Minggu, 20 Mei 2018

Kala rumah sepi...

Ini adalah dramatisasi dari hasil chat saya dengan dua kawan terbaik kala mig33 masih booming (ada yang pernah pakai?). Dua-duanya polisi, tapi saya nggak mengorek terlalu dalam tentang mereka. Yang saya tahu adalah dua-duanya biseks, salah satunya "baru" menikah (sepuluh tahun yang lalu). Saya sudah kehilangan kontak dengan keduanya, dan saya juga tidak pernah memanggil mereka dengan nama asli (selain tidak tahu juga), hanya nama chat saja. Untuk menjaga rahasia mereka berdua, di cerita ini keduanya saya beri nama Angga dan Om Rudi. Cerita ini sudah ditambah-tambahi dengan khayalan saya sendiri. Kalau kalian baca ini, Om Inu dan mobileunit, kontak Fei lagi dong!

Ah Om Rudi. Aku selalu membayangkan bisa berduaan saja denganmu. Karena aku penasaran dengan tubuhmu.

Dan akhirnya kesempatan itu pun tiba juga.

Perkenalkan, aku Angga. Umurku 25 tahun. Masih muda ya? Aku juga baru menikah. Lalu kenapa aku bisa ada di cerita ini?

Karena aku sebenarnya juga suka pria. Tapi aku malu, atau takut mengakuinya.

Karena aku seorang polisi. Dan kau tahu sendiri, orang-orang masih tidak bisa menerima ada lelaki yang suka lelaki. Karirku bisa tamat kalau sampai aku ketahuan gay.

Yah, untungnya ada yang bisa menerimaku apa adanya. Ketika aku dikenalkan pada aplikasi chat mig33, aku tentunya bebas membuat akun yang mewakili diriku. Tentunya aku tidak membeberkan statusku sebagai seorang polisi. Agak kelihatan sedikit sih dari nama akunku, tapi siapapun bisa buat nama itu, ya kan? Maka aku pun berpetualang ke chat room yang isinya gay. Aku pun bertemu dengan beberapa teman yang akhirnya jadi teman akrab, walaupun tidak sedikit juga yang ingin berteman denganku hanya untuk seks belaka. Ya memang penasaran sih, tapi aku takut... karena manusia zaman sekarang sulit dipercaya. Gawat kalau ada yang mengetahui jati diriku sebagai seorang polisi dan kemudian memanfaatkannya untuk memeras aku. Apalah aku ini sebagai seorang polisi, hanya bisa mencukupi kebutuhan istriku saja. Tapi untungnya salah satu temanku, si Fei, bisa mengerti keadaanku. Tapi kau tidak tertarik bagaimana hubunganku dengan Fei kan?

Maka aku akan menceritakan yang lain. Sesuatu yang "seru". Seperti berbagai cerita seru lainnya yang bisa kaubaca sendiri di Fei's Fantasy tanpa harus bayar ke siapa-siapa, bahkan ke si Fei sendiri. Kalau kamu terlanjur bayar ke orang lain, batalkan saja dan langsung laporkan cerita serta akun itu.

Siang itu, aku dan Om Rudi baru saja selesai tugas. Tapi, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Supaya lebih enak, Om Rudi mengajakku untuk mengerjakan di rumahnya saja. Aku pun tidak menolak. Om Rudi ini juga seorang polisi, tentu saja ia di atasku, tapi di luar pekerjaan (termasuk di chat room) aku sudah terbiasa memanggilnya Om Rudi dan dia pun tidak keberatan dipanggil demikian (kayanya gara-gara Fei nih, hehehe...). Perawakan Om Rudi tidak seperti stigma polisi om-om yang perutnya gendut. Om Rudi tetap rajin menjaga tubuhnya tetap prima dan ideal
Setelah memasukkan mobilnya, kami pun membawa laptop masing-masing masuk ke ruang kerja Om Rudi. "Bentar ya Ngga, aku ambil minum dulu." Om Rudi pun meninggalkanku sendiri di ruang kerjanya. Aku pun membuka dan menyiapkan laptopku serta laptop Om Rudi. Tak terlalu lama ia membawakan dua gelas dan sebotol air dingin dari kulkas. "Sepi ya Om? Anaknya ke mana?"
"Lagi pergi ke mal sama ibunya, diantar supir. Enak sih, kita jadi bisa kerja berdua dengan tenang."
"Iya Om."
"Duduk deket sini Ngga, jangan jauh-jauh gitu." Aku pun menggeser kursiku mendekat ke Om Rudi. Sejenak agak deg-degan juga. Baru kali ini aku duduk sedekat itu dengan Om Rudi. Bau parfumnya masih terasa harum dan wangi. Entah kenapa itu membangkitkan gairahku. Istriku sedang datang bulan dan aku juga sudah lama tidak disentuhnya, jadi sepertinya aku lagi tegangan tinggi. Dan mumpung tidak ada orang lain di rumah...

"Bentar ya Ngga, ini laptop lemot juga, lama bukanya..." Om Rudi duduk bersandar pada kursi kerjanya yang terlihat nyaman itu.
"Sambil nunggu Om..."

Aku meletakkan tanganku di paha Om Rudi.
Ini yang kutunggu-tunggu dari tadi. Aku memang sengaja menyandarkan badanku di kursi kerjaku supaya terbukalah akses ke pahaku. Dan tentu saja aku dengan bangga memamerkan tonjolan selangkanganku yang masih terdiam di dalam celana dinasku.

Tapi tak lama lagi akan ada yang terbangun.



Angga meletakkan tangannya di pahaku. "Ngapain Ngga?" tanyaku basa-basi, dan sejenak aku menyesal menanyakannya. Jangan-jangan nanti Angga malah mengurungkan niatnya.

"Kita ngerjain yang lain dulu Om sambil nunggu laptopnya siap," jawab Angga kalem. Ia mengelus-elus pahaku. Jantungku berdesir; sudah lama sekali aku menginginkan disentuh olehnya. Ya memang sih aku pernah menyentuh dirinya, tapi itu sekedar berjabat tangan atau menepuk-nepuk pundaknya. Bukan dalam kapasitas untuk memuaskan diriku. Yah, karena istriku sendiri sudah menopause, tentunya aku tidak bisa melampiaskan hasrat seksualku ke istriku lagi. Tidak mungkin juga aku mencari wanita lain; aku sangat mencintai istriku. Satu-satunya solusi aman bagiku adalah Angga. Pria, masih muda, yang tentunya punya gairah seks tinggi, dan sama-sama polisi. Sama-sama bisa jaga rahasia. Aku sengaja bernafas agak berat, memberi tahu Angga bahwa diriku tidak berkeberatan disentuh. Angga pun tanggap atas reaksiku dan tanpa minta izin lagi ia pun menyentuh selangkanganku. Kalau sedang bertugas, tentunya itu adalah sebuah tindakan yang kurang ajar dan sangat layak mendapatkan hukuman, apalagi pangkatku di atas Angga. Tapi, karena kami sudah bebas tugas, dan lagi pula ia ada di rumahku yang sepi, aku pun membiarkan tindakannya yang "kurang ajar" itu.
"Gede Om," komentar Angga sambil mengelus-elus alat vitalku itu. Aku tidak lagi menyebutnya "kemaluan" karena benda itu sudah bukan milikku seorang; milik istriku tentu saja. Tapi sebentar lagi kemaluanku juga akan menjadi milik Angga. Dan aku rela milikku yang berharga itu menjadi miliknya juga.
"Kerjakan Ngga."
"Siap, laksanakan!" jawabnya tegas, walaupun aku tahu ia sedang bercanda. Ia mulai meremas-remas alat vitalku dengan mantap. Aku pun mendesah keenakan. Batang kelaminku pun dengan segera menegang dan nampak di celanaku. "Aaaahhh... enak Ngga... jadi gini to rasanya diremas lelaki... Mmmhhh..." Entah Angga belajar meremas kemaluan lelaki dari mana, karena aku tahu dia tidak pernah melakukannya dengan lelaki manapun. Bahkan ia bisa mengagumi batang kelaminku yang kini tercetak jelas di celana dinasku dengan tangannya; tak henti-hentinya ia menggesekkan tangannya di kepala kelaminku. "Oooohhh... mmmhhh... sssshhhh... geli Nggaaa..."



Dan akhirnya yang kunanti-nantikan pun tiba.
Puas mengagumi batang kontol Om Rudi yang menegang itu, aku pun mengagumi kedua bola kontolnya. Cukup besar, dan tentunya masih produktif. Kuremas-remas renyah dan Om Rudi pun mengerang. "Aaaaahhh... pelan-pelan Nggaa..."
"Tapi enak kan Om?"
"Enak kok. Terusin Ngga..." Aku pun mencoba mengagumi seluruh bagian kontolnya dengan tanganku. Jempolku mengelus-elus kepala kontolnya, jari telunjuk dan jari tengahku mengurut batang kontolnya, jari manis dan kelingkingku berputar-putar di atas bola-bola kontolnya. Aku bergairah melakukannya terutama melihat Om Rudi masih berseragam lengkap sebagai seorang polisi perwira menengah. Kapan lagi kau bisa menggerayangi kontol atasanmu? Polisi pula! Ya hanya sekarang ini, maka waktu ini tidak kusia-siakan. "Oooohhh, enak Nggaaa...  Kau pandai betul... sssshhh..."

Aku belum puas mengagumi kontol Om Rudi. Kini aku ingin mengaguminya tanpa terhalang sehelai kain apapun. Maka, dengan nakalnya tanganku menuju ke resleting celana dinasnya. Aku benar-benar deg-degan; aku akan melucuti atasanku seorang polisi! Ketika seorang polisi memasrahkan dirinya dilucuti dan dilecehkan secara seksual, itu memberikan gairah yang luar biasa, dan aku menyukainya. Kubuka resleting celananya, dan kurogoh ke dalam. Celana dalamnya begitu halus; di suatu ujung tempat kepala kontolnya berada sudah basah oleh cairan kejantanan Om Rudi, menandakan Om Rudi siap dipuaskan. Kubuka sabuk emas Om Rudi agar aku lebih leluasa melucuti pertahanan kontolnya yang sebentar lagi akan runtuh. Kuturunkan celana dalamnya, dan...

Oh begitu indahnya pemandangan di depanku ini. Seorang perwira polisi berseragam lengkap namun tersibakkan kontolnya. Kontol yang sedang ngaceng sempurna, menunjukkan kejantanannya.

Tanpa pikir panjang lagi, kupegang batang kontol itu dan kukagumi.

"Oooohhh Nggaaaa..." aku hanya bisa pasrah melihat seorang polisi di hadapanku memegang batang kelaminku yang sudah menegang keras. Sensasi itu benar-benar belum pernah kurasakan. Dan entah kenapa ketika seorang polisi pria yang melakukannya, itu memberikan kenikmatan luar biasa bagiku. Angga mengelus-elus batang kelaminku dengan lembut; kontras dengan sifatnya yang tegas di lapangan. Sudah lama sekali aku tidak mengalami ekstasi kenikmatan di selangkanganku. Aku menjadi seakan hidup kembali dengan Angga. Apakah ini tandanya aku mencintainya?
Cairan bening pun mulai meleleh dari ujung batang kelaminku. Aku benar-benar terangsang. "Bikin enak Ngga..."
"Siap Ndan!" Angga lagi-lagi berkelakar. Ia sedikit membetulkan posisi duduknya sehingga kini ia ada di sampingku. Tangan kirinya memegang kelaminku sementara tangan kanannya mengelus-elus dadaku. Ah, aku lupa bahwa dada pria itu juga tempat sensitif. "Oooohhh... Ngga... Om suka... nnnggghhh... sssshhh..." Aku melirik ke selangkangannya dan terlihat jelas bahwa polisi muda itu juga terangsang. "Om boleh pegang punyamu?"
"Monggo Om." Angga tidak menolak. Aku pun meletakkan tanganku di atas selangkangannya. Ini adalah pengalaman perdanaku memegang kemaluan seorang lelaki. Kemaluan seorang polisi. Bawahanku sendiri.
Dan sepertinya aku tidak bisa lagi menyebutnya "kemaluan" polisi Angga. Karena dia tidak malu organ tubuh pribadinya itu kupegang.
Tapi sepertinya aku terlena dengan permainan Angga pada kelaminku sendiri, sehingga aku tidak terlalu fokus pada kemaluan Angga. Mungkin aku bisa belajar dari dirinya melayaniku.



Aku tidak menduga Om Rudi juga mau memegang kontolku. Kontolku tidak pernah disentuh oleh orang lain kecuali istriku, tentu saja. Tapi bahkan istriku tidak pernah menyentuhnya saat aku masih berseragam lengkap polisi seperti sekarang ini. Gairahku mendadak membuncah, dan aku pun dengan bersemangat mengocok kontol Om Rudi. Kurasa ini adalah awal yang bagus bagi hubunganku dengan Om Rudi, bahwa Om Rudi sudah menyerahkan kontolnya untukku, dan aku juga menyerahkan kontolku untuk Om Rudi. Tentang teknik memuaskan masing-masing, biarlah waktu yang berbicara. Toh tampaknya untuk saat ini Om Rudi sendiri menikmati kontolnya kukocok-kocok. Memang mengocok kontol itu sudah sangat biasa sekali, tapi kalau cowok lain yang melakukannya? Bawahan mengocok kontol atasannya? Polisi mengocok kontol polisi? Begitu istimewa hubunganku dengan Om Rudi. Dan aku akan menikmati setiap detiknya.

"Oooohhh... Nggaaa... enaaakkk.... ssshhh... terusin Nggaaa... mmmhhh... Om mau keluar...."

Croooot...

Kurasa Om Rudi sudah lama tidak keluar, jadi kali ini dia keluar dengan cepat. Aku menopang kontolnya dengan kedua tanganku selagi kontolnya mengeluarkan cairan putih kental yang dimiliki semua pria sejati. Pejuh. Aku mencegah spermanya berceceran di celana dinasnya; apa kata istrinya nanti kalau sampai tahu Om Rudi ngecrot di celana? Setelah Om Rudi berhenti mengerang dan mengejan, aku meyakinkan diri tidak ada lagi pejuh yang tersisa. Kutungkupkan tanganku supaya pejuhnya tidak jatuh berceceran di lantai dan aku pun beranjak ke kamar mandi untuk membuangnya. Sejenak kucium baunya. Begitu khas bau pejuh lelaki. Mungkin kapan-kapan aku harus belajar menikmatinya. Kubuang ke wastafel dan kucuci tanganku sampai bersih. Saat aku kembali ke ruangan, Om Rudi sudah membenahi dirinya dan kembali berpakaian, seolah-olah ia tidak pernah ditelanjangi. "Makasih ya Ngga, enak banget."
"Ga pa pa Om, Angga senang bisa bantu Om. Kapan-kapan kalau pingin lagi, bilang Angga saja."
"Sini Ngga, gantian." Ia menyuruhku berdiri di sampingnya. Begitu aku berdiri dalam posisi istirahat di tempat, Om Rudi langsung mengelus-elus kontolku. "Aaahhh..."

Kau mau tahu cerita selanjutnya? Tunggulah rumahmu sepi.