Senin, 23 Mei 2016

[Catatan Fei] Haruskah sampai di sini...?

Halo semua,

Maaf mengecewakan teman-teman semua, tapi tulisan kali ini lagi-lagi bukan cerita baru. Saya sedang ada proyek yang ternyata memakan waktu berbulan-bulan dan membutuhkan fokus, jadi saya tidak sempat menulis cerita baru. Proyek ini sedang memasuki tahap akhir sebelum diimplementasikan, namun jadwal saya masih sangat padat. Sempat dikarantina pula tanpa akses Internet yang memadai (yah, kecuali HP, tapi itu pun dimonitor). Ini agak nekat sebenarnya, semoga ga terlacak oleh kantor. Mohon maaf lagi kalau komentar teman-teman tidak dibalas atau saya tidak merespon chat di manapun itu.

Kenapa saya menulis catatan ini? Sebenarnya saya pingin curhat lagi dan minta pendapat teman-teman sekalian. Malam tadi saya chat dengan pacar saya, dan dia sedang dalam keadaan emosi berat. Ada tekanan dari atasannya, dan tadi hujan besar, sehingga dia mungkin kurang bisa berpikir jernih sampai parkir motor di depan pintu rumah seseorang. Akibatnya, dia dimaki-maki si pemilik rumah sekeluarga di depan umum, dan motornya hampir saja dirusak. Yang membuat runyam adalah orang tuanya ikut dibawa-bawa. Saya memang belum pernah mengalami direndahkan di depan orang banyak dan orang tua dihina, tapi tentunya menyakitkan yah; siapa yang rela orang tuanya dimaki-maki? Masalah menjadi tambah rumit ketika dia meminta saya untuk mendoakan orang-orang itu supaya dihukum seberat-beratnya. Tentunya itu berlawanan dengan ajaran agama saya (kebetulan saya Kristiani dan dia juga), yang mengajarkan untuk mengasihi musuhmu. Saat saya memintanya untuk tenang dan berdoa, dia malah marah-marah, katanya saya tidak mengerti (dan sejujurnya memang tidak), tidak berpihak padanya, dan tidak mau bicara lagi.

Saya jadi merasa serba salah. Apakah memang namanya cinta itu harus memihak pasangan dalam kondisi apapun, sekalipun pasanganmu salah? Sekalipun itu meminta sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani dan ajaran agama? Di lain pihak, saya merasa gagal untuk menenangkannya, dan ini bukan pertama kalinya. Kadang saya merasa ingin menyerah untuk melanjutkan hubungan ini, mengingat dirinya sulit sekali dibujuk ketika marah. Namun, saya merasa khawatir juga untuk meninggalkannya. Jangan-jangan dia malah menjadi-jadi dan meluapkan amarahnya dengan cara yang berbahaya. Entah berapa kali dia mengatakan akan menghukum siapapun yang menyakiti hatinya. Bagaimana kalau sampai dia membunuh? Saya akan jadi merasa lebih bersalah kalau itu sampai terjadi.

Saya memang tidak bisa memahami pemikiran seperti itu, jadi apakah saya salah ya? Bagaimana menurut teman-teman? Saat ini, yang hanya bisa saya lakukan adalah diam (dan itu akan sangat menyiksa, karena sehari-hari kami terbiasa chat. Saya sudah pernah merasakannya saat dia tidak membalas chat berhari-hari lamanya, teman-teman mungkin ingat dari catatan sebelumnya.) dan mendoakan supaya dia tenang dan akhirnya sadar. Sadar bahwa bukan itu yang Tuhan inginkan untuknya. Saya ingin mendoakannya supaya ia tegar, bahwa ini adalah salah satu cobaan hidup, dan jika ia berhasil melaluinya, ia akan menjadi seorang pria yang dewasa dan kuat. Mohon doanya juga ya teman-teman. Saya tidak ingin terjadi sesuatu pada dirinya. Semoga ia bisa meredam emosinya, dan dengan tidur malam ini, besok ia bisa segera melupakan segala kejadian hari ini.

Kalau tidak, mungkin memang haruskah sampai di sini...?

Maaf juga yah buat teman-teman yang bukan Kristiani, dan rasnya konyol sekali berbicara ajaran agama di blog ini... tapi saya tidak tahu harus curhat ke siapa lagi. Kebanyakan teman chat hanya untuk menanyakan kapan cerita baru keluar, dan saya juga sebenarnya lelah menjawabnya. Saya juga ingin chat tentang hidup sehari-hari, tidak melulu tentang cerita baru.

Mohon maaf sekali lagi jika tulisan ini ternyata tidak berkenan bagi teman-teman sekalian.



Sayang, aku tidak tahu apakah kamu akan baca ini. Tapi andaikan kamu baca, ketahuilah aku akan terus mendoakanmu. Maafkan aku karena tidak bisa mendukungmu, tapi itu bertentangan dengan ajaran Tuhan kita. Kamu juga tidak berusaha untuk mendengarkanku terlebih dahulu. Romo minggu lalu berpesan, emosi itu bukan dari Allah, tapi dari setan. Lawanlah emosimu sayang. Tuhan tidak pernah mengajarkan untuk mendoakan celaka musuhmu, tapi kasihilah mereka seperti kau mengasihi dirimu. Mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat, tapi bukanlah hakmu untuk menghakimi mereka. Yesus bisa saja meminta bala tentara surga untuk membalas siksa semua yang telah menyiksa dan menyalibkan-Nya, tapi Dia tidak melakukannya kan? Biarlah Tuhan yang memutuskan. Kau akan rugi sendiri kalau kau mengutamakan emosi dan amarahmu. Dan bisa jadi itu akan memakan korban lain yang mungkin takkan kau sadari: aku sendiri. Tidak tahukah kau aku sangat terpukul memikirkanmu malam ini, dan mungkin malam-malam berikutnya? Tidak tahukah kau aku sangat cemas padamu?

Tapi ketahuilah ini, sekalipun nantinya kau memutuskan aku bukan untukmu lagi, aku akan terus mencintaimu dan mendoakanmu. Dan andaikan kau bisa memaafkanku, aku akan tetap menerimamu. Aku tidak menyalahkanmu untuk semua ini, tapi sesekali cobalah memikirkan perasaanku juga. Bisakah demi aku--demi kita--kau meredam segala emosimu? Tak bisakah semua hal yang membuatmu biasanya ceria sehari-hari meredam amarahmu hari ini?

Semoga kau bisa tenang dan tidak melakukan hal-hal yang tadi kaurencanakan di bawah kuasa amarah setan.

Aku mencintaimu.