Minggu, 07 Desember 2014

Penikmat Polisi

Entah dari mana aku mendapat julukan itu. Penikmat Polisi. Yah, memang aku menikmati mereka, namun mereka yang biasanya meminta kenikmatan itu.

Kau pasti tahu kenikmatan apa.

Perkenalkan, aku James. Yup, ada darah bule di dalam tubuhku, dan aku harus mensyukurinya. Badanku termasuk tinggi untuk ukuran orang Indonesia, hampir 190 cm. Beratku memang hampir 80 kg, namun itu semuanya bukanlah lemak. Aku rajin mengolah tubuhku, karena ayahku kebetulan seorang pengusaha fitness. Aku benar-benar kagum dengan ayahku, di usianya yang sudah tak terbilang muda lagi beliau masih rajin fitness. Tubuhnya masih terbentuk dengan baik. Tapi tentu saja, mana mungkin aku menikmati ayahku sendiri. Ayahku tidak tahu kalau aku penikmat pria.

Aku juga tidak pernah tahu bagaimana caranya ayah banyak menjaring pelanggan dari kalangan kepolisian, bahkan dia punya satu sanggar gym khusus untuk para polisi. Aku kebetulan menjadi salah satu pengurus gym itu, jadi yah mungkin dari situlah aku mendapat banyak kenalan polisi. Ada yang masih muda, ada yang sudah berumur, namun itu tidaklah menjadi halangan untuk seseorang merawat tubuhnya. Dan tentu saja, para perawat tubuh ini beberapa mempunyai tujuan lain. Untuk menarik sesama jenis.

Pengalaman pertamaku kebetulan sudah dengan seorang polisi, salah satu langganan gym-ku. Dia cakep, baik, suka bercanda, dan badannya tak kalah bagusnya denganku. Namanya Karisma, pacarku. Yah memang dia punya karisma itu; selain karisma seorang polisi, juga karisma seorang laki-laki sejati. Tapi, di balik jati dirinya itu, dia benar-benar maniak seks. Bahkan dia tidak sungkan-sungkan mengajak rekan-rekannya untuk berpesta seks denganku. Suatu hal yang tentu tak bisa kutolak.

Kalau dipikir-pikir, lucu juga kejadian aku dengannya. Dia rajin nge-gym di tempatku tiap hari Sabtu, atau kapanpun dia lepas dinas, dan dia selalu memanggilku Pak Bos. Ada banyak pelatih yang kusediakan, tapi dia meminta diriku sebagai pelatihnya. Mungkin dari situ mulai muncul bibit-bibit suka dirinya denganku, yang akhirnya bersemi menjadi cinta. Atau nafsu dulu yang mendahului? Aku ingat di suatu malam, tinggal dia yang masih nge-gym. Cuaca agak buruk di luar, hujan deras sudah tercurah dari langit sejak sore hari, dan belum ada tanda-tanda akan berhenti. Gym-ku jadi sepi karenanya, dan menjelang tutup ini hanya dia yang masih nge-gym. Akhirnya kami ngobrol-ngobrol macam-macam; dia memang suka ngobrol. Mulai dari kerjaan, komandannya yang suka bentak-bentak, rekannya yang kemayu, tugas aneh-aneh, sampai candaan biasa. Termasuk seks. Aku tidak menangkap tanda-tanda homoseksualitas darinya, apalagi karena ia bercerita tentang pengalamannya ngeseks dengan mantan pacarnya yang cewek. Entah siapa yang mulai terlebih dulu, pembicaraan seks itu semakin hot, dan tanpa sadar pembicaraan seks mulai menjurus ke seks sejenis. Sampai akhirnya dia duluan yang melihat tonjolan kontolku sudah terlalu besar bagi celana training-ku, dan dia duluan yang memainkan kontolku.

Dari situlah aku tahu, dia maniak seks. Malam itu, aku dan dia ngeseks sampai enam ronde. Staminaku tentu saja kuat berkat latihan selama ini, tapi tetap saja aku tidak mengira ada polisi yang maniak seks. Dan begitu mengetahui aku bisa memuaskan dirinya, ia pun meminta menjadi pacarku. Tentu saja kuterima; siapa yang tidak ingin berpacaran dengan polisi, sama-sama punya kontol, sama-sama suka main kontol (bahkan dia yang lebih suka)? Setiap pulang dinas dan setiap aku selesai kerja di gym, kami selalu bercinta. Entah sudah gaya apa saja yang aku dan dia coba, bahkan aku sampai juga dibuatkan seragam olehnya. Bahkan dia pernah kubuat ngecret di kantornya! Tentu saja dia masih berbusana lengkap dengan seragamnya yang berwibawa itu dan menunjukkan lekuk tubuhnya yang prima hasil dari nge-gym di tempatku, tapi sensasinya memang berbeda. Apalagi ditambah rasa takut ketahuan, orgasmenya benar-benar menyenangkan. Benar-benar polisi maniak seks.

Suatu hari, dia mengadakan pesta seks. Ada tujuh orang rekannya yang ikut, termasuk komandannya. Tema pesta kali itu, seks berbusana. Alias, kami tidak boleh melepas baju atau celana sama sekali, tapi membuka resleting masih diperbolehkan. Siapapun yang ketahuan melepas busananya akan mendapat hukuman. Tentu itu kesukaanku, melihat dan bermain langsung dengan para polisi yang masih berseragam lengkap. Dan kebetulan sekali, salah satu keahlianku adalah menggoda para pria yang masih berbusana lengkap. Karisma sendiri pernah kunikmati dengan masih berseragam lengkap, bahkan di ruang kantornya, dan ia ketagihan. Maka jadilah pesta seks itu pestaku; aku yang berkuasa. Rekan-rekannya tentu tidak terbiasa melakukan seks dengan masih berbusana.

Tanpa ragu lagi kudekati komandan polisi itu, dan langsung kucekal selangkangannya. Kuremas-remas bonggol komandan itu. Agak kaget, ia mengerang keras dan protes. "Pelan-pelan dong!"
"Ah masa gini aja ga kuat Ndan," cemoohku sambil meremas kontolnya lagi. Ia pun mengerang lagi. "Dasar... kalau bukan gara-gara permintaan Karis, kau pasti sudah masuk penjara! Jebol pantatmu pasti!"
"Kalau bukan aku yang menjebol pantat mereka duluan Ndan," ujarku sambil mengatur jemariku untuk remasan-remasan sensual. Dan benar saja, komandan itu akhirnya mendesah. Seorang polisi lagi mendekapku dari belakang dan meremas-remas kontolku dari balik celana jinsku, sementara polisi lain berada dalam jangkauan tanganku yang bebas dan kontolnya tak luput dari sasaran remasan tanganku. Karisma sendiri malah sudah mengerang-erang dihisap dua rekannya--ah dasar pacarku yang satu itu... "Kontol bule gede ya," ujar komandan itu sambil menepis tangan anak buahnya dan meremas-remas kontolku agak kasar, membalas perlakuanku tadi. "Menurut Komandan?"
"Raksasa." Memang, kontolku sangat besar untuk ukuran orang Indo. Panjangnya hampir 20 cm dan tebalnya 5 cm. Aku tidak disunat. Testisku mungkin sama besarnya dengan buah jambu--berlebihan kali ya? "Aku suka kontol jumbo." Tanpa permisi lagi ia langsung membuka resleting celanaku, mengeluarkan kontolku, dan menghisapnya. Polisi yang mendekapku dari belakang pun mulai menggesek-gesekkan kontolnya di pantatku, tegang dan keras. Dua orang polisi lagi menikmati remasan-remasan sensualku di kontol mereka yang terbalut celana coklat kepolisian. Kontol polisi-polisi itu mulai tercetak jelas di balik celana dinas mereka yang ketat. Aku berusaha sebisa mungkin menggerakkan tanganku naik turun di atas kontol kedua polisi itu, membuat gerakan mengocok. Satu orang polisi lagi mulai bergabung dengan komandannya dan mulai menjilati bola-bolaku. Telingaku terasa penuh mendengar erangan-erangan petugas penegak hukum itu, yang tentu saja membuat suasana menjadi semakin menggairahkan. Dan aku sendiri diladeni lima orang polisi! Aku harus menunjukkan keperkasaanku pada polisi-polisi itu. Sayang aku tidak bisa mengentot mereka kali ini, tapi biar lah, ada Karisma. Dia pasti bisa meyakinkan rekan-rekannya lagi untuk berpesta seperti ini. Mungkin perlu ada tema "kuda-kudaan", jadi siapapun bebas mengentot siapapun. Tentunya akan asyik bisa mengentot komandanmu sendiri!

Aku pun mengubah posisi. Komandan itu kusuruh tidur telentang di lantai, kemudian aku berlutut di depannya. Dia menjilati bola-bola kontolku, sementara aku menyuruh tiga polisi lain berdiri di depanku; satu orang persis di atas komandannya. Aku pun menggoda mereka bertiga dengan membuka resleting celana mereka: dua polisi kubuka resleting celananya dengan tanganku, yang satu kubuka dengan gigiku. Tentu saja membuka resleting celana menggunakan gigi itu susah, tapi aku sengaja menggodanya. Kontolnya cukup menggairahkan untuk ukuranku. Perlahan namun pasti resletingnya terbuka juga. Kukeluarkan batang kontol polisi-polisi itu--yang di depanku tentu saja kukeluarkan dengan tanganku, karena mulutku pasti tidak muat untuk masuk ke rongga celananya, lalu kumasukkan kontol polisi di depanku ke dalam mulutku serta kugenggam kontol kedua polisi di kiri-kananku. Aku pun bergerak maju mundur, mengocok kontol tiga polisi sekaligus. Aku yakin mereka belum pernah dikocok dalam waktu bersamaan seperti itu. Si komandan pun akhirnya memposisikan dirinya lebih nyaman dan menghisap kontolku, sementara seorang anak buahnya menghisap kontol si komandan. Kurasa Karisma bakal merasa iri melihatku dikerubungi lima orang polisi sekaligus. Siapa suruh ia berasyik mashyuk dengan rekannya terlebih dulu!

Bosan mengocok tiga polisi sekaligus, aku menyuruh mereka berbaris menyamping, tentunya setelah berganti posisi siapa yang di depanku. Si komandan entah mengapa terus menggelayut di kakiku, terus mengenyot batang kontolku. Polisi yang tadinya menghisap kontol si komandan kini juga berdiri di sebelahku; kulirik nama yang tertera di dadanya. Iya juga ya, aku bahkan belum berkenalan dengan para anggota ini! "Sebentar Ndan," ujarku sambil mendorong menjauh kepalanya dari kontolku. "Kok berhenti?" tanyanya protes. "Ikut baris dulu Ndan! Aku mau absen dulu!" Dengan agak enggan ia pun ikut berdiri berbaris di samping anak buahnya. Kulirik Karisma, ia masih sibuk dengan rekannya. Huh, awas ya, nanti kau ga kujatah sendiri! Aku pun mengalihkan perhatianku kepada lima polisi yang berbaris di depanku, dengan kontol mengacung tegak dan melelehkan precum. Aku menatap si komandan terlebih dulu. Kulihat nama yang tercetak di dadanya. Bimo. Berikutnya, nama anak buahnya... Satrio, Tri, Nugroho, Idris, Laksono. Perlukah kujelaskan masing-masing fisik mereka? Coba bayangkan sendiri saja yah, hehehe... tapi kalau memang harus kugambarkan... Bimo umurnya sekitar 35 tahun, perutnya sudah mulai menonjol ke depan, tapi kontolnya masih kelihatan panjang, sekitar 14 cm. Anak buahnya masih sekel-sekel, baju ketat seksi menonjolkan otot-otot lengan dan dada yang masih terawat. Hanya Nugroho yang perutnya sedikit mulai menonjol, sisanya masih datar--ah sayang sekali aku tidak bisa melihat dalamnya! Lain kali aku harus bisa melihat tubuh telanjang mereka. Untuk urusan kontol... keenam polisi itu rata-rata sama panjang kontolnya, antara 14 sampai 16 cm; cuma punya Tri saja paling mungil, hanya 12 cm, tapi dia tidak minder sama sekali. Tebalnya juga kurang lebih sama lah. Kontol Tri sebenarnya cukup menarik perhatianku; bentuknya cukup imut untuk orang berperawakan seperti dirinya. Dia cukup tinggi, sekitar 167 cm, dan badannya juga kekar, tapi kontolnya langsing. Yah mungkin memang ada yah orang kekar yang punya kontol mungil... ah biar lah, toh dia juga bisa ngaceng, bahkan sampai sekarang precum terus menetes dari ujung kontolnya.

Si komandan Bimo sepertinya tidak tahan lagi, karena ia akhirnya keluar dari barisan dan langsung kembali berlutut di depanku dan mengenyot-ngenyot batang kontolku. Aku pun menyuruh polisi Laksono yang paling tinggi untuk berdiri di depanku, mengangkangi komandan Bimo, dan kami berdua pun berciuman--sambil tak lupa kontol polisi Laksono kukocok-kocok. Ia mengerang kenikmatan tertahan dalam ciumanku; ia membalas silatan lidahku dengan ahlinya. Polisi Idris sepertinya iri dengan polisi Laksono, karena ia mendekat dan berusaha mendapatkan perhatianku dengan menggesek-gesekkan kontolnya di tanganku yang menganggur. Semula kuabaikan dirinya dengan sengaja, namun saat ia semakin intens menggesek-gesekkan kontolku, dengan cepat kugenggam kedua bola-bola kontolnya dan kuremas sampai polisi Idris berjingkat dan mengerang, lalu kuelus-elus batang kontolnya dan kukocok-kocok bergantian dengan polisi Laksono yang masih menciumku dengan ganasnya. Polisi Tri yang memelukku dari belakang dan kembali menggesek-gesekkan kontolnya ke pantatku, dan polisi Nugroho rupanya doyan juga dengan kontol komandan Bimo yang dihisap-hisapnya terus, sementara polisi Idris juga tidak mau menganggur dengan mengocok-ngocok kontol polisi Satrio. Polisi Tri dengan pintarnya menelusupkan tangannya ke dalam kaosku dan meraih kedua puting susuku. "Hey, curang tuh!" seru polisi Idris yang mengetahui perbuatan rekannya itu. "Kan yang ga boleh dilepas sama sekali," kilah polisi Tri. Aku sejenak berpikir, oh iya juga ya, betul juga pemikirannya. "Iya betul-betul, yang ga boleh dilepas sama sekali, tapi kalau masih nempel di badan boleh," timpalku. "Berarti aku juga boleh begini dong." Kulepaskan satu kancing baju polisi Laksono, lalu kutelusupkan tanganku ke dalam. Dia masih mengenakan kaos dalaman coklat khas polisi, tapi itu tidak menghalangiku untuk mendapatkan puting susunya untuk kucubit, kupeluntir, dan kuperkosa dengan tanganku. Polisi Laksono langsung mendesis dan mendesah panjang--rupanya itu titik sensualnya! Kontolnya yang menganggur langsung disambar polisi Idris untuk dikocok-kocok. "Aaaarrrgghhh... setaannn... njriiittt... gua mau keluaarrr...," si polisi Laksono meracau. Dan benar saja, badannya bergetar kemudian pinggulnya otomatis maju ke depan sebelum akhirnya kontolnya berkedut dan menembakkan pejuhnya, tembakan demi tembakan. Kuremas-remas bola-bolanya untuk mengokang "senjata" kejantanan polisi Laksono. Pejuhnya membasahi kaosku dan celana jinsku; pancarannya tinggi juga, sampai ke dadaku. Dan sialnya, komandan Bimo memutuskan untuk mengocok kontolku cepat-cepat. "Aaahhh.... shiiittt... harder pleaseee...," aku mengerang dikocok seperti itu, apalagi sekarang polisi Tri mulai nakal dengan memasukkan tangannya ke dalam celana jinsku untuk meraih pantatku dan merojok-rojok lubangku dengan jarinya. Bahkan polisi Idris pun mengerjaiku dengan mengoleskan pejuhnya ke kedua puting susuku dan memutar-mutar jari-jemarinya di situ. "Ohhh yeesss... shiittt... fuck... I wanna cuuummm..." Entah mereka mengerti racauanku atau tidak, tapi akhirnya aku juga mau keluar. Dan tanpa bisa dicegah lagi...

Crooottt...

Kumuncratkan spermaku tanpa pandang bulu lagi. Polisi Laksono tidak berusaha menghindar, ia membiarkan dirinya terkena muncratan spermaku. Dengan isengnya kuarahkan kontolku ke lencananya dan kutembakkan spermaku ke sana--berhasil. Ia sedikit mengumpat ketika tahu apa yang kuperbuat, namun akhirnya ia tertawa-tawa sambil membalas meremas bola-bola kontolku untuk memerah spermaku. Muncratan berikutnya mendarat di perutnya, di gesper ikat pinggangnya, di wajah komandan Bimo, dan entah di mana lagi--rasanya ada juga yang mendarat di rambut komandan Bimo. Komandan Bimo sepertinya cukup terobsesi dengan kontolku; dielus-eluskannya kontolku ke wajahnya yang sudah belepotan spermaku dan masih diurutnya dengan pelan, seakan ia ingin memerah habis persediaan spermaku. "Geli Ndan," ujarku sambil berjingkat kegelian. "Kontolmu enak betul," ujar komandan Bimo sambil malah menjilati kepala kontolku yang masih belepotan sperma. "Aaahhh shiiittt... stop it please..." Komandan Bimo masih saja menjilati kepala kontolku sampai bersih, lalu ia sendiri berbaring di lantai. "Gantian." Justru polisi Nugroho yang menikmati kontol komandannya; kubiarkan begitu saja. Aku pun berbalik menghadap polisi Tri dan ganti meladeninya seperti yang kulakukan ke polisi Laksono, tapi kubalas juga perbuatannya tadi dengan menelusupkan tanganku ke bokongnya yang seksi itu. Polisi Laksono hanya membantu menciumi komandannya sambil memainkan puting susu komandannya. Polisi Satrio hanya berdua dengan polisi Idris mengambil posisi 69 dan saling menghisap kontol. Di salah satu sudut ruangan, kudengar suara pacarku polisi Karisma mengerang panjang. Sepertinya ia hendak muncrat, karena berikutnya disusul dengan suara terengah-engah, diselingi suara terbatuk-batuk. Aku sedikit tertawa membayangkannya; pacarku polisi Karisma memang kasar kalau keluar di mulutku, dia pasti menghunjamkan kontolnya dalam-dalam. Aku sih sudah terbiasa, tapi rekannya sepertinya tidak. Aku mendengar satu erangan lagi yang agak aneh, jadi kutengok ke arah suara itu. Ya ampun, ternyata itu suara rekannya yang satu lagi, kontolnya diremas Karisma kuat-kuat sambil dirinya sendiri muncrat... mungkin polisi itu lebih suka disakiti kali ya. Menarik juga untuk bermain kasar dengannya, tapi aku harus membuktikan dugaanku dulu. Dan di sini masih ada komandan Bimo, polisi Idris, polisi Tri, dan polisi Satrio yang belum muncrat.

Ups... ternyata aku salah. Tanpa pemberitahuan, polisi Tri ternyata orgasme. Orangnya benar-benar kalem, bahkan erangannya tidak sekeras rekan-rekannya, tapi menurutku masih boleh lah. Ya bukan seperti erangan cowok banci; gerakannya tidak kemayu--malah rasanya polisi Idris yang kemayu. Polisi Tri juga tidak menembakkan spermanya; cairan putih kental itu hanya meleleh saja dari ujung kontolnya. Yang agak lucu, polisi Idris langsung berlutut di depan polisi Tri, membuka mulutnya dan membiarkan sperma polisi Tri meleleh jatuh ke dalam mulutnya. Ketika tetesan sperma polisi Tri berhenti, polisi Idris pun menelan sperma yang tertampung di mulutnya sambil memasang raut wajah keenakan. Agak najis juga aku melihat wajahnya, tapi ya sudah lah...

Dan entah setan apa yang merasuki si komandan, aku mendengarnya berkata, "Ah persetan dengan aturan! Idris, entot aku!" Ha? Ga salah dengar kah aku? Si komandan mau di-fuck polisi kemayu seperti Idris? Masih ada yang lebih manly ndan! Karisma--ah tapi dia pacarku!, Laksono, Nugroho... Tanpa bisa dicegah siapapun, si komandan Bimo membuka sabuknya, kait celana coklatnya, dan langsung memelorotkan celananya, walaupun hanya sebatas lutut. Tetap saja, itu melanggar kesepakatan awal bahwa tidak boleh ada selembar pakaian pun yang... dilepas? Komandan Bimo tidak melepasnya! Hmmm... berarti bisa nge-fuck nih, hahaha...

Di ruangan itu ada sebuah ranjang yang tidak terpakai, hanya sesekali digunakan kalau ada tamu yang menginap. Atau untuk pesta seks seperti sekarang. Maka ranjang itu pun diturunkan, dan polisi Idris pun berbaring di atas ranjang itu sambil mengocok-ngocok kontolnya supaya tetap tegang, sementara komandan Bimo pun bersiap-siap. Komandan Bimo pun mengambil posisi, dan ia langsung menduduki kontol Idris. Wah rupanya si komandan sering di-fuck nih, kontol Idris dengan mudahnya masuk ke dalam pantat si komandan. Si komandan pun mencondongkan tubuhnya mendekati polisi Idris, dan ia pun mulai menggenjot kontol anak buahnya itu. Polisi Idris mengerang-ngerang keenakan sambil meraba-raba dada bidang komandan Bimo. Aku hanya memperhatikan mereka berdua, sementara pacarku polisi Karisma bergabung bersamaku. Ia menciumku, namun aku jaim dengan menjauhkan mukanya. "Bentar ah, ada tontonan menarik nih!" Ia tidak menyerah, menggelayut di badanku sambil memain-mainkan putingku. Aku tetap pura-pura tidak merasa keenakan, walaupun ia tahu persis kelemahanku di situ. Komandan Bimo dan polisi Idris berlomba-lomba mengerang keenakan; aku jadi terangsang lagi, apalagi ketika pacarku polisi Karisma ternyata sudah berlutut di depanku dan mengisap-isap kembali batang kontolku sambil menusuk-nusukkan jarinya ke lubang pantatku.

Tapi yang membuatku lebih terangsang adalah kejadian berikutnya. Kejadian yang sangat-sangat langka.

Polisi Satrio yang habis dihisap rekannya polisi Laksono menyusul berdiri di belakang Komandan Bimo dan memegang badannya erat-erat. "Sat? Kok lu berhentiin?" tanya polisi Idris.
"Ntar Dris, emangnya cuma lu aja yang enak ngentot Komandan? Gue juga mau!" Polisi Satrio memosisikan dirinya, mencondongkan badan Komandan Bimo hingga benar-benar tiduran di atas tubuh polisi Idris. "Eh eh Sat, ngapain lu?" Komandan Bimo kebingungan.
"Udah Ndan, nurut aja!" perintah polisi Satrio. "Komandan kan yang duluan lepas celana, jadi Komandan harus dihukum!"
"Eh siapa juga yang lepas baju!" Komandan Bimo hendak protes, namun polisi Idris refleks memeluk komandannya itu dan menciumnya. Komandan Bimo masih protes dalam ciuman itu, walaupun akhirnya sedikit melunak, sehingga polisi Satrio akhirnya bebas melakukan apa yang ia mau.

Dengan perlahan-lahan ia mulai menusuk pantat Komandan Bimo dengan kontolnya!

Tidak siap, Komandan Bimo mengerang sekuat-kuatnya. Sekalipun lubang pantatnya sudah cukup besar, batang kontol polisi Satrio rupanya lebih besar dari lubang yang masih menganga. "Aaaahhh... seret banget Ndan!" erang polisi Satrio, tidak peduli kalau itu komandannya! "Gilaaaa luuu Saaattt!!!" umpat Komandan Bimo sambil meringis menahan sakit; refleks ia hendak bangkit berdiri namun polisi Laksono dengan sigap menahannya. "Lepasin oi!" bentak Komandan Bimo. "Kurang ajar lu lu ini, sekongkol ya rupanya!"
"Ya kapan lagi bisa double fuck komandan sendiri!" ujar polisi Satrio bersemangat, dan ia melesakkan kontolnya lebih ke dalam lagi. Raungan Komandan Bimo yang kesakitan semakin menggema di ruangan itu. Polisi Idris sendiri mengerang keenakan; gesekan kontolnya dengan kontol polisi Satrio dan dinding anus komandannya yang penuh itu memberikan kenikmatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tidak berani menggenjot kontolnya takut lepas dari pantat Komandan Bimo, jadi ia menikmatinya saja.
Dan akhirnya polisi Satrio pun menggenjot komandannya! Pertama pelan-pelan, ia tetap menghormati komandannya jadi ia tidak ingin menyakiti komandannya terlalu parah. Komandan Bimo tetap saja berteriak kesakitan; belum pernah ia disodok dua batang kontol sekaligus. Polisi Laksono mengelus-elus punggung komandannya itu, seakan-akan itu bisa meringankan beban kesakitan Komandan Bimo. Rekan ngisap pacarku polisi Karisma tadi, namanya Bayu, berdiri di sebelah Komandan Bimo, menaruh tangan komandannya di atas kontolnya, dan membiarkan komandannya itu meremas kontolnya untuk pegangan saat si komandan kesakitan--sekarang aku yakin polisi Bayu ini lebih suka disakiti; kapan-kapan aku harus coba main kasar dengannya. Polisi Satrio mulai mempercepat sodokannya. "Ohhhh yeesss... fuuuuckkk... bool Komandan sempiiittthhh... aaaahhh..." Polisi Idris tidak mau kalah, ia juga melontarkan kata-kata kotor untuk komandannya. "Aaaahhh... Ndannnn... sereeettthhh... mmmhhh... aku sukaaaahhh... yeeesss... genjot lagi Saaattthhh... aaakkkhhh..." Polisi Tri dan polisi Nugroho tidak tinggal diam; mereka ikut serta dalam pergumulan itu dengan berdiri mengapit kepala polisi Idris; kontol kedua polisi itu kembali mengeras saat mereka berciuman dan polisi Idris menggerayangi kedua kontol polisi itu. Saat Komandan Bimo akhirnya pasrah dientot dua anak buahnya sekaligus dan tidak lagi meronta, polisi Laksono akhirnya berdiri di belakang polisi Nugroho, memelorotkan celana coklatnya sampai pantat sekelnya tampak, dan tanpa ba bi bu mengentot rekannya itu. Aku hanya bisa menonton dari jauh kejadian langka itu sambil tetap dihisap pacarku polisi Karisma. Tujuh orang penegak hukum bergumul menjadi satu dalam permainan kontol yang menggairahkan; tak ada lagi batasan antara junior dan senior. Pemandangan yang sangat langka! Semuanya menikmati saat-saat itu, yah, kecuali mungkin Komandan Bimo. Suara erangan demi erangan para polisi itu menikmati rangsangan di kontol mereka, kecipakan tubuh beradu satu sama lain, kecipakan basahnya kontol yang dilumeri entah pelumas entah precum entah air liur untuk dikocok, kata-kata kotor entah apa saja yang sudah dilontarkan, semuanya benar-benar menambah panas malam itu.

Sampai akhirnya, entah siapa dulu yang memulai. Sepertinya polisi Satrio, karena ia yang melolong panjang duluan. "Aaaahhhh ssshhhiiiitttt... gue mau ngecrooottthhhh... Terimalah ini Ndaann!!! Oooooooggghhhh..." Ia melesakkan kontolnya dalam-dalam, membuat Komandan Bimo tersentak. "Aaaarrrggghhh!!!!!" Tapi, di saat bersamaan, kontol polisi Satrio berkedut dan memuncratkan cairan kejantanan pemiliknya ke pantat Komandan Bimo. Sodokan polisi Satrio sepertinya menyentuh titik puncak Komandan Bimo karena kemudian tubuhnya bergetar dan erangan panjang yang sama juga meluncur dari mulutnya. "Oooohhh... Saaattt..." Tubuh kedua polisi itu berkedut-kedut ketika mereka tiba di puncak kenikmatan. Kedutan pantat Komandan Bimo saat orgasme dan licinnya sperma polisi Satrio membuat kontol polisi Idris pun berkedut-kedut. "Aaaaahhhh yeeeessss.... akuuu keluaaaarrrr..." racau polisi Idris sebelum akhirnya tubuhnya pun berkedut-kedut. Ketiga polisi itu mengerang bersamaan, membuat polisi-polisi lain ikut terpacu untuk orgasme bersama. Polisi Bayu ternyata menyusul terlebih dahulu setelah remasan panjang yang mengiringi orgasme komandannya juga mengantarnya orgasme; celana dinasnya mulai bernoda gelap, basah oleh spermanya sendiri. Polisi Tri orgasme diam-diam, spermanya menetes ke mulut polisi Idris, sementara akhirnya polisi Nugroho dan polisi Laksono yang mengentotnya orgasme bersamaan. Muncratan demi muncratan sperma pun menodai seragam polisi Tri, mendarat di muka polisi Idris (yang dengan nakalnya polisi Tri oleskan di seluruh muka rekannya itu). Aku sendiri sangat terangsang melihat lelehan sperma dari pantat Komandan Bimo dari sperma dua polisi itu, serta muncratan dan tetesan sperma dari polisi-polisi lain. Akhirnya aku sendiri menyerah di hisapan pacarku polisi Karisma; kuhadiahi dia sperma kasih sayangku.

Setelah satu rangkaian orgasme itu, kami semua kelelahan. Tidak ada yang membersihkan diri; seragam para polisi itu belepotan sperma di mana-mana. Entah bagaimana mereka akan membersihkannya nanti, atau menjelaskan pada istri mereka, tapi yang jelas aku sangat menikmati permainan malam itu. Melihat tujuh orang polisi terkapar di lantar kelelahan dengan seragam lengkap namun kontol menjulur keluar dari resleting celana mereka sebenarnya sudah cukup untuk membuatku terangsang kembali, apalagi pacarku masih belum orgasme untuk kedua kalinya. Polisi Karisma pun tahu semua sudah kelelahan, maka dia hanya mengocok-ngocok kontolnya sendiri sampai muncrat, itu pun dia sengaja muncratkan di atas rekan-rekannya. Bau sperma memenuhi ruangan itu; entah bagaimana aku bisa membersihkannya nanti atau menjelaskannya pada ayahku kalau ia sewaktu-waktu datang. Ah, itu urusan belakang lah! Malam masih panjang, dan masih banyak yang bisa dinikmati dari para polisi itu. Pelan-pelan kuelus-elus bergantian kontol polisi-polisi itu, melihat siapa saja yang masih memiliki tenaga untuk ronde berikutnya.
Dan jangan salah, ada saja yang kontolnya kembali bangkit! Haruskah kuceritakan juga ronde-ronde berikutnya malam itu?

Itulah salah satu kisahku, kisah si penikmat polisi. Menyenangkan? Mungkin. Yang jelas, selama aku masih ada, aku akan selalu menikmati benda itu. Kontol polisi.

Minggu, 12 Oktober 2014

[Catatan Fei] Quick update

Halo semua,

Singkat saja yah, catatan ini cuma untuk memberi tahu teman-teman semua, ke mana Fei selama ini, kok nggak ada cerita baru. Iya saya tahu semua pada nunggu-nunggu cerita baru, tapi saya bener-bener nggak sempat nulis, bahkan balas komentar saja atau buka blog ini saja nggak. Yang ngikutin Facebook atau Twitter saya pasti tahu kalau selama dua bulan terakhir ini saya benar-benar sibuk karena ada proyek dan sering lembur, bahkan sampai hasil periksa darah menunjukkan kalau ada gangguan di hati dan kolesterol. Tapi sekarang proyeknya sudah selesai, jadi saya bisa beristirahat sejenak.

Untuk cerita, saya sudah menulis Penikmat Polisi, sudah separuh jadi, tinggal menyelesaikan saja. Saya nggak bisa janji selesai secepatnya, terutama kalau tiba-tiba ada sesuatu urgen tentang proyeknya (mudah-mudahan saja nggak ada). Atau mungkin teman-teman mau baca sebagian, dibuat bersambung seperti biasa? Tapi jujur saja, ceritanya masih pendek dibandingkan cerita-cerita sebelumnya, dan sepertinya agak garing karena saya sendiri sudah lama sekali nggak bercinta atau nonton film porno gay, terutama setelah pemblokiran di sana-sini oleh pak menkominfo kita tercinta (dan kebetulan juga laptop habis diinstal ulang). Sama BF sendiri saja belum keturutan, hehehe...

Kalau ada yang mau saran untuk ceritanya, boleh sekali, saya tunggu yah.

Jumat, 27 Juni 2014

[Catatan Fei] Summer Break (2)

Halo semua,

Setelah lama tidak ada kabar dan cerita baru, saya rasa saya perlu menjelaskan sedikit kegiatan saya sekarang. Terima kasih berkat dukungan dan doa teman-teman sekalian, akhirnya saya bisa menyelesaikan studi dan tinggal menunggu wisuda, sebelum akhirnya kembali ke dunia kerja seperti biasanya. Nah, setelah ketegangan yang begitu intens, tentu sebaiknya merilekskan diri, ya kan? Untuk itu, beberapa bulan terakhir (hingga bulan Juli ini) saya manfaatkan untuk menyegarkan diri dulu, terutama karena keluarga sedang berkumpul lagi bersama, sekaligus juga untuk menghormati teman-teman yang akan menjalankan ibadah puasa. Setelah itu, semoga saya bisa melanjutkan cerita-cerita yang belum terselesaikan. Jujur saja, cerita Mangsa Malam Hari bagian ketiga masih belum ditulis karena saya kehabisan ide. Cerita-cerita lain pun sudah ditulis, tapi masih menggantung di draf. Entah kenapa saya benar-benar tidak ada ide lagi...

Salah satu penyebabnya mungkin adalah karena akhirnya saya menemukan yang saya idam-idamkan selama ini. Kalau ada yang baca cerita Angan-angan yang menjadi kenyataan, di akhir cerita ada catatan kecil untuk "sayang." Ya, itu catatan untuk kekasih saya saat ini, seorang tentara yang saya tuliskan ceritanya tersebut (namanya tentu saja bukan Andi). Walaupun terpisah jarak, kami berdua sepakat untuk terus menjalin hubungan ini (dan kebetulan sampai sekarang kami belum bertemu satu sama lain). Mungkin itu yang menyebabkan fantasi-fantasi saya menguap begitu saja (yah, memang ketika ngocok saya masih membayangkan polisi, namun sekarang saya bisa dan lebih sering membayangkan kekasih saya). Dia memang mengizinkan saya untuk melanjutkan menulis (bahkan katanya dia juga menunggu-nunggu kelanjutan cerita), tapi... entah ya, fantasi-fantasi itu belum dan sulit muncul lagi.

Karena itu, harap maklum yah. Mungkin saja saya akan mulai menuliskan fantasi saya dengan tentara kekasih saya (dan memang porsi tentara di blog ini sangat minim, terutama karena saya jarang sekali melihat tentara di jalanan), tentu dengan seizinnya. Kami berdua memang belum pernah bercinta secara langsung, tapi saya sering menggodanya di YM. Doakan supaya kami berdua bisa cepat bertemu yah :)

Itu saja dulu, sampai ketemu di cerita berikutnya.

Fei

Kamis, 24 April 2014

[Catatan Fei] Update...! (bagian 2)

Oke, catatan sebelumnya mungkin cuma reaksi meletup atas status Facebook yang tiba-tiba muncul untuk menagih cerita baru.

I tell you, I have a life.

Saya juga punya kehidupan sendiri di luar kegiatan tulis-menulis dan berfantasi dengan polisi, tentara, atau satpam, yang semuanya hanya fantasi belaka alias belum (atau mungkin tidak akan pernah) terwujud. Jujur, saya lelah dengan kehidupan seperti ini. Bukan berarti lalu, eh, pembaca, saya carikan polisi/tentara/satpam dong untuk ML!, atau, eh, pembaca, kamu polisi/tentara/satpam? ML yuk?, nggak seperti itu juga lah. Ya memang saya ingin melakukan itu, tapi kalau bisa berteman dalam jangka panjang (tidak melulu berlandaskan ML), itu akan lebih baik. Percaya atau tidak, baru satu teman sejati (bahkan boleh saya bilang, pasangan) yang saya dapatkan melalui blog ini setelah empat tahun lebih blog ini rilis.

Jadi, kalau berteman di Facebook, YM, atau lainnya, mbok ya jangan tiap kali kirim pesan atau komentar status, tanyanya, "Mana cerita barunya? Kok ga ada? Kok lama amat?" Sudahkah Anda membaca catatan-catatan saya sebelumnya, entah itu yang ini atau yang ini? Jangan marah kalau saya tidak membalas pesan Anda; saya malah sudah sangat lebih dari siap untuk memutuskan pertemanan dengan Anda.

Malas baca? Oke, saya rangkum deh:

  1. Saya menulis tidak langsung jadi. Jangan dibayangkan nulis dalam sekali duduk langsung jadi dan hasilnya bagus; kalau iya, saya pasti sudah kaya raya sebagai novelis atau penulis skenario film. Coba lihat draf-draf yang sudah terbit. Banyak? Itu karena alasan berikutnya.
  2. Saya orangnya perfeksionis. Kalau ada draf yang akhirnya ngelantur, adegannya biasa-biasa saja, atau menurut teman nggak bagus, draf itu akan dibuang.
  3. Saya menulis hanya kalau minat. Sudah terbukti menulis saat tidak ada minat hasilnya tidak bagus.
  4. Saya punya pandangan, kualitas di atas kuantitas. Kalau mau kuantitas, MOTN banyak cerita. Saya tidak ingin bersaing dengan blog lain yang banyak cerita tapi isinya hanya ngambil dari blog lain (termasuk blog ini). Ya syukur-syukur kalau ada blog lain yang ceritanya banyak, orisinil, dan bagus-bagus; kalau nemu saya pasti sudah rekomendasikan selagi menunggu cerita baru jadi.
Masih belum paham juga? Ya good luck deh.


Buat yang lain, maaf yah kalau saya sampai menumpahkan kekesalan saya di sini. Harusnya ngomong langsung dengan orangnya saja lebih baik, tapi karena ada lebih dari satu orang yang sama, tapi di jaringan yang berbeda, saya rasa lebih baik pesan tersebut dijadikan satu saja di sini, supaya energi saya tidak terkuras untuk sebal gara-gara pertanyaan yang sama diulang-ulang terus (menjawabnya juga capek).

Kebetulan hari ini teman kamar sedang keluar seharian jadi saya bisa menulis di blog ini. Pikiran masih penuh sebenarnya, tapi saya coba sambung sedikit-sedikit beberapa draf yang kemarin.

Untuk bonus, nih satu draft lagi, tapi saya nggak terlalu yakin hasil akhirnya bakal tetap.

Penikmat Polisi


Tanpa ragu lagi kudekati komandan polisi itu, dan langsung kucekal selangkangannya. Kuremas-remas bonggol komandan itu. Agak kaget, ia mengerang keras dan protes. "Pelan-pelan dong!"
"Ah masa gini aja ga kuat Ndan," cemoohku sambil meremas kontolnya lagi. Ia pun mengerang lagi. "Dasar... kalau bukan gara-gara permintaan Karis, kau pasti sudah masuk penjara! Jebol pantatmu pasti!"
"Kalau bukan aku yang menjebol pantat mereka duluan Ndan," ujarku sambil mengatur jemariku untuk remasan-remasan sensual. Dan benar saja, komandan itu akhirnya mendesah. Seorang polisi lagi mendekapku dari belakang dan meremas-remas kontolku dari balik celana jinsku, sementara polisi lain berada dalam jangkauan tanganku yang bebas dan kontolnya tak luput dari sasaran remasan tanganku. Karisma sendiri malah sudah mengerang-erang dihisap rekannya--ah dasar pacarku yang satu itu... "Kontol bule gede ya," ujar komandan itu sambil menepis tangan anak buahnya dan meremas-remas kontolku agak kasar, membalas perlakuanku tadi. "Menurut Komandan?"
"Raksasa." Memang, kontolku sangat besar untuk ukuran orang Indo. Panjangnya hampir 25 cm dan tebalnya 6 cm. Aku tidak disunat. Testisku mungkin sama besarnya dengan buah jambu. "Aku suka kontol jumbo." Tanpa permisi lagi ia langsung membuka resleting celanaku, mengeluarkan kontolku, dan menghisapnya. Polisi yang mendekapku dari belakang pun mulai menggesek-gesekkan kontolnya di pantatku, tegang dan keras. Dua orang polisi lagi menikmati remasan-remasan sensualku di kontol yang terbalut celana coklat kepolisian.

[Catatan Fei] Update...!

Ada yang meminta saya untuk menulis update secepatnya, jadi ya...

Ini update terbaru blog ini. Selamat menikmati.

Minggu, 06 April 2014

Angan-angan yang menjadi kenyataan...?

Cerita ini hanyalah rekaan semata, kesamaan nama dan tempat hanyalah kebetulan belaka. PERINGATAN: Konten ini mengandung materi dewasa dan homoseksualitas. Jika Anda tidak dapat menerima materi ini, segera tinggalkan blog ini.

Cerita ini mungkin tidak seperti biasanya yang penuh dengan adegan-adegan seks semata. Kali ini saya mencoba untuk menuliskan lebih banyak sisi romantis, yang sudah saya dambakan sejak lama. Semoga tulisan ini berkenan.

Tulisan ini kubuat untuk seseorang yang spesial, nun jauh di sana.

Sebagai manusia, tentu kita pernah berangan-angan. Tentunya kita ingin agar angan-angan itu tidak hanya jadi bunga tidur biasa, namun menjadi kenyataan. Hingga pada suatu titik ketika angan-angan itu seakan-akan mustahil untuk terwujud.

Namun di saat yang tak terduga, angan-angan tersebut terwujud.

Perkenalkan, namaku Fei. Yah mungkin sama dengan nama penulis blog ini, tapi Fei adalah sebuah nama yang cukup umum. Wong Fei Hung misalnya, walaupun itu nama fiktif. Aku juga penulis blog, serupa dengan blog ini, dan kebetulan sekali aku punya fetish yang sama, yaitu terhadap polisi, tentara, dan satpam. Intinya, pria berseragam lah. Aku selalu menganggap mereka keren, macho, jantan--Anda boleh tidak setuju, tapi namanya angan-angan, boleh kan? Aku sendiri mungkin bukan tipe orang yang diinginkan pria pada umumnya: badanku biasa-biasa saja (aku tak pernah menganggap perlu membentuk otot karena kehidupanku memang tak membutuhkannya), aku berkaca mata, dan mungkin menurut beberapa orang aku tidak ganteng. Seperti keinginan si pemilik blog ini, aku juga punya angan-angan yang sama, yaitu berteman dengan polisi, tentara, atau satpam, dan suatu saat nanti aku bisa bercinta dengan mereka. Itulah sebabnya aku juga memulai menulis angan-anganku dalam sebuah blog. Sesekali aku terinspirasi dari blog ini, sesekali blog ini terinspirasi dari ceritaku, dan kami kadang-kadang bertukar pikiran. Namun, seiring waktu berjalan, angan-anganku tak terwujud juga, sehingga aku mulai kehilangan motivasi untuk membuat cerita-cerita baru. Cukup banyak yang menunggu-nunggu ceritaku, dan sudah sering kali aku membuat mereka kecewa dengan membiarkan mereka lama menunggu tanpa kepastian, namun mau bagaimana lagi. Aku tak punya motivasi lebih lanjut untuk membuat angan-anganku terwujud.

Hingga suatu hari, seseorang menambahkanku di YM. Sebut saja namanya Andi. Pertama kali aku melihat foto profilnya, aku cukup terkejut. Ternyata dia seorang tentara! Tapi, yah, namanya foto profil, tentu bisa saja dia pakai foto orang lain, siapa tahu. Tapi aku tidak memusingkan hal itu dulu, yang penting aku bisa berteman baik dengannya dulu. Bisa bercinta itu bonus belakangan. Dia menemukan blogku secara tidak sengaja dan dia suka. Akhirnya ada juga anggota yang menyukai blogku! Aku sempat merasa tersanjung dibuatnya. Hari demi hari berjalan, aku terus berkomunikasi dengannya, dan dia pun orangnya ramah, baik hati, kadang humoris. Bisa masak sendiri--satu hal yang selalu aku irikan. Mungkin suatu saat aku bisa merasakan masakannya yah. Kadang-kadang dia memintaku membuat cerita baru; yah jujur saja, hanya dia yang sanggup meminta dengan baik sehingga motivasiku untuk menulis cerita kembali muncul, tidak seperti mereka yang hanya minta dan minta tapi menghilang ketika aku minta untuk menulis cerita mereka sendiri untuk kuterbitkan. Dan dia ganteng. Kami pun jadi akrab, walaupun kami jarang sekali ngobrol masalah seks. Dia pernah bertanya, lebih suka polisi yah daripada tentara. Aku agak merasa bersalah karena ceritaku di blog memang dominan polisi; suatu saat nanti aku harus memperbanyak cerita tentang tentara...

Suatu hari, setelah studiku selesai dan aku kembali bekerja di Indonesia, aku mendapat tugas untuk menghadiri sebuah seminar di Jakarta. Seminar itu berlangsung lima hari. Dalam hati, aku berpikir, pasti bosan nih lima hari di Jakarta, apalagi kota itu macetnya luar biasa. Kemudian aku bercerita tentang hal ini ke Andi.
"Aku ada tugas seminar di Jakarta nih."
"Oh ya? Sama siapa?"
"Sendirian aja sih..."
"Berapa lama?"
"Lima hari."
"Wah lama juga yah. Nginap di mana?"
"Eeee... belum nyari sih... bisa minta dicarikan kantor biasanya, tapi aku belum tanya-tanya lagi."
"Seminarnya di daerah mana memang?"
Aku pun menyebutkan nama suatu daerah di Jakarta.
"Lho dekat sama kontrakanku. Mau nginap?"
"Eh?" Sejenak aku tidak bisa berkomentar. Nggak salah baca kah ini? Dia menawari aku nginap di rumahnya? Setelah dengan bodohnya di awal perkenalan kami aku bilang nggak bisa jadi pacarnya?
"Daripada di hotel sendirian. Aku di rumah juga sendirian.
:)"
Ah, smiley itu. Dia sering sekali menggunakannya. Entah kenapa aku selalu luluh kalau dia tersenyum, walaupun lewat YM.
"Nggak ngganggu kah?" Aku memang orangnya gampang sungkan.
"Nggak kok.
Lagian nanti aku bisa masakin.
Katanya pingin nyoba?"
"Iya sih, penasaran, hehehe
:)
Kalau nggak malas ya"
"Siap Ndan!"
"Kapan berangkat?"
"Lusa."
"Naik apa?"
"Biasanya pesawat sih..."
"Oke, kabari aja pesawatnya jam berapa, ntar aku jemput."
"Eh jangan, kalau lagi dinas gimana? Aku bisa naik taksi kok."
"Gpp, ngirit lho.
Taksi ntar mahal kalau kena macet."
"Iya sih, hehehe..."

Dan akhirnya hari yang kutunggu-tunggu pun tiba. Aku sudah berpesan pada orang admin untuk membatalkan hotelku karena aku menginap di rumah teman, dan tiket pulang dibelikan hari Minggu saja, sekalian weekend di sana (toh kantorku cuma lima hari kerja). Pesawatku kebetulan agak siang dan aku sampai di bandara Cengkareng. Andi tidak memberiku nomor telepon--yah, aku tahu dia pastinya jaga privasi, namun dia tetap menyalakan YM. Begitu sampai di terminal kedatangan, kukontak dia.
"Sudah sampai nih." Aku nggak berharap dia bakal menjawab sekarang. Kulihat jam tanganku, sekitar pukul setengah dua siang. Lapar sih... apa makan dulu ya sambil nunggu dia jawab...
"Oke Bos, sudah siap." Aku pun melihat sekeliling. Waduh yang mana ya orangnya...
"Di mana?"
"Kamu sudah di pintu terminal X kan?"
"Sudah."
"Bentar." Aku pun keluar dari pintu terminal X dan menunggu. Sambil menunggu, aku BBMan seperti biasa dengan teman-temanku, sampai tak menyadari seseorang mendekat.
"Fei?" Aku langsung menoleh ke asal suara itu. Seorang tentara berpakaian hijau loreng dan memanggul tas punggung berdiri di depanku. Sejenak aku bingung siapa dia dan mengapa dia bisa tahu nama aliasku, tapi kemudian aku sadar. "Andi?"
"Wah pake loading dulu nih?" candanya dan kami berdua pun tertawa. Aku pun berdiri dan menyalaminya, dia pun membalas salamku dengan mantap dan tersenyum. Ya ampun, senyumnya lebih manis daripada smiley YM! Hampir saja aku lemas dibuatnya. Badannya lebih tinggi dariku, kepalaku hanya setinggi dadanya. Dan wajahnya... benar-benar manis! "Udah nunggu lama nih?"
"Eee... nggak juga kok. Nggak dinas kah?"
"Jam makan siang, tapi aku sudah ijin kok kalau bakal kembali agak telat."
"Eh? Ga pa pa kah? Ga dihukum ntar?"
"Udah tenang aja," jawabnya sambil menepuk pundakku. "Kau tamu istimewa seminggu ini, jadi harus dilayani dengan istimewa."
"Ah bisa aja... eh beneran lho, jangan sampai aku ngganggu kerjaanmu."
"Nggak kok. Yuk makan siang dulu!" Ia sempat bersikeras membawakan tas pakaianku dan aku pun tidak bisa menolaknya. Kami menuju tempat parkir motor. Ia pun menyerahkan helm untukku. "Sori rada butut, maklum..."
"Ga masalah kok." Ia menaruh tasku di bawah lalu mengubah tas ranselnya supaya berada di depan sehingga aku bisa duduk di jok motor. "Pernah dibonceng kan?"
"Pernah kok."
"Hehehe, siapa tahu... kalau takut pegangan aja ga pa pa, kapan lagi bisa meluk tentara, hehehe..." Aku hanya tersenyum malu. "Rumahku agak jauh dari sini, sekitar 45 menit nanti." Aku hanya mengangguk ketika ia mulai menyalakan motornya. Berhubung terasa agak goyah, aku pun refleks memeluk perutnya. Sudah bisa kuduga, perutnya cukup berisi, pasti dari hasil latihan. Dia tidak berkomentar dan mulai memacu motornya meninggalkan bandara.

Sepanjang perjalanan aku tidak banyak berbicara--yah, aku memang orangnya pendiam--kecuali dia yang mengajak bicara, selain memang aku tidak terbiasa berbicara ketika dibonceng dan mengenakan helm teropong. Dia sama sekali tidak keberatan ketika entah berapa kali sudah pelukanku melorot gara-gara jalan yang berguncang dan tanganku menyentuh bagian yang kuidam-idamkan selama ini, namun tiap kali itu terjadi, aku selalu cepat-cepat membetulkan posisi tanganku. Pertama kali dulu ia pernah bercerita, ia tidak ingin melakukan itu dengan sembarang orang. Jadi aku harus menghormati perkataannya. Entah apakah aku bisa menjadi orang yang spesial itu untuknya...
Sampai entah kapan ia malah membimbing tanganku ke bagian itu. Sejenak perasaanku campur aduk, antara senang dan sungkan. Kuraba-raba perlahan bagian itu. Aku tidak terlalu khawatir aksiku kelihatan orang lain karena ia menaruh tas ranselnya di depan, sehingga cukup tertutupi. Besar juga. Aku belum pernah menanyakan ukuran bagian pribadinya itu, apalagi melihat fotonya. Dan sekarang aku memegangnya sendiri dengan tanganku sendiri. Jantungku berdebar-debar dibuatnya; punyaku sendiri ikut mengeras, menempel di pantatnya. Dia sama sekali tidak berkata apa-apa selama aku menggerayangi bagian pribadinya itu. Walaupun memang tidak seketat celana polisi, aku bisa merasakan bola-bolanya dan batangnya yang mulai mengeras di balik celana lorengnya. Entah bagaimana caranya ia bisa tetap berkonsentrasi mengendarai sepeda motornya di tengah ruas jalan Jakarta yang sibuk itu. Biasanya ketika kami harus berhenti di lampu merah aku tidak berani melakukan itu, karena banyak juga pengendara motor di samping kiri-kanan kami, jadi aku hanya berlaku biasa dengan tanganku tidak memeluknya. Begitu lampu berubah hijau, aku pun langsung memeluknya kembali, dan tak terlalu lama kemudian tanganku kembali menggerayangi tonjolan kontolnya.
"Masih jauh kah?" tanyaku iseng-iseng.
"Lumayan sih, sabar ya..." jawabnya.
"Iya ga pa pa, ada ini juga, hehehe..." Ia hanya tertawa kecil lalu kembali fokus ke jalan raya, sementara aku terus mengelus-elus bonggolan hangat empuk di tanganku itu. Aku pun memberanikan diri lebih jauh, menggerakkan tanganku masuk ke dalam celananya. Ada celana dalam yang cukup ketat, aku agak susah menelusupkan tanganku ke dalamnya... namun akhirnya kudapatkan juga benda itu. Kontol tentara. Jantungku benar-benar berdegup kencang ketika tanganku menggenggam sesuatu yang hangat dan keras. Besar betul batang kontolnya! Aku jadi membayangkan betapa indahnya hari-hariku nanti di Jakarta ini; semoga ia mengizinkanku memainkan benda itu. Yah memang aku tidak terlalu berharap banyak; berteman dengannya saja aku sudah girang bukan main. Dan sekarang tentara ganteng ini sedang berkonsentrasi mengendarai motornya, mengantarku ke rumahnya. Selagi kumainkan kontolnya di celananya.
Sampai akhirnya ia memegang tanganku.
Sejenak aku merasa tidak enak, karena ia seakan terganggu dengan aksiku. Tapi kemudian ia menoleh dan setengah berteriak, "Pegangan yang erat! Aku mau ngebut sampai rumah!" Dan benar saja, ia mulai melajukan motornya dengan kecepatan cukup tinggi. "Eh ga usah buru-buru!" seruku sekenanya. "Ntar kalau ditangkap polisi gimana?"
"Biar cepat sampai!" balasnya.
"Masih jauh kah?"
"Sepuluh menit lagi!"

Mungkin tidak perlu kuceritakan secara lengkap apa yang terjadi selama sepuluh menit itu. Aku masih tetap memainkan kontolnya di dalam celananya, namun aku hanya memegangnya dan mengelusnya dengan lembut. Kuurungkan niatku untuk mengocok kontolnya, toh ia mau berkonsentrasi di jalan. Akhirnya kami sampai di sebuah kompleks perumahan militer--aku langsung melepaskan tanganku dari celananya dan berlagak seperti biasa, hingga ia memasuki halaman sebuah rumah dan mematikan motornya. "Ini rumahku, maaf ya kalau sangat sederhana."
"Ah ga pa pa," jawabku sambil membuka helmku. "Aku yang makasih sudah merepotkan tinggal di tempatmu selama di sini." Sejenak aku mendengar suara langkah kecil-kecil dan ringan. "Kamu punya anjing?" tanyaku.
"Iya. Kamu ga keberatan kan?" tanyanya balik sambil mengambil tasku dan meletakkannya di teras rumah, sementara anjing itu mulai mengendus-endusku. Kubiarkan, supaya ia mengenal diriku, karena aku bakal menginvasi rumahnya selama beberapa hari, jadi aku harus seramah mungkin dengannya.
"Oh ga pa pa, aku suka anjing kok," jawabku sambil menunggu anjing itu selesai menjilat-jilat sepatuku. "Yuk masuk!" ajak Andi. "Maaf berantakan." Aku pun mengikutinya masuk ke rumah itu. Sederhana memang, tapi aku bersyukur tinggal di situ. Bersama tentara idamanku. Angan-angan yang sudah lama sekali kuimpikan akhirnya jadi kenyataan juga. Setelah meletakkan tasku, ia membawa anjingnya entah ke mana, lalu keluar lagi dan berkata. "Aku balik dulu ya. Anggap aja rumah sendiri. Nanti secepatnya aku pulang." Aku mengangguk dan hendak mengantarnya keluar, namun ia malah menutup pintu. Eh? Ia bersandar di balik pintu dan menyuruhku mendekat, kemudian berbisik. "Lanjutin bentar dong yang tadi."
"Kamu ga telat kah?" tanyaku sambil memandang jam tanganku. Sudah hampir pukul tiga.
"Ga pa pa, nanti aku bilang macet. Tahu sendiri lah Jakarta. Cepat aja, lima menit..." Ia memandangku dengan penuh harap. Hatiku sedikit berkecamuk; aku tahu ia pasti sedang kepingin sekali. Tapi apakah aku sudah pantas untuknya... Tangannya membimbing tanganku ke selangkangannya, dan aku bisa merasakan batang kontolnya yang masih keras. "Kuisep ya..." Entah bagaimana kata-kata itu malah keluar dari mulutku. Ia mengangguk dan langsung mendorongku untuk berjongkok. Dengan cepat, supaya menghemat waktu, kuturunkan celana lorengnya dan celana dalamnya. Aku sedikit terkesima melihat barang kejantanan yang akhirnya terbebas dari sarangnya. Benar-benar kontol terindah yang pernah kulihat: disunat ketat, tegang penuh, panjang. Namun aku tak bisa mengaguminya lama-lama karena waktu, maka aku langsung mengulumnya. Andi melenguh keras, ia pasti sudah lama sekali tidak menikmati kontolnya dimainkan seseorang... Sambil mengulumnya aku pun memainkan bola-bola kontolnya itu. "Mhhhh... enak Fei...," racaunya sambil memegangi kepalaku, sedikit-dikit ia menggoyang-goyangkan pinggulnya. Aku terus melanjutkan mengulum batang kejantanan tentara itu, lidahku kugesek-gesekkan di kepala kontolnya yang sensitif. "Ahhh... aku... mau... keluar... Ooooohhhh..." Bahkan ia tidak sempat menyelesaikan kalimatnya ketika puncak itu tiba. Ia sedikit berjingkat ketika kontolnya mulai berkedut-kedut menembakkan sari pati kejantanannya itu ke mulutku. Aku tidak biasanya meminum sperma, namun sperma Andi begitu gurih, hangat, dan kental, tidak membuatku mual seperti biasanya; dengan rakus kuteguk sperma tentara itu. Sampai tetes terakhir. Kujilati bersih kepala kontolnya ketika ia mulai berhenti menembakkan spermanya, dan ia melenguh kegelian. "Fei... makasih ya... udah lama banget..."
"Aku yang makasih Ndi, gak nyangka kamu mau kuisep," ujarku sambil menciumnya. Kami pun berciuman beberapa saat hingga aku ingat ia harus segera kembali. "Dah sana, udah lega kan? Keburu telat lho!" Ia terkekeh dan merapikan celananya, lalu pamitan.

Ah, kurasa hari-hariku bakal menyenangkan!

Sekitar pukul setengah enam sore ia sudah pulang. Entah kenapa aku menyambutnya dengan gembira, bahkan aku pun menciumnya kembali, dan ia tak keberatan sama sekali, bahkan membalas ciumanku, seakan kami ini pasangan suami istri. "Fei, ini kubawakan nasi goreng," ujarnya setelah selesai berciuman, sambil menunjukkan bungkus nasi goreng yang dibelinya tadi. "Sori ya ga mewah-mewah amat."
"Ah ga pa pa, kalau nasi goreng aku suka kok," jawabku. Kebetulan sekali perutku berbunyi. "Makan yuk!" Sepertinya ia tahu aku kelaparan, karena ia tak langsung mengganti seragamnya, malahan menyiapkan meja makan. Aku membantunya menyiapkan piring. "Kok empat bungkus Ndi?" tanyaku ketika mengeluarkan nasi goreng dari kantong plastik. "Banyak amat?"
"Buat kamu dua," jawabnya. "Makan yang banyak biar ga sakit."
"Ah kamu ini... Si guguk makan nasi goreng juga?" Aku tidak tahu nama anjingnya jadi hanya kupanggil 'guguk' saja, toh ia akhirnya juga ikut menyebut anjingnya 'guguk'. Ia mengangguk. "Yuk makan!"
Selagi makan ia bercerita panjang lebar tentang harinya tadi. Aku hanya mendengarkan sambil mengangguk-angguk selagi memakan nasi gorengku, yang entah mengapa rasanya nikmat sekali. Seakan-akan aku belum pernah makan nasi goreng. Ia hanya tersenyum melihatku makan dengan lahap. "Kelaparan ya?" godanya.
"Iya nih ga tahu kenapa..."
"Kecapekan?"
"Nggak juga... Oh ya, dari sini kalau mau ke X gimana?" Aku menanyakan angkot menuju tempat seminarku.
"Ga usah naik angkot, kuantar aja," jawabnya.
"Lho jangan lah, kamu kan kerja?"
"Ga pa pa, aku udah izin kok sama atasanku, ada famili yang datang. Pokoknya cuma tiga puluh menit izin keluarnya. X dari sini deket kok, paling cuma sepuluh menit bolak-balik."
"Bener nih ga pa pa? Aku jadi ga enak..."
"Udah ga usah dipikirin, yang penting besok bangun pagi, jangan sampai telat, malu kan kalau telat. Jam berapa seminarnya?"
"Besok jam sembilan pendaftaran."
"Kubangunin deh. Aku apel pagi jam delapan, jadi jam tujuh udah bangun. Kamu tunggu aja di rumah, jam setengah sembilan kujemput. Selesainya jam berapa?"
"Kalau jadwalnya sih jam lima, tapi ga tau lagi kalau molor."
"Ya udah ntar telpon aja ya kalau udah selesai. Nih nomerku." Akhirnya dia memberikan nomor teleponnya. Kusimpan di buku teleponku, lalu kami melanjutkan makan malam. Setelah selesai, aku membantunya membereskan meja makan, lalu kami duduk-duduk di ruang tengah sambil menonton TV. Si guguk juga ikut menonton.
"Fei."
"Ya?"
"Pegel-pegel nih..."
"Mau kupijitin?"
"Boleh." Ia pun duduk di depanku, lalu aku memijat pundaknya. Ia mendongakkan kepalanya dan memejamkan matanya menikmati pijatanku. "Enak?"
"Enak banget Fei. Sudah lama sekali rasanya aku ga dipijitin seenak ini." Kubiarkan dia menikmati pijatanku dalam diam, sampai akhirnya ia merebahkan diri. "Pijitin punggungku ya?" Aku pun menurut dan memijat punggungnya sebisaku. Punggungnya cukup bidang dan padat berisi, membuatku harus memijat agak kuat. Setelah merasa puas, ia pun duduk bersandar di tembok. "Makasih ya." Aku hanya tersenyum mengangguk. Dia menyuruhku untuk duduk bersandar di dirinya, aku menurut saja. Kami berdua kembali menonton televisi, sebelum kusadari tangannya menggenggam tanganku dan nafasnya agak berat. "Fei?"
"Ya?"
"Makasih ya udah mau datang ke sini. Rumahku jelek..."
"Eh Ndi aku mestinya yang makasih udah bisa numpang tinggal di sini. Lagian nemani kamu juga biar nggak sendirian."
"Aku..." Ia mencium rambutku dari belakang, lalu ia berbisik di dekat telingaku, "Aku... aku sudah lama menunggu saat-saat ini Fei. Aku ingin berdua denganmu. Selamanya..." Entah apa ia melihat mukaku yang memerah mendengar keinginannya itu. Aku juga sudah lama sekali menantikan seseorang seperti dirinya. "Fei... aku... aku... sayang kamu..." Jantungku seakan berhenti berdetak. Ia... sayang... padaku? Selama ini aku memang berharap dia suka padaku, tapi sebagai teman akrab. Apalagi dengan bodohnya di awal aku sudah mengatakan kalau aku tak bisa menjadi pacarnya, karena kelak aku pasti harus menikah juga demi orang tuaku. Tapi... sekarang... dia tetap sayang padaku? Lebih dari seorang teman... "Fei... kamu sayang aku nggak?"
Perasaan bersalah kembali merundungku. Apa yang harus kukatakan?
"Ndi... jujur aja... aku pingin sekali sayang sama kamu."
"Maksudnya?"
"Yah kamu tahu sendiri kan Ndi, orang tuaku ga tahu kalau aku ini gay. Dan aku nggak pingin ngecewain mereka, terutama mama..."
"Fei... aku ga masalah kalau akhirnya kamu menikah sama cewek. Aku senang kamu tetap perhatian sama orang tua, mau membahagiakan orang tua. Kalau memang itu yang terbaik, aku bersedia menunggumu..."
"Tapi... Ndi, ga pa pa kah?" Dadaku mulai sesak memikirkan bahwa aku nanti akhirnya harus menduakan dirinya.
"Nggak apa apa sayang." Dia... memanggilku... sayang? "Asal aku bisa tetap bersamamu, aku rela. Lagi pula aku sudah sendirian. Cuma kamu yang melengkapi hidupku."
"Ndi..." Suaraku bergetar. "Makasih... aku juga... sudah lama memendam perasaan ini... Aku... juga sayang kamu..." Tak bisa kutahan lagi perasaan itu, air mata mulai meleleh di wajahku. Ia membaringkanku di pangkuannya, dan menyeka air mataku. "Aku sayang kamu Fei..." Dan ia pun menciumku. Ciuman yang berbeda; bukan ciuman nafsu seperti tadi siang, namun ciuman penuh kasih sayang. Aku tak bisa menggambarkan perasaanku saat itu, bahkan boleh dikatakan kalau aku baru kali itu merasakannya. Perasaan lega, bahagia, terharu, bercampur menjadi satu. Akhirnya aku menemukan orang itu; orang yang kuidam-idamkan, yang kuangan-angkan; orang yang pantas kuserahkan hidupku. Sekalipun dia cowok.
"Tapi Fei, kamu mau kan sama aku?" tanyanya tiba-tiba. "Aku gak sekaya kamu, rumahku jelek, aku sendiri juga jelek..." Kupotong ucapannya dengan menempelkan telunjukku di bibirnya. "Aku kan sudah bilang berapa kali, aku ga masalah sama kamu. Andaikan bisa, aku pasti sudah milih tinggal bersamamu. Dan jangan bilang kamu jelek, kamu ganteng! Aku suka kamu!"
"Makasih sayang..." Ia menciumku lagi beberapa lama sebelum akhirnya acara kesayangannya mulai diputar. Aku pun hanya tiduran di pangkuannya selagi dia menonton acara itu. Walaupun aku sudah lama sekali tidak menonton televisi--dan aku memang tidak suka dengan acara televisi Indo yang tidak bermutu, kutonton juga acara itu. Ia mengelus-elus rambutku selagi menonton acara itu. "Ndi kamu kupanggil abang ya?" Memang sudah lama sekali aku menginginkan kakak laki-laki.
"Iya boleh Dek." Aku pun tidak mengganggunya lagi, menonton TV sambil sekali-kali mendengarkan dia bercerita tentang acara kesayangannya itu.

Dan tanpa terasa waktu berlalu begitu saja. Ia sempat meninggalkanku sebentar untuk mandi, sebelum akhirnya menonton TV lagi. Mungkin hanya itu hiburannya, selain ngobrol denganku di YM. Pukul sepuluh. Aku pun mulai menguap. "Ngantuk Dek?" tanyanya.
"Iya Bang."
"Tidur aja yuk." Ia bangkit mematikan TV, lalu membopongku ke kamarnya. "Aku nggak punya AC Dek."
"Nggak pa pa Bang, aku dulu juga pernah kok tidur cuma pakai kipas angin."
"Dipan juga ga ada..."
"Ga pa pa, kan ada Abang, hehehe..."
"Dasar... Lampunya mau dimatiin?"
"Biasanya sih dimatiin..."
"Ya udah." Ia mematikan lampu, lalu ikut berbaring di sebelahku. "Ntar pagi Abang bangunin." Ia pun mencium keningku.
"Bang..."
"Ya Dek..."
"Boleh ga..." Aku pun mengelus kontolnya perlahan. Ia hanya mengenakan celana pendek untuk tidur.
"Mau kamu apain Dek..."
"Pegang aja boleh?"
"Mau kamu mainin juga boleh Dek, kontolku milikmu." Aku tersenyum mendengarnya, itu kan judul salah satu ceritaku. Sudah lama kutunggu saat-saat ini: saat bercinta dengan tentara. Dari cerita-cerita yang pernah kubaca, tentara biasanya main kasar. Tapi ini tentara yang mencintaiku. Harusnya rasanya beda. Dan sebentar lagi aku akan merasakannya. Kupeluk dirinya dari belakang sambil tanganku tetap mengelus-elus kontolnya yang perlahan mulai bangun. Aku memang berharap dia masih menyimpan nafsunya; kalau cerita ngocok, dia sering melakukannya dua kali, bahkan pernah tiga kali dalam sehari. Kali ini sepertinya dia masih ingin bercinta. "Gede Bang," bisikku.
"Kamu suka?"
"Suka."
"Suka kontolnya atau orangnya?"
"Kontolnya."
"Dasar... nakal ya kamu..."
"Biarin." Aku meremas pelan kontolnya, membuatnya mengerang. "Enak banget Dek..." Kucium-cium lehernya selagi tanganku berpindah meraba-raba dadanya. Dadanya yang bidang. Tentu saja sasaranku adalah puting susunya. Ia mendesah selagi kumainkan puting susunya. "Dek... Abang sayang kamu..." Aku tidak berkomentar, tanganku kembali sibuk memainkan kontolnya sambil kucium dirinya. Erangannya tertahan ciumanku, sebelum akhirnya ia dengan cepat melepas celanaku. "Mau masukin Bang?"
"Adek mau dimasukin?"
"Udah lama ga dimasukin sih..." Dan memang benar, sudah lama sekali sejak aku dimasuki. "Pelan-pelan ya."
"Ntar aja deh kalau gitu Dek... isepin aja kaya tadi siang... kita 69 yah..." Kesukaanku. Maka aku pun buru-buru menurunkan celananya sampai kontolnya terbebas, lalu dengan lahap kuhisap kontolnya sementara ia juga mulai menghisap kontolku. Oh mimpi apa aku ini, akhirnya aku bisa bercinta dengan seseorang yang memang kucintai... Sudah terlalu lama aku hanya memuaskan hasratku dengan mengocok, dan sepertinya Andi juga demikian. Dan kini aku menghisap kontolnya dan dia menghisap kontolku... Tentu saja tak lupa aku mengelus-elus dan memainkan bola-bola kontolnya, bagian yang sering dilupakan para pria ketika bercinta. Sesekali ia mengelus-elus lubang pantatku, kubiarkan. Aku harus siap nantinya ketika ia memasukkan kontolnya ke anusku...

Dan kurasa aku tak perlu bercerita panjang lebar tentang 69 itu. Untuk pertama kalinya aku muncrat bersamaan dengan lawan mainku, dan bahkan ia pun meminum spermaku. Kami pun akhirnya tidur dengan pulas, berpelukan erat seakan-akan tak ingin berpisah.

Hari-hariku selanjutnya begitu indah. Seperti dugaanku, seminar itu membosankan, tapi apa mau dikata, itu tugasku. Di sela-sela kebosanan itu aku tetap YM-an dengan Andi, dan dia pun terus menyemangatiku untuk menyelesaikan tugasku. Di pagi hari dia mengantarku dan sore harinya dia menjemputku. Mandi bersama? Sudah pasti. Hari Rabu dia memasakkanku makan malam, dan harus kuakui masakannya lezat. Percakapanku pun menjadi semakin intim dari biasanya, dan dia bahkan menunjukkan foto keluarganya. Kurasa dia sudah menaruh kepercayaannya padaku, jadi aku pun ikut membuka diri padanya--yang tentu saja tidak akan kupaparkan di sini. Sampai akhirnya dia mengatakan,
"Dek, aku Sabtu besok ultah."
"Oh ya Bang?" seruku girang. "Kok pas banget aku pas di sini!" Kami berdua terkekeh. "Ultah ke berapa Bang?"
"Dua puluh lima."
"Lah?"
"Kenapa Dek?"
"Salah manggil dong aku?"
"Emang kamu umur berapa?"
"Dua puluh sembilan." Tawanya langsung meledak saat itu juga; belum pernah kulihat dia tertawa lepas seperti itu, bahkan anjingnya pun sampai melongok keheranan. "Gak kelihatan kaya umur segitu ah. Kamu kaya umur sembilan belas!"
"Hehehe... kalau gitu panggil ayang aja deh... Sabtu libur kan?" Ia mengangguk. "Jalan-jalan yuk! Terserah mau kamu ajak ke mana."
"Ke pantai mau?"
"Eh mau banget ay! Dah lama banget aku ga ke pantai!" Aku girang sekali mendengarnya.
"Seminarmu gimana?"
"Jumat udah selesai kok. Aku kan pulangnya Minggu, jadi Sabtu masih bisa ngerayain ultahmu!"
"Hehehe..." Mendadak dia terdiam, sepertinya memikirkan sesuatu.
"Ay?"
"Ya."
"Kenapa?"
"Kok cepet ya kamu tinggal tiga hari lagi di sini."
"Kurang lama ya ay..." Aku mendekapnya dari belakang.
"Iya. Coba kamu bisa tinggal di sini bareng aku."
"Pinginnya gitu ay, tapi aku harus balik. Aku keikat kontrak di tempat kerjaku. Dan tempat kerjaku udah jadi rumah kedua buatku, aku ga tahu kalau harus ninggalin gitu aja."
"Cari kerja di sini aja."
"Ga tau ay, ortu juga pasti ga bakal bolehin. Udah enak-enak dapet kerja deket sama rumah, kok tau-tau mau pindah Jakarta. Jauh dari rumah, jauh dari sapa-sapa, ga pasti lagi hidupnya." Ia agak murung jadinya, sehingga kucium dirinya untuk menghibur dirinya. "Jadi, kita nikmati aja ya ay saat-saat ini. Mungkin memang cuma sebentar, tapi paling nggak kita sudah bisa ketemu sekarang, sudah bisa saling mencintai sekarang. Suatu saat nanti kan kita pasti bisa ketemu lagi. Dah jangan sedih gitu, aku juga ikut sedih nih..."
"Iya." Dia menciumku balik.
"Nonton TV aja yuk, di kamar!"

Tentu saja, itu hanya alasanku untuk bisa bercinta kembali dengannya.

Dan akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu itu pun tiba. Sabtu, ulang tahunnya. Pagi-pagi kuberi dia hadiah ulang tahun yang sudah kusiapkan sejak kemarin: kaos Jepang dan DVD lagu kesukaannya. Setelah sarapan, ia membawaku ke sebuah pantai yang agak jauh dari keramaian kota Jakarta, aku tidak tahu apa namanya, dan perjalanannya agak jauh. Tapi itu semua terbayar dengan keindahan panorama pantai. Entah dari mana ia bisa menemukan pantai yang cukup sepi. Setelah memarkir motornya di tempat yang aman, kami berdua pun melangkah menuju pantai itu. "Bagus ya ay," ujarku.
"Dan cuma kita berdua yang ada di sini," sambungnya.
"Yakin ni?"
"Liat aja nanti." Aku pun berbaring di atas pasir pantai, di bawah pohon kelapa yang cukup rindang. "Yah ayang datang-datang kok tiduran lagi... renang yuk!"
"Aku kan ga bisa renang ay..."
"Pelukan sama aku aja. Yuk!" Sebelum aku bisa protes lebih lanjut, ia membuka baju dan celananya hingga tinggal celana dalam saja yang tersisa, lalu ia pun membuka baju dan celanaku. "Ntar kalau tenggelam gimana?" tanyaku agak khawatir.
"Pegang yang erat ay." Ia langsung menggendongku menuju air laut yang saat itu cukup tenang. Aku pun refleks berpegangan erat pada pundaknya. Pertama-tama ia berenang tak terlalu jauh dari tepi pantai, lalu ia berenang menyusuri tepian pantai sedikit agak jauh dari tempat semula. Ada sebuah teluk yang cukup kecil, tidak terlihat dari tempat tadi. Hanya ada sedikit pasir pantai di teluk itu, dan lebih jauh ke darat hanya ada semak-semak belukar yang cukup lebat. "Ngapain ay kita ke sini?" tanyaku setelah kami keluar dari air, walaupun sebenarnya kalau berbaring tetap saja kaki masuk di air laut.
"Aku ingin bercinta denganmu di sini, sayang," jawabnya sambil menciumku dengan lembut.
"Nanti kalau kelihatan orang gimana?"
"Nggak bakal sayang, tempat ini tersembunyi kok. Dari tempat kita tadi nggak kelihatan. Lagipula di belakang kita itu hutan, jauh dari jalanan. Sekitar sini juga ga ada rumah penduduk, dan itu ketutupan pulau juga. Dah nikmati aja ya sayang."
"Iya deh ay. Selamat ulang tahun ya." Aku pun menciumnya kembali sambil langsung meremas-remas kontolnya. Suara deburan ombak menambah romantis saat itu; aku tak pernah mengira aku akan bercinta di pantai dengan seorang tentara yang kucintai. Ia pun balas mencium dan memainkan dadaku.
"Ay."
"Ya sayang?"
"Aku siap kamu masukin," ujarku sambil menatapnya dalam-dalam. "Ini hadiahku yang lain untukmu."
"Ntar sakit?"
"Demi kamu ay, aku siap." Aku menciumnya lagi, lalu merebahkannya di atas pasir, membalikkan badanku, membuka celana dalamnya, dan langsung menghisap kontolnya yang sudah berdiri tegak itu. "Mmmmhhh asin ay." Kontolnya memang basah terkena air laut, tapi itu memberikan sensasi berbeda. Dengan penuh rasa sayang kuhisap kontol tentaraku tercinta, sambil tak lupa pula aku mengelus-elus bola-bolanya dengan lembut. Ia melenguh pelan tiap kali aku melakukan itu. Setelah kurasa kontolnya sangat tegang, aku pun berbalik memghadap dirinya. Pelan-pelan kuposisikan lubang pantatku di atas kontolnya. Kumasukkan pelan-pelan. Rasa sakit itu mulai mendera; sudah lama sekali lubang pantatku tidak dimasuki kontol. "Beb?" panggiilnya. "Sakit ya?"
"Nggak apa-apa ay," ujarku, dan sambil menahan rasa itu, kudorong terus badanku menduduki kontolnya. Perlahan-lahan batang kontol itu pun mulai masuk, dan aku terus mencoba mencari posisi yang tepat. Dengan sabar Andi menunggu sampai batang kontolnya akhirnya masuk semua. Pantatku terasa begitu penuh dan perih, namun melihat dirinya telentang dengan batang kejantanannya di dalam diriku, aku merasa rasa sakit ini begitu berharga. Dia bahkan sempat bangkit dan menciumku sebelum aku akhirnya menyuruhnya berbaring.

Aku sudah siap.

Perlahan-lahan kunaikkan pantatku, lalu kuturunkan kembali. Rasa perih itu kembali mendera--mungkin karena tidak ada pelumas sama sekali, dan air garam ini menambah rasa perih itu, namun aku mencoba sebisaku. Perlahan-lahan kuabaikan rasa sakit itu, dan akhirnya usahaku membuahkan hasil. Andi mulai menikmatinya. "Aaaahhh bebeb... enak beb..." Erangannya membangkitkan semangatku, dan sepertinya batang kontolnya juga mulai memberikanku kenikmatan itu. Tanpa kusadari aku sudah menggenjot kontolnya dalam pantatku. Aku dan dirinya mengerang bersama-sama; akhirnya kudapatkan juga kenikmatan itu. Kenikmatan yang tak pernah kudapat ketika seseorang asing merojok pantatku dengan kasarnya. Badanku mulai berpeluh keringat, namun aku tak peduli. Aku harus bisa memuaskan sayangku Andi.
Setelah beberapa lama kami pun berganti posisi. Aku dibaringkannya di pasir pantai, sementara ganti ia yang menggenjotku. Posisi yang mungkin sangat biasa saja, tapi karena aku dan dirinya saling berhadap-hadapan, posisi itu menjadi romantis sekali, apalagi dilakukan di tepi pantai di hari ulang tahunnya. Ia bahkan mengerang sekeras-kerasnya, toh tak ada yang mendengarkan kami bercinta. Dan baru kali ini aku kesulitan menggambarkannya. Cerita-ceritaku terdahulu sepertinya bisa kugambarkan dengan detail teknik bercinta para tokohnya, namun entah kenapa kali ini... aku tak bisa menggambarkannya.
Hanya dengan posisi itu saja, akhirnya sayangku muncrat duluan. Aku memang tak pernah bisa muncrat ketika dimasuki, bahkan kontolku pun biasanya lemas. Tapi entah kenapa kali ini kontolku bisa tetap tegang. Aku senang sekali ketika akhirnya ia mengerang panjang dan orgasme di dalam diriku. Cairan hangat kejantanannya memenuhi pantatku, namun aku tak peduli. Ia akhirnya terkapar di atas tubuhku, terengah-engah lega. "Enak ya Ay?" tanyaku sambil mengusap-usap kepalanya.
"Enak banget bebeb, makasih banget ya," ia mencium keningku. "Udah lama sekali aku mengharapkan hari ini tiba. Dan akhirnya aku menemukan dirimu..." Air mata bahagia mulai mengalir dari pelupuk matanya. Ah tentara juga manusia, pasti merindukan kekasih pendamping hidupnya... Aku mengusap air matanya dan menciumnya kembali untuk beberapa lama. Sebelum akhirnya dia sadar. "Bebeb belum keluar?"
"Ga pa pa Ay, aku nanti aja."
"Jangan gitu dong beb, aku kan jadi ga enak, masa aku doang yang keluar..."
"Sori deh Ay, aku ga pernah bisa tegang kalau dimasukin, hehehe..."
"Ya udah sini beb." Ia berbaring di sebelahku. Selagi aku memegang kontolnya yang sudah melemas itu dan menimang-nimangnya dengan tanganku, ia menghisap dan mengocok kontolku bersamaan. Aku benar-benar mabuk kepayang dibuatnya.
Dan akhirnya aku muncrat juga di dalam mulutnya.

Untuk beberapa saat kami beristirahat di teluk itu sebelum ia membawaku kembali ke pantai tadi. Hari sudah beranjak siang, dan kami berdua kelaparan setelah bercinta tadi, maka kami pun kembali ke tepian pantai lain yang lebih ramai untuk membersihkan diri dan makan siang. Makan yang cukup sederhana: ikan bakar ditemani dengan satu batok es kelapa muda. Namun, suasana pantai dengan deburan ombak yang lembut, angin yang bertiup melambai, dan ditemani kekasih tercinta, tentu saja makan siang itu menjadi sangat istimewa. Sambil makan kami pun bercerita-cerita, tentu saja cerita hal-hal yang menyenangkan, dan entah nafsu makan kami jadi besar sekali. Lima ekor ikan bakar pun tandas. Setelah makan siang, kami hanya istirahat di tepi pantai, mengamati orang-orang lain yang juga bermain di pantai.
Dan tanpa tersadar aku tertidur dalam damai.

"Bebeb...," bisiknya lembut ketika akhirnya aku terbangun. Hari sudah beranjak sore, matahari mulai turun ke peraduan. Saat-saat terindah yang selalu kusuka. "Capek yah?"
"Hehehe, ga kok Ay. Aku cuma merasa... damai aja. Aku emang suka pantai."
"Bebeb manis deh, romantis pula." Ia mencium keningku, membuatku tersipu malu. "Balik yuk. Kamu kan besok udah pulang, jangan lupa beres-beres barang."
"Udah kucicil kok Ay. Dan kok besok pulang ya..." Aku jadi sedih memikirkannya. Oh Tuhan, akhirnya waktu itu tiba juga. Waktu ketika aku harus berpisah dengannya...
"Kapan-kapan kita ketemu lagi ya beb..."
"Iya ayang..." Tepat ketika matahari terbenam, aku menciumnya. Kebetulan pantai itu sudah sepi. Air mataku kembali meleleh; perasaanku bercampur aduk. Andaikan waktu bisa dihentikan... aku tak ingin waktu ini cepat berlalu...

Dalam perjalanan pulang aku tak banyak berbicara; aku hanya bisa memeluknya erat-erat dari belakang. Sekitar pukul setengah delapan malam kami kembali memasuki hiruk pikuknya kota Jakarta. Aku menyuruhnya untuk berbelok ke sebuah kafe yang sudah kupilih sebelumnya atas saran teman-temanku. "Ngapain beb?" tanyanya.
"Makan malam dong. Ultahmu harus dirayakan dengan makan-makan."
"Tapi... aku gak biasa dirayain beb."
"Nah makanya tahun ini kudu dirayain!" Keromantisan hari ini tidak boleh berakhir begitu saja. Maka jadilah demikian; aku menraktirnya makanan yang menurutnya sangat mewah: steak daging sapi dengan minuman anggur merah. Sayangnya tidak ada lilin untuk melengkapi makan malam itu, namun aku bahagia melihatnya makan dengan lahap. Paling tidak, di seperempat abad hidupnya, pantaslah jika sekali-kali ia menikmati hidup ini seperti orang lain. Dan aku bahagia melihatnya bahagia.

Selepas makan malam, kami kembali ke rumahnya agar aku bisa berkemas-kemas, dan untuk memberi makan si guguk--ia pasti kelaparan berat. Dengan berat hati kukemasi barang-barangku; penerbanganku besok pukul sepuluh pagi. Ah kenapa waktu ini cepat sekali berlalu...
Namun, malam itu ia memberiku kejutan tersendiri. Kami kembali bercinta malam itu, bahkan ia mengizinkan aku menciptakan imajinasiku yang paling liar: membuatnya bercinta dengan seragam lengkapnya. Yang tak kuduga, ia sudah menyiapkan beberapa pasang seragamnya yang tak lagi ia gunakan karena kesempitan, dan ia memberikannya untukku sebagai kenang-kenangan. Ia membuatku jadi tentara semalam; tentara yang berperang untuk cinta. Dan kurasa aku berhasil merebut cintanya.

Untuk pertama kalinya, malam itu...

Ia mengizinkanku memasuki dirinya.

Tak perlu kuceritakan di sini pengalaman pertamaku: begitu memalukan. Namun ia tak keberatan dengan hal itu, ketika aku tak berhasil memasuki dirinya--bukan karena kontolku terlalu besar, namun ia tak terbiasa memasuki pantat seseorang. Entah berapa kali aku mencoba, namun aku masih gagal. Yah, kurasa itu untuk kesempatan lain kali.

Entah mengapa, malam itu aku tidak bisa tidur, sekalipun aku tidur dalam dekapannya. Di dalam pikiranku terus berputar saat-saat menyenangkan itu; aku tak mau mengakhirinya. Aku pun teringat lirik lagu Maroon 5 yang judulnya Daylight:

Here I am waiting
I'll have to leave soon
Why am I holding on?
We knew this day would come
We knew it all along
How did it come so fast?

This is our last night but it's late
And I'm trying not to sleep
Cause I know, when I wake, I will have to slip away

And when the daylight comes I'll have to go
But tonight I'm gonna hold you so close
Cause in the daylight we'll be on our own
But tonight I need to hold you so close


Here I am staring at your perfection
In my arms, so beautiful
The sky is getting bright, the stars are burning out
Somebody slow it down

This is way too hard, cause I know
When the sun comes up, I will leave
This is my last glance that will soon be memory

And when the daylight comes I'll have to go
But tonight I'm gonna hold you so close
Cause in the daylight we'll be on our own
But tonight I need to hold you so close


Akhirnya, saat-saat terakhirku bersamanya pun tiba. Aku hampir saja menangis histeris ketika hendak berangkat, namun ia menghiburku. "Bebeb, walaupun kita jauh, aku selalu ada di hatimu. Aku juga bakal kangen dengan dirimu, tapi aku takkan pernah lupa dengan seminggu ini. Makasih ya Beb kamu sudah menemani hidupku; kamu sudah mau menjadi bagian hidupku. Aku sudah ngajuin kepindahan ke Surabaya."
"Ay, ga perlu... aku... aku ga bisa janji bakal bisa hidup bersamamu... serumah denganmu..."
"Ga apa pa bebeb, yang penting aku bisa dekat sama kamu. Ga harus tinggal serumah. Paling ga nanti kamu main ke rumahku ya. Nginap sekali-kali. Kumasakin lagi seperti kemarin-kemarin."
"Tapi Ay... mama pasti curiga... aku ga pernah tidur di rumah temen..."
"Ya nanti aku dekati mama papamu deh... kita jalani aja dulu Beb. Aku juga bakal kangen kamu..." Ia menciumku dan aku balas menciumnya.
"Aku bakal kangen ini dong Ay..." Aku meremas selangkangannya. Ia tertawa kecil. "Dasar nakal... Dah berangkat yuk, ntar kamu telat lho!"

Dan demikianlah berakhir kunjungan kerjaku di Jakarta. Aku hampir saja menangis lagi ketika harus berpisah dengannya di bandara, bahkan aku memeluknya erat-erat sebelum masuk ke terminal. Namun satu hal yang aku yakin, kenangan selama seminggu ini takkan pernah kulupakan. Sebuah kenangan termanis, bahwa...

Angan-anganku akhirnya menjadi kenyataan.


Jumat, 28 Februari 2014

[Catatan Fei] Eight Weeks to Go

Halo semua,

Ya, Fei tahu, sudah banyak sekali yang menunggu-nunggu cerita baru. Namun, seperti yang sudah saya ceritakan di catatan sebelumnya, saya telah menetapkan bahwa studi saya lebih penting. Tinggal delapan pekan tersisa, dan delapan pekan ini akan sangat menentukan ke mana arah hidup saya.. Karena itu, saya mohon pengertiannya dari rekan-rekan sekalian. Delapan pekan mendatang tidak akan ada cerita baru di blog ini. Kalau rekan-rekan masih belum bisa paham juga, silakan coba buat cerita sendiri dalam keadaan tertekan.

Seperti biasa, saya masih menunggu sumbangan cerita dari rekan-rekan sekalian (daripada menunggu, kenapa nggak bikin sendiri?). Silakan kirimkan ke email saya (tahu alamatnya kan?).

Sebagai bukti bahwa saya tidak sepenuhnya meninggalkan blog ini, berikut beberapa cuplikan dari draf beberapa cerita yang belum selesai. Harap diingat bahwa ini masih draf dan mungkin tidak muncul pada hasil akhir.

Mangsa malam hari... Lagi (bagian 3)


Entah sudah berapa lama aku tertidur. Yah, badanku rupanya sudah tak seprima dulu ketika masih muda, aku bisa menghabiskan semalam-malaman bermain dengan istriku. Tapi sejak perceraian itu, aku hanya bisa mengandalkan Rizki untuk melampiaskan nafsuku, itu pun tak setiap hari. Jadi aku benar-benar menikmati permainan anak muda itu tadi. Tak pernah dalam hidupku aku diladeni dua orang sekaligus. Siapa sangka ternyata sesama pria bisa saling memuaskan hasrat itu...
Dan entah apa yang kuimpikan saat itu... yang jelas aku kembali merasakan kenikmatan itu. Entah siapa yang menggerayangi tubuhku dan memainkan bonggol kejantananku sedemikian rupa sampai aku terasa seperti sedang disetrum aliran kenikmatan yang tiada tara. Dari caranya menggerayangi, seperti...
"Rizki?" erangku sambil perlahan-lahan membuka mata. Agak gelap, hanya ada cahaya kuning remang-remang. Si empunya nama tidak menjawab, namun aku bisa mencium aromanya. Aroma spermanya yang khas itu.
"Sudah bangun Pak?" tanyanya sambil menghampiriku dan tersenyum, sebelum menghadiahiku dengan sebuah ciuman. Ciuman khas miliknya. Aku pun membalas ciuman itu dan hendak merangkulnya, namun tanganku mendadak dihentikan sesuatu dan aku mendengar suara gemerincing besi. Eh? Refleks aku menoleh ke arah tanganku. Ada sebuah borgol terkunci di pergelangan tanganku, dan borgol itu tersambung ke sebuah rantai besi yang terlihat sangat tebal dan kokoh. "Riz?" tanyaku kebingungan. "Ngapain aku diborgol?"
"Tenang aja Pak," sahut Rizki lembut sambil menciumku kembali. "Pak Kris bakal kita layani berdua sampai puas." Tangannya menggerayangi dadaku dan mencubit-cubit putingku dengan nakalnya. Sementara itu, ada seseorang yang masih terus memainkan bonggolan kontolku; aku tidak ingat siapa namanya. "Siap ya Pak," katanya. Aku hanya menjawab dengan sebuah erangan.
Rizki membantuku berdiri, dan baru aku sadar kedua tanganku diborgol sedemikian rupa sehingga tanganku terbuka ke atas. Aku masih bisa berdiri di atas lantai, yang terasa begitu empuk--ternyata karpet. Dan begitu aku berdiri, Rizki langsung mencipokku kembali dengan ganas, selagi anak muda itu kembali meladeni bonggol kontolku.

Angan-angan yang menjadi kenyataan...?


Sepanjang perjalanan aku tidak banyak berbicara--yah, aku memang orangnya pendiam--kecuali dia yang mengajak bicara, selain memang aku tidak terbiasa berbicara ketika dibonceng dan mengenakan helm teropong. Dia sama sekali tidak keberatan ketika entah berapa kali sudah pelukanku melorot gara-gara jalan yang berguncang dan tanganku menyentuh bagian yang kuidam-idamkan selama ini, namun tiap kali itu terjadi, aku selalu cepat-cepat membetulkan posisi tanganku. Pertama kali dulu ia pernah bercerita, ia tidak ingin melakukan itu dengan sembarang orang. Jadi aku harus menghormati perkataannya. Entah apakah aku bisa menjadi orang yang spesial itu untuknya...
Sampai entah kapan ia malah membimbing tanganku ke bagian itu. Sejenak perasaanku campur aduk, antara senang dan sungkan. Kuraba-raba perlahan bagian itu. Aku tidak terlalu khawatir aksiku kelihatan orang lain karena ia menaruh tas ranselnya di depan, sehingga cukup tertutupi. Besar juga. Aku belum pernah menanyakan ukuran bagian pribadinya itu, apalagi melihat fotonya. Dan sekarang aku memegangnya sendiri dengan tanganku sendiri. Jantungku berdebar-debar dibuatnya; punyaku sendiri ikut mengeras, menempel di pantatnya. Dia sama sekali tidak berkata apa-apa selama aku menggerayangi bagian pribadinya itu. Walaupun memang tidak seketat celana polisi, aku bisa merasakan bola-bolanya dan batangnya yang mulai mengeras di balik celana lorengnya. Entah bagaimana caranya ia bisa tetap berkonsentrasi mengendarai sepeda motornya di tengah ruas jalan Jakarta yang sibuk itu. Biasanya ketika kami harus berhenti di lampu merah aku tidak berani melakukan itu, karena banyak juga pengendara motor di samping kiri-kanan kami, jadi aku hanya berlaku biasa dengan tanganku tidak memeluknya. Begitu lampu berubah hijau, aku pun langsung memeluknya kembali, dan tak terlalu lama kemudian tanganku kembali menggerayangi tonjolan kontolnya.
"Masih jauh kah?" tanyaku iseng-iseng.
"Lumayan sih, sabar ya..." jawabnya.
"Iya ga pa pa, ada ini juga, hehehe..." Ia hanya tertawa kecil lalu kembali fokus ke jalan raya, sementara aku terus mengelus-elus bonggolan hangat empuk di tanganku itu. Aku pun memberanikan diri lebih jauh, menggerakkan tanganku masuk ke dalam celananya. Ada celana dalam yang cukup ketat, aku agak susah menelusupkan tanganku ke dalamnya... namun akhirnya kudapatkan juga benda itu. Kontol tentara.

A Thousand Years (bagian 1)


I have loved you for a thousand years, I'll love you for a thousand more...

Lagu itu kembali bergema di benakku. A Thousand Years. Seribu tahun. Ah, sudah seribu tahun lamanya rupanya aku hidup di dunia ini. Begitu cepatnya waktu berlalu...

Ya, aku memang seorang vampir. Namun tak seperti vampir-vampir yang mereka ceritakan di film-film horor, aku berbeda. Aku adalah vampir galur murni terakhir dari keluargaku, dan setelah hidup sekian lamanya, aku berhasil mengekang naluri alamiahku untuk menghisap darah manusia. Aku sudah bisa mengonsumsi makanan yang sama dengan manusia, walaupun memang sesekali aku tetap haus darah. Namun aku tak lagi menghisap darah dari manusia yang masih hidup. Sekalipun dia pacarku.

...

I will not let anything take away what's standing in front of me.

Aku masih ingat ketika aku bertemu dirinya. Saat itu hujan cukup deras, dan aku baru saja menyelesaikan tugas-tugas laporanku di kantor. Sebenarnya aku juga cukup malas untuk pulang, mengingat banjir pasti di mana-mana, namun apa boleh buat, ruang kerjaku tidak nyaman untuk ditiduri. Mandi berendam air hangat pasti nyaman sekali dingin-dingin begini.

Pria Misterius


Perkenalkan, aku Arman. Aku sudah berdinas di kota ini sebagai seorang anggota polisi selama kira-kira tujuh tahun. Tugasku sebagai humas membuat aku harus berhubungan dengan banyak orang, dan tentu saja aku harus bersikap seramah mungkin kepada semua orang, terutama wartawan. Atasanku selalu mewanti-wanti agar aku tidak salah bersikap, atau nama seluruh anggota taruhannya. Untungnya sejauh ini tidak pernah terjadi apa-apa. Kecuali akhirnya aku bertemu dengan pria misterius itu.

Pria itu selalu jadi perbincangan di antara rekan-rekanku karena kemisteriusannya itu. Pria itu muncul pada waktu yang tak diduga dan tempat yang tak diduga. Pria itu selalu menemui seorang polisi yang sendirian, dan tidak sedikit yang jadi "korban." Bukan korban perampokan atau sesuatu yang mengancam nyawa, tapi pria itu hanya berbicara sebentar, bersikap ramah dan akrab, kemudian entah bagaimana caranya pria itu bisa menjelajahi tubuh korbannya dan si korban tidak melawan. Tidak ada barang berharga yang hilang, hanya saja biasanya pria itu akan meninggalkan korbannya dalam keadaan yang cukup "memalukan": noda di celana, dan si korban biasanya tidak akan ingat kejadiannya. Cukup memalukan bagi kami para polisi, dan beberapa kali aku harus menemui media massa yang berebut mencari berita tentang polisi yang "tertangkap basah" serta memberikan press release yang kadang-kadang cukup konyol. Aku sendiri belum pernah menjadi korban, walaupun saat mendengar cerita itu biasanya aku ingin jadi "korban"; siapa tahu pria misterius itu memang mencari lawan main.

Well, ya, aku gay. Karena posisiku yang krusial, jarang sekali aku bisa menjalin hubungan yang konstan, apalagi untuk urusan bawah. Aku tahu kadang-kadang memang ada pria yang melirikku dan kubalas saja seperti biasa, tapi jarang sekali aku berani memulai duluan. Tubuhku sih biasa-biasa saja, malahan rasanya tidak terlalu bagus, karena aku sudah mulai jarang latihan. Posisiku tidak mengharuskan latihan fisik yang berat, ditambah aku doyan makan, jadilah perutku mulai membesar. Kontolku sendiri juga biasa-biasa saja, standar ukuran orang Asia, kecuali kedua testisku yang entah kenapa cukup besar. Akibatnya sih aku sering sekali horny, dan agak sulit juga menutupinya terutama saat berhubungan dengan media, walaupun biasanya hiruk-pikuk media membuat pikiranku teralih untuk beberapa saat. Aku sendiri tidak pernah mempermasalahkan siapa saja yang memegang kontolku, entah disengaja atau tidak. Sayangnya masih belum ada yang mau memainkannya. Atau, aku yang belum berani.

Sampai akhirnya saat itu tiba.