Minggu, 18 Desember 2022

Pertolongan Pertama Pada Polisi

Cerita ini hanyalah rekaan semata, kesamaan nama dan tempat hanyalah kebetulan belaka. PERINGATAN: Konten ini mengandung materi dewasa dan homoseksualitas. Jika Anda tidak dapat menerima materi ini, segera tinggalkan blog ini.

Cerita ini bukan murni karangan saya sendiri, namun terinspirasi dari sebuah film pendek yang pernah saya tonton entah di mana. Durasinya tidak sampai empat menit, tapi cukup membuat penasaran.

Ah nasib... Hanya itu yang bisa kuratapi setiap hari. Kenapa aku harus menderita dalam kemiskinan seperti ini... Tiap hari aku hanya bisa memulung botol-botol bekas untuk kutukarkan dengan uang ala kadarnya demi sesuap nasi. Aku hidup sebatang kara: ayah ibuku entah pergi ke mana sejak pertengkaran besar di malam berguntur itu. Ayahku menikah lagi dengan wanita lain dan aku dicampakkan begitu saja oleh ibu tiriku di jalanan. Sejak itulah hidupku menderita. Satu-satunya teman hidupku hanyalah seekor anjing liar yang kuberi separuh makan siangku. Hanya saat itulah aku merasa bahagia, karena justru seekor anjing lah yang bisa menghargai apa yang kulakukan, dan ia pun membalas budi dengan selalu mengikutiku ke mana pun aku pergi. Sudah tak terhitung kali ketika dia menyelamatkanku dari para berandal yang sok jantan tapi kabur terbirit-birit ketika anjingku menggonggong. Sebagai gantinya, tentu saja ia kuberi makan walaupun seadanya. Hanya dialah kawan hidupku.

Namaku Roberto. Ibuku mungkin dulu terlalu demen nonton telenovela semasa mengandung sehingga aku diberi nama yang sangat tidak lazim itu. Sayangnya hidupnya juga ikut berantakan seperti telenovela. Ah Ibu, mengapa kau membiarkan aku sebatang kara... namun aku belajar untuk hidup di tengah kerasnya kota dan cuaca. Ketika hariku begitu keras, selalu ada anjingku Bleki--maklum aku tidak bisa memikirkan nama yang lebih cocok untuk anjing--yang setia menghiburku. Bleki ini adalah seekor anjing yang begitu optimis dan selalu ceria. Hari-hariku pun menjadi lebih ringan saat dihibur Bleki.

Tiap harinya aku berusaha keras mencari rezeki dengan bekerja serabutan. Kadang aku memulung botol-botol bekas, kadang aku menjadi kuli bangunan, kadang menjadi tukang sapu jalan. Karena aku bahkan tidak tamat SMA, tidak banyak pekerjaan yang bisa kuambil. Hanya pekerjaan kasar yang bisa kukerjakan, dan aku terbilang cukup beruntung karena masih diberi tubuh yang kekar, sekalipun makananku tidak mencukupi dari segi gizi. Mungkin karena aku sering bekerja kasar, maka aku masih memiliki tubuh berotot. Tidak gempal-gempal amat sih, tapi paling tidak masih berisi. Maka entah sudah berapa kali aku menjadi pelampiasan nafsu para kuli-kuli yang jauh dari istri. Aku sudah tidak mengingat lagi bagaimana aku bisa menjadi budak seks seperti ini. Memang sih kadang-kadang aku diupah, tapi namanya juga sesama miskin, paling hanya cukup untuk beli rokok satu bungkus atau kopi satu cangkir. Andaikan saja aku bisa menemukan lelaki hidung belang yang rela membayar mahal demi tubuhku, tentunya hidupku sudah lebih nyaman dan terjamin, tidak seperti sekarang yang bahkan harus hidup di gubuk reyot beratapkan seng yang sering bocor di musim hujan dan panasnya luar biasa di musim kemarau. Itu pun kalau tidak kena gusur.

Ah, kurasa cukup dengan kisah hidupku yang sengsara ini. Kau membaca cerita ini bukan untuk bersimpati padaku, tapi untuk mencari kenikmatan, ya kan?

Biar kuceritakan satu pengalamanku yang begitu mendebarkan tapi takkan pernah kulupakan.

Suatu malam, aku sedang berlari santai untuk meredakan pikiranku yang kalut. Lagi-lagi aku terancam digusur, dan aku belum menemukan tempat lain yang bisa kutinggali. Biasanya, dengan berlari, aku bisa menenangkan pikiranku sekaligus melatih badanku agar tetap fit. Tentu saja, si Bleki dengan senang hati menemani lariku. Malam itu jalanan agak basah setelah hujan, namun aku tidak peduli. Sepatu butut yang aku dapatkan dari tempat sampah beberapa hari lalu masih bisa dipakai dan nyaman dipakai berlari. Aku berlari dan terus berlari sampai entah kenapa Bleki berlari lebih cepat dariku. "Bleki? Bleki! Tunggu!" Bleki tidak menghiraukanku dan terus berlari seperti mengejar sesuatu, namun ia tidak berbelok ke mana-mana. Sampai samar-samar aku mendengar suara gonggongannya. Di sebuah jalan yang cukup sepi, aku melihat sebuah mobil yang diparkir di ujung sebuah jalan buntu. Ngapain ya ada mobil di situ? Bleki pun terus menggonggongi mobil itu, seakan-akan ada sesuatu. "Apa Bleki?" Bleki duduk tak terlalu jauh dari pintu belakang mobil itu dan sesekali menggonggong. Aku melihat ke sekeliling. Memang jalan buntu itu tak jauh dari jalan raya sehingga aku masih bisa mendengar lalu lalang mobil dan motor sibuk melaju, namun tak ada orang lain di sana. Aku pun penasaran mengintip ke dalam mobil itu. Kaca jendelanya begitu jernih, tidak dipasangi lapisan gelap apapun, yang menurutku aneh.

Dan aku pun terkejut dengan apa yang kulihat di dalam mobil itu.

Seorang polisi berseragam lengkap tergeletak di jok belakang seakan-akan sedang tidur menyamping. Cahaya lampu jalan tidak cukup menembus masuk ke dalam mobil sehingga aku tidak tahu dengan jelas apakah polisi itu masih hidup atau tidak. Didorong rasa penasaran, aku pun mencoba membuka pintu belakang mobil itu. Tidak dikunci. Ternyata mataku tidak menipuku: seorang polisi terbaring meringkuk di jok belakang. Aneh sekali pikirku, ngapain ya pak polisi ini? Apa tertidur? Aku pun mencoba membangunkannya dengan menepuk-nepuk pahanya, dan akhirnya polisi itu pun bergerak--jadi dia masih hidup, pikirku. Ketika ia menoleh, barulah aku menyadari sesuatu. Polisi ini disekap entah oleh siapa. Tangannya terikat atau terborgol di belakang tubuhnya sehingga ia agak kesulitan menggerakkan tubuhnya, selain mobil sedan itu agak terlalu sempit bagi panjang tubuhnya. Mulutnya diplester dengan lakban hitam. Apa ada seseorang yang tidak menginginkan ia melarikan diri? Pikiranku berkecamuk, dan aku sedikit ketakutan ketika terlintas di pikiranku bahwa siapapun yang menyekap polisi ini akan kembali dan aku bisa jadi dalam masalah. Maka kusuruh Bleki untuk duduk diam tanpa menggonggong, dan untungnya ia pun menurut. Aku melihat polisi itu seperti meminta untuk melepaskan dirinya, tapi aku tidak tahu caranya membuka borgol... kalau sama dengan yang pernah kutonton di televisi bersama kuli-kuli waktu itu, berarti aku harus mencari sebuah kunci. Di mana kunci itu?

Entah apa yang mendorongku, namun refleks pertama yang muncul di pikiranku adalah mencari di kantong celananya. Biasanya kalau aku memegang kunci, kukantongi juga di celana jins bututku. Kuraba-raba kantong celana polisi itu. Tidak kurasakan ada kunci di sana. Tapi kantongnya ada banyak di celana coklatnya, maka kucoba mencari satu per satu. Dan entah kenapa aku mendadak terangsang saat melakukan itu. Lama-lama pikiran nakalku mengatakan, mumpung dia tidak bisa apa-apa, perkosa dia! Paling tidak nikmati kontolnya! Maka aku pun membuka kedua kakinya dan tanpa permisi lagi memegang kontol polisi itu dan meremas-remasnya. Polisi itu seperti terkejut dan mencoba beringsut ke belakang, namun tubuhnya sudah tertahan. Ia tidak bisa mengelak lagi. Besar juga kontolnya. Aku cuma beberapa kali saja pernah memegang kontol teman kuliku, tapi kebanyakan tidak terlalu besar. Dan mungkin polisi itu sendiri juga sudah terangsang dari tadi, karena polisi itu tidak lagi meronta-ronta. Atau dia sudah meratapi nasibnya yang tidak bisa lari lagi? Kuelus-elus kontolnya yang sudah mengeras itu; sampai di kepala kontolnya kumainkan jari-jariku, membuat polisi itu menggelinjang dan mengerang tertahan. Sebenarnya aku ingin memainkan kontol polisi itu lebih lama, namun aku khawatir akan ada seseorang yang memergokiku, mungkin rekannya yang sadar mencari rekan yang hilang atau bagaimana, karena sesekali aku mendengar suara walkie talkie yang baru kusadari berada di pinggang kanannya. Semoga belum ada yang akan mencari polisi ini. Tanpa membuang-buang waktu, kubuka kait celananya dan menurunkan resleting celananya untuk mengeluarkan batang kontolnya. Di dinginnya malam itu aku bisa merasakan kehangatan batang kontol si polisi yang berdenyut pelan di genggaman tanganku.

Awalnya kukocok perlahan kontol polisi itu. Polisi itu tidak bereaksi apa-apa dan hanya terdiam, mungkin sedang menikmati kocokanku. Karena lagi-lagi khawatir ada yang akan memergoki, aku mempercepat kocokanku. Kugunakan ludahku sebagai pelumas agar tanganku tidak lecet. Tak terlalu lama, aku mendengar erangan yang cukup keras dan polisi itu pun beringsut ke belakang sekalipun sudah tidak ada tempat lagi. Kurasa ia akan orgasme, maka kupercepat lagi kocokanku. Benar saja, polisi itu akhirnya orgasme dengan erangan tertahan di mulutnya. Kubiarkan polisi itu menembakkan pejuhnya beberapa kali sampai akhirnya berhenti, kemudian kuhentikan kocokanku. Tanganku terasa basah dengan pejuhnya yang muncrat ke mana-mana, sepertinya bakal mengotori celananya. Kukibaskan tanganku ke tanah untuk membersihkan dari pejuhnya, dan ternyata Bleki malah menjilati tanganku. Setelah Bleki puas menjilati tanganku, aku melihat polisi itu pun terkulai lemas, kontolnya juga sudah lemas kembali. Kukembalikan kontol polisi itu ke dalam celananya, lalu tanpa berkata apa-apa lagi kutinggalkan polisi itu.

Kukira aku takkan pernah bertemu dengannya lagi. Yang jelas, kamu akan menemukan cerita ini di blog Fei's Fantasy tanpa perlu bayar apapun. Eh, sudah bayar? Minta refund aja, dan bantu laporkan cerita tersebut plus akunnya yah!

Hampir setahun berlalu sejak perjumpaanku dengan polisi itu, aku pun akhirnya kena gusur dan harus pindah cukup jauh dari lokasiku semula. Aku sempat tidak punya tempat untuk tidur sampai akhirnya seseorang yang baik hati memberiku pekerjaan, walaupun sebagai seorang security tidak resmi di sebuah kompleks pertokoan. Gajinya tidak terlalu besar, namun aku diberi tempat tinggal yang cukup layak, walaupun di sebuah kos-kosan. Perlahan-lahan hidupku mulai membaik, walaupun tidak terlalu mewah namun paling tidak aku tidak perlu lagi khawatir tentang makan dan tempat tinggal. Bahkan, sesekali aku juga diberi bonus oleh bosku. Walaupun demikian, aku tidak terlalu berfoya-foya karena tetap saja ada kekhawatiran akan kemiskinan yang kualami sebelum hidupku berubah. Bleki juga masih setia menemaniku, terutama saat lari pagi ataupun sore.
Di kompleks itu, ada sebuah bank yang tidak terlalu besar, namun cukup banyak yang bertransaksi di sana. Ada beberapa toko yang cukup besar sehingga sering bertransaksi di sana, maka sesekali ada polisi yang berkunjung ke bank, entah mengawal pegawai toko yang perlu membawa uang tunai banyak atau keperluan perbankan lainnya. Aku kenal dengan beberapa polisi yang sering bertugas ke sana, walaupun sejauh ini tidak ada yang terlalu akrab di luar pekerjaan.
Suatu hari, aku mendapatkan shift malam. Sekalipun tidak banyak toko yang buka di malam hari, mereka tetap memerlukan pengamanan karena beberapa juga tinggal di kompleks itu. Bleki sedang tiduran di samping pos jagaku, saat itu memang sudah agak larut malam sehingga tinggal sedikit yang masuk keluar kompleks, selain ada juga Gagah rekanku yang berjaga di pintu masuk/keluar. Aku memutuskan untuk berpatroli sebentar, selain karena aku kebelet kencing. Di salah satu sudut kompleks ada sebuah taman kecil yang punya toilet, walaupun agak kotor. Kupacu perlahan motorku yang kuperoleh dari hasil kerja kerasku, walaupun cicilannya masih lama. Sesekali kusapa pegawai-pegawai yang masih berjaga di toko maupun yang hendak menutup tokonya. Hingga aku mencapai bank itu, ada seseorang yang melambaikan tangannya. Siapa ya, dalam hati aku bertanya. Bank tentunya sudah tutup sejak sore tadi, dan hanya ATM-nya saja yang buka, namun itu tidak pernah dijaga selepas tutup karena toh ada CCTV. Kuhentikan motorku di depan orang itu. Seorang polisi? Aneh sekali ada polisi di bank selarut ini, "Malam Mas," sapa polisi itu terlebih dahulu. Kuamat-amati dirinya, sepertinya sih bukan polisi gadungan, tapi aku pun tidak mengenalinya. Aku memberi hormat dan membalas salamnya. "Ada apa Ndan kok malam-malam ke bank?"
"Oh saya cuma ambil uang di ATM kok," jawabnya. "Kebetulan pas lewat sini, jadi sekalian. Mas, ada toilet di mana ya? Saya kebelet pipis."
"Oh ikut saya saja Ndan," ajakku. "Kebetulan saya juga mau pipis. Nggak jauh sebenarnya dari sini, saya boncengkan saja ya."
"Boleh Mas, maaf merepotkan."
"Nggak masalah Ndan, toh sekalian." Polisi itu pun naik ke jok belakang motorku, entah kenapa duduknya agak dekat denganku, namun aku tak terlalu ambil pusing. Motorku memang bukan motor gede, hanya motor biasa yang joknya memang tidak terlalu besar, toh hanya aku sendiri yang menggunakannya. Aku pun memacu motorku ke taman tersebut. Taman itu sebenarnya agak kurang terawat dan hanya digunakan di siang hari. Pada malam hari, hampir tidak pernah ada yang mengunjungi taman itu. Ada yang bilang taman itu agak angker kalau malam; memang hanya ada satu lampu taman dan satu pohon agak besar, namun aku tidak takut. Entah kenapa para penghuni kompleks itu tidak bersatu untuk merawat taman tersebut. Entah kenapa juga di sana ada toilet. Ada yang bercerita kalau taman itu sebenarnya milik salah satu penghuni yang sudah meninggal dan keluarganya enggan merawat taman tersebut, jadinya sekarang tidak terurus. Taman itu tidak jauh tempatnya dari bank itu, hanya sekitar satu menit berkendara. Walaupun hanya satu menit, aku bisa merasakan kontol polisi itu menempel di pantatku dan samar-samar kurasa kontolnya ngaceng, namun aku tak bisa memastikannya. Sampai di depan toilet, aku pun mematikan motorku. "Monggo Ndan, duluan saja," ujarku. Polisi itu pun turun dari motor dan entah mengapa merapikan celananya dan membetulkan posisi kontolnya tanpa sungkan-sungkan di hadapanku, namun ia tidak mengatakan apa-apa dan langsung masuk ke dalam toilet. Aku mencabut kunci motorku; walaupun dia mengenakan seragam polisi, aku tidak tahu apakah dia polisi betulan atau bukan. Jaga-jaga saja, pikirku. Tidak lama polisi itu keluar lagi. "Airnya mati Mas," katanya. Wah nggak biasanya. "Di sana saja Ndan," ajakku. Tak terlalu jauh dari toilet itu ada pohon kecil, yang kurasa takkan keberatan kalau dikencingi. Supaya tidak bau pesing juga toiletnya, karena toilet itu sendiri sebenarnya juga sudah bau pesing akibat tidak ada yang merawat. Entah siapa yang membayar airnya. Sampai di lokasi, aku pun menurunkan resleting celanaku untuk pipis. Polisi itu berdiri di sebelahku dan melakukan hal yang sama. Sejenak kami terdiam, mendengarkan suara air kencing yang beradu dengan batang pohon itu. Aku agak bergidik kedinginan ketika angin bertiup. Sejenak aku curi-curi pandang polisi itu, kontolnya lumayan juga walaupun sedang lemas begitu. Tanpa kusadari, polisi itu juga memandang kontolku, karena tiba-tiba ia berkomentar, "Gede ya punyanya Mas."
"Ah biasa saja Ndan," jawabku sambil mulai mengibas-ngibaskan kontolku supaya bebas dari tetesan air kencingku. "Punyanya Komandan juga gede."
"Gedean punyamu Mas." Tanpa minta izin, polisi itu memegang kontolku yang belum sempat kumasukkan kembali ke celana. Ia menekan-nekan batang kontolku dan membandingkannya dengan miliknya sendiri. "Iya Mas, gedean punyamu dikit. Ini kalau ngaceng lebih gede lagi ya."
"Ah bisa aja Ndan," ujarku basa-basi sambil memasukkan kontolku ke dalam celanaku dan menutup kembali resletingnya. Polisi itu baru mengibas-ngibaskan kontolnya yang baru selesai mengeluarkan tetes terakhir air kencingnya. "Coba aja bandingin Mas," ujarnya sambil entah mengapa menuntun tanganku ke batang kontolnya itu. Tanpa sungkan-sungkan kutekan-tekan juga batang kontol polisi itu. "Iya Ndan, gede," ujarku pendek. Apa dia lagi mancing ya? Padahal baru pertama ketemu, sudah pegang-pegangan kontol. Apa jangan-jangan tadi dia bilang airnya mati padahal sebenarnya tidak, demi bisa pipis bersama dan lihat-lihatan kontol? Sebenarnya cahaya lampu dari toilet juga sangat temaram. Entah kenapa mendadak aku teringat kembali pada polisi yang kukocok kontolnya waktu itu. Aku sendiri sudah lama tidak main kontol sejak digusur, aku juga kehilangan kontak dengan teman-teman kuliku yang biasanya suka main kontol. Sejenak aku agak terangsang, namun apa dia mau ya...
"Mainin dong Mas," tanpa kuduga polisi itu berkata demikian. Batang kontolnya belum dimasukkan ke dalam celananya, terkulai layu dari lubang resleting celana PDL-nya itu. "Kaya waktu itu."

Hah?

"Kamu masih ingat polisi yang disekap di jok belakang mobil sedan? Yang kamu kocokin sampai ngecrot?" Polisi itu tersenyum melihatku semakin kebingungan mendengar pertanyaannya. "Itu aku. Mungkin kamu sudah lupa wajahku, waktu itu gelap dan mulutku disumbat lakban hitam juga. Lama sekali aku berusaha melacakmu dan menemukanmu, akhirnya aku menemukanmu juga di sini."
"Ndan... maksudnya?"
"Nggak perlu bingung gitu Mas Roberto. Aku ini intel jadi punya keahlian menemukan seseorang, walaupun makan waktu." Polisi itu memegang pundakku. "Catatan kehidupanmu memang cukup sedikit, tapi semuanya bersih. Aku tahu orang tuamu bercerai dan kamu sempat dibuang ke jalanan. Salut kamu tidak pernah melakukan kejahatan apapun." Memang, aku sudah bersumpah pada diriku sendiri, suatu saat aku akan menjadi orang sukses dengan jalan bersih dan bisa menyombongkan diri ke ibu tiriku yang membuangku saat itu. "Walaupun saat itu cukup gelap, aku cukup bisa melihat beberapa penciri penting di wajahmu, ditambah anjingmu. Saat aku melihatmu dengan anjingmu di pos jaga depan, aku yakin itu dirimu. Aku sudah mencarimu cukup lama."
"Eeee kenapa mencari saya Ndan?" jawabku gugup. Apa aku bersalah karena meninggalkannya begitu saja setelah membuatnya ngecrot kapan hari? "Saya tidak melakukan apa-apa yang salah kan Ndan?"
"Yaaa kalau ninggalin aku dalam keadaan belepotan pejuh di mana-mana sampai diketawain sekompi pas diselamatin subuhnya itu kriminal, udah kukejar kamu lebih cepat dari dulu hahaha..." Polisi itu mendekat dan menatapku sampai aku merasa tidak nyaman sendiri dibuatnya. "Aku cuma ingin kamu mainkan lagi kontolku seperti saat itu." Ia membimbing tanganku memegang kembali batang kontolnya yang masih terkulai lemas, mungkin karena kedinginan. "Caramu mengocok kontolku, tidak pernah bisa kulupakan. Aku ingin merasakannya lagi Mas Roberto." Aku agak gelagapan walaupun pemikiran itu lumayan memantik minatku. Sudah lama sih aku tidak main kontol orang lain.
"Di... di sini Ndan? Gimana nanti kalau ada yang lihat?"
"Taman itu sepi kan kalau malam?" polisi itu menunjuk taman tidak terawat itu. "Kita bisa main sebentar saja di sana. Nanti kalau sudah selesai giliran jagamu, kita bisa lanjut di tempatmu. Aku kebetulan cuti dinas besok. Gimana?" Polisi itu mengelus-elus selangkanganku; aku agak gelagapan karena sebenarnya aku juga mulai ngaceng dengan pemikiran itu. Main di ruang terbuka, aku tidak pernah melakukannya. Mungkin akan seru ya? "Gimana? Jangan lama-lama juga, nanti rekanmu curiga."
"Ss... Siap Ndan!" Polisi itu memasukkan kembali batang kontolnya lalu mengajakku ke taman kecil itu, ke sebuah pohon besar yang sebenarnya tak tersinari lampu taman yang sudah temaram. Saat itu hampir bulan purnama sebenarnya, jadi sebenarnya tidak gelap gulita juga. Ia bersandar di sisi pohon yang berlawanan dengan jalan, sehingga kalaupun ada yang datang, aku seharusnya bisa melihatnya. "Kocokin Mas..." pinta polisi itu. Aku bahkan sampai belum tahu namanya. Kulirik nama di dadanya: Fernando. Astaga, apa aku ini sekarang sedang di dunia telenovela? "Izin Ndan." Aku pun memegang dan mengelus-elus selangkangannya. Aku mencoba mengingat-ingat ukuran kontolnya saat malam itu, tapi aku tidak berhasil mengingatnya. Kontolnya cukup besar untuk kuremas-remas perlahan, membuat polisi itu mendesah dan sedikit menggelinjang. Kudekati polisi itu dan perlahan-lahan kuberanikan diri untuk menciumnya sambil tanganku tetap memainkan kontolnya. Polisi itu membalas ciumanku dan mendesah lagi, ketika tiba-tiba...
"Berto, Berto, masuk!" Aku tersentak terkejut, mengira Gagah akhirnya menemukanku. Aku baru ingat kalau aku membawa walkie talkie. "Masuk Gagah." Tangan kiriku tetap memainkan kontol polisi Fernando selagi aku berbicara dengan Gagah melalui walkie talkie.
"Ke mana aja kamu, lama amat? Aku kebelet juga nih, gantian dong!"
"Sori, perutku agak mules. Dikit lagi ya? Lima menit?"
"Lima menit ya Bert! Daripada aku ngompol di sini lo!"
"Iya deh lima menit lagi Gah! 86!"
"86!" Aku kembali menyarungkan walkie talkie-ku di kopel sebelah kanan, lalu kembali memfokuskan diri pada polisi itu. "Ga bisa lama-lama Ndan..."
"Kocokin langsung Berto... please..." Aku pun langsung membuka resleting celananya, merogoh ke dalam dan mengeluarkan batang kontolnya yang sudah mengeras itu. Aku berjongkok di depan polisi itu dan langsung mengocok-ngocok kontolnya. Polisi itu pun mendesah begitu aku mulai mengocok kontolnya yang sudah mulai meneteskan precum, walaupun akhirnya aku tetap harus membasahi kontolnya. Kuhisap-hisap sebentar kepala kontolnya sekaligus membasahi kontolnya; polisi itu menggelinjang selagi kuhisap-hisap. Setelah kurasa cukup, kukocok-kocok batang kontolnya dengan tangan kananku. "Aaaahhh... enak Berto.... aaaahhh... kencengin please... Oooohhh... kocokanmu enak bangeeettt... Ssssshhhh... aku mau keluar..." Sebenarnya aku agak kecewa karena cepat sekali polisi itu akan orgasme, tapi katanya tadi dia mau ronde kedua di tempatku. Mungkin nanti bisa lebih lama lagi. Kupercepat kocokanku, hingga...
"Ooooohhh..." Polisi itu menggelinjang dan menggeliat di batang pohon itu selagi akhirnya gelombang orgasme menerpa tubuhnya, memompakan pejuhnya muncrat dari batang kontolnya yang masih kukocok-kocok. Lumayan banyak juga muncratnya, apa nanti ronde kedua dia masih bisa muncrat lagi? Aku bisa mendengar nafasnya cukup tersengal-sengal, namun aku yakin dia menikmati kocokan singkat itu. Aku pun berdiri dan mencium polisi itu sambil tetap kukocok perlahan batang kontolnya yang mulai lemas itu, sebelum kubersihkan ujung kepala kontolnya dari pejuh terakhir yang masih menetes dengan jariku. Polisi itu berjingkat kegelian saat kubersihkan ujung kepala kontolnya, lalu kusuruh ia menjilati jariku yang ada sedikit pejuhnya itu. "Enak Roberto... nanti ronde kedua kamu bebas apain aja tubuhku... habis kamu lepas dinas ya?"
"Siap Ndan 86!" seruku bersemangat. Biasanya aku akan kelelahan selepas shift malam, namun pemikiran bahwa akan ada seorang polisi yang bisa kumainkan membuatku bersemangat. Nanti aku akan merasakan pejuhnya yang kental itu, semoga masih ada. Kurapikan celana PDL-nya sebelum kami bertukar nomor WA. Aku mengantar polisi Fernando kembali ke bank karena motornya ditinggal di sana, lalu aku pun kembali ke pos jagaku. Gagah sempat ngomel-ngomel ketika aku kembali ke pos, terutama ketika aku meremas-remas kontolnya--"Bocor oi!" Kuelus-elus Bleki, baru kali ini aku tak sabar menanti fajar untuk alasan berbeda.

Pukul enam pagi, setelah menyerahkan shift-ku pada satpam shift berikutnya, aku pun menelepon polisi Fernando untuk mengabari bahwa shift-ku sudah selesai. Kami janjian bertemu di sebuah warung soto untuk sarapan terlebih dahulu. Cuaca agak dingin karena semalam sempat hujan dan sebenarnya aku juga cukup mengantuk. Kupacu motorku menuju lokasi yang dijanjikan, dan ternyata dia sudah tiba di sana terlebih dahulu, entah kenapa masih mengenakan seragam PDL lengkap, seolah-olah dia masuk dinas hari ini. Kami pun sarapan bersama, dan setelah perut kenyang kami memacu motor masing-masing ke kosku. Aku memang belum sanggup mengontrak karena cicilan motor ini, namun bagiku tidak masalah karena aku juga ingin menabung. Kosku cukup murah, walaupun tidak ber-AC namun paling tidak layak untuk kutinggali. Selain itu, kosku tidak terlalu ketat aturannya dan tidak terlalu jauh dari tempatku bekerja saat ini. Kupersilakan polisi Fernando itu masuk ke dalam kosku, lalu kututup dan kukunci pintunya. Gorden jendela tidak kubuka; kebetulan ruanganku paling ujung di lantai dua sehingga aku mendapat ekstra jendela yang menghadap jalan. Kubiarkan temaram cahaya dari luar masuk ke dalam; cuaca saat itu mendung lagi sehingga tidak terlalu banyak cahaya yang masuk, sehingga kunyalakan lampu kamar. "Anggap tempat sendiri ya Ndan, agak sempit dan berantakan."
"Nggak lah Bert, ini rapi banget lho. Aku aja kalah rapi darimu!" Aku pun melepas jaketku dan hendak melepas kemeja satpamku ketika polisi Fernando mencegahku. "Tetap dipake aja Bert. Aku mau mencium aromamu."
"Rebahan di kasur ya Ndan, saya ngantuk..." Walaupun baru saja sarapan, udara dingin pagi itu membuatku semakin mengantuk. Sepertinya bakal enak kalau berpelukan.
"Yuk Roberto sayang," belai polisi itu sambil menuntunku ke atas kasur. Kulepas sepatu butsku lalu aku pun beranjak naik ke kasur, rebahan di sisi sisi terdalam. Polisi Fernando mengikuti aku. "Sempit ga pa pa ya Ndan."
"Ga masalah Roberto sayang," ucap polisi Fernando lembut. Entah sejak kapan dia pakai kata "sayang", namun aku tidak merasa jijik. Bahkan, entah kenapa, hatiku terasa damai mendengarnya. Ah, rasanya sudah lama sekali sejak aku merasakan kasih sayang seseorang... "Kamu pasti capek ya habis jaga semalaman," bisiknya sambil membimbingku memeluknya. Ah hangatnya... "Tidur dulu aja sayang, nanti kalau sudah segar baru kita main." Ia mengecup keningku, dan entah kenapa aku tidak bisa berkata-kata. Mataku begitu berat; padahal tadi semalam-malaman aku menahan nafsuku untuk bisa kembali memainkan kontolnya, namun suara dan kehangatan tubuhnya seolah membuat tubuhku tak berdaya. Samar-samar aku terlelap di pelukan polisi Fernando.

Entah sudah berapa lama aku tertidur. Rasanya hangat sekali; selama ini aku tidur sendirian dengan selimut, kini ada polisi Fernando yang menemaniku tidur. Saat aku membuka mataku, ia rupanya juga sedang tertidur. Aku jadi agak merasa bersalah, kalau tadi malam dia sudah tidur, jangan-jangan selama aku tidur tadi dia tidak tertidur... Kupandang wajahnya, ternyata tampan juga, apalagi sedang tertidur. Wajahnya bersih dari kumis dan jenggot, sepertinya ia orang yang menjaga betul rambut wajahnya. Kupandang dadanya, cukup bidang juga, dengan segala macam atribut yang tidak kukenali kecuali tulisan Polri dan namanya di dada. Perutnya... agak sedikit menonjol, tapi mungkin karena dia sedang berbaring. Dia mengenakan kopel hitam standar tanpa kepala, walaupun aku jadi bertanya-tanya untuk apa ia mengenakan kopel itu kalau tidak ada yang terkait di kopelnya. Kontolnya... sepertinya agak tegang. Tanpa berpikir panjang kuraih kontolnya dan kuelus-elus. Benar, agak tegang. Aku tidak ingin membangunkannya, jadi hanya kuelus-elus saja. Suara hujan di luar masih terdengar, rupanya masih hujan deras. Kulirik jam dinding, sudah pukul dua belas siang. Sebenarnya sudah jam makan, namun kalau hujan begini mau cari makan di mana... Ah, nanti saja itu dipikirkan. Kan ada pejuh polisi Fernando hahaha. Aku terus menikmati kehangatan tubuh polisi Fernando sambil tetap mengelus-elus batang kontolnya yang perlahan-lahan menegang juga di celana PDL-nya. Jadi begini ya rasanya tidur ditemani... aku suka dengan ukuran kontol polisi Fernando. Ah andai aku bisa bersamanya seterusnya...
Tak terlalu lama kemudian polisi Fernando pun mulai terbangun walaupun agak perlahan. "Pagi Ndan," bisikku. "Pagi Roberto sayang," balas polisi Fernando sambil mengecup keningku. "Boleh panggil sayang?"
"Boleh Ndan," jawabku tersipu. "Saya ndak punya siapa-siapa." Polisi Fernando pun memelukku sebisanya karena posisinya masih di kasur, dan ia pun mengelus-elus kepalaku. Kepalaku pun beradu dengan pundaknya, kuhirup aroma parfum samar-samar yang masih tersisa. Benar-benar sensasi yang baru kurasakan, membuatku begitu damai dan sesak di saat bersamaan. "Wah sudah jam dua belas ya," ujar polisi Fernando. "Makan yuk sayang."
"Hujan deras di luar Ndan," jawabku. Suara hujan memang masih menderu, sepertinya bakal banjir. "Saya ada mi instan ayam bawang, makan itu dulu gimana Ndan, sambil nunggu hujannya reda."
"Boleh sayang," jawabnya. Sebenarnya aku heran juga, secepat itu dia bilang sayang padaku yang baru dia temui hari ini? Aku bangkit dari kasur dan menuju dapur kecil di pojok ruangan untuk mulai memasak dua porsi mi instan ayam bawang, tentunya enak dimakan saat dingin-dingin begini. Kutambahkan rebusan telur dan beberapa potong sayur--di kosku ada kulkas mini pemberian bosku, sesekali kulkas itu diisi bosku saat dia berkunjung untuk melihat kelayakan hidupku. Sebenarnya aku pernah ditawari untuk tinggal di rumahnya saja, namun aku merasa belum siap untuk tinggal bersama-sama. Mungkin aku terlalu terbiasa tinggal sendirian. Walaupun demikian, bosku selalu terbuka jika aku akhirnya memutuskan untuk tinggal bersama di rumahnya. Tak lama mi kuah itu pun matang dan kami pun makan bersama. Kami tak banyak bicara selama makan, namun aku mengamati polisi Fernando sering memandangku. Aku jadi deg-degan dibuatnya, namun aku tidak mengatakan apa-apa. Selesai makan, kucuci mangkok-mangkok dan panci yang kupakai untuk merebus mi, lalu aku menemani polisi Fernando yang hanya duduk di kasur. "Kalau hujannya seperti ini, kayanya aku nggak bisa pulang," katanya tersenyum. "Boleh nggak kalau aku nginap di sini malam ini?"
"Boleh aja Ndan, hari ini saya sudah lepas jaga," jawabku tanpa pikir panjang. "Ndan sendiri nggak dinas?"
"Aku cuti hari ini, tapi kalau begini sih mungkin besok cuti juga saja deh," ujarnya tersenyum. "Aku mau bersamamu saja hari ini." Aku jadi salah tingkah dibuatnya, apalagi ketika dia menatapku dan menyentuh wajahku, membimbingnya mendekat.
Dia pun menciumku.
Baru kali ini aku dicium dengan mesra, walaupun ciumannya berasa mi ayam bawang. Rasa mi itu membuatku tersadar dan sedikit tersentak. "Ndan, masih bau ayam bawang nih!" Kami pun tertawa berdua. "Ini gunanya permen mint, biar kalau ciuman ga rasa aneh-aneh," gelak polisi Fernando sambil mengeluarkan satu pak permen mint dari salah satu kantongnya dan memberikannya padaku. Setelah makan permen mint itu, kami kembali berciuman. Ah mesra sekali rasanya, apalagi aroma mint itu begitu menyejukkan. Aku memejamkan mataku dan menikmati ciuman itu sebelum polisi Fernando meraba-raba dadaku dan memainkan jarinya di salah satu putingku. "Aaaahhh..." aku kelepasan mendesah. Aku bersandar di dinding kamar selagi polisi Fernando memainkan kedua putingku. Begitu enak rasanya, berbeda dengan yang dulu-dulu kurasakan. Walaupun memang polisi Fernando pasti hendak mengajakku untuk ngeseks, namun rangsangannya bukan sebuah rangsangan yang hanya didasari hawa nafsu biasa. Segala sentuhannya terasa begitu lembut dan menggairahkan dalam waktu bersamaan. Aku memejamkan mata dan menikmati rangsangan polisi Fernando yang akhirnya mulai memegang kontolku. Kubuka kakiku agar ia bisa lebih leluasa memainkan kontolku yang masih bersembunyi di seragam dinasku itu. Kubuka mataku dan kulihat polisi Fernando berlutut di samping kananku, sedang asyik memainkan kontolku. Aku pun melirik selangkangannya, kontolnya sudah sedikit menegang. Tanpa ragu-ragu kuremas-remas kontol polisi Fernando. "Aaaahhh.... enak sayang," desahnya. Kubimbing batang kontolnya yang mulai menegang di dalam celana PDL-nya itu supaya tidak kesakitan; batang kontolnya mengarah ke paha kanannya. Kugelitik ujung batang kontolnya dan polisi Fernando pun menggelinjang. "Aaaahhh geli sayang..." Keseimbangannya agak goyah, namun aku cepat bangkit berlutut dan memeluknya agar dia tidak jatuh. Kami pun berciuman kembali dalam posisi berlutut, sambil aku tetap mengelus-elus kontol polisi Fernando dan dia mengelus-elus bokongku. Sejenak aku berpikir, apa dia top ya, apakah dia nanti akan mengentotku ya. Aku memang terbiasa dientot, namun biasanya oleh kuli-kuli bangunan yang sekedar melampiaskan nafsu karena jauh dari istri. Apa polisi Fernando sudah menikah ya. Kulirik tanda pangkat di bahunya, satu garis lurus, aku tidak tahu pangkat apa itu. Mungkin sudah? Aku terpekik ketika polisi Fernando meremas kontolku. "Gede sayang," bisiknya sambil tersenyum. "Mau kuisepin?"
"Mau Ndan," bisikku. Jarang sekali ada yang mau menghisap kontolku, apalagi yang akan menghisap kontolku seorang polisi. "Baring sayang," polisi Fernando membimbingku kembali tiduran di atas ranjang dengan lembut, lalu ia membuka resleting celanaku dan berusaha mengeluarkan batang kontolku. Setelah keluar, ia mengocoknya sebentar, lalu beberapa kali mengecup kepala kontolku dengan lembut. "Ooooohhh...," erangku sambil memegang tangannya yang tidak memainkan kontolku. Ia menggenggam tanganku sambil menjilati lubang kencinigku. "Aaaahhh... Ndan..." Dengan itu polisi Fernando melahap kontolku. "Ooooohhh... aaaahhh.... Ndaaannn..." aku kelojotan ketika polisi Fernando menghisap kontolku naik turun, walaupun perlahan namun mulutnya mengatup erat di batang kontolku, memberikan sensasi pijatan yang luar biasa. Aku merasa batang kontolku benar-benar sangat keras, bahkan lebih keras dari biasanya aku coli sendiri. Polisi Fernando sepertinya benar-benar tahu caranya memanjakan pria dewasa. "Mmmmhhh... nnnggghhh... Ndaann... enakkkhhh..." Polisi Fernando melirikku dan tersenyum manis sebelum ia melanjutkan menghisap batang kontolku, kali ini agak cepat dan ia juga menggunakan tangannya untuk mengocok batang kontolku dengan gerakan memutar. "Oooohhh... yessss... ssshhhh... oookkkhhh..." Sesekali polisi Fernando berhenti dan sekedar menjilati kepala kontolku, baik di perbatasan leher dan kepala kontol maupun di ujungnya, sesekali memainkan lidahnya di lubang pipisku, membuatku menggelinjang. "Oooohhh Ndan, geli Ndaaannn... mmmmhhh..." Ia kembali menciumku sambil mengocok-ngocok pelan kepala kontolku. "Ngggghhh... mmmhhhh..."
"Masukin aku ya sayang," bisik polisi Fernando. Tanpa menunggu persetujuanku, ia membuka celana PDL-nya walaupun hanya memelorotnya sampai separuh, membebaskan kontolnya yang tegang itu. Ia membimbingku terduduk bersandarkan dinding, lalu sejenak mengocok kontolku kembali beberapa saat sebelum ia sendiri mengambil posisi berlutut di depanku, perlahan-lahan menurunkan tubuhnya ke belakang, memosisikan kontolku di lubang boolnya, dan perlahan mendorong kontolku masuk ke boolnya sambil tetap menciumku. "Ngggghhh..." aku mengerang ketika kehangatan lubang boolnya menerpa kontolku, lebih seret dibandingkan mulut polisi Fernando tadi. Polisi Fernando mendorong terus kontolku sejauh yang ia mampu, lalu mulai mengentot dirinya sendiri dengan kontolku. "Aaaahhh oooohhh Roberto sayaannnggg... kontolmu gedeeee... nnnggghhh..."
"Aaaaahhh Ndaaaannn... semppiiittthhh... enaaakkkhhh.... yeeessshhhh... nggghhh..." Baru kali ini aku merasakan ngentot seseorang, walaupun aku tidak menggerakkan tubuhku sama sekali. Polisi Fernando semakin bersemangat menggoyangkan pinggulnya mendengar erangan dan desahan kami berdua, tersamarkan suara hujan yang seakan tidak mereda. Aku begitu terangsang melihat polisi Fernando yang berseragam lengkap itu mendesah dan mengerang menikmati entotanku. Aku merasa hendak mencapai puncaknya. "Ndan, mau keluar..."
"Entotin aku sayang, please... keluarin di dalamku..." Dia mencoba memutar dirinya tanpa membuat kontolku keluar dari boolnya, dan aku sepertinya tahu keinginannya. Aku perlahan-lahan bangkit dan berlutut memeluk dirinya dari belakang. Sambil menyandarkan kepalaku di bahunya, aku mulai aktif mengentot polisi Fernando. "Aaaahhh Ndaaannn..."
"Iya Roberto sayanggg.... nnnggghhh... mentokin sayang.... sssshhhh... kamu suka ngentotin polisi sayanggghhh..."
"Suka Ndaaannn... mmmhhh... boolnya seret Ndan... enaakkkhhh... aaakkkkhhh..."
"Kencengin sayang.... entot aku sayanggg..." Aku pun menuruti kemauannya dan mulai memacu pinggulku mengentot polisi Fernando. "Aaaaakkkhhh... yeeessss sayaaannngggg.... ooookkkhhhh... fuckkkk..."
"Ndan mau keluar Ndan," ujarku terengah-engah menahan dorongan itu. Aku agak kecewa dengan diriku sendiri, cepat amat mau keluar, baru juga masuk... tapi tadi memang permainan polisi Fernando sudah panjang juga sih...
"Keluarin aja sayang..." Aku pun mempercepat entotanku. "Ndaaannnn... akh akh akh akh.... mau keluar Ndan... akh akh... aaaakkkkhhhh..."
Aku pun orgarme di dalam polisi Fernando. Kupeluk erat-erat tubuhnya selagi kontolku memompakan pejuhku ke dalam bool polisi Fernando, nafasku terengah-engah. Tubuhku penuh peluh, ternyata permainan itu menguras tenaga juga. Kutunggu sampai kontolku kurang lebih selesai menunaikan tugasnya di dalam polisi Fernando, lalu aku bangkit untuk mencari tisu. Polisi Fernando sendiri langsung berbaring dengan pantatnya agak dia angkat, rupanya supaya pejuhku tidak meleleh ke atas kasur. "Baring aja Ndan," tukasku sambil segera mengambil tisu. "Gpp kok kalau kena kasur, itu sprei bisa diganti." Setelah mengambil tisu, aku pun mengelap pejuhku yang mulai menetes dari lubang bool polisi Fernando. Tanpa disuruh polisi Fernando mengejan berhati-hati agar pejuhku tidak keluar dengan cepat. "Enak sayang?" tanyanya sambil tersenyum.
"Enak Ndan, makasih banyak, saya baru kali ini ngentot polisi. Habis ini saya keluarin lagi punyanya Ndan." Setelah pejuhku tidak lagi menetes dari bool polisi Fernando, aku pun membuang tisu itu di tempat sampah dan kembali bergabung dengan polisi Fernando di atas kasur. "Dirapiin dulu Ndan," ujarku sambil kembali memasang celananya, sengaja menyentuh kontolnya yang tidak setegang tadi, lalu merapikan kembali PDL polisi Fernando. "Kok dirapiin sayang?"
"Saya pingin bikin Komandan muncrat pake PDL, tadi malam kan ga kelihatan. Boleh ya Ndan?"
"Apapun untukmu sayang," jawab polisi Fernando sambil merebahkan diri pasrah. "Aku pasrah kamu apa-apakan Roberto sayang."
"Siap Ndan 86!" Tanpa berlama-lama aku raih kontolnya dan kuremas-remas membuat polisi Fernando mengerang. "Ooohhh sayang..." Kuelus pula dadanya untuk memainkan putingnya walaupun tertutup berlapis kemeja PDL dan kaos dalamnya, namun aku masih bisa menemukan putingnya untuk kucubit. "Aaahhh..." Batang kontolnya dengan cepat kembali menegang; kuelus-elus kepala kontolnya dan erangannya bertambah keras. Sejenak kujepit batang kontolnya dengan tanganku dan kukocok-kocok dari luar celana PDL-nya. "Oooooohhhh... sayaannnggg... enakkkk... kamu pinter yaaa... mmmmhhhh... ssshhhh... ooh yeeesss... kencengin yangggghhhh... aaaahhh..." Kucium kembali polisi Fernando sambil kugenggam batang kontolnya dan kumainkan lubang kencingnya dengan jempolku bergantian dengan telunjukku. "Mmmmppphhh... nngggghhh... sssshhh... mmmmmggghhh..." polisi Fernando mengerang dalam ciumanku sambil menggelinjang keenakan. Aku bisa merasakan cairan precum mulai merembes di celana PDL-nya. Kulirik selangkangannya, batang kontolnya sudah tercetak sangat jelas di celana PDL-nya. Tak tega polisi Fernando tidak mendapatkan kenikmatan maksimal, akhirnya aku membuka resleting celananya dan mengeluarkan batang dan biji-biji kontolnya--ia harus membantuku mengeluarkan pistol kebanggaannya itu. Aku memosisikan diri agar aku bisa mengocok kontolnya dengan senyaman mungkin, sambil biji-biji kontolnya kuelus-elus agar dia tidak kehilangan kenikmatan. Setelah posisiku pas, kugenggam kontolnya dan kukocok-kocok. "Aaaaahhh... enak sayannggg... kencengin please... ooohhh... ah yeeesss... mmmmhhh..." Polisi Fernando kelojotan dengan kocokanku, padahal aku merasa kocokanku sebenarnya biasa saja. Mungkin dia memang suka dikocokin. Puas menciumi polisi Fernando sambil mengocok kontolnya, kini aku benar-benar fokus mengocok kontolnya. Kugunakan tanganku yang bebas untuk meraba-raba tubuhnya, termasuk tentu biji-biji kontolnya yang ranum itu. "Aaahhh... enak sayang... di situ... oooohhh... yeeesss... ffffhhhh... mmmhhhh..." Posisi polisi Fernando sebenarnya sangat membuat horny: tangannya terangkat pasrah di atas kasur mencengkeram apa saja yang bisa dia cengkeram, kakinya terbuka dan bergantian menggeliat di tempat, benar-benar pasrah diapakan saja. Kukocok kepala kontol polisi Fernando yang begitu mengilat itu hingga ia benar-benar menggelinjang di kasur. "Aaaahhh... enak sayangggghhh... ngggghhh... mau keluar sayanggghhh... mmmmhhh... kencengin pleaassseee.... mmmhhh..." Kukabulkan permintaannya: kupercepat tempo kocokanku pada kontol polisi Fernando. Hingga akhirnya...
"Oooooohhhhh..." polisi Fernando mengerang panjang dan tubuhnya mengejang. Aku menyaksikan semburan pertama pejuhnya keluar dari batang kontol polisi Fernando, cukup jauh hingga mengenai wajahnya sendiri. Semburan-semburan pejuh berikutnya tentu saja mendarat di tubuh polisi Fernando. Pejuhnya lumayan banyak juga, padahal tadi malam sudah kukeluarkan cukup banyak. Kuelus-elus kontolnya saat ia akhirnya berhenti berkedut memompakan pejuh polisi Fernando keluar. "Aaaaahhhh... enak banget sayang... makasih sayang..."
"Kotor Ndan bajunya," ujarku sambil bangkit mengambil tisu. "Ga pa pa sayang, bisa dicuci." Polisi Fernando terengah-engah menata nafasnya selagi gelombang orgasme itu mereda. Aku menyeka pejuhnya yang berceceran di seragamnya sebersih mungkin, kemudian kumasukkan lagi kontolnya ke dalam celananya. Setelah membuang tisu, aku menyusul rebah di sampingnya. Ia menciumku sekali lagi. "Makasih ya sayang, enak banget."
"Siap Ndan," ucapku. "Kapan-kapan kalau pingin lagi, kabari saja Ndan." Dengan nakal kuremas-remas kontolnya, namun ia tidak marah sama sekali.
"Roberto sayang, mau nggak kamu jadi kekasihku?" tanya polisi Roberto tiba-tiba. Pertanyaan itu menerpaku begitu tiba-tiba, aku tidak tahu bagaimana menjawabnya. "Ndan... kenapa?"
"Aku merasa sudah menemukan belahan jiwaku yang hilang sayang. Terutama sejak malam itu, saat kamu membuatku orgasme di jok belakang... walaupun aku tak bisa melihat wajahmu dengan jelas saat itu, aku bisa merasakan kehangatanmu. Kehangatan tanganmu saat meremas-remas kontolku, saat mengocok kontolku... dan sejak aku menemukanmu, aku tak bisa berhenti memikirkanmu. Aku... aku rasa... aku jatuh cinta padamu Roberto... aku tahu ini sulit dijelaskan, bahkan kita tidak pernah berinteraksi sebelum malam itu dan malam tadi, tapi aku tahu kau lah yang bisa mengisi kekosongan jiwaku..." Ia memelukku; aku bisa merasa tubuhnya menghangat, lebih hangat daripada tadi. Mungkin ia tegang sendiri setelah mengatakan hal itu. Hal-hal yang semestinya hanya dikatakan oleh seseorang yang benar-benar jatuh cinta. Tapi dia... dia jatuh cinta padaku? Benar, aku tak mengenalnya, baru malam tadi saja. Sekarang ia memintaku menjadi... pacarnya?
"Ndan..." Hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutku. Aku tak tahu harus menjawab apa.
"Aku tahu ini terlalu mendadak Roberto sayang, mungkin kamu mau memikirkannya dulu," sambung polisi Fernando sambil mengelus kepalaku. "Aku akan menunggu jawabanmu, sekalipun pada akhirnya jawabanmu adalah tidak dan itu akan membuatku patah hati, namun aku menghargai jawabanmu, apapun itu." Aku terdiam dan mencoba berpikir. Toh aku tidak punya siapa-siapa, orang tuaku sudah entah di mana, dengan keadaanku seperti ini pun bagaimana aku bisa menikah dan berkeluarga sebagaimana mestinya. Aku belum tahu watak polisi Fernando, namun sepertinya ia orang yang baik, terlepas dari kegiatan seksnya yang mungkin juga aku berperan andil membuatnya seperti sekarang ini. Ah, ternyata kenakalanku mengocok kontol polisi waktu itu mengubah nasib seseorang... "Ndan, kita jalani dulu saja ya. Semoga kita cocok."
"Iya Roberto sayang, aku akan menunggu jawabanmu," jawab polisi Fernando lembut.

Sisa hari itu berlalu begitu saja. Selagi menunggu hujan reda, aku pun mencoba menjalin relasi dengan ngobrol dengan polisi Fernando, untuk mengulik pribadinya lebih jauh. Aku orangnya sebenarnya supel dan suka memperluas wawasan, dan sepertinya polisi Fernando juga demikian. Dari sebuah humor ringan hingga pembahasan serius seperti politik dan situasi ekonomi sekarang, tak terasa petang pun menjelang dan hujan pun berhenti. Kami pun keluar mencari makan malam dengan mengenakan jaket karena polisi Fernando tentu saja tidak membawa baju ganti. Selepas makan, hujan rupanya turun kembali, sehingga polisi Fernando akhirnya terpaksa menginap di kosku. Malam itu berlalu dengan paduan kasih antara aku dengannya, dan kali ini aku aktif mengentot polisi Fernando dalam berbagai posisi, mulai dari doggy style hingga sekedar nungging biasa, dan polisi Fernando tetap berperan sebagai polisi yang pasrah, yang butuh pertolongan pertama pada gairah seksualnya. Malam itu kami keluar hampir bersamaan, semakin menguatkan pikiranku bahwa ialah yang sepertinya ditakdirkan untuk menemaniku. Walaupun begitu, aku masih belum memberikan jawaban pasti pada polisi Fernando. Biarlah malam itu berlalu dengan pelukan hangatnya, mengisi kekosongan hidupku selama ini.
Hari demi hari pun berlalu, aku pun terus menjalin hubungan baik dengan polisi Fernando. Ia semakin sering bertugas ke bank di ruko tempat aku berjaga. Kalau aku tidak dapat shift malam, maka malam itu berakhir dengan hubungan seksual antara aku dan polisi Fernando di kosku. Kalau aku dapat shift malam, sesekali ia menemaniku berjaga, dan sesekali kami memadu kasih di taman sepi itu. Beberapa bulan kemudian, akhirnya aku memberikan jawaban ya pada pertanyaan polisi Fernando, dan sejak itu kami tinggal satu kos. Bosku sempat bertanya-tanya apakah kami butuh kamar yang lebih besar, namun aku menjawab tidak perlu, sebelum akhirnya aku malah dikontrakkan rumah oleh bosku yang baik itu; bosku bahkan tidak bertanya bagaimana bisa aku tinggal dengan seorang polisi yang biasanya punya mes sendiri. Tentu saja aku membalas budiku dengan menyanggupi permintaan bosku saat membutuhkan tenaga, dan sesekali polisi Fernando membantu juga di waktu selangnya.

Kehidupanku jauh berubah setelah memberikan pertolongan pertama pada polisi.

Jumat, 16 Desember 2022

[Catatan Fei] Seragam polantas yang baru...

Halo semua,

Kesibukan Fei akhirnya berkurang menjelang akhir tahun ini. Semoga sempet menelurkan cerita baru hehehe...

Yang follow Twitter Fei (yang belum follow, follow aja yah di @feirdand) mungkin sudah pada tahu kalau Fei baru tahu seragam polantas berubah. Sejujurnya sih, Fei lebih suka seragam dan atribut yang lama, terutama kopelnya itu yang bikin horny hihihi... namun namanya perubahan akan selalu terjadi, yah mungkin Fei harus membiasakan diri dengan seragam polantas yang baru dan membuatnya juga sama hornynya dengan seragam lama. Cuma, untuk beberapa saat, tulisan Fei mungkin masih pakai skema seragam yang lama. Harap maklum ya...

Barangkali juga ada yang belum tahu, coba aja Googling. Perubahannya terutama atribut-atribut logam itu hilang sih, diganti bordir semua. Yang bikin Fei agak kecewa sih desain kopelnya yang baru, jadi nggak ada kepalanya yang mengkilat itu, kaya kopel plastik biasa. Itu biasanya yang bikin Fei horny banget sama polantas. Rasanya Fei bakal perlu pembiasaan diri dengan kopel yang baru supaya Fei bisa nulis cerita-cerita polantas dengan seragam dan atribut yang baru. Fei sebenarnya punya sebagian atribut lama, yang sebenarnya Fei galau mau dibawa atau tidak, karena Fei akan pindah ke luar negeri untuk menempuh studi lanjut. Ada yang tahu nggak kira-kira aman nggak ya bawa atribut-atribut (lencana, tanda pangkat, monogram, kepala kopel) itu di koper? Kalau mau main aman sih, Fei bisa ganti ke seragam baru, walaupun jadinya butuh beli-beli lagi deh. Hobi ini ternyata mahal juga ya hehehe...

Gimana menurut kalian seragam polantas yang baru? Lebih bikin horny atau lebih suka yang lama? Kasih tahu Fei di kolom komentar ya!