusaha tidur kembali sambil sesekali memberi kode pada Dendi dengan mengacungkan kontolku. Entah berapa lama kemudian ia baru bereaksi dengan perlahan-lahan mengocok kontolku. "Den...," bisikku memanggil Dendi, siapa tahu ia sudah bangun. "Ko...," erangnya pelan.
"Jadi main gak?" Dendi hanya mengerang lagi tanpa menjawab pertanyaanku. "Ngantuk Ko..."
"Lu tidur aja, kan gua udah janji dudukin kontol lu." Aku menarik tangannya dari celanaku, lalu membuatnya tidur terlentang. Aku pergi ke toilet terlebih dahulu untuk mengosongkan isi perutku sebelum dientot. Setelah selesai buang hajat dan kucuci bersih boolku, tanpa berlama-lama kulepas celana Dendi dan kulempar ke samping ranjang. Kontolnya masih tergolek di antara kedua kakinya, setengah ngaceng walaupun tidak kuapa-apakan. Kuamat-amati kontol Dendi lebih seksama kali ini. Cukup besar walaupun masih setengah ngaceng, sudah disunat. Tidak ada rambut di daerah kontolnya, sepertinya ia rajin mencukurnya. Tanpa pikir panjang kulahap kontolnya dan kuhisap perlahan-lahan. "Nnngggghhhh Kooo...," erang Dendi, matanya masih terpejam namun dari raut wajahnya aku tahu dia menikmati hisapanku. Aku bisa merasakan batang kontolnya membesar dan memanjang dengan perlahan dalam mulutku. Kuhisap dan kukocok-kocok kontolnya sampai benar-benar mengeras; Dendi tidak bersuara lagi selama itu. Setelah kurasa cukup, aku mulai membuka celanaku namun tidak kutanggalkan sepenuhnya, lalu kuposisikan diriku di atas Dendi. Aku tidak sempat mencari kondom, tapi biar dah, karena Dendi tadi bilang dia selalu pakai kondom jika ngentot sebelum-sebelumnya, jadi kurasa dia masih bersih, dan aku sendiri pun juga bersih. Walaupun ini berarti tanpa pelumas...
"Ada pelumas sama kondom Ko di meja," kata Dendi pelan sambil menunjuk ke mejanya. Ah dia tahu saja pikiranku. Aku pun bangkit mengambil pelumas itu, lalu kuoleskan pelumas banyak-banyak di kontol Dendi sebelum aku memosisikan diriku kembali di atas Dendi yang kali ini sudah telanjang bulat dan membuka matanya. "Siap ya Den," bisikku sambil menatap Dendi dengan tatapan senakal mungkin.
"Masukin Ko...," bisik Dendi. Aku pun mulai menuntun batang kontolnya ke arah lubang boolku, lalu perlahan-lahan kumasukkan. "Nggggghhh...," Dendi mendesah selagi aku berusaha memasukkan kontolnya sedalam mungkin. Aku pun tersenyum lalu memulai gerakanku maju mundur di atas Dendi, merojokkan kontolnya mengenai dinding rektumku dan sebisa mungkin menyentuh prostatku. Aku merinding dan mengerang tiap kali kontolnya merojok prostatku. "Oooohhh Deeennn..." "Ooooohhh Koooo enak bangeeettthhh..." Aku juga menggoyang-goyangkan bokongku sehingga memberikan sensasi sendiri pada kontol Dendi. Kucium Dendi selagi aku mengentot diriku sendiri dengan kontol Dendi, erangan kami tertahan dalam ciuman mesra dan binal. Dendi memegangi dan mengelus-elus punggungku selagi kami bercinta dalam posisi itu. Entah berapa lama aku ngentot dalam posisi itu dan Dendi belum menunjukkan tanda-tanda akan orgasme. Aku berhenti sejenak di atas tubuh Dendi, wajahku penuh peluh sekalipun ruangan itu masih dingin. "Capek Ko?" tanya Dendi lembut sambil menyeka keringat di dahiku. "Lumayan Den, kuat banget lu nya."
"Gantian Dendi yang ngentotin aja Ko." Dendi membimbingku untuk merebahkan diri di ranjang, kontolnya keluar sesaat dari boolku. Dendi merangkul dan mengangkat sedikit kakiku agar dia bisa memasukkan kontolnya ke boolku, dan...
Blesss... "Aaaarrrghhh..."
Tanpa permisi dia langsung merojokkan kontolnya dalam-dalam, membuatku terpekik. Boolku sudah tidak seperih tadi malam, namun tetap saja hentakannya mengejutkanku, menusuk prostatku. Kontolku sendiri begitu ngaceng dan sudah meneteskan cairan precum entah ke mana saja, dan kali ini sepertinya seragamku akan ternoda precumku sendiri. "Ngggghhhh masih rapet aja bool Koko... enaknyaaa ngentotin satpam Chindo kaya Kokoooo.... oooohhhh.... shiiiittt... ooooh yeeesss.... aaahhhh..." Dendi meracau dan mengucapkan kata-kata kotor yang membangkitkan gairahku; aku sendiri memainkan kedua putingku untuk memberikan rangsangan tambahan pada diriku. "Aaaahhh Deeennn... kamu berani ya ngentotin satpaaammmmmhhhhh... ssshhhh... uuugggghhh... mentokin Deeennn.... shiiitttt... enaaaakkkkhhhh.... ooookkkhhh... Deeennn... gua mau keluaarrr..."
"Keluar bareng ya Koooo..." Dendi mempercepat irama entotannya, suara bokongku beradu dengan tubuhnya pun menjadi semakin sering dan cepat. "Aaaaakkkhhh Deeennn..."
Croooottt...
Ternyata aku mencapai puncak duluan. Aku tidak peduli lagi ketika pejuhku terlontar keluar dari kontolku dengan kecepatan tinggi, bahkan ada yang mencapai wajahku. "Aaaahhh Koooo... uuuuoooogggghhh..." Seiring dengan pancaran pejuh dari kontolku, bokongku ikut berkedut mencengkeram batang kontol Dendi, memberikan rangsangan hebat hingga akhirnya Dendi pun tidak tahan juga.
Croooottt...
Aku bisa merasakan cairan hangat itu terpancar di dalam boolku selagi Dendi mementokkan batang kontolnya, mendesak prostatku kembali hingga aku kembali ngecrot dengan kecepatan tinggi. Aku dan Dendi hanya bisa mengerang menikmati orgasme yang datang hampir bersamaan itu, hingga akhirnya kontolku berhenti berkedut dan hanya melelehkan pejuh yang agak encer, sementara aku merasakan boolku cukup penuh dengan pejuh Dendi. "Oooohhh Kooo... seragamnya kena pejuh tuh..."
"Biar Den, kan ada satu setel lagi." Dendi menindihku dan menciumku, aku pun balas mencium dan memeluk tubuhnya yang hangat itu. Plop... aku bisa merasakan kontolnya keluar dari boolku. Kukatupkan otot boolku supaya pejuhnya tidak keluar mengotori ranjangnya. "Makasih ya Ko, fantasi liarku akhirnya terwujud juga, bisa ngentotin satpam, Chindo lagi!"
"Entotanmu enak Den... kapan-kapan entotin lagi ya."
"Siap Ko..."

Sejak hari itu, hubunganku dengan Dendi berubah drastis, walaupun kami tidak berpacaran. Tiap kali Dendi tegangan tinggi, dia menghubungiku untuk mengentotku dalam seragam satpam. Sayangnya, hubungan itu tidak berlangsung lama, karena sebulan kemudian Dendi keterima kerja di lokasi yang jauh dari Titik Pasarindo, sehingga ia harus pindah kos dan berhenti bekerja sebagai kasir/barista. Walaupun demikian, aku tetap berhubungan dengannya dan sesekali kami bertemu melepas rindu dan dia mengentot aku semalam suntuk. Petualanganku tentu tidak hanya bersama Dendi; kasir/barista yang menggantikan Dendi ternyata gay juga, walaupun kali ini dia bot sehingga aku yang mengentotnya. Ah ternyata menyenangkan juga bersama kasir minimarket.

Selasa, 25 April 2023

Polisi di Tangan Maling (bagian 1)

Cerita ini hanyalah rekaan semata, kesamaan nama dan tempat hanyalah kebetulan belaka. PERINGATAN: Konten ini mengandung materi dewasa dan homoseksualitas. Jika Anda tidak dapat menerima materi ini, segera tinggalkan blog ini.

Sudah lama sekali ketika Fei mengambil permintaan seseorang untuk dibikinkan cerita. Ini adalah salah satu permintaannya, semoga suka yah.

Cerita ini akan ada unsur BDSM sedikit, namun Fei usahakan tidak terlalu kuat. Di awal juga akan ada sedikit adegan "normal" walaupun tidak sampai penetrasi. Kalau memang tidak suka konten BDSM, ditunggu saja yah cerita Fei yang lain.



"Nggghhh... Sayang... jangan sekarang..."
"Habis Mas Bayu dinas melulu, Sinta kan kangen..." Aku tak kuasa menepis tangannya yang menggerayangi selangkanganku dan meremasnya pelan, padahal aku sudah mau berangkat dinas.
"Nanti malam ya Sayangku..." ujarku sambil mengecup keningnya dan bibirnya.
"Janji ya Mas Bayu," rengeknya. "Ini udah berdiri lho!" Ya bagaimana bisa aku tidak ngaceng kalau kontolku diraba-raba istriku sendiri?
"Janji Sayang," ujarku lagi sambil mengecup keningnya lagi. "Dua ronde deh. Udah ya, Mas berangkat dulu! Nanti telat!" Sekalipun aku masih ingin berlama-lama dengan istriku, apalagi dia sudah menggodaku sampai segitunya, namun pekerjaanku menanti. Aku melirik jam tangan, sudah pukul 06.30. Bisa telat apel lagi nih, pikirku. Setelah memberinya ciuman di bibir, aku pun pamit dan memacu motorku ke kantor.

Perkenalkan, aku Bayu, seorang polisi berumur 24 tahun. Aku baru saja menikah beberapa bulan lalu, maka jangan heran kalau kisah ini kubuka dengan kemesraanku dengan istriku. Namun, kalau kau menemukan ceritaku di sini, berarti ada sesuatu yang lain, ya kan?

Ya, dan sayangnya hidupku perlahan-lahan berubah di hari itu. Hari saat pertama kalinya aku tidak dapat memenuhi janjiku ke istriku untuk bercinta dengannya sepulang dinas. Karena ada sesuatu yang terjadi saat aku berdinas.

Inilah kisahku.

Setelah apel pagi, aku mengerjakan tugas-tugasku di kantor untuk hari itu. Separuh hari pertama aku dapat giliran jaga, dan setengah hari itu berlalu begitu saja tanpa ada sesuatu yang istimewa. Siang harinya, aku pulang ke rumah untuk makan siang; aku memang tinggal di kompleks perumahan yang disediakan untuk anggota Polri, yang cukup dekat dari kantorku bertugas saat ini. Kadang-kadang aku diolok-olok rekan-rekanku, dasar pengantin baru. Ya mau bagaimana lagi, memang aku masih dilanda kasmaran di bulan-bulan awal pernikahanku dengan Sinta. Kehidupanku jadi terasa lebih berwarna sejak Sinta menjadi istriku, terutama kehidupan seksku juga menyenangkan dengan tubuh Sinta yang memang sintal dan menggairahkan. Hampir tiap malam aku bercinta dengannya, walaupun kami belum dikaruniai anak. Badanku sendiri cukup ideal menurutku; dengan tinggiku yang 172 cm, berat badanku 68 kg namun aku tidak gemuk. Aku suka berolah raga, sehingga tubuhku bugar dan cukup kekar, walaupun tidak sampai seperti binaragawan. Itu juga mungkin yang membuat Sinta istriku selalu terangsang denganku, terutama dengan statusnya sebagai seorang bhayangkari. Dia cukup sering menggodaku saat masih berseragam lengkap, seperti tadi pagi.
Dan siang itu, dia menggodaku lagi.
"Gimana Mas Bayu, masakan Sinta enak kan?" tanyanya sambil memandangku makan dengan lahap.
"Enak dong, istrinya siapa dulu!" pujiku. Sekalipun saat itu ia hanya menggoreng ayam, namun ayam gorengnya beda dengan yang dijual di warung-warung. Istriku bakat memasak dan sebenarnya banyak yang cocok dengan masakannya. "Apalagi ini paha ayamnya kok gede banget Yang?"
"Iya, itu Sinta tadi beli di pasar, terus inget Mas Bayu kan suka paha ayam, makanya Sinta masakin ayam goreng."
"Makasih ya Sayang," ujarku sambil melahap paha ayam itu dengan lahap.
"Kalau Sinta sih suka pahanya Mas Bayu," ujarnya nakal sambil mengelus-elus pahaku. Aku tidak bisa mengelak, aku makan dengan tangan saat itu. "Yakin suka pahanya?" godaku.
"Yaaaa... Sinta suka 'burungnya' Mas Bayu," bisiknya agak mendesah sambil membelai kontolku. Padahal bukan itu jawaban yang kuharapkan, namun istriku seakan tidak peduli dan terus menggerayangi kontolku. "Aaahh Yang... Mas Bayu masih dinas lho... masa kamu gituin polisi sih?"
"Kalau polisinya Mas Bayu sih, Sinta rela ditangkap Mas..." Ia mulai meremas-remas pelan kontolku, membuatku sulit berkonsentrasi menghabiskan makan siangku. "Bentar Yang, Mas Bayu selesaikan makan dulu," ujarku sambil agak buru-buru menghabiskan ayamku, walaupun sebenarnya jam istirahatku masih cukup panjang. Sinta tidak menghiraukanku, bahkan hendak membuka resleting celana coklatku. "Yang... nanti malam aja..."
"Sinta pingin sekarang Mas...," ujarnya merajuk sambil berpose seseronok mungkin. Ia hanya mengenakan baju daster tipis saat itu, dan sepertinya ia tidak mengenakan BH. Aku menyelesaikan makanku, meneguk air di gelasku, dan bangkit hendak mencuci tangan. Sinta mengikutiku dari belakang dan menggerayangi pantat semokku selagi aku mencuci tangan. "Nanti malam Mas Bayu kasih jatah dobel."
"Bentar aja Mas...," rajuk Sinta, tangannya kembali menggerayangi kontolku, membuka resleting celana PDH-ku, dan akhirnya merogoh ke dalam. "Aaaahhh... Yang..." Aku memegangi tangannya hendak melepaskan diri, namun Sinta memelukku dari belakang dan mengelus-elus kontolku. "Yang... Mas Bayu masih dinas..."
"Masih ada waktu kan Mas Bayu... bentar aja..." Sinta berhasil mengeluarkan batang kontolku yang sudah mengeras dan mengocoknya pelan. "Oooohhh..." Sinta membimbingku ke ruang tengah, masih memegangi kontolku. "Istirahat di tempat Yang..." Kulirik jam dinding, masih pukul 12.30. Masih ada waktu. Kuturuti permintaannya; aku pun berdiri dalam posisi istirahat di tempat. Sinta pun menciumku sambil mengocok-ngocok kontolku; terasa begitu nikmat sekalipun aku tahu ini bukan saatnya. "Mmmhhh... enak Yang..." Sinta tidak berkata apa-apa, ia langsung berlutut di depanku dan memainkan kontolku dengan mulutnya. "Aaahhh Yang... ntar crot lho..."
"Crot in muka Sinta Mas Bayu... Mmmhhh..."
"Terus nanti malam gimana dong kalau Mas Bayu crot sekarang?"
"Ya ga pa pa, Sinta pingin ngerasain batangnya Mas Bayu. Briptu Bayu, anggota polisi." Sinta menyapukan lidahnya di kepala kontolku, membuatku menggelinjang. "Aaaahhh... yeeesss... Sayangggggghhh... sssshhhh... nakal yaaaahhh... berani sama polisiiiiii..." Sinta melahap kontolku dan menghisapnya, membuatku teraliri kenikmatan yang tiada tara. "Oooohhh... Yang..." Sinta tahu kelemahanku: aku paling tidak tahan dihisap. Itu salah satu jurusnya untuk bisa menikmati kontolku dalam waktu cepat, karena biasanya hanya satu-dua menit saja setelah dihisap, aku akan orgasme. Aku sudah merasakan hisapannya sejak pacaran, namun aku tak pernah bosan dengan hisapannya. Entah bagaimana caranya Sinta bisa menemukan cara baru untuk memberikan kenikmatan padaku dengan hisapannya. "Yaaannnggg... mau keluaaaarrrhhhh... nnngggggghhhh..." Sinta malah mempercepat hisapannya, hingga...
"Ooooohhhh..."
Crooottt...

Setelah aku bisa mengendalikan diri, aku pun merapikan diri sebelum kembali ke kantor, meninggalkan istriku Sinta yang masih saja menggodaku saat aku hendak berangkat. Kadang-kadang aku kewalahan juga dengan dia, sepertinya dia agak hiperseks. Aku sendiri menikmati seks dengan istriku, tentu saja. Tidak pernah sekali pun terbersit di benakku tentang bercinta sesama jenis. Sekalipun kadang-kadang rekanku bercerita atau bercanda tentang hal-hal berbau seks, namun tidak pernah ada rekanku yang memainkan kontolku. Aku sendiri hanya beberapa kali memegang kontol rekanku, itu pun hanya waktu bercanda dan tidak ada maksud apa-apa.
Ternyata kelak aku akan merasakan kontolku dimainkan pria lain.
"Bay, ada laporan maling di rumah Pak Umar, jalan X," kata atasanku saat aku kembali ke kantor. "Kamu bisa datang ke sana? Kemungkinan malingnya masih di dalam rumah, tapi Pak Umar tidak tahu pasti, dia dengar suara gaduh di ruang tengah tapi tidak berani keluar. Pak Umar cuma berani SMS ke hotline kita."
"Siap Ndan 86," ujarku.
"Tapi sendirian ya? Teman-teman yang lain pada keluar, mendadak ada kasus pembobolan toko Slamet Abadi. Kau tahu kan pemilik toko itu baik ke kita, jadi kita fokus ke kasus itu."
"86 Ndan!"
"Bawa tongkat dan pistol, jaga-jaga kalau malingnya masih di rumah Pak Umar. Ini nomornya Pak Umar, kamu hubungi coba kalau sudah sampai TKP. Kalau ternyata malingnya sudah tidak ada, segera lapor balik supaya saya bisa kirim unit olah TKP. Kalau masih ada, lumpuhkan saja, paham?"
"Paham Ndan 86!" Aku pun mempersiapkan diri, mengambil tongkat T dan pistol karet yang sudah diisi penuh, lalu memacu motorku ke rumah Pak Umar. Sebelumnya aku memang pernah menangani pelaku kejahatan, bahkan yang bersenjata tajam sekalipun, itulah sebabnya atasanku percaya mengutusku sendirian sekalipun mestinya standar protokol yang berlaku adalah dua orang anggota. Aku tidak mengenal baik Pak Umar sebenarnya, namun laporan kejahatan tetaplah harus ditindak. Sebenarnya agak mengherankan juga ada maling di siang bolong begini; waktu itu masih pukul dua siang. Apalagi terjadinya nyaris bersamaan dengan pembobolan toko Slamet Abadi, padahal setahuku toko itu tidak pernah punya musuh. Kenapa ada kejahatan di waktu berdekatan di kota kecil ini, aku tidak habis pikir. Mungkin sudah waktunya mulai ada penyelidikan lebih intensif.
Tak terlalu lama aku pun sampai di rumah Pak Umar. Kuparkir motorku di depan rumah Pak Umar, lalu sejenak melihat ke dalam. Terlihat tidak ada orang, namun memang seperti biasanya rumah-rumah di dalam kompleks perumahan. Aku sudah meminta satpam untuk berjaga-jaga di semua akses kompleks perumahan itu--untungnya hanya ada satu akses saja. Aku mencari-cari bel rumah Pak Umar dan menekannya lalu kutunggu beberapa saat. Tidak ada jawaban. Kutekan lagi bel rumah itu. "Pak Umar?" teriakku dari luar, siapa tahu maling itu jadi ketakutan dan memilih kabur diam-diam, walaupun kulihat sekeliling rumah Pak Umar, seharusnya tidak ada akses jalan keluar yang lain, kecuali dia memanjat genting.
"Iya sebentar!" sahut seseorang dari dalam rumah. Aku mendengar suara pintu dibuka, lalu seseorang melangkah keluar. "Maaf Pak, saya tadi habis berkelahi dengan malingnya, untung Bapak ngebel jadi dia teralihkan perhatiannya!" Pak Umar pun membuka kunci pintu gerbang dan mempersilakanku masuk. Aku menuntun motorku masuk dan menyuruh Pak Umar menutup kembali pintu gerbangnya, supaya tidak ada orang lain masuk maupun keluar, karena semestinya saat ini rumah Pak Umar sudah menjadi TKP. "Ada maling berarti Pak?"
"Iya Pak Bayu," jawab Pak Umar setelah memperhatikan namaku di dada. "Tadi saya habis SMS terus saya beranikan diri keluar dari kamar, ternyata malingnya sedang obrak-abrik di dapur. Saya ambil pentungan lalu diam-diam mendekat dari belakang, tapi kemudian saya nyenggol meja. Jadilah saya berkelahi dengan malingnya Pak Bayu."
"Apa malingnya bersenjata Pak Umar?"
"Untungnya tidak sih Pak, tapi waktu berkelahi dengan saya dia sempat ambil garpu."
"Lain kali lebih berhati-hati Pak, bisa berbahaya kalau malingnya ternyata bersenjata tajam." Aku mengamati sekeliling, memang ada beberapa bagian yang porak poranda seperti bekas perkelahian. Aku tidak terlalu paham mengolah TKP, jadi aku tidak mengusik apa-apa. "Sekarang malingnya di mana Pak?"
"Habis saya bikin pingsan, saya seret ke kamar belakang, buat gudang, terus saya kunci di sana Pak Bayu. Sebentar saya ambilkan kuncinya dulu. Pak Bayu kalau mau lihat-lihat dulu, kamar belakangnya setelah dapur." Pak Umar meninggalkanku sendirian untuk mengamati bekas perkelahian di dapur. Sejenak aku merasa heran, untuk apa ya maling obrak-abrik dapur? Bukannya barang berharga mestinya ada di kamar? Ruang makan yang ada di sebelah dapur terlihat cukup rapi, walaupun meja makan cukup berantakan dan ada beberapa piring dan gelas yang pecah, mungkin bekas perkelahian. Tapi posisi kursinya cukup rapi menurutku... dan setelah dipikir-pikir, posisi pecahan piring dan gelas itu agak jauh dari meja makan. Sepertinya ada yang aneh...
"Mari Pak Bayu, lewat sini," Pak Umar sedikit mengagetkanku dengan membawa kunci. "Pak Umar tadi berkelahi dengan malingnya di ruang makan sini Pak?"
"Betul Pak, makanya itu ada piring makan dan gelas pecah." Hmmm... mungkin saja Pak Umar tadi mengayunkan pentungannya cukup keras sehingga piring dan gelas itu terlontar cukup jauh. Biar nanti penyidik saja yang menanyai Pak Umar dan merekonstruksi kejadiannya... Aku mengikuti Pak Umar menuju kamar belakang yang saat itu tertutup. "Ini kamar apa Pak sebenarnya?" tanyaku.
"Oh ini dulu kamar ART Pak Bayu, cuma kebetulan saya sudah lama tidak dapat ART jadi sementara saya jadikan gudang. Jadinya agak berantakan memang Pak." Pak Umar pun membuka pintu kamar itu dan mempersilakanku masuk. Memang benar, kamar itu agak berantakan dan lebih cocok disebut gudang. Aku melihat seseorang tergolek tak bergerak di sudut kamar. "Itu malingnya Pak, saya berhasil bikin pingsan tadi, pas Pak Bayu ngebel dia lengah, jadi saya pukul kepalanya, dia langsung ambruk pingsan." Aku berjongkok mendekati maling yang pingsan itu untuk memeriksa tanda vitalnya, terutama untuk mengetahui luka-lukanya. Denyut nadinya agak cepat untuk seseorang yang pingsan, nafasnya juga tidak selambat seseorang yang pingsan. Aneh... Aku pun bangkit berdiri dan bertanya. "Pak Umar, yakin ya Pak tadi..."
Pertanyaanku tidak bisa kuselesaikan karena mendadak Pak Umar mendekapku dari belakang dan menutupi mulut dan hidungku dengan sebongkah kain. "Mmmmhhhh..." aku pun meronta-ronta. Ada apa ini, kenapa Pak Umar mendekapku... "Ngggghhhh!" Bau tajam pun merasuki penciumanku; alkohol? Obat bius? Aku meronta-ronta sebisaku hendak membebaskan diriku dari dekapan Pak Umar yang cukup kuat, padahal badan Pak Umar tidak lebih besar dariku. Kugunakan sikuku untuk melawan Pak Umar, beberapa kali kena, namun Pak Umar seolah tidak bergeming.
Dan mendadak maling yang terlihat pingsan itu pun sudah berdiri di depanku selagi aku berusaha berontak melepaskan diri. Mataku membelalak melihat maling itu tersenyum dan memegangi bahuku, lalu meninju perutku.
"Ugh..." Rasa mulas pun mulai menjalar dari perutku, ditambah lagi dengan aroma tajam itu mulai membanjiri paru-paruku, membuatku megap-megap mencoba menghirup udara segar, namun aroma itu semakin masuk ke dalam. Maling itu mendekati diriku dan tersenyum, lalu kembali sambil memegangi bahuku, ia menghunjamkan lututnya ke selangkanganku. "Hnnggghh..." Tubuhku terangkat sedikit akibat tendangan lutut maling itu ke selangkanganku, nafasku seolah dipaksa keluar dari paru-paruku, selagi rasa ngilu itu perlahan-lahan menjalar dari biji-biji kontolku, mengumpul lagi di perutku. Pandanganku mulai kabur, mungkin efek alkohol atau obat bius apapun itu sudah mulai bekerja, walaupun setahuku film-film itu hanya melebih-lebihkan dan mestinya kerjanya tidak secepat itu, namun mungkin dikombinasi dengan tendangan di kontolku... tenagaku juga sudah melemah, sehingga aku tidak siap dengan apa yang dilakukan maling itu berikutnya.
Entah sejak kapan maling itu berhasil mengambil tongkatku yang tadinya terkait di pinggang kiriku. Dengan sekali hentakan, maling itu mengayunkan tongkatku ke kontolku. "Plok..." Hanya suara itu yang kuingat, saat tongkat itu menghantam selangkanganku, memberikan rasa ngilu yang begitu intens.
Pandanganku pun menjadi gelap sepenuhnya.
Sinta...



"Yah, pingsan duluan... padahal aku masih pingin remas kontolnya sampai pingsan."
"Kau berlebihan lah Rik," ujar Umar. "Benernya ga perlu sampai ngebius dia juga kan? Tuh udah pingsan." Keduanya mengamati tubuh polisi Bayu yang tergeletak lunglai di lantai kamar. Erik menghampiri polisi Bayu dan mengelus-elus kontol polisi Bayu dengan kakinya. "Kalau dia ngelawan kan berabe Mar," kata Erik. "Tuh dia bawa pistol juga kan. Ngeri kalau sampai ditembak."
"Makanya kita combo pakai obat bius dan kau hajar kontolnya! Ternyata lemah juga ya polisi ini."
"Dia ga pakai pelindung selangkangan sih," ujar Erik sambil meraba-raba kontol polisi Bayu. "Nih pegang sendiri." Umar berjongkok di samping Bayu dan meraba-raba kontol Bayu. "Ya dia kan bukan pasukan huru-hara Rik, mana perlu pakai pelindung kontol! Kan kita cuma laporan kalau ada maling!"
"Yaaa yang penting kita dapat kontol polisi Mar. Kita nikmati sampai habis hari ini."
"Mau kau apakan dia Rik?"
"Banyak lah. Yang jelas, aku ga mau sia-siakan kontolnya." Erik merogoh ke dalam celana PDH polisi Bayu untuk mendapatkan gambaran sebenarnya ukuran kontol polisi Bayu. "Lumayan gede kontol polisi ini. Kayanya tadi dia habis ngaceng Mar!"
"Tahu dari mana Rik?"
"Ada precum dikit di celana dalamnya."
"Jadi nanti mau kamu perkosa dia?"
"Pasti lah Mar, sudah lama aku ga perkosa polisi. Selain itu, kita bisa juga siksa dia. Atau mungkin edging aja ya, atau cum denial mungkin, dia mohon-mohon biar bisa muncrat tapi kita ga kasih... hmmm banyak ide di benakku!"
"Tapi nunggu dia sadar?"
"Iya Mar. Sepingin-pinginnya aku perkosa polisi, masa pas dia pingsan gini. Lebih seru perkosa polisi, udah masih seragam lengkap, straight pula hahaha..."
"Tau dari mana kalau dia straight?"
"Ya perkiraan aja, kan banyakan yang straight kan? Coba aja cari di dompetnya, kali-kali ada foto istrinya." Umar mencari-cari dompet si polisi Bayu, dan setelah menggeledah isi dompet itu, benar saja, ada foto Sinta istrinya. "Nah kan, jackpot ini Mar!" ujar Erik bersemangat. "Kita akan bikin polisi ini tidak melupakan hari ini."



Entah sudah berapa lamanya aku tidak sadarkan diri. Pandanganku masih gelap atau kabur, namun aku merasa kesadaranku perlahan-lahan pulih, walaupun tubuhku terasa lemah. Samar-samar aku mencium bau wangi, mungkin pewangi ruangan? Di mana aku? Udaranya agak dingin, mungkin AC? Tapi rasanya tadi aku tidak di ruangan ber-AC... kalau tidak salah ingat, tadi aku menanggapi laporan maling di rumah Pak Umar.
Ah, maling! Tadi dia menyerangku! Aku berusaha membuka mataku, namun semuanya tampak gelap. Atau samar-samar? Sepertinya aku melihat cahaya, tapi remang-remang saja. Aku berusaha bangkit, namun tubuhku menolak. Lambat laun kesadaranku mulai kembali dan aku mulai bisa merasakan anggota tubuhku satu per satu. Sepertinya aku sedang dalam posisi duduk. tanganku sulit digerakkan. Aku merasakan besi dingin di pergelangan tanganku--borgol? Kugerak-gerakkan tanganku, dan aku menjadi yakin aku diborgol. Sialan, apa maling itu memborgolku? Aku mencoba meronta dan mendengar suara benda berat bergesekan dengan lantai--kursi? Aku diborgol di kursi? Harusnya aku masih bisa membebaskan diri... namun lenganku sulit digerakkan. Akhirnya aku merasakannya: tanganku menggapai sesuatu yang kurasakan sebagai tali tambang. Kencang sekali sepertinya, karena bahkan torsoku pun tidak bisa kuputar. Kakiku juga sepertinya diikat, aku bisa merasakan tali kencang di paha dan betisku. Sepertinya kakiku diikat di kaki kursi? Akan percuma kalau aku meronta-ronta, apalagi sampai jatuh tersungkur, aku akan kesulitan bangkit. Hanya saja, kakiku diikat dengan posisi... terbuka? Apa-apaan ini? Berani sekali maling itu dengan polisi? Apa dia bekerja sendirian? Oh Pak Umar... sepertinya tadi dia membekapku. Apa jangan-jangan Pak Umar bekerja sama dengan maling itu? Tapi... untuk apa menculikku? Kalau aku tidak kembali-kembali, mereka pasti akan mencariku, ya kan? Harusnya aku tadi bawa HT... atau HP-ku di mana ya? Sepertinya aku mendengar suara gemerisik HT, tapi samar sekali... Tapi sekarang aku tidak bisa menggunakannya... semoga mereka bisa melacakku. Sinta pasti khawatir juga kalau aku tidak pulang-pulang, mana tadi aku sudah janji ngasih jatah... tenang Bayu, berpikir jernih! Kalau kau tenang, kau pasti bisa pulang dengan selamat! Sinta pasti tidak akan keberatan, yang penting aku pulang dengan selamat dulu. Ah Sinta... kenapa aku jadi terangsang membayangkannya...
Baru kusadari bahwa anggota tubuhku yang satu itu sudah tegang dari tadi. Duh masa dalam keadaan begini aku bisa tegang... tapi... Aku mencoba mengosongkan pikiran dan menunggu. Dan menunggu. Dan menunggu. Hanya saja, aku tetap bisa merasakannya. Batang kontolku menegang dalam celana PDH-ku, bahkan lambat laun aku juga merasakan bahwa kedua puting dadaku ikut menegang. Apa gara-gara dingin ini... tapi ini perasaan yang berbeda. Aku mengenal tubuhku dengan baik, dan saat ini aku tahu tubuhku sedang terangsang. Padahal aku tidak memikirkan hal-hal yang membuatku terangsang! Apa aku diberi obat perangsang... atau jangan-jangan tadi aku dibekap dengan campuran obat perangsang?
"Bagaimana Pak Bayu? Briptu Bayu?" sebuah suara pria membuyarkan pikiranku. Suara itu tidak kukenali, bukan suara Pak Umar. Apa maling itu ya? "Sepertinya sudah bangun ya Pak Bayu, tanpa diapa-apakan." Aku tidak bisa melihat orang itu, namun kurasa dia berada dekat denganku. "Bagaimana kalau dibeginikan ya?" Aku merasakan sesuatu meraba-raba dada kiriku, sesekali menyenggol pentil dadaku. "Mmmmhhh!" Aku hendak berteriak protes, namun aku baru sadar ada sesuatu yang mendekap mulutku. Apa ini... seperti bola? Aku berusaha berucap, namun benda itu menghalangi pergerakan lidah dan mulutku, sehingga suara yang keluar dari mulutku tidak terdengar seperti kata-kata, namun seperti gumaman tak jelas. "Nggggghhhh!" Aku refleks meronta-ronta walaupun aku tahu aku tidak bisa bergerak, mungkin hanya kepalaku saja yang bergoyang ke sana kemari. Pentil dadaku saat itu begitu tegang dan sensitif, seperti terangsang dengan sendirinya. Apapun itu yang menggesek-gesek pentilku, membuat tubuhku seperti tersetrum aliran-aliran kenikmatan, yang tidak sepantasnya kunikmati di saat genting begini. "Mmmmhhh hhhh hhhh! Mmmmfff mmfffff mmmffff!" Mendadak aku merasa pentil kiriku itu dijepit sesuatu. "NGGGGGGGGHHH!!!" Sakit! Tapi samar-samar nikmat... apa aku saat ini sedang diperkosa?
"Dinikmati saja Briptu Bayu," ujar pria itu, semakin lama suaranya semakin rendah namun semakin dekat. Sepertinya aku bisa merasakan nafasnya di sisi leherku, apa ia sedang berbisik. "Pak Bayu tidak perlu takut." Kemudian aku merasakan sesuatu yang hangat dan basah menyapu daun telingaku; orang itu menjilati telingaku? Aku menjadi sedikit mual membayangkannya dan meronta-ronta, namun kemudian aku merasakan ada sesuatu yang menghentikan kepalaku--tangan? "Jangan melawan Briptu Bayu... nikmati saja..." Aku terengah-engah tidak bisa melawan kekuatan itu; selain aku tidak bisa melihat, mereka berdua. Bagaimana aku bisa melawan dalam keadaan seperti ini... Aku merasakan sesuatu itu turun dari dadaku menuju ke perutku--tangan--lalu turun terus ke pahaku. "Ngggghhhh! Nnnggnggggghh!" Tangan itu tidak berhenti, bahkan terus masuk ke daerah pangkal pahaku, hingga akhirnya menyentuh batang kontolku yang saat itu menegang ke arah paha kiriku. "MMMMMMMHHHHHHH!" Tangan itu mengelus-elus kepala kontolku yang tegang itu, sebenarnya memberikan kenikmatan. Hanya saja, kenikmatan itu diberikan oleh... seorang pria? Bukan Sinta, istriku? Kenapa... kenapa aku harus mengalami ini... "NGGGGGHHHH!" Aku hendak mengatupkan kakiku agar kontolku tidak terus diraba-raba, namun usahaku tentu saja percuma; ikatan itu membuat selangkanganku terbuka lebar. Aku bisa merasakan tangan lain juga meraba-raba biji-biji kontolku. "Mmmmffffhhhh..." Aku hanya bisa menengadah dan memejamkan mata, padahal pandanganku saat itu juga sudah gelap--sepertinya mereka menutup mataku dengan kain hitam. "Ngggghhhh..." Rabaan pada dua titik kontolku itu tidak bisa kulawan; semati-matian aku menolaknya, rangsangan itu lebih hebat. Apalagi kini entah siapa menjilati leher dan jakunku. "Mmmmhhh..." Suara protesku kini lebih terasa seperti desahan. "Nah begitu Briptu Bayu, nikmati saja... kapan lagi polisi bisa dapat servis ganda seperti ini... mmmmhhh yeeesss..." Aku merasakan sebuah jari mengelus-elus ujung kepala kontolku, membuatku hendak menggelinjang namun tak bisa. "Nggghh nggggh ngggghhh hhhhhhh..." Sinta kadang menggodaku seperti itu juga, ketika kontolku sudah mengeras dalam celana dinasku, walaupun ia lebih sering langsung membuka celanaku dan memainkan bendanya. Pria ini... atau kedua pria ini... lebih suka menggodaku. Terutama ketika aku merasakan biji-biji kontolku digelitik jari-jemari pria itu. "Nggggghhh hhh hhh hhh hhh! Nggggghhh! Ngggffhhh hhhh hhh hhh!" Aku hendak protes karena kegelian, namun aku hanya bisa menghentak-hentakkan ujung sepatuku yang masih bisa kugerakkan dengan leluasa. "Dinikmati Briptu Bayu," bisik pria itu.
Dan entah siapa yang akhirnya mencium bibirku.
Tentunya aku tidak pernah berciuman dengan pria, dan saat ini mulutku sedang terbuka. Namun, aku bisa merasakannya. Ada yang menggunakan mulutnya untuk memainkan bibir atasku. "NGGGHHH! FFFFHHH! HHHHHH!" Protesku itu malah dijawab dengan remasan-remasan pada biji-biji kontolku, walaupun ringan namun tetap saja membuatku kaget. "NGGGH GH GH GH GH!" Oh apa yang harus kukatakan nanti pada Sinta, kalau aku berciuman dengan pria? Asalkan dia tidak tahu saja... untungnya ciuman itu berhenti, namun tentu saja permainan di kontolku tidak berhenti, bahkan semakin intens. Aku bisa merasakan ada yang mengurut batang kontolku perlahan-lahan dari pangkal hingga ke ujungnya. Dengan segera aku bisa merasakan kenikmatan kembali. "Mmmmhhhh..."
"Iya Briptu Bayu, nikmati saja," bisik pria itu. "Tidak perlu malu-malu." Aku bisa merasakan kontolku sangat tegang, ingin dibebaskan dari celana PDH-ku, dan sepertinya sudah cukup basah di bawah sana. Urutan pada batang kontolku berhenti menjadi elusan-elusan ringan, namun kali ini biji-biji kontolku juga ikut dielus-elus sambil diberi sedikit remasan, membuatku menengadah kembali. "Ngggghhhh..."
"Enaknya dikeluarin di mana nih Briptu Bayu, di dalam celana atau di mulut saya," bisik pria itu. Ah, jangan dihisap... aku tidak sudi kontolku dihisap orang lain selain Sinta, apalagi ini seorang pria... tapi di saat bersamaan aku jadi penasaran juga, dan kontolku sendiri sudah meronta-ronta ingin terbebas. Selagi aku bimbang, pria itu mengelus-elus ujung kepala kontolku sehingga aku pun kembali merasa kegelian. "Ngggh ngggh nggh nggh!"
"Kasihan itu kontolnya megap-megap di dalam celana!" ujar seseorang. "Celana polisi memang ketat ya."
"Kalau gitu, dihisap saja ya Briptu Bayu," bisik seorang yang lain. Jangan... Sreeek! Aku mendengar suara yang tidak asing: suara resleting celana PDH-ku diturunkan. Ya ampun, akankah aku diperkosa seperti ini... hatiku berkecamuk lagi, namun tidak terlalu lama karena aku merasakan orang itu merogoh ke dalam untuk membebaskan kontolku. Dan orang itu berhasil. Aku sedikit merasa lega ketika batang kontolku terbebas dari celanaku, namun kelegaan itu tidak berlangsung lama. Kedua puting dadaku dimainkan bersamaan dengan kocokan-kocokan ringan di batang kontolku itu. "Nggggghhhh!!!" Tidak pernah pentilku dimainkan bersamaan dengan kontolku seperti sekarang, dan ternyata nikmat sekali rasanya. "Ooooh kekarnya batang polisi... mmmhhh... asyik... ooooh yeeesss... batang kontol Briptu Bayu yang tampan gagah dan begitu jantan... oooohhh..." Anehnya, aku semakin terangsang dengan kata-kata kotor itu. "Mmmmhhh..." Aku merasakan celanaku dirogoh lagi dan kali ini aku bisa merasakan biji-biji kontolku juga terbebas dari celana, sejenak agak dingin namun langsung hangat ketika ditimang dan diremas-remas pria itu. "Ngggghhh..." Aku sudah pasrah, tak mungkin juga aku melawan mereka, lebih baik kunikmati saja... Maafkan aku Sinta... "Ooohh ini biji kejantanan polisi... biji kontol Briptu Bayu... menyimpan cairan kenikmatan... mmmhhh..." Tak lama aku merasa sesuatu yang kasar menyapu salah satu biji kontolku. Dia... menjilati biji kontolku? "Mmmmhh...." batang kontolku dikocok dengan pelan selagi pria itu menjilati biji-biji kontolku. "Nggghhh..." aku merasakan batang kontolku digesekkan dengan sesuatu... kepala kopelku? "Nggg..."
"Bersiap ya Briptu Bayu, sebentar lagi kamu akan merasakan kenikmatan tiada tara." Aku pun merasakan lidah itu menyapu perlahan biji kontolku, semakin naik ke batang kontolku, menari-nari sejenak di leher kontolku. "Ssssshhhh... fffffmmmhhhh..." aku kegelian dibuatnya. Bahkan ujung kepala kontolku tidak luput dari sapuan lidah itu, sebelum akhirnya aku bisa merasakan kehangatan yang mengapit batang kontolku.
Pria itu mulai bekerja menghisap batang kontolku.
"Mmmmmhhhh..." Aku tidak dapat menyembunyikannya lagi. Hisapan pria itu sama enaknya dengan hisapan Sinta, dan mungkin lebih enak sedikit. Sinta biasa menghisap kontolku dengan cepat, pria itu menghisap kontolku dengan lembut dan perlahan. Ditambah dengan permainan di kedua puting dadaku yang masih melenting, sekalipun terbalut kemeja PDH-ku, aku merasakan kenikmatan yang tiada tara. "Nnnggggghhh..." Sesekali kontolku disedot dengan kuat, sesekali batangku dilahap hingga ke pangkal--sesuatu yang tidak bisa dilakukan Sinta sampai sekarang, dan sesekali hanya kepala kontolku saja yang dihisap-hisap. "Ssssshhhh... ngggghhh nggghh ngggh nggh nggh nggh nggh..." Eranganku disusul dengan erangan dan desahan kedua pria itu juga, memicuku untuk orgasme. Aku mulai kesulitan menahannya, desakan itu begitu kuat. Andai aku bisa kelojotan... "NGGGGHHHHHHH!!!!!"
Crooooottt...



"Perlu kah dia kita bikin pingsan lagi?" tanya Umar sambil menyeret tubuh Briptu Bayu yang lemas lunglai kehilangan kesadarannya kembali setelah menghirup obat penenang yang memekakkan indera penciumannya. Ya, setelah orgasme Umar kembali langsung membekap hidung Briptu Bayu dengan obat bius yang sama yang tadi mereka gunakan untuk membuat polisi itu pingsan. Setelah lemas dan pingsan, mereka membuka ikatan Briptu Bayu dan membawanya ke ruangan lain untuk ronde berikutnya, tanpa berusaha merapikan lagi pakaian Briptu Bayu sehingga kontolnya dibiarkan terayun-ayun lemas di luar celana PDH-nya, sisa pejuh masih menyembul di ujung kepala kontolnya enggan untuk menetes. "Berat nih badannya!"
"Dari pada dia melawan Mar, aku ga yakin bisa ngalahin dia!"
"Lah tadi kita berhasil meringkus dia kan? Kamu juga sempet tendang kontolnya sampai pingsan tadi."
"Kan habis kamu bekap dan kasih obat itu Mar. Udah ikutin aja!" Mereka sampai di ruangan lain di rumah itu. Umar mengikuti instruksi Erik untuk memberdirikan Briptu Bayu yang masih belum sadarkan diri, selagi Erik menyiapkan tali dan mulai mengikat tubuh Briptu Bayu dalam posisi berdiri. Erik terlihat cukup cekatan dalam mengikat tubuh Briptu Bayu, selain dia tahu bahwa dosis obat bius yang ia berikan lebih rendah, sehingga Briptu Bayu bisa sadarkan diri lebih cepat dari sebelumnya. Sekalipun ruangan itu ber-AC, mereka berdua cukup berkeringat; selain kegiatan itu cukup menguras tenaga, mereka juga bersemangat memikirkan apa yang akan mereka lakukan pada Briptu Bayu setelahnya.



"Nggghhhh..." Pandanganku masih kabur, tapi kali ini sepertinya aku bisa melihat. Hanya saja, terlihat sekelilingku hitam, hanya ada cahaya kuning temaram, mungkin dari lampu di atas. Ke bawah, samar-samar aku bisa melihat sepatu butsku yang hitam mengilap itu. Rupanya aku sedang dalam posisi berdiri. Aku merasakan udara dingin, sepertinya AC? Badanku masih terasa lemas, antara aku kelelahan karena orgasme tadi atau pengaruh obat itu masih bekerja. Aku mencoba merasakan bagian-bagian tubuhku perlahan-lahan. Begitu tenaga terkumpul, aku mencoba menggerakkan tanganku. Masih terikat ke sesuatu, dan sepertinya kedua tanganku diikat ke atas dan agak terbuka. Saat akhirnya mataku terbiasa dengan cahaya ruangan itu, pandanganku pun mulai menajam kembali. Aku melihat badanku, penuh dengan tali tambang yang menyilang ke sana kemari. Dan... itu kontolku? Terbebas begitu saja dari celana? Mau diapakan lagi aku sekarang...
"Sepertinya Briptu Bayu sudah sadar," aku mendengar seseorang berkata. Dua orang pria menghampiriku, keduanya mengenakan balaclava hitam yang hanya menampakkan mata dan mulut mereka, tentu saja untuk menyamarkan identitas agar aku tidak bisa mendeskripsikan wajah mereka. "Sudah siap untuk ronde kedua Briptu Bayu?" ujar salah satu maling sambil memegang kontolku dan meremasnya. "Mmmmhhh!" aku pun protes dan meronta sebisanya, terasa lebih bebas dari saat aku diikat di kursi tadi, namun tetap saja aku tidak bisa banyak bergerak. Menyadari bahwa aku bisa menggerakkan kakiku dengan bebas, kucoba menendang salah satu maling itu. Ternyata dia sigap dan menangkis kakiku. "Eh eh eh, jangan tendang-tendang Pak Bayu, nanti Pak Bayu yang ditendang," ujar maling itu sambil tersenyum, disusul dengan maling satunya menghunjamkan lututnya pada kontolku. "Ugh..." hanya itu suara yang keluar dari mulutku saat udara pun terhempas keluar dari dadaku, seiring dengan tubuhku yang terangkat akibat tendangan lutut maling itu. Rasa ngilu pun menderaku kembali. "Nggggghhhh..." aku menyadari mulutku masih dibekap dengan bola aneh tadi. "Menurut saja Briptu Bayu, nanti dikasih yang enak-enak seperti tadi," ujar maling itu tersenyum sambil mengelus-elus biji-biji kontolku bekas ditendang tadi. "Mmmmhhhh! Nggghhh..." Rasa geli dan nikmat bercampur dengan rasa ngilu mengalir dari biji-biji kontolku. "Stok pejuhnya masih ada kan Briptu Bayu?" Tentu saja aku tidak menjawab pertanyaan itu, aku bahkan tidak ingat seberapa banyak pejuhku tertumpah pada orgasmeku sebelumnya.
"Kasih minum dulu Briptu Bayu bro, supaya tidak dehidrasi." Salah seorang maling membawa segelas air yang kelihatannya dingin, dan baru saat itu aku merasa sangat haus. Tiba-tiba aku begitu menginginkan air itu, walaupun aku tidak tahu pasti obat apa yang mungkin ada dalam air itu. "Yuk Briptu Bayu minum dulu," ujarnya sambil mendekatkan gelas itu ke bibirku dan memiringkan gelas itu. Aku bisa merasakan air dingin mengalir menyentuh bibirku, namun tidak semuanya masuk ke kerongkonganku. Bahkan, aku malah merasakan air itu mengalir di leherku dan sebagian lagi membasahi kemeja seragamku. "Ups, saya lupa buka itunya Pak Bayu. Saya buka dulu, tapi Pak Bayu tidak perlu teriak-teriak. Ruangan ini kedap suara, tidak akan ada suara yang bisa keluar dari ruangan ini. Bukakan sebentar Mar itunya! Sambil saya ambilkan minum yang baru." Aku sedikit menggigil kedinginan karena air itu membasahi kemejaku dan sebagian masuk membasahi kaos dalamku. Aku bisa merasakan bola yang berada di mulutku selama ini mulai melonggar, dan seseorang yang kurasa Pak Umar melepaskan bola itu. Sejenak aku bernafas lega dan menutup rahangku yang terbuka dari tadi; rahangku terasa capai dan kaku. Maling itu memijat kedua sisi rahangku; walaupun aku merasa aneh wajahku disentuh pria lain, namun pijatan itu benar-benar melegakan rahangku. "Kalau Pak Bayu nurut tidak teriak-teriak, saya tidak akan pasang benda ini lagi," kata maling itu. Aku tidak menjawab; kerongkonganku benar-benar kering, sehingga suaraku seperti tercekat di ujung tenggorokanku. Maling satunya membawakan segelas air dingin yang terlihat begitu segar, dan kembali meminumkan air itu padaku. Tanpa berpikir panjang, kuteguk air itu dengan rakus, bahkan sebagian meluber mengalir dari sudut mulutku. Dalam sekejap gelas itu pun bersih tak bersisa. "Lagi Pak Bayu?" tawarnya. Aku mengangguk tanpa berpikir panjang, toh aku tidak bisa melawan dalam kondisi seperti ini, mumpung mereka sedang berbaik hati. Yang penting aku selamat dulu, nanti baru kupikirkan cara untuk menangkap dan membalas perbuatan mereka semua. Lagi-lagi aku terpikir Sinta, jam berapa ya ini... apakah di kantor sudah ada yang menyadari kalau aku tidak kembali-kembali dari rumah ini? Apakah aku masih berada di rumah Pak Umar? Aku kembali melihat ke bawah, HT-ku masih ada di samping pinggangku, namun apakah HT itu bekerja? Aku hanya melihat kedipan merah di HT-ku, barangkali ada pengacau sinyal di sini... Maling itu membawakan segelas penuh air dingin, yang kuteguk kembali hingga habis tak bersisa. Aku merasa segar kembali, walaupun masih merasa lemas dan lelah, apalagi sekarang aku diikat dalam posisi berdiri. "Pak Bayu sudah siap dengan ronde kedua?" tanya maling satunya sambil mengelus-elus wajahku.
"Sabar lah Mar!" sergah maling yang tadi memberiku minum. "Biar Pak Bayu istirahat sebentar. Obatnya juga nggak bakal bekerja secepat itu." Ah jadi minumku tadi memang diberi obat... "Tapi kali ini aku kurangi dosisnya, biar Pak Bayu nggak overdosis, jadi kamu bisa kasih rangsangan dikit-dikit lah, nanti lama-lama Pak Bayu akan ngaceng dengan sempurna seperti tadi." Jadi mereka hendak menggagahi diriku lagi... apa yang harus kulakukan? Belum sempat aku memikirkan sesuatu, maling itu mendekat dan langsung memegang batang kontolku, lalu dikocok-kocoknya perlahan. Refleks aku pun mulai meronta, namun aku lekas sadar itu tidak ada gunanya dan bisa membuat mereka semakin beringas. Lebih baik aku menuruti saja apa mau mereka, supaya ini semua segera berakhir... "Iya masih lemes Pak Bayu Rik." Maling itu pun mendekat dan memelukku dari belakang, selagi meraba-raba kedua dadaku. Ikatan itu rupanya sudah dibuat sedemikian rupa sehingga begitu menonjolkan dada dan selangkanganku, Dari kemeja seragamku yang basah, aku bisa merasakan kedua puting dadaku sedikit menegang karena terkena air dingin tadi, dan maling itu cukup pandai untuk meraba-raba kedua puting dadaku. Dengan segera tubuhku dialiri lagi dengan rangsangan kenikmatan yang tidak pernah kudapatkan dari Sinta. Mati-matian aku mengatupkan mulutku agar mereka tidak tahu aku menikmatinya, walaupun sepertinya mereka tahu karena salah satu berbisik, "Kalau enak nggak usah malu-malu Pak Bayu, dikeluarkan saja suaranya. Di sini hanya ada kita saja." Aku memejamkan mata dan terus menutup mulutku agar aku tidak mendesah. Aku bisa merasakan kontol maling itu mulai menegang dan digesek-gesekkan di pantatku; aku tidak pernah menyentuh kontol pria lain selama ini, apalagi sampai bersentuhan langsung dengan pantatku. Benar-benar pelecehan seksual yang tidak pernah kubayangkan akan kualami sendiri.
Walaupun lama-kelamaan aku tidak bisa menahannya.

"Santai saja Pak Bayu, jangan ditahan-tahan," bisik salah satu maling yang rupanya mengamati bahwa aku menutup mata dan mengatupkan mulut serapat mungkin, raut wajahku sepertinya kelihatan bahwa aku meringis menahan kenikmatan itu. Kontolku sudah menegang kembali, sepertinya obat itu sudah mulai bekerja, selain kedua maling itu bekerja sama untuk merangsangku. Kedua puting dadaku terus dielus-elus salah satu maling dari belakang, sesekali dicubit yang membuatku terpekik, sementara maling satunya duduk di depanku dan menggunakan kakinya untuk menggesek-gesek kontolku. Aku belum pernah merasakan dikocok menggunakan kaki; rasanya cukup aneh namun kuakui enak juga. Mungkin separuh karena obat perangsang itu, dan separuhnya lagi karena aku sudah pasrah hendak diapakan saja, toh aku sudah tidak bisa melarikan diri. Aku baru menyadari perutku mulai protes; sudah berapa jam berlalu sejak aku mendatangi rumah Pak Umar? Apakah kantor sudah menyadari kalau aku terlalu lama dan tidak bisa dihubungi? Akankah ada rekanku yang menyelamatkanku?
Pikiranku buyar ketika maling itu berhenti menggunakan kakinya untuk mengocok kontolku. Ia mengambil sesuatu yang berbentuk botol dan menuangkan sejumlah cairan kental ke atas batang kontolku. Apa itu pelumas? Aku bergidik ketika cairan itu menyentuh kontolku; ternyata dingin. Maling itu pun mengoleskannya dengan rata ke batang kontolku, lalu ia memulai pekerjaannya untuk mengocok kontolku dengan cukup perlahan, dimulai dari kepala kontolnya. Mati-matian aku menahan diri untuk tidak mendesah, namun cubitan di kedua puting dadaku akhirnya meruntuhkan pertahananku. "Nnnnngggghhhhh..."
"Nah begitu Pak Bayu, dinikmati saja selagi bisa," bisik maling dari belakang dan kembali merangsang kedua puting dadaku, kali ini dia membuka salah satu kancing kemejaku untuk menyusupkan tangannya ke dadaku dan mengelus-elusnya, tentu saja menyenggol kedua putingku yang sudah melenting keras, ditambah dengan hembusan nafas dan jilatan-jilatan kecil di sisi leherku. "Ooooohhh..." Kocokan di kontolku lambat laun bertambah kencang dan mantap berirama, memberiku kenikmatan lain di bagian bawah.. "Masih banyak kan Pak Bayu pasokan pejuhnya? Diperah semua ya?"
"Jangan...," mungkin itu kata pertamaku yang keluar dari mulutku sejak aku disandera kedua maling itu. "Tolong, jangan... jatah istriku..."
"Tenang aja Pak, nanti istrinya pasti dapat jatah juga kok. Tapi tidak hari ini hahaha..." Aku bisa merasakan kedua biji kontolku dielus-elus dan diremas pelan, membuatku berjingkat dan mengerang. "Aaaaahhh... jangaaaannnggghhh..." Aku tidak dapat mengendalikan diriku, kali ini kakiku terbebas jadi aku bisa menggelinjang, walaupun dalam posisi berdiri seperti ini aku hanya bisa berjingkat. Andaikan aku terbebas dan dibeginikan di atas ranjang, mungkin aku bisa menikmatinya... Maling di belakangku menggunakan tangannya untuk menolehkan kepalaku dan tanpa terduga ia melakukan hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Ia menciumku.
Mati-matian aku meronta-ronta; aku tidak pernah mencium pria tentu saja, dan aku tidak pernah ingin mencium pria! Namun aku tidak bisa apa-apa untuk melindungi diri, bahkan ketika lidahnya menjilati bibirku yang kukatupkan rapat-rapat. Menyadari bahwa pertahananku cukup kuat, maling itu menyudahi ciumannya. "Jangan dipaksa gitu lah Mar, kasihan Pak Bayu jadi nggak menikmati!" sergah maling satunya. Jadi, di belakangku ini Pak Umar? "Pak Bayu ini pasti pria normal yang cuma suka mencium wanita. Kasih yang enak-enak saja lah tanpa harus bikin Pak Bayu jijik." Maling itu beranjak sebentar sementara maling di belakangku beralih mengocok kontolku yang menganggur. Tak lama kemudian maling itu kembali membawa sebuah alat yang belum pernah kulihat sebelumnya, agak mirip sebuah mikrofon. "Nggak usah takut Pak Bayu, ini alat yang bisa memberi kenikmatan." Ia menyalakan alat itu dan alat itu bergetar pelan di bagian kepala "mikrofon", lalu disapukannya alat itu ke biji kontolku. Aku bergidik dan berjingkat ketika merasakan alat itu ikut menggetarkan biji kontolku; seperti diraba-raba maling tadi namun ini lebih cepat. "Aaaaaahhhh..." tanpa sadar aku mendesah. "Enak kan Pak Bayu?" ujar maling itu sambil tersenyum, lalu mulai menyapukan alat itu di pangkal batang kontolku, menghentikan kocokan maling satunya yang kemudian asyik memainkan putingku lagi. Batang kontolku seperti dipijat-pijat dengan getaran alat itu, memberikan sensasi yang baru dan menggairahkan dalam waktu bersamaan. "Nnnnngggghhh..." Ketika alat itu mencapai kepala kontolku, sensasi lain pun muncul, namun kali ini membuatku begitu geli. "Aaaahhh..." aku berusaha menjauh dari alat itu, namun langkahku tertahan maling yang memelukku dari belakang. "Jangaaannn... Mmmmmhhh...."
"Geli ya Pak Bayu," ujar maling itu terkekeh. "Ya sudah, saya kasih di biji-bijinya saja." Ia mematikan alat itu lalu beranjak lagi, ternyata mengambil alat serupa. Ia kemudian memasang kedua alat itu di masing-masing pangkal pahaku, yang memiliki ikatan cukup dekat dengan selangkanganku. Ia mengaturnya sedemikian rupa sehingga bagian kepala alat-alat itu pas menyentuh biji-biji kontolku. Setelah puas, ia pun menyalakan alat itu satu per satu. "Ooooohhhhh..." aku tidak bisa menghindar ketika kedua alat itu memijat biji-biji kontolku dengan lembut dengan getaran-getarannya. "Aaaaahhh... sssshhh... nnngggghhh..." Kedua maling itu berhenti merangsangku dan hanya duduk melihatku aku menggelinjang dengan hanya dua alat itu bergetar memijat biji-biji kontolku. "Pandai banget kamu Rik bikin polisi kelojotan kaya gitu," ujar Pak Umar. "Kayanya bentar lagi dia crot deh."
"Waktunya isep-isep lagi deh kalau begitu," salah satu maling pun beranjak mengambil sesuatu dan mendekati aku yang memang sedang menahan diri sebisanya untuk tidak orgasme, selain aku ingin diisap lagi seperti tadi. Maling itu membuka bungkus... kondom? Ia menyarungkan kondom itu ke batang kontolku yang berkedut-kedut menahan impuls untuk segera menembakkan pejuhnya. Apa dia... mau dientot? Samar-samar aku bisa mencium wangi sesuatu... seperti aroma stroberi. Apa itu kondom berperasa? Aku pernah melihat iklannya, namun tidak pernah membelinya, toh Sinta lebih doyan batang kontolku dan pejuhku. Rasa penasaranku pun muncul, dan ternyata memang benar.
Maling itu kembali menikmati batang kontolku dalam mulutnya. "Ooooohhh..." walaupun sudah disarungi kondom, namun kenyotan maling itu tetap terasa kuat seperti tadi, membuatku serasa melayang. "Ooooohhh... ooohhhh... sssshhhh... nnnnggghhh..." Kombinasi getaran-getaran pijatan pada kedua biji kontolku dan kenyotan-kenyotan mantap pada batang kontolku benar-benar membuatku kepayahan menahan diri untuk tidak orgasme, walaupun rasanya tidak mungkin. "Aaaaarrrrggghhh..."
Aku tidak tahan lagi.
Croooooot... aku bisa merasakan batang kontolku berkedut memompakan pejuhku yang mendesak ingin keluar sejak tadi. Aku cukup takjub pada diriku sendiri, padahal sudah dua kali ngecrot hari ini, namun kali ini aku masih bisa mencapai lima kali pancaran, walaupun semuanya tertahan di dalam kondom. Maling itu masih mengatupkan mulutnya mengapit batang kontolku yang berkedut-kedut; aku bisa merasakan pejuhku mulai mengumpul di ujung kondom membasahi kepala kontolku. "Oooohhh..." aku mencoba bernafas dan mengakhiri kenikmatan itu saat aku menyadari biji-biji kontolku masih dipijat-pijat. Maling itu mengeluarkan batang kontolku dari mulutnya dan tersenyum. "Enak kan Pak Bayu? Hebat lho Pak Bayu, sudah ngecrot banyak tadi tapi sekarang pejuhnya masih banyak!" Aku mulai merasakan perlahan-lahan pejuhku mendesak mengaliri batang kontolku walaupun hanya sedikit-dikit. "Nggghhh..." aku mulai kelojotan merasakan geli dan ngilu pada biji-biji kontolku. "Tolong... hentikan..."
"Oh iya Pak Bayu, lupa!" maling itu menepuk jidatnya, lalu menghampiriku untuk mematikan kedua alat itu. Tak kuduga, ternyata maling itu malah menambah intensitas getaran alat itu, membuat biji-biji kontolku semakin hebat bergetar. "Nnnngggghhhh!" Biji-biji kontolku semakin terasa ngilu, aku pun meronta-ronta hendak melepaskan alat itu, tanpa sadar alat itu masih terikat dengan kuat di kedua pahaku. "Aaaahhh.... hentikaaaannn!!!" Kedua maling itu hanya tertawa-tawa melihat reaksiku, sebelum akhirnya maling itu mendekatiku kembali dan mematikan kedua alat itu. Aku terengah-engah dibuatnya; peluh mulai meleleh dari keningku sekalipun ruangan itu ber-AC. Rasa ngilu itu masih ada sekalipun alat-alat itu sudah berhenti bergetar. Maling itu melepaskan kondom yang membalut batang kontolku; entah kenapa batang kontolku masih mengacung dengan kerasnya sekalipun biji-biji kontolku didera rasa ngilu. Kantung kondom itu diangkatnya ke hadapanku, memperlihatkan pejuhku yang tertampung di kondom itu. "Lihat nih pejuh Pak Bayu, masih banyak kan?" kata maling itu. "Pak Bayu pasti masih kuat ngasih istrinya jatah nanti malam hahaha..." Ia menjauh dan sejenak melakukan sesuatu sebelum kembali ke hadapanku membawa gelas kecil yang rupanya berisi pejuhku tadi. "Pak Bayu pernah merasakan pejuh?" Tentu saja belum! Siapa yang gila minum pejuh sendiri? "Yuk Pak, diminum, pasti Pak Bayu nanti perkasa lagi!" Ia mendekatkan gelas itu ke mulutku. yang tentu saja kututup rapat-rapat. Aku mencium aroma pejuhku sendiri; entah kenapa itu tidak membuatku mual, bahkan sebagian diriku penasaran dengan rasanya. Aku pernah baca-baca di Internet, katanya mirip telur mentah, tapi tergantung apa yang dimakan beberapa hari sebelumnya, bisa asin, bisa gurih. Tapi masa aku minum pejuh? "Ayo Pak diminum, biar nanti malam perkasa sama istrinya." Aku menggeleng sambil tetap mengatupkan mulutku dengan rapat. "Enak kok Pak." Pak Umar memegangi tubuhku dari belakang selagi maling itu merayuku untuk meminum pejuhku sendiri. "Ayo Pak," rayu maling itu sambil tanpa kuduga mengelus-elus batang kontolku yang tak kusadari masih setengah ngaceng. "Ngggghhh!" aku berusaha untuk tidak membuka mulutku sekalipun rasa geli itu mulai menyerang diriku seiring dengan elusan-elusan di kepala kontolku yang masih sensitif. "Mmmmmmmhhhhaaaaaaaa!!!" tanpa kusadari mulutku terbuka karena Pak Umar kembali mencubit puting dadaku, ditambah maling itu menggunakan seluruh jarinya untuk mengelus kepala kontolku. Momen itu pun dimanfaatkan maling itu untuk memasukkan bibir gelas itu ke mulutku, dan ia pun menuangkan pejuhku ke mulutku. "Yuk dirasakan Pak Bayu pejuhnya, ditelan sampai habis. Sayang lho pejuh dibuang-buang," ujar maling itu sambil tersenyum. Rasa getir bercampur asin pun menyerang lidahku, ditambah tekstur yang cukup lengket membuatku mual, namun maling itu mengangkat dan memegangi daguku sehingga aku tidak dapat memuntahkan pejuhku. Tidak ada jalan lain selain menelan pejuhku... tubuhku terasa lemas kembali, seperti kehabisan tenaga setelah orgasme tadi. Nafasku mendadak menjadi cukup berat dan pandanganku mulai kabur lagi. Apakah aku akan pingsan lagi? Apakah aku masih akan hidup setelah ini...

Sinta...



"Walah pingsan lagi," ujar Umar. "Kukira perkasa, ternyata lemah juga ya Bayu!"
"Ya kalau kamu digitukan kayanya kamu juga bakal pingsan Mar!" Erik terkekeh. "Mungkin habis ini kita kasih satu lagi permainan, tapi di atas ranjang aja, jadi kalau dia pingsan tinggal tidur aja. Pas pingsan atau tidur, kita lepas semua ikatannya, lalu kita kabur dari rumah ini sebelum ada rekannya datang. Biar mereka menemukan Briptu Bayu tertidur di atas ranjang dengan kontolnya terekspos hahaha..." Mendadak mereka mendengar bunyi bel pintu depan. "Wah baru saja diomongi, jangan-jangan itu temannya Rik!"
"Tenang saja Mar! Jalankan rencana kedua."



"Bay... Bayu... Bayu! Bayu!!!" Samar-samar aku mendengar namaku dipanggil. Aku hendak membuka mataku, namun rasanya berat sekali. Badanku masih terasa lemas, dan aku tidak tahu apakah aku masih diikat dalam posisi berdiri seperti tadi atau bagaimana. "Bayu!!!" Aku tersentak ketika merasa pipiku ditampar, dan mataku pun langsung terbuka. Seseorang berada di depanku, namun aku belum bisa melihat jernih. "Sadar Bay!!!"
"Si... siapa..."
"Rizal! Siapa yang ikat kamu seperti ini Bay? Kenapa... kontolmu di luar..."
"Aku... aku..."
"Sudah nanti saja jawabnya, aku lepas dulu ikatanmu!" Setelah pandanganku pulih, aku akhirnya bisa melihat. Benar, itu Rizal, salah satu rekanku. Ah apakah artinya aku sudah ditolong? Jam berapa sekarang...
"Zal... kamu sendirian?" tanyaku selagi Rizal berusaha membuka ikatan di tubuhku.
"Iya Bay, yang lain masih sibuk di lapangan. Komandan nyuruh aku ke rumah ini, soalnya kamu sudah hampir empat jam tidak balik-balik, tidak lapor balik, dan tidak bisa dihubungi." Mendadak aku ingat dengan dua maling itu. "Zal... malingnya...?"
"Katanya Pak Umar malingnya kabur Bay. Pak Umar tadi juga katanya habis pingsan disekap maling."
"Zal... Pak Umar bohong..."
"Hah?" Saat itu, aku melihat sekelebat bayangan hitam di belakang Rizal. "Zal... awas!"
Terlambat.
"Ugh..."
Aku hanya bisa terkesiap melihat raut wajah Rizal berubah dengan cepat, terkejut dan kesakitan selagi tubuhnya sedikit terangkat. Jantungku sejenak seakan berhenti berdetak... diapakan Rizal? Rizal sendiri terkejut dengan serangan itu, sebelum rasa ngilu yang begitu hebat menerpanya, membuatnya terjatuh di depanku dan berguling-guling sambil memegangi selangkangannya. Bayangan hitam itu ternyata adalah maling tadi, dan entah bagaimana caranya ia berhasil menendang selangkangan Rizal dari belakang. Dengan segera Rizal pun disergap, mulut dan hidungnya dibekap kain yang kuduga sudah diberi obat bius. Rizal pun meronta-ronta dan sebenarnya sempat membuat maling itu terjatuh namun maling satunya melanjutkan usahanya, sehingga usaha Rizal pun sia-sia. Aku hanya bisa mencelos ketika Rizal lambat laun berhenti meronta dan terdiam tak berdaya.
Akan diapakan lagi aku, dan bagaimana nasib Rizal...



BERSAMBUNG