Selasa, 25 April 2023

Polisi di Tangan Maling (bagian 1)

Cerita ini hanyalah rekaan semata, kesamaan nama dan tempat hanyalah kebetulan belaka. PERINGATAN: Konten ini mengandung materi dewasa dan homoseksualitas. Jika Anda tidak dapat menerima materi ini, segera tinggalkan blog ini.

Sudah lama sekali ketika Fei mengambil permintaan seseorang untuk dibikinkan cerita. Ini adalah salah satu permintaannya, semoga suka yah.

Cerita ini akan ada unsur BDSM sedikit, namun Fei usahakan tidak terlalu kuat. Di awal juga akan ada sedikit adegan "normal" walaupun tidak sampai penetrasi. Kalau memang tidak suka konten BDSM, ditunggu saja yah cerita Fei yang lain.



"Nggghhh... Sayang... jangan sekarang..."
"Habis Mas Bayu dinas melulu, Sinta kan kangen..." Aku tak kuasa menepis tangannya yang menggerayangi selangkanganku dan meremasnya pelan, padahal aku sudah mau berangkat dinas.
"Nanti malam ya Sayangku..." ujarku sambil mengecup keningnya dan bibirnya.
"Janji ya Mas Bayu," rengeknya. "Ini udah berdiri lho!" Ya bagaimana bisa aku tidak ngaceng kalau kontolku diraba-raba istriku sendiri?
"Janji Sayang," ujarku lagi sambil mengecup keningnya lagi. "Dua ronde deh. Udah ya, Mas berangkat dulu! Nanti telat!" Sekalipun aku masih ingin berlama-lama dengan istriku, apalagi dia sudah menggodaku sampai segitunya, namun pekerjaanku menanti. Aku melirik jam tangan, sudah pukul 06.30. Bisa telat apel lagi nih, pikirku. Setelah memberinya ciuman di bibir, aku pun pamit dan memacu motorku ke kantor.

Perkenalkan, aku Bayu, seorang polisi berumur 24 tahun. Aku baru saja menikah beberapa bulan lalu, maka jangan heran kalau kisah ini kubuka dengan kemesraanku dengan istriku. Namun, kalau kau menemukan ceritaku di sini, berarti ada sesuatu yang lain, ya kan?

Ya, dan sayangnya hidupku perlahan-lahan berubah di hari itu. Hari saat pertama kalinya aku tidak dapat memenuhi janjiku ke istriku untuk bercinta dengannya sepulang dinas. Karena ada sesuatu yang terjadi saat aku berdinas.

Inilah kisahku.

Setelah apel pagi, aku mengerjakan tugas-tugasku di kantor untuk hari itu. Separuh hari pertama aku dapat giliran jaga, dan setengah hari itu berlalu begitu saja tanpa ada sesuatu yang istimewa. Siang harinya, aku pulang ke rumah untuk makan siang; aku memang tinggal di kompleks perumahan yang disediakan untuk anggota Polri, yang cukup dekat dari kantorku bertugas saat ini. Kadang-kadang aku diolok-olok rekan-rekanku, dasar pengantin baru. Ya mau bagaimana lagi, memang aku masih dilanda kasmaran di bulan-bulan awal pernikahanku dengan Sinta. Kehidupanku jadi terasa lebih berwarna sejak Sinta menjadi istriku, terutama kehidupan seksku juga menyenangkan dengan tubuh Sinta yang memang sintal dan menggairahkan. Hampir tiap malam aku bercinta dengannya, walaupun kami belum dikaruniai anak. Badanku sendiri cukup ideal menurutku; dengan tinggiku yang 172 cm, berat badanku 68 kg namun aku tidak gemuk. Aku suka berolah raga, sehingga tubuhku bugar dan cukup kekar, walaupun tidak sampai seperti binaragawan. Itu juga mungkin yang membuat Sinta istriku selalu terangsang denganku, terutama dengan statusnya sebagai seorang bhayangkari. Dia cukup sering menggodaku saat masih berseragam lengkap, seperti tadi pagi.
Dan siang itu, dia menggodaku lagi.
"Gimana Mas Bayu, masakan Sinta enak kan?" tanyanya sambil memandangku makan dengan lahap.
"Enak dong, istrinya siapa dulu!" pujiku. Sekalipun saat itu ia hanya menggoreng ayam, namun ayam gorengnya beda dengan yang dijual di warung-warung. Istriku bakat memasak dan sebenarnya banyak yang cocok dengan masakannya. "Apalagi ini paha ayamnya kok gede banget Yang?"
"Iya, itu Sinta tadi beli di pasar, terus inget Mas Bayu kan suka paha ayam, makanya Sinta masakin ayam goreng."
"Makasih ya Sayang," ujarku sambil melahap paha ayam itu dengan lahap.
"Kalau Sinta sih suka pahanya Mas Bayu," ujarnya nakal sambil mengelus-elus pahaku. Aku tidak bisa mengelak, aku makan dengan tangan saat itu. "Yakin suka pahanya?" godaku.
"Yaaaa... Sinta suka 'burungnya' Mas Bayu," bisiknya agak mendesah sambil membelai kontolku. Padahal bukan itu jawaban yang kuharapkan, namun istriku seakan tidak peduli dan terus menggerayangi kontolku. "Aaahh Yang... Mas Bayu masih dinas lho... masa kamu gituin polisi sih?"
"Kalau polisinya Mas Bayu sih, Sinta rela ditangkap Mas..." Ia mulai meremas-remas pelan kontolku, membuatku sulit berkonsentrasi menghabiskan makan siangku. "Bentar Yang, Mas Bayu selesaikan makan dulu," ujarku sambil agak buru-buru menghabiskan ayamku, walaupun sebenarnya jam istirahatku masih cukup panjang. Sinta tidak menghiraukanku, bahkan hendak membuka resleting celana coklatku. "Yang... nanti malam aja..."
"Sinta pingin sekarang Mas...," ujarnya merajuk sambil berpose seseronok mungkin. Ia hanya mengenakan baju daster tipis saat itu, dan sepertinya ia tidak mengenakan BH. Aku menyelesaikan makanku, meneguk air di gelasku, dan bangkit hendak mencuci tangan. Sinta mengikutiku dari belakang dan menggerayangi pantat semokku selagi aku mencuci tangan. "Nanti malam Mas Bayu kasih jatah dobel."
"Bentar aja Mas...," rajuk Sinta, tangannya kembali menggerayangi kontolku, membuka resleting celana PDH-ku, dan akhirnya merogoh ke dalam. "Aaaahhh... Yang..." Aku memegangi tangannya hendak melepaskan diri, namun Sinta memelukku dari belakang dan mengelus-elus kontolku. "Yang... Mas Bayu masih dinas..."
"Masih ada waktu kan Mas Bayu... bentar aja..." Sinta berhasil mengeluarkan batang kontolku yang sudah mengeras dan mengocoknya pelan. "Oooohhh..." Sinta membimbingku ke ruang tengah, masih memegangi kontolku. "Istirahat di tempat Yang..." Kulirik jam dinding, masih pukul 12.30. Masih ada waktu. Kuturuti permintaannya; aku pun berdiri dalam posisi istirahat di tempat. Sinta pun menciumku sambil mengocok-ngocok kontolku; terasa begitu nikmat sekalipun aku tahu ini bukan saatnya. "Mmmhhh... enak Yang..." Sinta tidak berkata apa-apa, ia langsung berlutut di depanku dan memainkan kontolku dengan mulutnya. "Aaahhh Yang... ntar crot lho..."
"Crot in muka Sinta Mas Bayu... Mmmhhh..."
"Terus nanti malam gimana dong kalau Mas Bayu crot sekarang?"
"Ya ga pa pa, Sinta pingin ngerasain batangnya Mas Bayu. Briptu Bayu, anggota polisi." Sinta menyapukan lidahnya di kepala kontolku, membuatku menggelinjang. "Aaaahhh... yeeesss... Sayangggggghhh... sssshhhh... nakal yaaaahhh... berani sama polisiiiiii..." Sinta melahap kontolku dan menghisapnya, membuatku teraliri kenikmatan yang tiada tara. "Oooohhh... Yang..." Sinta tahu kelemahanku: aku paling tidak tahan dihisap. Itu salah satu jurusnya untuk bisa menikmati kontolku dalam waktu cepat, karena biasanya hanya satu-dua menit saja setelah dihisap, aku akan orgasme. Aku sudah merasakan hisapannya sejak pacaran, namun aku tak pernah bosan dengan hisapannya. Entah bagaimana caranya Sinta bisa menemukan cara baru untuk memberikan kenikmatan padaku dengan hisapannya. "Yaaannnggg... mau keluaaaarrrhhhh... nnngggggghhhh..." Sinta malah mempercepat hisapannya, hingga...
"Ooooohhhh..."
Crooottt...

Setelah aku bisa mengendalikan diri, aku pun merapikan diri sebelum kembali ke kantor, meninggalkan istriku Sinta yang masih saja menggodaku saat aku hendak berangkat. Kadang-kadang aku kewalahan juga dengan dia, sepertinya dia agak hiperseks. Aku sendiri menikmati seks dengan istriku, tentu saja. Tidak pernah sekali pun terbersit di benakku tentang bercinta sesama jenis. Sekalipun kadang-kadang rekanku bercerita atau bercanda tentang hal-hal berbau seks, namun tidak pernah ada rekanku yang memainkan kontolku. Aku sendiri hanya beberapa kali memegang kontol rekanku, itu pun hanya waktu bercanda dan tidak ada maksud apa-apa.
Ternyata kelak aku akan merasakan kontolku dimainkan pria lain.
"Bay, ada laporan maling di rumah Pak Umar, jalan X," kata atasanku saat aku kembali ke kantor. "Kamu bisa datang ke sana? Kemungkinan malingnya masih di dalam rumah, tapi Pak Umar tidak tahu pasti, dia dengar suara gaduh di ruang tengah tapi tidak berani keluar. Pak Umar cuma berani SMS ke hotline kita."
"Siap Ndan 86," ujarku.
"Tapi sendirian ya? Teman-teman yang lain pada keluar, mendadak ada kasus pembobolan toko Slamet Abadi. Kau tahu kan pemilik toko itu baik ke kita, jadi kita fokus ke kasus itu."
"86 Ndan!"
"Bawa tongkat dan pistol, jaga-jaga kalau malingnya masih di rumah Pak Umar. Ini nomornya Pak Umar, kamu hubungi coba kalau sudah sampai TKP. Kalau ternyata malingnya sudah tidak ada, segera lapor balik supaya saya bisa kirim unit olah TKP. Kalau masih ada, lumpuhkan saja, paham?"
"Paham Ndan 86!" Aku pun mempersiapkan diri, mengambil tongkat T dan pistol karet yang sudah diisi penuh, lalu memacu motorku ke rumah Pak Umar. Sebelumnya aku memang pernah menangani pelaku kejahatan, bahkan yang bersenjata tajam sekalipun, itulah sebabnya atasanku percaya mengutusku sendirian sekalipun mestinya standar protokol yang berlaku adalah dua orang anggota. Aku tidak mengenal baik Pak Umar sebenarnya, namun laporan kejahatan tetaplah harus ditindak. Sebenarnya agak mengherankan juga ada maling di siang bolong begini; waktu itu masih pukul dua siang. Apalagi terjadinya nyaris bersamaan dengan pembobolan toko Slamet Abadi, padahal setahuku toko itu tidak pernah punya musuh. Kenapa ada kejahatan di waktu berdekatan di kota kecil ini, aku tidak habis pikir. Mungkin sudah waktunya mulai ada penyelidikan lebih intensif.
Tak terlalu lama aku pun sampai di rumah Pak Umar. Kuparkir motorku di depan rumah Pak Umar, lalu sejenak melihat ke dalam. Terlihat tidak ada orang, namun memang seperti biasanya rumah-rumah di dalam kompleks perumahan. Aku sudah meminta satpam untuk berjaga-jaga di semua akses kompleks perumahan itu--untungnya hanya ada satu akses saja. Aku mencari-cari bel rumah Pak Umar dan menekannya lalu kutunggu beberapa saat. Tidak ada jawaban. Kutekan lagi bel rumah itu. "Pak Umar?" teriakku dari luar, siapa tahu maling itu jadi ketakutan dan memilih kabur diam-diam, walaupun kulihat sekeliling rumah Pak Umar, seharusnya tidak ada akses jalan keluar yang lain, kecuali dia memanjat genting.
"Iya sebentar!" sahut seseorang dari dalam rumah. Aku mendengar suara pintu dibuka, lalu seseorang melangkah keluar. "Maaf Pak, saya tadi habis berkelahi dengan malingnya, untung Bapak ngebel jadi dia teralihkan perhatiannya!" Pak Umar pun membuka kunci pintu gerbang dan mempersilakanku masuk. Aku menuntun motorku masuk dan menyuruh Pak Umar menutup kembali pintu gerbangnya, supaya tidak ada orang lain masuk maupun keluar, karena semestinya saat ini rumah Pak Umar sudah menjadi TKP. "Ada maling berarti Pak?"
"Iya Pak Bayu," jawab Pak Umar setelah memperhatikan namaku di dada. "Tadi saya habis SMS terus saya beranikan diri keluar dari kamar, ternyata malingnya sedang obrak-abrik di dapur. Saya ambil pentungan lalu diam-diam mendekat dari belakang, tapi kemudian saya nyenggol meja. Jadilah saya berkelahi dengan malingnya Pak Bayu."
"Apa malingnya bersenjata Pak Umar?"
"Untungnya tidak sih Pak, tapi waktu berkelahi dengan saya dia sempat ambil garpu."
"Lain kali lebih berhati-hati Pak, bisa berbahaya kalau malingnya ternyata bersenjata tajam." Aku mengamati sekeliling, memang ada beberapa bagian yang porak poranda seperti bekas perkelahian. Aku tidak terlalu paham mengolah TKP, jadi aku tidak mengusik apa-apa. "Sekarang malingnya di mana Pak?"
"Habis saya bikin pingsan, saya seret ke kamar belakang, buat gudang, terus saya kunci di sana Pak Bayu. Sebentar saya ambilkan kuncinya dulu. Pak Bayu kalau mau lihat-lihat dulu, kamar belakangnya setelah dapur." Pak Umar meninggalkanku sendirian untuk mengamati bekas perkelahian di dapur. Sejenak aku merasa heran, untuk apa ya maling obrak-abrik dapur? Bukannya barang berharga mestinya ada di kamar? Ruang makan yang ada di sebelah dapur terlihat cukup rapi, walaupun meja makan cukup berantakan dan ada beberapa piring dan gelas yang pecah, mungkin bekas perkelahian. Tapi posisi kursinya cukup rapi menurutku... dan setelah dipikir-pikir, posisi pecahan piring dan gelas itu agak jauh dari meja makan. Sepertinya ada yang aneh...
"Mari Pak Bayu, lewat sini," Pak Umar sedikit mengagetkanku dengan membawa kunci. "Pak Umar tadi berkelahi dengan malingnya di ruang makan sini Pak?"
"Betul Pak, makanya itu ada piring makan dan gelas pecah." Hmmm... mungkin saja Pak Umar tadi mengayunkan pentungannya cukup keras sehingga piring dan gelas itu terlontar cukup jauh. Biar nanti penyidik saja yang menanyai Pak Umar dan merekonstruksi kejadiannya... Aku mengikuti Pak Umar menuju kamar belakang yang saat itu tertutup. "Ini kamar apa Pak sebenarnya?" tanyaku.
"Oh ini dulu kamar ART Pak Bayu, cuma kebetulan saya sudah lama tidak dapat ART jadi sementara saya jadikan gudang. Jadinya agak berantakan memang Pak." Pak Umar pun membuka pintu kamar itu dan mempersilakanku masuk. Memang benar, kamar itu agak berantakan dan lebih cocok disebut gudang. Aku melihat seseorang tergolek tak bergerak di sudut kamar. "Itu malingnya Pak, saya berhasil bikin pingsan tadi, pas Pak Bayu ngebel dia lengah, jadi saya pukul kepalanya, dia langsung ambruk pingsan." Aku berjongkok mendekati maling yang pingsan itu untuk memeriksa tanda vitalnya, terutama untuk mengetahui luka-lukanya. Denyut nadinya agak cepat untuk seseorang yang pingsan, nafasnya juga tidak selambat seseorang yang pingsan. Aneh... Aku pun bangkit berdiri dan bertanya. "Pak Umar, yakin ya Pak tadi..."
Pertanyaanku tidak bisa kuselesaikan karena mendadak Pak Umar mendekapku dari belakang dan menutupi mulut dan hidungku dengan sebongkah kain. "Mmmmhhhh..." aku pun meronta-ronta. Ada apa ini, kenapa Pak Umar mendekapku... "Ngggghhhh!" Bau tajam pun merasuki penciumanku; alkohol? Obat bius? Aku meronta-ronta sebisaku hendak membebaskan diriku dari dekapan Pak Umar yang cukup kuat, padahal badan Pak Umar tidak lebih besar dariku. Kugunakan sikuku untuk melawan Pak Umar, beberapa kali kena, namun Pak Umar seolah tidak bergeming.
Dan mendadak maling yang terlihat pingsan itu pun sudah berdiri di depanku selagi aku berusaha berontak melepaskan diri. Mataku membelalak melihat maling itu tersenyum dan memegangi bahuku, lalu meninju perutku.
"Ugh..." Rasa mulas pun mulai menjalar dari perutku, ditambah lagi dengan aroma tajam itu mulai membanjiri paru-paruku, membuatku megap-megap mencoba menghirup udara segar, namun aroma itu semakin masuk ke dalam. Maling itu mendekati diriku dan tersenyum, lalu kembali sambil memegangi bahuku, ia menghunjamkan lututnya ke selangkanganku. "Hnnggghh..." Tubuhku terangkat sedikit akibat tendangan lutut maling itu ke selangkanganku, nafasku seolah dipaksa keluar dari paru-paruku, selagi rasa ngilu itu perlahan-lahan menjalar dari biji-biji kontolku, mengumpul lagi di perutku. Pandanganku mulai kabur, mungkin efek alkohol atau obat bius apapun itu sudah mulai bekerja, walaupun setahuku film-film itu hanya melebih-lebihkan dan mestinya kerjanya tidak secepat itu, namun mungkin dikombinasi dengan tendangan di kontolku... tenagaku juga sudah melemah, sehingga aku tidak siap dengan apa yang dilakukan maling itu berikutnya.
Entah sejak kapan maling itu berhasil mengambil tongkatku yang tadinya terkait di pinggang kiriku. Dengan sekali hentakan, maling itu mengayunkan tongkatku ke kontolku. "Plok..." Hanya suara itu yang kuingat, saat tongkat itu menghantam selangkanganku, memberikan rasa ngilu yang begitu intens.
Pandanganku pun menjadi gelap sepenuhnya.
Sinta...



"Yah, pingsan duluan... padahal aku masih pingin remas kontolnya sampai pingsan."
"Kau berlebihan lah Rik," ujar Umar. "Benernya ga perlu sampai ngebius dia juga kan? Tuh udah pingsan." Keduanya mengamati tubuh polisi Bayu yang tergeletak lunglai di lantai kamar. Erik menghampiri polisi Bayu dan mengelus-elus kontol polisi Bayu dengan kakinya. "Kalau dia ngelawan kan berabe Mar," kata Erik. "Tuh dia bawa pistol juga kan. Ngeri kalau sampai ditembak."
"Makanya kita combo pakai obat bius dan kau hajar kontolnya! Ternyata lemah juga ya polisi ini."
"Dia ga pakai pelindung selangkangan sih," ujar Erik sambil meraba-raba kontol polisi Bayu. "Nih pegang sendiri." Umar berjongkok di samping Bayu dan meraba-raba kontol Bayu. "Ya dia kan bukan pasukan huru-hara Rik, mana perlu pakai pelindung kontol! Kan kita cuma laporan kalau ada maling!"
"Yaaa yang penting kita dapat kontol polisi Mar. Kita nikmati sampai habis hari ini."
"Mau kau apakan dia Rik?"
"Banyak lah. Yang jelas, aku ga mau sia-siakan kontolnya." Erik merogoh ke dalam celana PDH polisi Bayu untuk mendapatkan gambaran sebenarnya ukuran kontol polisi Bayu. "Lumayan gede kontol polisi ini. Kayanya tadi dia habis ngaceng Mar!"
"Tahu dari mana Rik?"
"Ada precum dikit di celana dalamnya."
"Jadi nanti mau kamu perkosa dia?"
"Pasti lah Mar, sudah lama aku ga perkosa polisi. Selain itu, kita bisa juga siksa dia. Atau mungkin edging aja ya, atau cum denial mungkin, dia mohon-mohon biar bisa muncrat tapi kita ga kasih... hmmm banyak ide di benakku!"
"Tapi nunggu dia sadar?"
"Iya Mar. Sepingin-pinginnya aku perkosa polisi, masa pas dia pingsan gini. Lebih seru perkosa polisi, udah masih seragam lengkap, straight pula hahaha..."
"Tau dari mana kalau dia straight?"
"Ya perkiraan aja, kan banyakan yang straight kan? Coba aja cari di dompetnya, kali-kali ada foto istrinya." Umar mencari-cari dompet si polisi Bayu, dan setelah menggeledah isi dompet itu, benar saja, ada foto Sinta istrinya. "Nah kan, jackpot ini Mar!" ujar Erik bersemangat. "Kita akan bikin polisi ini tidak melupakan hari ini."



Entah sudah berapa lamanya aku tidak sadarkan diri. Pandanganku masih gelap atau kabur, namun aku merasa kesadaranku perlahan-lahan pulih, walaupun tubuhku terasa lemah. Samar-samar aku mencium bau wangi, mungkin pewangi ruangan? Di mana aku? Udaranya agak dingin, mungkin AC? Tapi rasanya tadi aku tidak di ruangan ber-AC... kalau tidak salah ingat, tadi aku menanggapi laporan maling di rumah Pak Umar.
Ah, maling! Tadi dia menyerangku! Aku berusaha membuka mataku, namun semuanya tampak gelap. Atau samar-samar? Sepertinya aku melihat cahaya, tapi remang-remang saja. Aku berusaha bangkit, namun tubuhku menolak. Lambat laun kesadaranku mulai kembali dan aku mulai bisa merasakan anggota tubuhku satu per satu. Sepertinya aku sedang dalam posisi duduk. tanganku sulit digerakkan. Aku merasakan besi dingin di pergelangan tanganku--borgol? Kugerak-gerakkan tanganku, dan aku menjadi yakin aku diborgol. Sialan, apa maling itu memborgolku? Aku mencoba meronta dan mendengar suara benda berat bergesekan dengan lantai--kursi? Aku diborgol di kursi? Harusnya aku masih bisa membebaskan diri... namun lenganku sulit digerakkan. Akhirnya aku merasakannya: tanganku menggapai sesuatu yang kurasakan sebagai tali tambang. Kencang sekali sepertinya, karena bahkan torsoku pun tidak bisa kuputar. Kakiku juga sepertinya diikat, aku bisa merasakan tali kencang di paha dan betisku. Sepertinya kakiku diikat di kaki kursi? Akan percuma kalau aku meronta-ronta, apalagi sampai jatuh tersungkur, aku akan kesulitan bangkit. Hanya saja, kakiku diikat dengan posisi... terbuka? Apa-apaan ini? Berani sekali maling itu dengan polisi? Apa dia bekerja sendirian? Oh Pak Umar... sepertinya tadi dia membekapku. Apa jangan-jangan Pak Umar bekerja sama dengan maling itu? Tapi... untuk apa menculikku? Kalau aku tidak kembali-kembali, mereka pasti akan mencariku, ya kan? Harusnya aku tadi bawa HT... atau HP-ku di mana ya? Sepertinya aku mendengar suara gemerisik HT, tapi samar sekali... Tapi sekarang aku tidak bisa menggunakannya... semoga mereka bisa melacakku. Sinta pasti khawatir juga kalau aku tidak pulang-pulang, mana tadi aku sudah janji ngasih jatah... tenang Bayu, berpikir jernih! Kalau kau tenang, kau pasti bisa pulang dengan selamat! Sinta pasti tidak akan keberatan, yang penting aku pulang dengan selamat dulu. Ah Sinta... kenapa aku jadi terangsang membayangkannya...
Baru kusadari bahwa anggota tubuhku yang satu itu sudah tegang dari tadi. Duh masa dalam keadaan begini aku bisa tegang... tapi... Aku mencoba mengosongkan pikiran dan menunggu. Dan menunggu. Dan menunggu. Hanya saja, aku tetap bisa merasakannya. Batang kontolku menegang dalam celana PDH-ku, bahkan lambat laun aku juga merasakan bahwa kedua puting dadaku ikut menegang. Apa gara-gara dingin ini... tapi ini perasaan yang berbeda. Aku mengenal tubuhku dengan baik, dan saat ini aku tahu tubuhku sedang terangsang. Padahal aku tidak memikirkan hal-hal yang membuatku terangsang! Apa aku diberi obat perangsang... atau jangan-jangan tadi aku dibekap dengan campuran obat perangsang?
"Bagaimana Pak Bayu? Briptu Bayu?" sebuah suara pria membuyarkan pikiranku. Suara itu tidak kukenali, bukan suara Pak Umar. Apa maling itu ya? "Sepertinya sudah bangun ya Pak Bayu, tanpa diapa-apakan." Aku tidak bisa melihat orang itu, namun kurasa dia berada dekat denganku. "Bagaimana kalau dibeginikan ya?" Aku merasakan sesuatu meraba-raba dada kiriku, sesekali menyenggol pentil dadaku. "Mmmmhhh!" Aku hendak berteriak protes, namun aku baru sadar ada sesuatu yang mendekap mulutku. Apa ini... seperti bola? Aku berusaha berucap, namun benda itu menghalangi pergerakan lidah dan mulutku, sehingga suara yang keluar dari mulutku tidak terdengar seperti kata-kata, namun seperti gumaman tak jelas. "Nggggghhhh!" Aku refleks meronta-ronta walaupun aku tahu aku tidak bisa bergerak, mungkin hanya kepalaku saja yang bergoyang ke sana kemari. Pentil dadaku saat itu begitu tegang dan sensitif, seperti terangsang dengan sendirinya. Apapun itu yang menggesek-gesek pentilku, membuat tubuhku seperti tersetrum aliran-aliran kenikmatan, yang tidak sepantasnya kunikmati di saat genting begini. "Mmmmhhh hhhh hhhh! Mmmmfff mmfffff mmmffff!" Mendadak aku merasa pentil kiriku itu dijepit sesuatu. "NGGGGGGGGHHH!!!" Sakit! Tapi samar-samar nikmat... apa aku saat ini sedang diperkosa?
"Dinikmati saja Briptu Bayu," ujar pria itu, semakin lama suaranya semakin rendah namun semakin dekat. Sepertinya aku bisa merasakan nafasnya di sisi leherku, apa ia sedang berbisik. "Pak Bayu tidak perlu takut." Kemudian aku merasakan sesuatu yang hangat dan basah menyapu daun telingaku; orang itu menjilati telingaku? Aku menjadi sedikit mual membayangkannya dan meronta-ronta, namun kemudian aku merasakan ada sesuatu yang menghentikan kepalaku--tangan? "Jangan melawan Briptu Bayu... nikmati saja..." Aku terengah-engah tidak bisa melawan kekuatan itu; selain aku tidak bisa melihat, mereka berdua. Bagaimana aku bisa melawan dalam keadaan seperti ini... Aku merasakan sesuatu itu turun dari dadaku menuju ke perutku--tangan--lalu turun terus ke pahaku. "Ngggghhhh! Nnnggnggggghh!" Tangan itu tidak berhenti, bahkan terus masuk ke daerah pangkal pahaku, hingga akhirnya menyentuh batang kontolku yang saat itu menegang ke arah paha kiriku. "MMMMMMMHHHHHHH!" Tangan itu mengelus-elus kepala kontolku yang tegang itu, sebenarnya memberikan kenikmatan. Hanya saja, kenikmatan itu diberikan oleh... seorang pria? Bukan Sinta, istriku? Kenapa... kenapa aku harus mengalami ini... "NGGGGGHHHH!" Aku hendak mengatupkan kakiku agar kontolku tidak terus diraba-raba, namun usahaku tentu saja percuma; ikatan itu membuat selangkanganku terbuka lebar. Aku bisa merasakan tangan lain juga meraba-raba biji-biji kontolku. "Mmmmffffhhhh..." Aku hanya bisa menengadah dan memejamkan mata, padahal pandanganku saat itu juga sudah gelap--sepertinya mereka menutup mataku dengan kain hitam. "Ngggghhhh..." Rabaan pada dua titik kontolku itu tidak bisa kulawan; semati-matian aku menolaknya, rangsangan itu lebih hebat. Apalagi kini entah siapa menjilati leher dan jakunku. "Mmmmhhh..." Suara protesku kini lebih terasa seperti desahan. "Nah begitu Briptu Bayu, nikmati saja... kapan lagi polisi bisa dapat servis ganda seperti ini... mmmmhhh yeeesss..." Aku merasakan sebuah jari mengelus-elus ujung kepala kontolku, membuatku hendak menggelinjang namun tak bisa. "Nggghh nggggh ngggghhh hhhhhhh..." Sinta kadang menggodaku seperti itu juga, ketika kontolku sudah mengeras dalam celana dinasku, walaupun ia lebih sering langsung membuka celanaku dan memainkan bendanya. Pria ini... atau kedua pria ini... lebih suka menggodaku. Terutama ketika aku merasakan biji-biji kontolku digelitik jari-jemari pria itu. "Nggggghhh hhh hhh hhh hhh! Nggggghhh! Ngggffhhh hhhh hhh hhh!" Aku hendak protes karena kegelian, namun aku hanya bisa menghentak-hentakkan ujung sepatuku yang masih bisa kugerakkan dengan leluasa. "Dinikmati Briptu Bayu," bisik pria itu.
Dan entah siapa yang akhirnya mencium bibirku.
Tentunya aku tidak pernah berciuman dengan pria, dan saat ini mulutku sedang terbuka. Namun, aku bisa merasakannya. Ada yang menggunakan mulutnya untuk memainkan bibir atasku. "NGGGHHH! FFFFHHH! HHHHHH!" Protesku itu malah dijawab dengan remasan-remasan pada biji-biji kontolku, walaupun ringan namun tetap saja membuatku kaget. "NGGGH GH GH GH GH!" Oh apa yang harus kukatakan nanti pada Sinta, kalau aku berciuman dengan pria? Asalkan dia tidak tahu saja... untungnya ciuman itu berhenti, namun tentu saja permainan di kontolku tidak berhenti, bahkan semakin intens. Aku bisa merasakan ada yang mengurut batang kontolku perlahan-lahan dari pangkal hingga ke ujungnya. Dengan segera aku bisa merasakan kenikmatan kembali. "Mmmmhhhh..."
"Iya Briptu Bayu, nikmati saja," bisik pria itu. "Tidak perlu malu-malu." Aku bisa merasakan kontolku sangat tegang, ingin dibebaskan dari celana PDH-ku, dan sepertinya sudah cukup basah di bawah sana. Urutan pada batang kontolku berhenti menjadi elusan-elusan ringan, namun kali ini biji-biji kontolku juga ikut dielus-elus sambil diberi sedikit remasan, membuatku menengadah kembali. "Ngggghhhh..."
"Enaknya dikeluarin di mana nih Briptu Bayu, di dalam celana atau di mulut saya," bisik pria itu. Ah, jangan dihisap... aku tidak sudi kontolku dihisap orang lain selain Sinta, apalagi ini seorang pria... tapi di saat bersamaan aku jadi penasaran juga, dan kontolku sendiri sudah meronta-ronta ingin terbebas. Selagi aku bimbang, pria itu mengelus-elus ujung kepala kontolku sehingga aku pun kembali merasa kegelian. "Ngggh ngggh nggh nggh!"
"Kasihan itu kontolnya megap-megap di dalam celana!" ujar seseorang. "Celana polisi memang ketat ya."
"Kalau gitu, dihisap saja ya Briptu Bayu," bisik seorang yang lain. Jangan... Sreeek! Aku mendengar suara yang tidak asing: suara resleting celana PDH-ku diturunkan. Ya ampun, akankah aku diperkosa seperti ini... hatiku berkecamuk lagi, namun tidak terlalu lama karena aku merasakan orang itu merogoh ke dalam untuk membebaskan kontolku. Dan orang itu berhasil. Aku sedikit merasa lega ketika batang kontolku terbebas dari celanaku, namun kelegaan itu tidak berlangsung lama. Kedua puting dadaku dimainkan bersamaan dengan kocokan-kocokan ringan di batang kontolku itu. "Nggggghhhh!!!" Tidak pernah pentilku dimainkan bersamaan dengan kontolku seperti sekarang, dan ternyata nikmat sekali rasanya. "Ooooh kekarnya batang polisi... mmmhhh... asyik... ooooh yeeesss... batang kontol Briptu Bayu yang tampan gagah dan begitu jantan... oooohhh..." Anehnya, aku semakin terangsang dengan kata-kata kotor itu. "Mmmmhhh..." Aku merasakan celanaku dirogoh lagi dan kali ini aku bisa merasakan biji-biji kontolku juga terbebas dari celana, sejenak agak dingin namun langsung hangat ketika ditimang dan diremas-remas pria itu. "Ngggghhh..." Aku sudah pasrah, tak mungkin juga aku melawan mereka, lebih baik kunikmati saja... Maafkan aku Sinta... "Ooohh ini biji kejantanan polisi... biji kontol Briptu Bayu... menyimpan cairan kenikmatan... mmmhhh..." Tak lama aku merasa sesuatu yang kasar menyapu salah satu biji kontolku. Dia... menjilati biji kontolku? "Mmmmhh...." batang kontolku dikocok dengan pelan selagi pria itu menjilati biji-biji kontolku. "Nggghhh..." aku merasakan batang kontolku digesekkan dengan sesuatu... kepala kopelku? "Nggg..."
"Bersiap ya Briptu Bayu, sebentar lagi kamu akan merasakan kenikmatan tiada tara." Aku pun merasakan lidah itu menyapu perlahan biji kontolku, semakin naik ke batang kontolku, menari-nari sejenak di leher kontolku. "Ssssshhhh... fffffmmmhhhh..." aku kegelian dibuatnya. Bahkan ujung kepala kontolku tidak luput dari sapuan lidah itu, sebelum akhirnya aku bisa merasakan kehangatan yang mengapit batang kontolku.
Pria itu mulai bekerja menghisap batang kontolku.
"Mmmmmhhhh..." Aku tidak dapat menyembunyikannya lagi. Hisapan pria itu sama enaknya dengan hisapan Sinta, dan mungkin lebih enak sedikit. Sinta biasa menghisap kontolku dengan cepat, pria itu menghisap kontolku dengan lembut dan perlahan. Ditambah dengan permainan di kedua puting dadaku yang masih melenting, sekalipun terbalut kemeja PDH-ku, aku merasakan kenikmatan yang tiada tara. "Nnnggggghhh..." Sesekali kontolku disedot dengan kuat, sesekali batangku dilahap hingga ke pangkal--sesuatu yang tidak bisa dilakukan Sinta sampai sekarang, dan sesekali hanya kepala kontolku saja yang dihisap-hisap. "Ssssshhhh... ngggghhh nggghh ngggh nggh nggh nggh nggh..." Eranganku disusul dengan erangan dan desahan kedua pria itu juga, memicuku untuk orgasme. Aku mulai kesulitan menahannya, desakan itu begitu kuat. Andai aku bisa kelojotan... "NGGGGHHHHHHH!!!!!"
Crooooottt...



"Perlu kah dia kita bikin pingsan lagi?" tanya Umar sambil menyeret tubuh Briptu Bayu yang lemas lunglai kehilangan kesadarannya kembali setelah menghirup obat penenang yang memekakkan indera penciumannya. Ya, setelah orgasme Umar kembali langsung membekap hidung Briptu Bayu dengan obat bius yang sama yang tadi mereka gunakan untuk membuat polisi itu pingsan. Setelah lemas dan pingsan, mereka membuka ikatan Briptu Bayu dan membawanya ke ruangan lain untuk ronde berikutnya, tanpa berusaha merapikan lagi pakaian Briptu Bayu sehingga kontolnya dibiarkan terayun-ayun lemas di luar celana PDH-nya, sisa pejuh masih menyembul di ujung kepala kontolnya enggan untuk menetes. "Berat nih badannya!"
"Dari pada dia melawan Mar, aku ga yakin bisa ngalahin dia!"
"Lah tadi kita berhasil meringkus dia kan? Kamu juga sempet tendang kontolnya sampai pingsan tadi."
"Kan habis kamu bekap dan kasih obat itu Mar. Udah ikutin aja!" Mereka sampai di ruangan lain di rumah itu. Umar mengikuti instruksi Erik untuk memberdirikan Briptu Bayu yang masih belum sadarkan diri, selagi Erik menyiapkan tali dan mulai mengikat tubuh Briptu Bayu dalam posisi berdiri. Erik terlihat cukup cekatan dalam mengikat tubuh Briptu Bayu, selain dia tahu bahwa dosis obat bius yang ia berikan lebih rendah, sehingga Briptu Bayu bisa sadarkan diri lebih cepat dari sebelumnya. Sekalipun ruangan itu ber-AC, mereka berdua cukup berkeringat; selain kegiatan itu cukup menguras tenaga, mereka juga bersemangat memikirkan apa yang akan mereka lakukan pada Briptu Bayu setelahnya.



"Nggghhhh..." Pandanganku masih kabur, tapi kali ini sepertinya aku bisa melihat. Hanya saja, terlihat sekelilingku hitam, hanya ada cahaya kuning temaram, mungkin dari lampu di atas. Ke bawah, samar-samar aku bisa melihat sepatu butsku yang hitam mengilap itu. Rupanya aku sedang dalam posisi berdiri. Aku merasakan udara dingin, sepertinya AC? Badanku masih terasa lemas, antara aku kelelahan karena orgasme tadi atau pengaruh obat itu masih bekerja. Aku mencoba merasakan bagian-bagian tubuhku perlahan-lahan. Begitu tenaga terkumpul, aku mencoba menggerakkan tanganku. Masih terikat ke sesuatu, dan sepertinya kedua tanganku diikat ke atas dan agak terbuka. Saat akhirnya mataku terbiasa dengan cahaya ruangan itu, pandanganku pun mulai menajam kembali. Aku melihat badanku, penuh dengan tali tambang yang menyilang ke sana kemari. Dan... itu kontolku? Terbebas begitu saja dari celana? Mau diapakan lagi aku sekarang...
"Sepertinya Briptu Bayu sudah sadar," aku mendengar seseorang berkata. Dua orang pria menghampiriku, keduanya mengenakan balaclava hitam yang hanya menampakkan mata dan mulut mereka, tentu saja untuk menyamarkan identitas agar aku tidak bisa mendeskripsikan wajah mereka. "Sudah siap untuk ronde kedua Briptu Bayu?" ujar salah satu maling sambil memegang kontolku dan meremasnya. "Mmmmhhh!" aku pun protes dan meronta sebisanya, terasa lebih bebas dari saat aku diikat di kursi tadi, namun tetap saja aku tidak bisa banyak bergerak. Menyadari bahwa aku bisa menggerakkan kakiku dengan bebas, kucoba menendang salah satu maling itu. Ternyata dia sigap dan menangkis kakiku. "Eh eh eh, jangan tendang-tendang Pak Bayu, nanti Pak Bayu yang ditendang," ujar maling itu sambil tersenyum, disusul dengan maling satunya menghunjamkan lututnya pada kontolku. "Ugh..." hanya itu suara yang keluar dari mulutku saat udara pun terhempas keluar dari dadaku, seiring dengan tubuhku yang terangkat akibat tendangan lutut maling itu. Rasa ngilu pun menderaku kembali. "Nggggghhhh..." aku menyadari mulutku masih dibekap dengan bola aneh tadi. "Menurut saja Briptu Bayu, nanti dikasih yang enak-enak seperti tadi," ujar maling itu tersenyum sambil mengelus-elus biji-biji kontolku bekas ditendang tadi. "Mmmmhhhh! Nggghhh..." Rasa geli dan nikmat bercampur dengan rasa ngilu mengalir dari biji-biji kontolku. "Stok pejuhnya masih ada kan Briptu Bayu?" Tentu saja aku tidak menjawab pertanyaan itu, aku bahkan tidak ingat seberapa banyak pejuhku tertumpah pada orgasmeku sebelumnya.
"Kasih minum dulu Briptu Bayu bro, supaya tidak dehidrasi." Salah seorang maling membawa segelas air yang kelihatannya dingin, dan baru saat itu aku merasa sangat haus. Tiba-tiba aku begitu menginginkan air itu, walaupun aku tidak tahu pasti obat apa yang mungkin ada dalam air itu. "Yuk Briptu Bayu minum dulu," ujarnya sambil mendekatkan gelas itu ke bibirku dan memiringkan gelas itu. Aku bisa merasakan air dingin mengalir menyentuh bibirku, namun tidak semuanya masuk ke kerongkonganku. Bahkan, aku malah merasakan air itu mengalir di leherku dan sebagian lagi membasahi kemeja seragamku. "Ups, saya lupa buka itunya Pak Bayu. Saya buka dulu, tapi Pak Bayu tidak perlu teriak-teriak. Ruangan ini kedap suara, tidak akan ada suara yang bisa keluar dari ruangan ini. Bukakan sebentar Mar itunya! Sambil saya ambilkan minum yang baru." Aku sedikit menggigil kedinginan karena air itu membasahi kemejaku dan sebagian masuk membasahi kaos dalamku. Aku bisa merasakan bola yang berada di mulutku selama ini mulai melonggar, dan seseorang yang kurasa Pak Umar melepaskan bola itu. Sejenak aku bernafas lega dan menutup rahangku yang terbuka dari tadi; rahangku terasa capai dan kaku. Maling itu memijat kedua sisi rahangku; walaupun aku merasa aneh wajahku disentuh pria lain, namun pijatan itu benar-benar melegakan rahangku. "Kalau Pak Bayu nurut tidak teriak-teriak, saya tidak akan pasang benda ini lagi," kata maling itu. Aku tidak menjawab; kerongkonganku benar-benar kering, sehingga suaraku seperti tercekat di ujung tenggorokanku. Maling satunya membawakan segelas air dingin yang terlihat begitu segar, dan kembali meminumkan air itu padaku. Tanpa berpikir panjang, kuteguk air itu dengan rakus, bahkan sebagian meluber mengalir dari sudut mulutku. Dalam sekejap gelas itu pun bersih tak bersisa. "Lagi Pak Bayu?" tawarnya. Aku mengangguk tanpa berpikir panjang, toh aku tidak bisa melawan dalam kondisi seperti ini, mumpung mereka sedang berbaik hati. Yang penting aku selamat dulu, nanti baru kupikirkan cara untuk menangkap dan membalas perbuatan mereka semua. Lagi-lagi aku terpikir Sinta, jam berapa ya ini... apakah di kantor sudah ada yang menyadari kalau aku tidak kembali-kembali dari rumah ini? Apakah aku masih berada di rumah Pak Umar? Aku kembali melihat ke bawah, HT-ku masih ada di samping pinggangku, namun apakah HT itu bekerja? Aku hanya melihat kedipan merah di HT-ku, barangkali ada pengacau sinyal di sini... Maling itu membawakan segelas penuh air dingin, yang kuteguk kembali hingga habis tak bersisa. Aku merasa segar kembali, walaupun masih merasa lemas dan lelah, apalagi sekarang aku diikat dalam posisi berdiri. "Pak Bayu sudah siap dengan ronde kedua?" tanya maling satunya sambil mengelus-elus wajahku.
"Sabar lah Mar!" sergah maling yang tadi memberiku minum. "Biar Pak Bayu istirahat sebentar. Obatnya juga nggak bakal bekerja secepat itu." Ah jadi minumku tadi memang diberi obat... "Tapi kali ini aku kurangi dosisnya, biar Pak Bayu nggak overdosis, jadi kamu bisa kasih rangsangan dikit-dikit lah, nanti lama-lama Pak Bayu akan ngaceng dengan sempurna seperti tadi." Jadi mereka hendak menggagahi diriku lagi... apa yang harus kulakukan? Belum sempat aku memikirkan sesuatu, maling itu mendekat dan langsung memegang batang kontolku, lalu dikocok-kocoknya perlahan. Refleks aku pun mulai meronta, namun aku lekas sadar itu tidak ada gunanya dan bisa membuat mereka semakin beringas. Lebih baik aku menuruti saja apa mau mereka, supaya ini semua segera berakhir... "Iya masih lemes Pak Bayu Rik." Maling itu pun mendekat dan memelukku dari belakang, selagi meraba-raba kedua dadaku. Ikatan itu rupanya sudah dibuat sedemikian rupa sehingga begitu menonjolkan dada dan selangkanganku, Dari kemeja seragamku yang basah, aku bisa merasakan kedua puting dadaku sedikit menegang karena terkena air dingin tadi, dan maling itu cukup pandai untuk meraba-raba kedua puting dadaku. Dengan segera tubuhku dialiri lagi dengan rangsangan kenikmatan yang tidak pernah kudapatkan dari Sinta. Mati-matian aku mengatupkan mulutku agar mereka tidak tahu aku menikmatinya, walaupun sepertinya mereka tahu karena salah satu berbisik, "Kalau enak nggak usah malu-malu Pak Bayu, dikeluarkan saja suaranya. Di sini hanya ada kita saja." Aku memejamkan mata dan terus menutup mulutku agar aku tidak mendesah. Aku bisa merasakan kontol maling itu mulai menegang dan digesek-gesekkan di pantatku; aku tidak pernah menyentuh kontol pria lain selama ini, apalagi sampai bersentuhan langsung dengan pantatku. Benar-benar pelecehan seksual yang tidak pernah kubayangkan akan kualami sendiri.
Walaupun lama-kelamaan aku tidak bisa menahannya.

"Santai saja Pak Bayu, jangan ditahan-tahan," bisik salah satu maling yang rupanya mengamati bahwa aku menutup mata dan mengatupkan mulut serapat mungkin, raut wajahku sepertinya kelihatan bahwa aku meringis menahan kenikmatan itu. Kontolku sudah menegang kembali, sepertinya obat itu sudah mulai bekerja, selain kedua maling itu bekerja sama untuk merangsangku. Kedua puting dadaku terus dielus-elus salah satu maling dari belakang, sesekali dicubit yang membuatku terpekik, sementara maling satunya duduk di depanku dan menggunakan kakinya untuk menggesek-gesek kontolku. Aku belum pernah merasakan dikocok menggunakan kaki; rasanya cukup aneh namun kuakui enak juga. Mungkin separuh karena obat perangsang itu, dan separuhnya lagi karena aku sudah pasrah hendak diapakan saja, toh aku sudah tidak bisa melarikan diri. Aku baru menyadari perutku mulai protes; sudah berapa jam berlalu sejak aku mendatangi rumah Pak Umar? Apakah kantor sudah menyadari kalau aku terlalu lama dan tidak bisa dihubungi? Akankah ada rekanku yang menyelamatkanku?
Pikiranku buyar ketika maling itu berhenti menggunakan kakinya untuk mengocok kontolku. Ia mengambil sesuatu yang berbentuk botol dan menuangkan sejumlah cairan kental ke atas batang kontolku. Apa itu pelumas? Aku bergidik ketika cairan itu menyentuh kontolku; ternyata dingin. Maling itu pun mengoleskannya dengan rata ke batang kontolku, lalu ia memulai pekerjaannya untuk mengocok kontolku dengan cukup perlahan, dimulai dari kepala kontolnya. Mati-matian aku menahan diri untuk tidak mendesah, namun cubitan di kedua puting dadaku akhirnya meruntuhkan pertahananku. "Nnnnngggghhhhh..."
"Nah begitu Pak Bayu, dinikmati saja selagi bisa," bisik maling dari belakang dan kembali merangsang kedua puting dadaku, kali ini dia membuka salah satu kancing kemejaku untuk menyusupkan tangannya ke dadaku dan mengelus-elusnya, tentu saja menyenggol kedua putingku yang sudah melenting keras, ditambah dengan hembusan nafas dan jilatan-jilatan kecil di sisi leherku. "Ooooohhh..." Kocokan di kontolku lambat laun bertambah kencang dan mantap berirama, memberiku kenikmatan lain di bagian bawah.. "Masih banyak kan Pak Bayu pasokan pejuhnya? Diperah semua ya?"
"Jangan...," mungkin itu kata pertamaku yang keluar dari mulutku sejak aku disandera kedua maling itu. "Tolong, jangan... jatah istriku..."
"Tenang aja Pak, nanti istrinya pasti dapat jatah juga kok. Tapi tidak hari ini hahaha..." Aku bisa merasakan kedua biji kontolku dielus-elus dan diremas pelan, membuatku berjingkat dan mengerang. "Aaaaahhh... jangaaaannnggghhh..." Aku tidak dapat mengendalikan diriku, kali ini kakiku terbebas jadi aku bisa menggelinjang, walaupun dalam posisi berdiri seperti ini aku hanya bisa berjingkat. Andaikan aku terbebas dan dibeginikan di atas ranjang, mungkin aku bisa menikmatinya... Maling di belakangku menggunakan tangannya untuk menolehkan kepalaku dan tanpa terduga ia melakukan hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Ia menciumku.
Mati-matian aku meronta-ronta; aku tidak pernah mencium pria tentu saja, dan aku tidak pernah ingin mencium pria! Namun aku tidak bisa apa-apa untuk melindungi diri, bahkan ketika lidahnya menjilati bibirku yang kukatupkan rapat-rapat. Menyadari bahwa pertahananku cukup kuat, maling itu menyudahi ciumannya. "Jangan dipaksa gitu lah Mar, kasihan Pak Bayu jadi nggak menikmati!" sergah maling satunya. Jadi, di belakangku ini Pak Umar? "Pak Bayu ini pasti pria normal yang cuma suka mencium wanita. Kasih yang enak-enak saja lah tanpa harus bikin Pak Bayu jijik." Maling itu beranjak sebentar sementara maling di belakangku beralih mengocok kontolku yang menganggur. Tak lama kemudian maling itu kembali membawa sebuah alat yang belum pernah kulihat sebelumnya, agak mirip sebuah mikrofon. "Nggak usah takut Pak Bayu, ini alat yang bisa memberi kenikmatan." Ia menyalakan alat itu dan alat itu bergetar pelan di bagian kepala "mikrofon", lalu disapukannya alat itu ke biji kontolku. Aku bergidik dan berjingkat ketika merasakan alat itu ikut menggetarkan biji kontolku; seperti diraba-raba maling tadi namun ini lebih cepat. "Aaaaaahhhh..." tanpa sadar aku mendesah. "Enak kan Pak Bayu?" ujar maling itu sambil tersenyum, lalu mulai menyapukan alat itu di pangkal batang kontolku, menghentikan kocokan maling satunya yang kemudian asyik memainkan putingku lagi. Batang kontolku seperti dipijat-pijat dengan getaran alat itu, memberikan sensasi yang baru dan menggairahkan dalam waktu bersamaan. "Nnnnngggghhh..." Ketika alat itu mencapai kepala kontolku, sensasi lain pun muncul, namun kali ini membuatku begitu geli. "Aaaahhh..." aku berusaha menjauh dari alat itu, namun langkahku tertahan maling yang memelukku dari belakang. "Jangaaannn... Mmmmmhhh...."
"Geli ya Pak Bayu," ujar maling itu terkekeh. "Ya sudah, saya kasih di biji-bijinya saja." Ia mematikan alat itu lalu beranjak lagi, ternyata mengambil alat serupa. Ia kemudian memasang kedua alat itu di masing-masing pangkal pahaku, yang memiliki ikatan cukup dekat dengan selangkanganku. Ia mengaturnya sedemikian rupa sehingga bagian kepala alat-alat itu pas menyentuh biji-biji kontolku. Setelah puas, ia pun menyalakan alat itu satu per satu. "Ooooohhhhh..." aku tidak bisa menghindar ketika kedua alat itu memijat biji-biji kontolku dengan lembut dengan getaran-getarannya. "Aaaaahhh... sssshhh... nnngggghhh..." Kedua maling itu berhenti merangsangku dan hanya duduk melihatku aku menggelinjang dengan hanya dua alat itu bergetar memijat biji-biji kontolku. "Pandai banget kamu Rik bikin polisi kelojotan kaya gitu," ujar Pak Umar. "Kayanya bentar lagi dia crot deh."
"Waktunya isep-isep lagi deh kalau begitu," salah satu maling pun beranjak mengambil sesuatu dan mendekati aku yang memang sedang menahan diri sebisanya untuk tidak orgasme, selain aku ingin diisap lagi seperti tadi. Maling itu membuka bungkus... kondom? Ia menyarungkan kondom itu ke batang kontolku yang berkedut-kedut menahan impuls untuk segera menembakkan pejuhnya. Apa dia... mau dientot? Samar-samar aku bisa mencium wangi sesuatu... seperti aroma stroberi. Apa itu kondom berperasa? Aku pernah melihat iklannya, namun tidak pernah membelinya, toh Sinta lebih doyan batang kontolku dan pejuhku. Rasa penasaranku pun muncul, dan ternyata memang benar.
Maling itu kembali menikmati batang kontolku dalam mulutnya. "Ooooohhh..." walaupun sudah disarungi kondom, namun kenyotan maling itu tetap terasa kuat seperti tadi, membuatku serasa melayang. "Ooooohhh... ooohhhh... sssshhhh... nnnnggghhh..." Kombinasi getaran-getaran pijatan pada kedua biji kontolku dan kenyotan-kenyotan mantap pada batang kontolku benar-benar membuatku kepayahan menahan diri untuk tidak orgasme, walaupun rasanya tidak mungkin. "Aaaaarrrrggghhh..."
Aku tidak tahan lagi.
Croooooot... aku bisa merasakan batang kontolku berkedut memompakan pejuhku yang mendesak ingin keluar sejak tadi. Aku cukup takjub pada diriku sendiri, padahal sudah dua kali ngecrot hari ini, namun kali ini aku masih bisa mencapai lima kali pancaran, walaupun semuanya tertahan di dalam kondom. Maling itu masih mengatupkan mulutnya mengapit batang kontolku yang berkedut-kedut; aku bisa merasakan pejuhku mulai mengumpul di ujung kondom membasahi kepala kontolku. "Oooohhh..." aku mencoba bernafas dan mengakhiri kenikmatan itu saat aku menyadari biji-biji kontolku masih dipijat-pijat. Maling itu mengeluarkan batang kontolku dari mulutnya dan tersenyum. "Enak kan Pak Bayu? Hebat lho Pak Bayu, sudah ngecrot banyak tadi tapi sekarang pejuhnya masih banyak!" Aku mulai merasakan perlahan-lahan pejuhku mendesak mengaliri batang kontolku walaupun hanya sedikit-dikit. "Nggghhh..." aku mulai kelojotan merasakan geli dan ngilu pada biji-biji kontolku. "Tolong... hentikan..."
"Oh iya Pak Bayu, lupa!" maling itu menepuk jidatnya, lalu menghampiriku untuk mematikan kedua alat itu. Tak kuduga, ternyata maling itu malah menambah intensitas getaran alat itu, membuat biji-biji kontolku semakin hebat bergetar. "Nnnngggghhhh!" Biji-biji kontolku semakin terasa ngilu, aku pun meronta-ronta hendak melepaskan alat itu, tanpa sadar alat itu masih terikat dengan kuat di kedua pahaku. "Aaaahhh.... hentikaaaannn!!!" Kedua maling itu hanya tertawa-tawa melihat reaksiku, sebelum akhirnya maling itu mendekatiku kembali dan mematikan kedua alat itu. Aku terengah-engah dibuatnya; peluh mulai meleleh dari keningku sekalipun ruangan itu ber-AC. Rasa ngilu itu masih ada sekalipun alat-alat itu sudah berhenti bergetar. Maling itu melepaskan kondom yang membalut batang kontolku; entah kenapa batang kontolku masih mengacung dengan kerasnya sekalipun biji-biji kontolku didera rasa ngilu. Kantung kondom itu diangkatnya ke hadapanku, memperlihatkan pejuhku yang tertampung di kondom itu. "Lihat nih pejuh Pak Bayu, masih banyak kan?" kata maling itu. "Pak Bayu pasti masih kuat ngasih istrinya jatah nanti malam hahaha..." Ia menjauh dan sejenak melakukan sesuatu sebelum kembali ke hadapanku membawa gelas kecil yang rupanya berisi pejuhku tadi. "Pak Bayu pernah merasakan pejuh?" Tentu saja belum! Siapa yang gila minum pejuh sendiri? "Yuk Pak, diminum, pasti Pak Bayu nanti perkasa lagi!" Ia mendekatkan gelas itu ke mulutku. yang tentu saja kututup rapat-rapat. Aku mencium aroma pejuhku sendiri; entah kenapa itu tidak membuatku mual, bahkan sebagian diriku penasaran dengan rasanya. Aku pernah baca-baca di Internet, katanya mirip telur mentah, tapi tergantung apa yang dimakan beberapa hari sebelumnya, bisa asin, bisa gurih. Tapi masa aku minum pejuh? "Ayo Pak diminum, biar nanti malam perkasa sama istrinya." Aku menggeleng sambil tetap mengatupkan mulutku dengan rapat. "Enak kok Pak." Pak Umar memegangi tubuhku dari belakang selagi maling itu merayuku untuk meminum pejuhku sendiri. "Ayo Pak," rayu maling itu sambil tanpa kuduga mengelus-elus batang kontolku yang tak kusadari masih setengah ngaceng. "Ngggghhh!" aku berusaha untuk tidak membuka mulutku sekalipun rasa geli itu mulai menyerang diriku seiring dengan elusan-elusan di kepala kontolku yang masih sensitif. "Mmmmmmmhhhhaaaaaaaa!!!" tanpa kusadari mulutku terbuka karena Pak Umar kembali mencubit puting dadaku, ditambah maling itu menggunakan seluruh jarinya untuk mengelus kepala kontolku. Momen itu pun dimanfaatkan maling itu untuk memasukkan bibir gelas itu ke mulutku, dan ia pun menuangkan pejuhku ke mulutku. "Yuk dirasakan Pak Bayu pejuhnya, ditelan sampai habis. Sayang lho pejuh dibuang-buang," ujar maling itu sambil tersenyum. Rasa getir bercampur asin pun menyerang lidahku, ditambah tekstur yang cukup lengket membuatku mual, namun maling itu mengangkat dan memegangi daguku sehingga aku tidak dapat memuntahkan pejuhku. Tidak ada jalan lain selain menelan pejuhku... tubuhku terasa lemas kembali, seperti kehabisan tenaga setelah orgasme tadi. Nafasku mendadak menjadi cukup berat dan pandanganku mulai kabur lagi. Apakah aku akan pingsan lagi? Apakah aku masih akan hidup setelah ini...

Sinta...



"Walah pingsan lagi," ujar Umar. "Kukira perkasa, ternyata lemah juga ya Bayu!"
"Ya kalau kamu digitukan kayanya kamu juga bakal pingsan Mar!" Erik terkekeh. "Mungkin habis ini kita kasih satu lagi permainan, tapi di atas ranjang aja, jadi kalau dia pingsan tinggal tidur aja. Pas pingsan atau tidur, kita lepas semua ikatannya, lalu kita kabur dari rumah ini sebelum ada rekannya datang. Biar mereka menemukan Briptu Bayu tertidur di atas ranjang dengan kontolnya terekspos hahaha..." Mendadak mereka mendengar bunyi bel pintu depan. "Wah baru saja diomongi, jangan-jangan itu temannya Rik!"
"Tenang saja Mar! Jalankan rencana kedua."



"Bay... Bayu... Bayu! Bayu!!!" Samar-samar aku mendengar namaku dipanggil. Aku hendak membuka mataku, namun rasanya berat sekali. Badanku masih terasa lemas, dan aku tidak tahu apakah aku masih diikat dalam posisi berdiri seperti tadi atau bagaimana. "Bayu!!!" Aku tersentak ketika merasa pipiku ditampar, dan mataku pun langsung terbuka. Seseorang berada di depanku, namun aku belum bisa melihat jernih. "Sadar Bay!!!"
"Si... siapa..."
"Rizal! Siapa yang ikat kamu seperti ini Bay? Kenapa... kontolmu di luar..."
"Aku... aku..."
"Sudah nanti saja jawabnya, aku lepas dulu ikatanmu!" Setelah pandanganku pulih, aku akhirnya bisa melihat. Benar, itu Rizal, salah satu rekanku. Ah apakah artinya aku sudah ditolong? Jam berapa sekarang...
"Zal... kamu sendirian?" tanyaku selagi Rizal berusaha membuka ikatan di tubuhku.
"Iya Bay, yang lain masih sibuk di lapangan. Komandan nyuruh aku ke rumah ini, soalnya kamu sudah hampir empat jam tidak balik-balik, tidak lapor balik, dan tidak bisa dihubungi." Mendadak aku ingat dengan dua maling itu. "Zal... malingnya...?"
"Katanya Pak Umar malingnya kabur Bay. Pak Umar tadi juga katanya habis pingsan disekap maling."
"Zal... Pak Umar bohong..."
"Hah?" Saat itu, aku melihat sekelebat bayangan hitam di belakang Rizal. "Zal... awas!"
Terlambat.
"Ugh..."
Aku hanya bisa terkesiap melihat raut wajah Rizal berubah dengan cepat, terkejut dan kesakitan selagi tubuhnya sedikit terangkat. Jantungku sejenak seakan berhenti berdetak... diapakan Rizal? Rizal sendiri terkejut dengan serangan itu, sebelum rasa ngilu yang begitu hebat menerpanya, membuatnya terjatuh di depanku dan berguling-guling sambil memegangi selangkangannya. Bayangan hitam itu ternyata adalah maling tadi, dan entah bagaimana caranya ia berhasil menendang selangkangan Rizal dari belakang. Dengan segera Rizal pun disergap, mulut dan hidungnya dibekap kain yang kuduga sudah diberi obat bius. Rizal pun meronta-ronta dan sebenarnya sempat membuat maling itu terjatuh namun maling satunya melanjutkan usahanya, sehingga usaha Rizal pun sia-sia. Aku hanya bisa mencelos ketika Rizal lambat laun berhenti meronta dan terdiam tak berdaya.
Akan diapakan lagi aku, dan bagaimana nasib Rizal...



BERSAMBUNG