Senin, 11 Februari 2013

Laporan Perkosaan (bagian 3)

Cerita ini hanyalah rekaan semata, kesamaan nama dan tempat hanyalah kebetulan belaka. PERINGATAN: Konten ini mengandung materi dewasa dan homoseksualitas. Jika Anda tidak dapat menerima materi ini, segera tinggalkan blog ini.

Cerita ini adalah sambungan dari cerita Laporan Perkosaan (bagian 1 bagian 2), dengan bagian ini menceritakan salah satu keputusan Zakaria untuk langsung memperkosa polisi Cinde.

Kuperhatikan polisi Cinde yang tergeletak begitu saja di atas ranjangku. Seragamnya basah oleh keringat. Kudekati dirinya dan kuhirup dalam-dalam bau keringatnya. Sungguh aroma yang membuatku melayang. Birahiku mulai naik kembali dibuatnya, tapi kucoba kutahan. Aku ingin melihat polisiku secara intim terlebih dahulu sebelum aku memperkosanya. Wajahnya yang tampan, matanya yang terpejam menunjukkan kelelahan. Kuelus-elus wajahnya; padahal baru pertama kali kenal tapi aku merasa sayang betul dengannya. Dadanya yang bidang... Perutnya... Dan kontolnya yang tergolek lemah, belum sempat kusarungkan kembali ke celana dinasnya yang ketat itu... Kuelus perlahan-lahan kontolnya. Tidak bangun, tentu saja karena pemiliknya sedang pingsan. Kuamati lebih dekat kontol polisi Cinde yang sekarang bisa kunikmati kapan saja aku mau. Kontolnya benar-benar indah, sudah disunat ketat, sedikit ada cairan di ujungnya, mungkin bekas spermanya tadi. Kujilat cairan itu. Mmmm lezatnya... Aku ingin menikmati kembali sari pati kejantanannya. Kemudian kulihat bola-bola kontolnya, begitu besar dan menggiurkan. Kuremas-remas bola-bola itu dengan gemas. Si polisi Cinde tidak bereaksi, rupanya kesadarannya belum kembali. Kucoba merangsang kembali kontolnya, namun sekuat apapun rangsanganku, kontol itu tidak bisa menegang penuh, hanya sempat membesar sedikit namun tak sekeras tadi. Mungkin aku harus menunggu si pemiliknya sadar lebih dulu.

Aku ingin sekali menelanjanginya, namun aku punya pikiran lain. Aku ingin memperkosa si polisi Cinde saat ia masih berseragam lengkap seperti ini. Nanti saja ketika ia bangun aku bisa menikmati bagian atas tubuhnya, tapi untuk sekarang, kontolku sudah berdenyut-denyut ingin mencicipi lubang pantat si polisi Cinde. Maka kubuka kait celana dinasnya dan melonggarkan ikat pinggang putihnya yang besar itu. Celana dalamnya sudah sedikit melorot, berwarna abu-abu tua. Kupelorotkan celananya sampai sebatas lutut; baru saat itu aku sadar polisiku Cinde masih memakai sepatu butsnya. Ah biar saja deh, supaya semakin seksi...

Dan akhirnya aku melihat daerah selangkangannya.

Daerah itu ternyata putih juga, selaras dengan kulit tubuhnya yang berwarna sawo matang itu, walaupun aku baru melihat wajah dan tangannya yang tidak terselubung lengan panjang seragam dinasnya itu. Mulus pula, tak ada bulu jembut di situ. Aku jadi penasaran dengan dada dan perutnya, namun kutahan sejenak. Kuambil bantal dan kuganjalkan pada pantat si polisi Cinde. Hmmm... lubang pantatnya berwarna merah ranum kelihatan rapat sekali... Kuambil pelumas lalu kuoleskan di salah satu jariku. Dengan perlahan kumasukkan jari itu ke lubang pantatnya. Si polisi Cinde sempat mengerang sedikit, namun matanya tetap terpejam. Mungkin ia bisa merasakan jariku mulai menembus pertahanan lubang pantatnya; sesuatu yang kebanyakan polisi pertahankan agar tidak jebol. Namun kali ini si polisi Cinde harus pasrah lubang pantatnya jebol, hahaha... Sejenak kucoba kurangsang prostatnya, dan kali ini aku mendapatkan reaksi yang kuharapkan. Kontolnya mulai bangkit kembali, walaupun masih belum sekeras tadi. Aku jadi bertanya-tanya, apa si polisi Cinde ini benar-benar pingsan atau tidak. Kumasukkan jari kedua, sedikit erangan dari mulut si polisi Cinde, dan aku tidak sabar lagi. Siap atau tidak, terimalah kontolku! Kunaikkan kedua kakinya ke bahuku, lalu aku mengocok kontolku hingga keras kembali, dan...

Blessss...

Ummmhhh, sempitnya lubang pantat si polisi Cinde! Aku kesulitan menembus pertahanan lubang pantatnya, walaupun tadi dua jariku sudah masuk. Si polisi Cinde tidak bereaksi, tubuhnya pasrah kuperkosa. Karena ia tidak bisa melebarkan lubang pantatnya, aku harus ekstra keras memasukkan kontolku, walaupun kadang-kadang terasa sakit. Gesekan lubang pantatnya di kontolku benar-benar luar biasa sensasinya! Setelah beberapa menit, akhirnya kontolku semuanya masuk ke dalam pantat si polisi Cinde. Aku mencoba menggoyang-goyangkan pinggulku untuk mencoba merangsang prostatnya, tapi kontolnya hanya berayun lemah tak berdaya. Rangsangan jariku tadi tak bisa menjaga ereksi kontolnya. Ya sudah lah, nunggu nanti dia sadar. Sekarang kuperkosa dulu...

Mmmmhhh... sensasinya berbeda sekali dengan mengentot orang yang masih sadar... walaupun sebenarnya raut wajah yang dientot bisa membuatku semakin ganas, kali ini aku sudah cukup terangsang melihat wajah polisiku Cinde yang masih tergeletak tak sadarkan diri. Bagaimana badannya terguncang ke sana kemari ketika aku memompakan kontolku yang perkasa ini di dalam pantatnya, pahaku beradu dengan kulit pantatnya yang kenyal dan semok itu, kontolnya sendiri lemas dan tergoncang ke sana kemari... Aku jadi agak merasa bersalah karena kenikmatan ini hanya kurasakan sendiri, tapi kapan lagi aku bisa memperkosa polisi yang sedang pingsan? Walaupun nanti setelah ia sadar tentu aku bisa memperkosanya kembali, dan aku bisa memperkosa polisi ini kapan saja aku mau. Peluhku mulai bercucuran membasahi dadaku.

Dan akhirnya kenikmatan itu datang juga. Nafasku mulai memburu, pinggulku menegang, dan...

Crooooottt... Sebuah muncratan panjang mengawali orgasmeku di dalam tubuh si polisi Cinde. Aku terus memompakan kontolku selagi spermaku mulai memenuhi rongga pantatnya, dan setelah sembilan semprotan rasa lega itu pun menerpa. Terengah-engah aku dibuatnya. Kutunggu sampai kontolku melemas, baru kucabut kontolku dari lubang pantatnya. Kulihat cairan putih mulai meleleh dari lubang pantatnya, maka kujilat dan kuhirup sendiri spermaku. Hangat, legit, gurih. Setelah tak ada lagi yang bisa kuhirup, kuletakkan kembali kedua kakinya di atas ranjang.

Sekarang, bisakah aku membuat polisiku Cinde muncrat dalam keadaan pingsan begitu?

Tak ada salahnya dicoba. Aku membenamkan wajahku di selangkangan polisi itu. Aroma kejantanannya begitu kuat, kuhirup pelan-pelan. Normalnya saat ini aku bakal mendengar erangan rekan mainku, tapi berhubung si Cinde masih pingsan... atau dia mulai sadar ya? Aku mendengar erangannya, walaupun pelan. Aku memejamkan mataku, lalu menghirup aroma selangkangan si polisi Cinde sambil mengurut-urut kontolnya. Lama sekali sampai kontolnya cukup keras untuk bisa kukocok, itupun precum-nya tidak keluar. Baru saja mau kuhisap...

Dering telepon genggam membuyarkan suasana erotis yang sudah kubangun sejak lama. Sedikit menggerutu, kucari asal muasal telepon itu. Tidak mungkin ada yang meneleponku jam segini, jadi kayanya ini punya si Cinde. Betul saja, telepon genggamnya rupanya selip jatuh di ranjang ketika aku membuka celananya tadi. Kulihat sekilas si Cinde, ia masih belum sadar betul. Siapa sih yang telepon jam segini?

Parno. Sejenak aku bimbang apakah mengangkat telepon itu. Apa yang harus kukatakan nanti kalau dia tanya Cinde di mana? Dering sempat terhenti, dan ketika kutoleh selangkangan si Cinde, aku sebal betul karena kontolnya kembali lemah lunglai. Parno harus membayar semua ini! Tak lama telepon itu berdering lagi, dan kali ini kuangkat.

"Halo?"
"Cinde? Di mana kamu? Aku sudah selesai dinas."
"Sori, tapi Cinde lagi tidur. Telepon lagi nanti ya."
"Ini siapa? Pacarnya ya?" Lho dari mana dia tahu? Apa si Cinde sudah cerita?
"Kalau iya, kenapa?"
"Mau main bertiga denganku?" Wah nantang nih Parno...
"Boleh, tapi aku nggak mau kamu tusuk dan kamu harus mau kutusuk. Ganggu aja telepon jam segini..." Aku sengaja berlagak agak marah.
"Oke ga masalah. Aku harus ke mana?" Kuberitahukannya alamat rumahku. "Sebentar lagi aku ke sana." Telepon pun ditutup. Sebenarnya aku tidak terlalu terangsang dengan si Parno, tapi siapa tahu aku salah. Dan baru terlintas di pikiranku, bagaimana nanti ketika si Cinde sadar dan melihatku sedang memperkosa Parno rekannya? Tapi kapan lagi aku bisa threesome dengan polisi?

Aku pun kembali ke mainanku, kontol si polisi Cinde. Kuamat-amati kontolnya kembali, sebelum kumasukkan kontolnya ke dalam mulutku dan kukenyot-kenyot. Walaupun belum ngaceng, kekenyalan kontolnya cukup pas untuk dikenyot. Dan kurasa Cinde mulai agak sadar karena sedikit-sedikit ia mengerang, walaupun kontolnya belum terlalu keras. "Cinde? Cinde sayang...," panggilku. Tak ada respon. Kulanjutkan kembali mengenyot kontolnya, sambil kali ini kususupkan tanganku ke dalam seragam atasnya. Ah dia menggunakan kaos dalam coklat itu rupanya... kususupkan tanganku ke dalamnya, dan hadiahku berupa perut datar si polisi Cinde. Tidak six pack sih, tapi kurasa ia cukup rajin latihan karena di beberapa tempat otot perutnya mulai terbentuk. Kuelus-elus perut itu, berharap Cinde bisa mulai tersadar dan menikmati kembali rangsanganku. Aku mengubah posisiku sehingga aku bisa mengelus-elus dadanya sambil tetap mengisap kontolnya. Dadanya sendiri cukup mulus, aku hanya merasakan bulu-bulu halus di sana. Dan akhirnya kutemukan yang kucari: puting susunya. Kumainkan salah satu puting susunya. Beberapa rekan mainku bisa terbangun ketika kumainkan sambil tertidur, dan mungkin si polisi Cinde bisa sadar gara-gara rangsangan di puting susunya...

...setelah beberapa lama akhirnya aku mendapatkan reaksi yang kuharapkan. Cinde mulai sedikit sadar, ia menggeliat sedikit walaupun matanya masih tertutup, dan mengerang pelan. Kontolnya sendiri belum terlalu keras. "Cinde? Cinde sayang...," panggilku. Ia hanya menggumam pelan. "Sayang, kamu udah sadar?" Aku memutuskan menyudahi kenyotanku dan berbaring di sampingnya menatapnya, sambil tanganku tetap mengelus-elus kontol kesayanganku itu. "Sayaaannnggg..." Kukecup dahinya sekali-dua kali. Perlahan-lahan Cinde pun membuka matanya. "Mmmmhhh...," erangnya pelan. "Di... mana... aku...?" "Tenang Sayang, kamu ada di kamarku. Sori ya aku tadi keterlaluan mainin kontolmu, sampai kamu pingsan gini." Tak lupa kuelus-elus kontolnya, membuatnya mengerang pelan. Ia hendak bangkit, namun rupanya rasa perih menerpanya, membuatnya mendesis. "Sssshhh... kamu... kamu..." "Sori ya Sayang, tadi kamu kumasukin. Aku nggak tahan soalnya..." Cinde hanya mendesis pelan, tapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi, membuatku bersalah. "Kamu nggak marah kan?" Kucoba merayunya dengan menciumnya, namun ia tidak merespon ciumanku.

Dan sekali lagi telepon genggam Cinde berdering. "Cinde?" aku bisa mendengar suara si Parno. "Aku sudah di depan rumah pacarmu. Bukain pintu dong..." "Eh? Ngapain kau ke sini?" "Katanya mau main bertiga?" "Siapa bilang?" "Pacarmu tadi. Cepet bukain pintu dong..." Aku tak berani menatap Cinde saat itu. "Kamu ajak dia ke sini?" tanyanya. "Tadi dia telepon waktu kamu pingsan, dia sendiri yang minta..." "Bentar lagi aku keluar No, tunggu aja." "Cepetan ya!" Tanpa kuduga Cinde meraih kontolku dan meremasnya agak keras, membuatku mengerang. "Kau sudah memerkosaku waktu aku pingsan, dan sekarang kau ajak Parno untuk memerkosaku juga? Gitu ya, baru jadian sudah memanfaatkanku!" "Habis aku harus jawab apa? Dia sendiri yang nantang! Aargh..." Cinde memperkeras remasannya. "Ngilu Sayang..." "Tapi enak kan?" Tak kuduga jawaban itu sebenarnya. Cinde pun melepaskan remasannya dan berkata, "Sudah sana, bukain Parno! Biar kuperkosa dia, setelah aku memerkosamu!" "Kamu nggak marah kan?" "Sudah kepalang tanggung, toh kau juga pasti mau memerkosaku. Enak kan merkosa polisi pingsan?" Aku hanya nyengir, lalu mengenakan sarungku dan bergegas membuka pintu, sementara Cinde hanya tiduran di atas ranjangku. Parno memakai jaket hitam, motornya lebih besar dari motor Cinde, dan setelah pintu kututup ia hanya duduk di sofa. "Cinde mana?" tanyanya. Rupanya ia sungkan juga denganku. "Dia ada di dalam, bentar kupanggilkan." Namun, tanpa harus disuruh Cinde rupanya sudah berjalan sendiri ke ruang tamu. "Kenapa kau Nde?" tanya Parno keheranan. "Jalanmu kok agak pincang gitu?" "Iya nih sialan, aku diperkosa pas pingsan sama dia!" jawabnya enteng. "Dan kau ganggu saja!" "Eh aku kan juga pingin main Nde, udah lama nih..." Ia mengelus-elus tonjolan kontolnya yang sudah mulai membesar itu. "Ya sudah, pilih mau diperkosa siapa!"

Dan malam itu benar-benar menjadi malam tak terlupakan. Aku threesome dengan dua orang polisi, dan kali ini aku yang memegang kendali. Mereka mengambil peran sebagai dua orang polisi yang bertugas menangkap penjahat, namun mereka berdua justru tertangkap. Pertama-tama koborgol tangan kedua polisi itu, dan mereka kusuruh berdiri dengan kaki terbuka di hadapanku yang duduk di sofa. Aku berpura-pura menyiksa mereka dengan meninju selangkangan mereka, dan mereka pura-pura mengerang kesakitan ketika tinjuku, yang tentu saja hanya main-main, mendarat di tonjolan selangkangan mereka. Setelah puas, aku hanya meraba-raba bola-bola kedua polisi itu hingga kontol mereka ngaceng, dan mereka memohon-mohon untuk dimainkan kontolnya. Maka kubuka resleting celana coklat mereka dan kukeluarkan batang kontol mereka. Aku punya rencana untuk memerkosa sekaligus diperkosa, maka kontol si polisi Cinde kuhisap-hisap sementara kontol si polisi Parno hanya kukocok-kocok. Aku tidak mau jiwa top Parno muncul. Beberapa saat kemudian kami pindah ke kamar, dan aku menyuruh Parno menghisap kontolku selagi aku tetap menghisap kontol si polisi Cinde. Erangan demi erangan memenuhi kamar tidurku. Setelah kurasa siap, aku pun memelorot celana si polisi Parno, sementara aku sendiri sudah telanjang bulat. Kubuka borgol si polisi Cinde, sementara si polisi Parno kusuruh tengkurap di ranjang. Kubuka borgolnya dari satu tangan, dan dengan cepat kukunci kembali borgol itu di tepi ranjangku. Kugunakan juga borgol si polisi CInde untuk mengikat tangan Parno satunya. "Eh? Aku mau diapakan?" tanyanya gugup. "Jangan berisik kalau kau mau selamat!" ancamku. "Tenang aja No, kamu pasti menikmatinya kok," ujar Cinde. Sepertinya ia tahu maksudku. Tapi mungkin ia tidak tahu rencanaku sebenarnya. "Sebentar Sayang," ujarku. "Aku yang akan menembus lubang pertahanannya." "Lalu aku?" "Kamu tembus punyaku." "Wooo, kuda-kudaan nih jadinya? Perkosa-perkosaan? Siapa takut?" Parno agak ketakutan mendengar rencanaku, "Eh eh... apa-apaan ini? Aku belum pernah dimasukin!" "Siapa suruh ke sini!" sergah Cinde. "Kau akan menikmatinya Parno..."

"Nungging!" bentakku sambil menampar pantat Parno. Ia mengerang, namun ia pun melakukannya. Kutampar pantat Parno beberapa kali sampai agak kemerahan. Lalu aku pun menaikinya, dan... Blessss... Erangan itu takkan pernah kulupakan: eranganku merasakan sempitnya pantat si Parno mencengkeram kuat kontolku, bersamaan dengan erangan kesakitan si Parno yang masih perawan. Cinde tertawa melihatnya. "Parno Parno, kaya cewek aja teriakmu!" "Sakiiiiitttt...," desis Parno sambil menahan sakit. "Ayo Yang masukin aku!" Cinde pun mengambil posisi di belakangku, mengocok-ngocok sejenak kontolnya, dan... Blessss... "Ugh..." Walaupun tadi dia sudah memasukiku, ia juga memaksakan kontolnya langsung masuk ke pantatku. "Sakit Yang?" bisiknya. "Kau balas dendam ya..." Ia hanya tertawa kecil.

Dan di sinilah aku sekarang, dijepit dua orang polisi, satu kuperkosa, satu memerkosaku. Aku belum pernah mengalaminya sebelumnya, walaupun sesekali aku pernah threesome. Aku mencoba menyelaraskan hentakan pinggulku di pantat si polisi Parno dengan hentakan pinggul si polisi Cinde. Kami berdua mengerang kenikmatan seiring dengan tiap hentakan, dan walaupun awalnya kesakitan, lama-lama si Parno menikmatinya juga. Aku hanya bisa memainkan kedua puting susu si Parno sekaligus menjaga keseimbangan karena tenaga si Cinde ternyata besar juga, membuatku selalu terhempas ketika ia menancapkan kontolnya dalam-dalam. Dan walaupun ia sudah kubuat muncrat sampai pingsan, kali ini tenaganya benar-benar luar biasa. Si Cinde sendiri sesekali mendikte hentakanku dengan menarik-dorong pinggulku, dan aku pasrah saja dibimbingnya. Sampai akhirnya tanpa bisa kutahan aku muncrat duluan, tapi untungnya itu membuat pantatku mencengkeram kuat kontol si polisi Cinde, sehingga tak lama kemudian ia muncrat juga. Kami berdua terengah-engah ambruk di atas tubuh si polisi Parno, membuatnya meronta-ronta. Justru itu membuatku dan Cinde semakin bernafsu atas tubuh si polisi Parno. Aku membuka kedua borgolnya hanya untuk membuatnya telentang, dan kini aku bekerja sama dengan Cinde mengerjai tubuhnya. Aku kebagian mengerjai kontolnya, sama seperti aku mengerjai kontol Cinde tadi, sementara Cinde sendiri mengerjai dada Parno. Seragamnya sama sekali tidak ditanggalkan, hanya dibuka begitu saja, bahkan kaosnya disobek si Cinde dengan perkasanya, membuat Parno seakan benar-benar diperkosa habis-habisan. Dan tentu saja ia memang diperkosa habis-habisan. Aku membuatnya muncrat, namun rangsanganku tidak kuhentikan sampai ia menggeliat-geliat meminta ampun, aku terus mengocok dan menjilat kontolnya. Cinde menciumnya ketika ia meronta-ronta, sehingga erangannya tertahan. Dengan nakalnya si polisi Cinde tetap mengerjai tubuh rekannya itu, dan kontol si Parno pun akhirnya tegang kembali, namun tak sampai lima menit ia pun muncrat lagi. Kembali tidak kuhentikan rangsanganku, dan si Cinde sepertinya kompak denganku.

Sampai akhirnya Parno muncrat untuk ketiga kalinya, dan ia kehabisan tenaga. Selanjutnya tak perlu kuceritakan di sini, karena si Cinde terangsang kembali untuk memerkosa rekannya yang pingsan. Sama seperti apa yang kulakukan tadi. Aku hanya tersenyum melihatnya, sepertinya para polisi ini juga doyan memerkosa.

Kurasa aku akan membuat laporan perkosaan lagi di kota baru nantinya...