Rabu, 27 Juli 2016

Polisi dan orang cebol (bagian 1)

Jika ada satu pelajaran hidup yang harus kubagikan padamu, aku akan mengatakan ini:

Jangan macam-macam dengan orang cebol.



Selama ini kehidupanku bisa dibilang cukup normal. Aku berhasil mewujudkan cita-citaku menjadi seorang polantas. Sekalipun upaya ke sana cukup keras, namun aku kini bisa membanggakan seragam coklat yang kukenakan tiap hari. Berbeda dengan pandangan sinis orang-orang tentang polantas, aku selalu mewujudkan diri sebagai polantas yang bersih; aku tak pernah mau menerima uang suap untuk tilang. Oh ya, perkenalkan, namaku Ikbal, pangkatku masih Bripda. Perjalananku masih panjang memang, tapi aku tidak pernah mengeluh atau hilang semangat memikirkannya. Yang penting aku menjalankan tugasku dengan baik.

Sehari-hari, aku berdua menjaga dan mengatur lalu lintas bersama rekanku, Briptu Ardo. Berbeda denganku yang tegas namun tetap sabar (bukan menyombongkan diri nih), Ardo termasuk orang yang cepat naik darah. Mungkin karena itu juga aku dipasangkan dengannya, namun aku memang mengenalnya dengan baik, sekalipun ia satu angkatan di atasku. Walaupun begitu, ia termasuk orang yang baik dan ringan tangan. Kalau kau sudah kenal dengannya cukup lama, ia bahkan bisa bercanda.

Masalah kehidupan pribadiku...  aku masih single sih, dan tentu saja aku normal seperti kebanyakan orang. Ada beberapa cewek yang menarik perhatianku, namun kebanyakan mereka cukup rewel sehingga seringnya hubunganku tidak bertahan lama. Ardo sendiri lebih beruntung dariku, karena ia sudah menikah dan memiliki satu bayi cowok yang lucu. Ada keinginan untuk menikah dan berkeluarga, namun di saat yang sama aku juga ingin karirku menanjak terlebih dahulu. Ah, tapi pedulikah kau dengan kisah asmaraku kalau kau membaca cerita ini? Mungkin kau lebih tertarik dengan tubuhku, seperti yang diinginkan orang cebol itu.

Ya, sampai saat itu, aku tidak pernah mengetahui yang namanya kehidupan gay, termasuk kehidupan seksnya. Kehidupan seksku sendiri... aku tidak pernah berhubungan badan dengan mantan-mantan pacarku, sekalipun mereka memintanya dan menggodaku. Pernah satu pacarku menggodaku sampai hampir kelewat batas saat aku sedang sendirian di pos, untungnya aku bisa mengendalikan diri. Dan anehnya dia langsung memutuskanku. Apa memang cewek sekarang hanya tertarik kontol ya, aku juga gagal paham. Memang, aku harus mengakui, aku agak tergoda setelah kejadian itu, namun aku biasanya akan berusaha untuk fokus pada pekerjaanku. Mimpi basah, rutin. Aku tak pernah tahu cowok juga bisa menyukai kontol cowok lain, dan bisa memainkannya dengan lebih nikmat. Hingga hari itu.

Kami sedang melaksanakan operasi simpatik biasa untuk menertibkan sepeda motor yang tidak standar, seperti kaca spion yang tidak lengkap, lupa menyalakan lampu di siang hari, maupun knalpot yang terlalu bising. Siang hari itu cukup terik, dan cukup banyak juga terjaring pengguna sepeda motor yang tidak menaati peraturan. Karena ini operasi simpatik, kami tidak menerbitkan surat tilang, hanya himbauan untuk segera membenahi sepeda motornya. Kebetulan hanya aku dan Ardo saja yang melakukan operasi itu; toh jalanan tempat kami bertugas biasanya tidak terlalu ramai, hanya di jam-jam tertentu saja. Kebanyakan yang terjaring adalah anak-anak muda yang biasanya ingin eksis atau diakui temannya, sehingga cukup banyak modifikasi tidak standar, yang sebenarnya juga membahayakan keselamatan mereka sendiri. Operasi itu hendak kami akhiri pukul lima sore. Jalanan sudah cukup sepi, namun kemudian ada satu pengendara yang menarik perhatianku. Motor yang ia kendarai tidak sama seperti motor kebanyakan: tingginya hanya sekitar separuh motor biasanya. Aku tertarik dengan motor itu, maka aku memberi tanda pada pengendara itu untuk menepi. Pengendara itu patuh dan berhenti tidak jauh dariku, maka aku pun menghampirinya. "Selamat sore Bapak," sapaku ramah. Saat itu aku menyadari pengendara motor itu ternyata orang cebol. Sejenak aku paham mengapa motornya dimodifikasi, namun aku tetap harus memeriksanya agar sesuai standar.
"Sore Bapak, saya salah apa ya?" Pertanyaan langsung seperti itu sudah biasa kudengar, karena sepertinya ada stigma di masyarakat, kalau kau dipanggil polantas, berarti kau melanggar sesuatu.
"Ini hanya operasi simpatik Bapak, untuk standar sepeda motor. Kaca spion, menyalakan lampu di siang hari, knalpot, kelengkapan surat-surat kendaraan. Bisa saya lihat surat-suratnya?"
"Silakan Pak." Orang itu mengeluarkan semua surat yang kuminta dan aku pun mengamat-amati surat itu. Aku tidak menyadari orang itu mengamat-amati diriku, atau tubuhku. Aku juga tidak menyadari aku berdiri cukup dekat dengan orang itu, sehingga aku tidak siap dengan apa yang terjadi berikutnya.
"Kontolnya bagus Pak."

Dan orang cebol itu pun menyentuh dan meremas kontolku.

Refleks aku menepis tangan orang cebol itu dan mundur menjauh. "Bapak, Bapak tahu apa yang barusan Bapak lakukan?" Suaraku terdengar agak bergetar; aku cukup kaget dengan orang cebol itu. Tidak pernah ada cowok lain yang pernah memegang bagian pribadiku itu. Beberapa pacar terdahuluku memang pernah memegangnya untuk menggodaku, namun biasanya langsung kutolak. Orang cebol itu memanfaatkan kelengahanku saat memeriksa surat-suratnya. Tapi bahkan orang lain, cewek sekalipun, tidak pernah langsung meremas kontolku seperti itu!
"Tahu kok," jawab orang cebol itu santai. "Dan saya tahu apa yang kuinginkan. Kontolmu."
"Maaf Pak, Bapak tahu sedang berhadapan dengan siapa?"
"Polisi." Orang cebol itu turun dari motornya dan melangkah mendekat. Aku pun spontan melangkah mundur, namun kemudian aku tersadar untuk menunjukkan kewibawaan dan kekuasaanku sehingga aku pun berhenti melangkah. "Nggak usah takut Pak, saya cuma mau ngasih Bapak yang enak-enak aja kok. Bapak pasti suka."
"Pak, maaf, saya bukan orang sembarangan, dan saya sedang bertugas. Bapak bisa saya proses karena macam-macam dengan polisi."
"Ah, polisi juga manusia Pak." Orang cebol itu kini berdiri di depanku sambil tersenyum. "Bapak pasti jarang disentuh makanya seperti itu. Percaya deh, saya akan kasih Bapak kenikmatan yang bikin ketagihan." Ia mengulurkan tangannya kembali, namun kali ini aku lebih sigap dan menepis tangannya. "Bapak ikut saya ke pos," perintahku datar.
"Dengan senang hati," jawabnya, membuatku sedikit merinding. Orang ini bukan orang biasa...



"Dapat lagi Bal?" tanyaku ketika melihat Ikbal mengantar seseorang masuk ke pos. "Kok diborgol? Ngelawan ya?"
"Nggak Do, dia berusaha melecehkan aku," jawab Ikbal. Dari raut mukanya, dia seperti agak terkejut.
"Hahaha, ada yang berani ya melecehkan polisi! Becanda kau!"
"Dia meremas kontolku," Ikbal sedikit berbisik, sepertinya malu. Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya. "Kau? Diapain??? Diremas kontolnya? Sama orang cebol ini? Hahahahahaaa!!! Hebaaattt!" Aku memandang orang cebol itu, dan dia tidak menunjukkan raut bersalah maupun takut. "Heh, kau, berani ya sama polisi?"
"Saya cuma membantu Bapak Ikbal saja, Pak Ardo," jawab orang cebol itu tersenyum. "Kalau tangan saya dibebaskan, saya juga bisa memberikan kenikmatan yang sama untuk Bapak Ardo!" Berani juga orang ini! Tanpa basa-basi, to the point, dia menginginkan kontolku dan kontol Ikbal!
"Heh, bisa apa kau memangnya? Tahu apa kau sama kontol? Cebol kecil gitu!"
"Saya bisa megang kontol Pak Ikbal tadi. Saya juga bisa ngisep. Bikin Bapak-Bapak keluar di dalam celana juga bisa."
"Dasar homo doyan kontol! Kujebloskan penjara baru tahu rasa kau!"
"Kalau Bapak tidak percaya, lepaskan dulu borgol saya."
"Hah! Sori ya, saya nggak doyan laki! Lebih enak memek istri!"
"Coba dulu Pak, nanti Bapak pasti ketagihan."
"Alah ga usah banyak bacot!"
"Bapak sudah lama kan ga dikasih jatah sama istri? Pasti lagi datang bulan, makanya Bapak senewen seperti itu. Kontol Bapak juga pingin dimainin tuh, sudah berapa hari Pak? Seminggu? Saya bisa bantu keluarin Pak."
"Heh homo, ini kontol cuma buat istriku! Bal, mana kunci borgolnya?"
"Mau kauapakan dia Do?"
"Percuma berdebat sama homo! Kita juga ga bawa mobil tahanan!"
"Kupanggilkan ke kantor aja kah?"
"Ga usah, nanti dia malah kesenangan dibawa ke penjara, banyak polisi! Nafsu homonya tambah besar nanti, bahaya!"
"Terus?"
"Heh cebol, dengar ya! Aku nggak mau melihat kamu lagi ngemis-ngemis kontol polisi! Kalau aku melihatmu lagi, mampus kau! Bal, pegang tangannya supaya dia nggak macam-macam habis kubuka borgolnya!" Ikbal pun menurut lalu memegangi tangan orang cebol itu selagi aku membuka kunci borgolnya.

Aku tak menduga orang cebol itu lebih pintar dariku.

Begitu tangannya terbebas, ia mengentakkan tangannya sehingga borgol itu melayang hingga membentur dinding pos; kuncinya juga terlempar entah ke mana. "Sial!" umpatku, dan refleks aku bangkit berdiri untuk mencari borgol itu.

Suatu kesalahan.

Sebelum aku menyadarinya, orang cebol itu dengan cepatnya meremas kontolku. Rasa sakit pun mendera tubuhku. Kurang ajar betul orang cebol itu! Dan Ikbal pun melakukan kesalahan dengan mendekat. Kurasa ia ingin membantuku, namun ia juga ceroboh.

Orang cebol itu mendapatkan kontolnya.



Kedua polantas itu mengerang ketika aku meremas-remas kontol kebanggaan mereka. "Jangan dikira hanya karena aku cebol berarti aku tidak bisa apa-apa! Aku juga bisa mainin kontol kalian, dan kalian akan ketagihan!" Tinggiku pas sekali hanya setinggi selangkangan kedua polisi itu, jadi tanganku sangat pas untuk meremas kontol. "Jadi, kalian pilih yang mana? Mau dibikin enak?" Aku meremas-remas kontol kedua polisi itu dengan lembut. "Atau dibikin 'enak?'" Kuperkeras remasanku dan kudorong tanganku semakin masuk ke dalam selangkangan kedua polisi itu, membuat mereka mengerang dan berjalan mundur sampai akhirnya terhentikan oleh tembok pos jaga. "Kau berani melawan polisi ya?!" ancam polisi Ardo.
"Oh siapa takut? Kalian sekarang saja sudah loyo kuremas kontolnya!" Tinggi badanku memberiku keuntungan tambahan, membuatku berada di luar jangkauan pukulan orang dewasa biasa. Aku melepaskan remasan dari polisi Ardo, namun dengan cepat kukepalkan tanganku dan kuhantam tonjolan bola-bola polisi Ardo, membuat polisi Ardo mengerang pendek. "Ugh..." Diliputi rasa ngilu yang luar biasa di kontolnya, polisi Ardo perlahan terduduk di lantai pos. Tanpa basa-basi lagi, langsung kuinjak kontol si polisi Ardo. Sekali lagi hanya napas pendek yang keluar dari mulut di polisi, diikuti dengan kesadarannya. Polisi itu pingsan.
Dan aku masih mempertahankan genggamannya pada polisi yang satu lagi, polisi Ikbal, yang tampak mulai ketakutan. "Jadi, kau mau yang mana?" tanyaku lagi.
"Jangan... jangan... kau boleh melakukan apa saja padaku!" jawab polisi Ikbal gemetaran. "Kau boleh memainkan kontolku!"
"Bagus!" ujarku puas; aku pun tersenyum lebar penuh kemenangan. "Aku sudah muak ditolak ke sana kemari hanya karena aku cebol! Aku juga bisa memberi kenikmatan sama seperti kalian orang normal!" Ia mengelus-elus tonjolan polisi Ikbal yang masih gemetaran itu. "Jangan takut, aku tidak akan menyiksa kontolmu seperti temanmu yang bodoh tadi. Tapi bantu aku dulu, borgol temanmu. Dia akan kuajari menerima kenikmatan yang sama dari orang cebol."

Setelah meletakkan polisi yang pingsan itu di pojok pos dan memborgolnya di sebuah pipa, tinggallah aku dan polisi penurut itu. "Nah, bisa kita mulai, Pak Ikbal?" Polisi itu hanya mengangguk; entah ia sudah siap kuperkosa. "Pak Ikbal tegang amat, duduk dulu aja deh Pak." Kutawarkan duduk, dan polisi Ikbal pun menurut. Kuamat-amati Ikbal. Tanda pangkat di pundaknya menandakan ia seorang bripda. Perawakannya cukup gagah, kulitnya terbilang cukup putih untuk ukuran polantas yang lebih sering berada di bawah terik matahari. Wajahnya tampan juga. Badannya cukup tinggi, mungkin sekitar 176 cm, dan kakinya juga cukup tinggi semampai namun tetap kokoh untuk menopang tubuhnya. Masih belum tampak timbunan lemak di sana-sini, Bripda Ikbal pasti rajin menjaga tubuhnya. Sepertinya ia berumur sekitar 26 tahun. Kontolnya... aku melirik ke arah tonjolan celana coklat Bripda Ikbal. Aku sudah sempat menaksir saat meremas kontol Bripda Ikbal tadi, dan aku suka dengan ukurannya. Cukup proporsional; tidak terlalu besar namun juga tidak terlalu kecil. Kuperkirakan kontol Bripda Ikbal masih menyimpan banyak pejuh di dalam bola-bolanya. "Pak Ikbal pernah main?" tanyaku.
"Main...? Main apa?"
"Main kontol," tanpa basa-basi lagi tanganku langsung mengelus-elus tonjolan kontol Bripda Ikbal. Bripda Ikbal tampak gugup namun ia juga tidak menghentikanku itu melakukan aksinya. Sepertinya pertahanannya mulai runtuh. Aku tersenyum menunggu jawaban Bripda Ikbal. "Nggak pernah," jawabnya pelan.
"Nggak pernah dimainin sama orang lain Pak Ikbal? Sama ceweknya?"
"Saya masih jomblo."
"Ah masa polisi ganteng gini masih jomblo... Badan bagus pula..." Kuraba-raba dada dan perut Bripda Ikbal sebelum kembali mengelus-elus kontol Bripda Ikbal. "Kontolnya asyik juga."
"Saya nggak berani main sembarangan sama cewek... takut hamil... saya belum siap..."
"Main sama cowok aja Pak Ikbal... ga bisa hamil." Bripda Ikbal hanya terdiam mendengar perkataanku. "Sayang kalau dibiarkan gitu aja, kontolnya kan produksi pejuh terus, daripada cuma keluar pas mimpi basah aja. Sehat juga lho Pak kalau rutin keluar, buat kesehatan prostat."
"Saya bukan homo..."
"Ah Pak Ikbal, nggak perlu jadi homo Pak untuk bisa menikmati kontol. Pak Ikbal kan bisa coli sendiri, atau minta bantuan orang untuk coliin. Saya bisa bantu kok Pak."
"Tapi..."
"Tenang aja Pak, nggak semua cowok yang mainin kontol cowok lain itu juga minta balik. Saya nggak masalah kontol saya nggak Bapak mainin, toh masih banyak cowok lain yang mau. Banyak kok cowok yang bukan homo tapi juga suka sama-sama main kontol, biasanya mereka nggak penetrasi Pak, cuma bantu kocok-kocok atau kadang-kadang ada yang suka ngisep juga. Pak Ikbal pernah diisep?"
"Belum. Enak kah?"
"Ah nanti Pak Ikbal tahu sendiri deh! Tuh juga sudah berdiri." Bripda Ikbal pun melihat tonjolan selangkangannya dan merasa agak malu; batang kontolnya sudah mulai terlihat cukup jelas di celana dinas coklatnya itu. "Bapak kalau malu tutup mata saja, bayangkan saya ini cewek yang mainin kontol Pak Ikbal."



Tanpa basa-basi lagi, aku mulai memainkan jariku pada tonjolan kontol Bripda Ikbal. Kuposisikan batang kontol Bripda Ikbal sedemikian rupa supaya Bripda Ikbal merasa nyaman dan tidak kesakitan saat tegang sepenuhnya nanti. Dengan lembut kuurut batang kontol Bripda Ikbal. Bripda Ikbal tidak bereaksi, mulutnya masih setengah menganga namun tak ada suara yang keluar; mungkin malu-malu untuk mengakui bahwa ia sebenarnya menikmati permainan itu. Bripda Ikbal membuka kakinya lebar-lebar agar aku lebih leluasa memainkan kontolnya. Sesekali kuelus-elus pangkal paha Bripda Ikbal dan kugoda imannya dengan menyenggol-nyenggol bonggolan kontolnya. Bola-bola kontol Bripda Ikbal pun tak luput jadi sasaran permainan tanganku, yang rupanya cukup menggoda pertahanan Bripda Ikbal. Aku berpindah posisi ke sebelah kanan Bripda Ikbal, lalu kubuka satu kancing kemeja dinas coklat polantas itu. Tangan kiriku masuk ke dalam, mencari-cari sasarannya, yaitu puting susu Bripda Ikbal. Mungkin ada di sekitar kantung kemeja Bripda Ikbal. Kuraba-raba daerah itu, dan akhirnya ketemu juga: puting susu Bripda Ikbal, yang masih terbalut dalam kaos dalam coklat khas polisi. Aku tidak repot-repot membuka kaos dalam itu, kuelus-elus dada Bripda Ikbal dari luar kaos dalamnya. Tangan kananku tentu saja tidak menganggur; kontol Bripda Ikbal masih ada dalam remasan demi remasan tangan kananku. Aku bisa merasakan Bripda Ikbal mulai terangsang hebat; samar-samar kurasakan celana dinas Bripda Ikbal mulai basah oleh precum, dan puting susunya juga mulai melenting. Kucubit-cubit puting susu itu. "Aaahhh..." Bripda Ikbal tak kuasa menahan erangannya; rasa nikmat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya seakan membawanya ke awang-awang. "Enak Pak Ikbal?" aku pun tersenyum. Bripda Ikbal mengangguk malu-malu. Baru kali ini tubuhnya digerayangi demi kenikmatan, dan yang menggerayanginya seorang pria! Aku terus mengelus-elus dada dan perut Bripda Ikbal sambil tak lupa memainkan kontol polantas itu yang sudah menegang sempurna di dalam celana dinasnya.



Aku tak menyangka pertahananku runtuh. Belum pernah ada yang memainkan tubuhku senikmat orang cebol itu. Bahkan semua mantanku tidak ada yang pernah bereksperimen dengan tubuhku. Aku terkejut mengetahui puting susuku ternyata sensitif dan dapat merangsang kontolku; bukan hanya puting susu cewek saja yang demikian! Entah mengapa, kali ini aku tidak bisa menahan diri. Biasanya, sekalipun mantan pacarku menggodaku sedemikian hebatnya, aku masih bisa menangkisnya. Namun, kali ini sepertinya aku pasrah...

Aku pun akhirnya penasaran dengan apa saja yang orang cebol itu lakukan pada tubuhku. Aku pun membuka mataku dan kuberanikan diri melihat ke bawah. Orang cebol itu masih memainkan kontol dan dadaku. Ia memijat kontolku dengan mantap, tidak terlalu lemah namun juga tidak sampai menyakitiku. Melihatku, orang cebol itu hanya tersenyum, lalu melanjutkan pekerjaannya menggerayangi seluruh bagian kontolku. Batang kontolku yang sudah mengeras diurutnya dengan lembut dari pangkal hingga ke kepalanya, lalu ia menekan-nekan ujung kepala kontolku dengan jempolnya, selagi keempat jarinya yang lain menekan-nekan kedua bola kontolku. "Aaaahhh..." Tubuhku terasa seperti tersetrum sesuatu, namun ini adalah setruman kenikmatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Kurasa aku melewatkan sesuatu yang seharusnya kunikmati di masa mudaku.
"Mau dikeluarkan sekarang Pak Ikbal?" orang cebol itu menawarkan. "Nggak usah malu-malu Pak, nanti saya juga hisap kontol Pak Ikbal, sesuai janji saya tadi." Tawarannya begitu menarik; aku belum pernah dihisap. "Bapak mungkin kunci dulu pintu pos ini supaya nggak ada yang masuk waktu saya nanti ngisep kontol Pak Ikbal." Ide bagus; aku terlalu terlena pada kenikmatan yang diberikan sampai tidak memikirkan kalau ada yang melihatku! Tentu memalukan seorang polisi kepergok dilayani kontolnya, oleh seorang cowok pula! Aku pun bangkit dan mengunci pintu pos, kemudian kembali duduk di samping orang cebol itu. "Saya bikin keluar ya Pak Ikbal." Aku hanya mengangguk setuju.

Kontolku agak berkurang ketegangannya karena terhenti akibat mengunci pintu pos, namun dengan sigapnya orang cebol itu memainkan kontolku kembali, dan dengan segera kontolku kembali mengeras seperti tadi. "Pak Ikbal kalau coli tahan berapa lama?" tanyanya sambil terus mengurut batang kontolku.


"Saya jarang coli."
"Kalau lagi coli aja." Aku terdiam mendengar pertanyaan itu. Aku tidak pernah mengukur waktunya, karena memang aku jarang sekali coli. Biasanya aku lebih sibuk dengan pekerjaanku. Kini aku menyadari betapa kurangnya aku memperhatikan kebutuhan tubuhku sendiri. "Ya udah, nanti bilang aja ya Pak Ikbal kalau mau keluar. Bapak habis ini langsung pulang kan, nggak ke kantor lagi kan?" Aku mengangguk. "Saya bikin Pak Ikbal keluar di dalem celana ya. Sensasinya pasti beda." Aku hanya menurut saja; aku sendiri belum pernah keluar di dalam celana, apalagi sekarang aku masih mengenakan seragam dinas lengkap. Aku masih punya seragam lagi di rumah, dan toh hari sudah malam. Takkan ada yang mengamati celanaku basah.
Orang cebol itu memulai kembali aksinya. Ia membuka tiga kancing kemeja seragamku dan menyingkapnya hingga bagian dadaku yang masih terbalut kaos coklat itu terekspos. Puting susuku yang masih melenting tercetak dengan jelas di balik kaos coklat itu. Ia mendekatkan kepalanya ke dada kiriku dan mulai menjilat-jilat putingku. Aku mengerang pelan, dan eranganku semakin menjadi-jadi ketika ia menggigit dan mengenyot putingku. Astaga, enak sekali... Kontolku masih dipegangnya namun tidak ia mainkan, membuatku sedikit frustrasi dan penasaran. Apa lagi yang akan ia lakukan dengan tubuhku? Tangan kanannya yang tadinya memegang kontolku perlahan-lahan merambat naik: berhenti sebentar di pinggangku untuk memainkan gesper emasku yang kubanggakan, naik mengelus-elus perutku sambil sesekali menusuk pusarku, dan akhirnya sampai di dada kananku untuk mencubit-cubit putingku yang satunya. Tubuhku bergetar mendapatkan perlakuan seperti itu, benar-benar kenikmatan yang berbeda. Bahkan tanpa disentuh pun kontolku sudah terasa enak. Tangan kirinya tadinya berpegangan di pundakku, namun kali ini ia mainkan dengan mengelus-elus lenganku, seakan hendak memuja otot biseps dan trisepsku yang sebenarnya belum terlalu terlatih. Sesekali ia mencium ketiakku yang cukup basah karena keringat setelah seharian penuh berdiri di bawah terik matahari. Aku jadi penasaran, apa iya bau ketiakku seenak itu?
Puas mengagumi lenganku, ia mengelus-elus jakunku dan perlahan-lahan merayap naik di daguku, dan kemudian bibirku. Bibirku ia sentuh dengan perlahan, menimbulkan dorongan yang cukup kuat. Dorongan untuk bercumbu. Aku memang pernah bercumbu sebelumnya, namun tak pernah dengan sesama cowok. Aku jadi penasaran, bagaimanakah rasanya. Orang cebol itu seakan bisa membaca pikiranku, dan sejenak ia menghentikan semua permainannya. Ia menatapku dan aku pun balas menatapnya, mulutku masih terbuka. Perlahan-lahan ia mendekat, dan akhirnya hal itu terjadi juga.

Ia mencumbuku.

Pertama rasanya begitu aneh, karena bibirnya cukup kasar dan kering, namun ternyata orang cebol itu ahli bercumbu. Dalam sekejap, tanpa diminta, aku membalas cumbunya. Dari cumbuan lembut hingga penuh gairah. Orang cebol itu mulai menaiki tubuhku tanpa melepaskan cumbuannya, ia melingkarkan tangannya di leherku untuk berpegangan, dan aku merasakan begitu dicintai. Ia mengelus-elus kepalaku dengan lembut. Orang cebol itu lihai memainkan gairahku. Di satu saat kami bercumbu dengan lembut, dan tiba-tiba di saat berikutnya ia bercumbu dengan liarnya. Aku bisa merasakan kontolnya yang juga mengeras bersentuhan dengan tubuhku, dan tanganku pun akhirnya memeluk orang cebol itu. Entah berapa lama kami berciuman, sampai akhirnya orang cebol itu menambahkan variasi lain dalam cumbuannya. Aku cukup terkejut ketika kontolku disentuh kembali, namun kali ini menggunakan kakinya. Tidak pernah ada mantan pacarku yang menggunakan kakinya untuk menggoda kontolku! Mungkin karena ukuran tubuhnya cukup pendek, ia jadi bisa menggunakan kakinya untuk memainkan kontolku selagi kami bercumbu. Aku sedikit menekuk tubuhku agar ia bisa menggunakan kakinya dengan lebih leluasa. Telapak kakinya dengan lembut menekan-nekan bola-bola kontolku, membuatku sangat bergairah. Seakan-akan ia menginjak-injak kontolku seperti yang ia lakukan pada Ardo tadi, namun yang ini jauh lebih nikmat! Puas menginjak-injak kontolku, ia menjepit batang kontolku dengan jempol kakinya, kemudian mengurutnya. Kenikmatan kembali mendera tubuhku dan eranganku menjadi semakin intens. Itu membuatnya bersemangat, dan entah bagaimana caranya, ia mengocok kontolku dengan kakinya. Sesekali ia melakukan variasi dengan mengusapkan telapak kakinya ke seluruh bagian batang kontolku, namun aku paling merasa nikmat ketika kakinya memainkan kepala kontolku. Aku tidak bisa membayangkan seberapa basah celana dinasku akibat precum-ku yang sepertinya terus mengalir begitu saja.
Sampai akhirnya aku tidak tahan lagi. "Aaaaahhh... Mau keluaaaarrr..." "Keluarkan aja Pak Ikbal. Keluarkan pejuh jantan Bapak." Orang cebol itu turun dari tubuhku dan duduk di sampingku, lalu ia kembali menumpangkan kakinya di pangkuanku. Aku agak sebal karena orgasmeku tertunda, namun orang cebol itu dengan segera kembali memainkan kontolku dengan kakinya. Telapak kakinya menekan bola-bola kontolku selagi jari-jari kakinya menari-nari di atas batang kontolku, menerpaku dengan rasa geli yang begitu nikmat. Sepertinya aku tak henti-hentinya mengerang, hingga aku tak menyadari kalau Ardo sudah mulai sadar. Orang cebol itu tersenyum padaku, dan terus menggerakkan kakinya di atas kontolku dengan intensnya. Sampai titik itu akhirnya tiba.

"Ooooooohhhhhhhh....."

Aku berpegangan erat pada kursi kayu tempatku duduk dan badanku bergetar hebat ketika kontolku akhirnya menembakkan cairan kejantananku di dalam celana dinasku. Gelora orgasme itu begitu kuatnya, dan aku seakan mengejang tiap tembakan pejuhku. Aku bisa merasakan celanaku begitu basah dan lembab, namun aku tak peduli lagi. Kenikmatan ini baru pertama kalinya kurasakan, dan sepertinya aku menginginkannya lagi. Orang cebol itu tersenyum melihatku orgasme, dan entah setelah tembakan ke berapa kalinya akhirnya aku pun melemas. Wajahku penuh dengan peluh, dan tidak diragukan lagi celanaku penuh dengan pejuh, karena aku melihat noda yang sangat lebar di celana dinasku. Posisi batang kontolku rupanya agak miring ke pangkal paha kanan, sehingga pangkal pahaku terasa cukup basah. "Enak kan Pak Ikbal?" Aku hanya mengangguk sambil mengatur kembali nafasku. "Nanti saya kasih kenikmatan yang lain Pak Ikbal. Pak Ikbal pasti suka banget kontolnya diisep." Orang cebol itu tak ragu-ragu mengelus-elus kontolku yang mulai melemas, tanpa peduli tangannya basah dengan pejuhku yang ternyata merembes keluar dari celana dinasku. "Tapi sebelum itu, Pak Ardo perlu diberi 'sesuatu.'"



Sayup-sayup aku mendengar erangan seseorang. Pandanganku cukup gelap dan kabur, belum lagi kepalaku agak pusing dan perutku kaku. Aku mengerang dan mencoba memegang kepalaku untuk meringankan pusingku, namun dengan segera tanganku beradu dengan sesuatu. Suara besi. Tanganku pun tidak bisa digerakkan
Kemudian aku samar-samar melihat orang cebol itu mengusap-usapkan kakinya di paha si Ikbal... paha? "Bal..." panggilku, namun suaraku terdengar serak dan lemah. Aku juga mendengar erangan panjang Ikbal, dan sepertinya aku melihat Ikbal... orgasme? "Bal... Ikbal..."
Butuh waktu cukup lama hingga pandanganku pulih. Orang cebol itu sudah berada di dekatku, sementara Ikbal terlihat terkulai lemas di kursi kayu itu. "Kau... kauapakan Ikbal, hah?!"
"Tenang Pak Ardo," orang cebol itu tersenyum. "Tadi saya kan sudah bilang, saya akan kasih yang enak-enak. Pak Ikbal sudah merasakannya sendiri kok. Bapak lihat sendiri kan Pak Ikbal tadi orgasme? Kalau Pak Ardo nurut, saya juga akan memberikan kenikmatan yang sama kok." Tanpa permisi orang cebol itu meremas-remas kontolku. Refleks aku hendak menepis tangannya, namun bunyi itu kudengar lagi. Akhirnya aku sadar, aku diborgol ke sebuah pipa di dalam pos. "Heh, bajingan kau! Lepas!!! Berani ya kau sama polisi???"
"Saya berani-berani saja Pak, polisi kan juga manusia," jawab orang cebol itu santai. "Pak Ardo memang polisi, tapi Pak Ardo juga manusia, Pak Ardo juga pria, dan Pak Ardo juga punya kontol. Kontol tidak bisa dibohongi Pak." Aku meronta-ronta dengan hebat agar tangan orang cebol itu lepas dari kontolku, namun orang cebol itu tidak melepaskan cengkeramannya dari kontolku. Kucoba menendang orang cebol itu, dan ia pun sigap menghindar hingga keluar dari jangkauan kakiku. Pandanganku kembali gelap dikuasai amarah. "Lepaskan, brengsek!!! Cebol homo!!!"
"Saya memang cebol, dan saya memang homo," orang cebol itu berbisik; nada suaranya tidak terdengar marah. Mungkin ia sudah terbiasa disebut demikian. "Dan saya suka polisi. Terutama polisi yang kasar seperti Pak Ardo." Orang cebol itu menjilat telingaku, dan tiba-tiba menciumku dengan kasar. "Mmmmmhhhhh!!!" Aku meronta-ronta dan menutup mulutku serapat mungkin. Seorang pria menciumku? Najis! Tubuhku hanya milik istriku seorang! Orang cebol itu meremas kontolku dengan kuat dan kasar, membuat rasa ngilu kembali menerpaku. Orang cebol itu menghentikan ciumannya dan tertawa. Aku pun meludah ke arahnya, namun ia menghindar dengan cepat. "Anjing kau, cebol jahanam! Laknat!!!" Entah sumpah serapah apa lagi yang kuumpatkan dari mulutku, serasa semua kosa kata kotorku keluar semua.

Dan seharusnya aku tidak melakukannya.

Umpatanku malah membuatnya semakin bergairah. Bukan bergairah untuk memberiku kenikmatan seperti yang dirasakan Ikbal.

Orang cebol itu ternyata juga suka menyiksa orang. Dan aku akan jadi obyeknya.

"Sudah selesai Pak nyumpahnya?" kata orang cebol itu. "Pak Ardo sudah saya kasih kesempatan berkali-kali tapi tidak mau nurut. Jadi, dengan sangat terpaksa, Pak Ardo saya hukum." Tanpa peringatan apapun, orang cebol itu menghunjamkan kepalan tangannya ke perutku. "Ugh..." Aku tak menduga tenaga orang cebol itu ternyata kuat juga. Harusnya aku ingat ketika ia memukul kontolku tadi. Rasa sakit dan mulas pun mulai menderaku. Aku pun tidak bisa membalas, dan tiap kali ia memukulku, badanku pun beradu dengan pipa keras itu, membuat punggungku pun terasa sakit. Entah berapa kali ia menghajar perutku, dan setiap kali tangannya semakin turun. Sampai akhirnya ia menghajar kontolku. "Argh! Bal! Bantuin!!! Ugh..."
Ikbal tidak bereaksi. Bahkan ia seakan menikmati menonton aku disiksa orang cebol itu. Aku kembali meronta-ronta dengan harapan aku bisa mencapai orang cebol itu, namun ia begitu lincah menghindar. Kontolku terus jadi bulan-bulanan, dan perutku pun ikut berontak. Satu pukulan telak di bola-bola kontolku, dan aku pun terbatuk dan muntah. Air pun membasahi bajuku, untungnya isi makan siangku tidak ikut keluar. Untuk beberapa lama aku terbatuk-batuk, mataku berair, dan perutku mulas tak karuan. Aku tak sanggup berdiri--dan sepertinya juga percuma, karena pipa itu lebih tinggi dariku, sampai ke langit-langit pos. Siapa juga yang membuat pipa ini tidak rapat di tembok, umpatku dalam hati.
Belum juga pulih, orang cebol itu melanjutkan serangannya. Kali ini ia memukul wajahku di sana-sini hingga lebam, dan diakhiri dengan cekikan di leherku. Aku pun megap-megap mencari nafas, cekikannya kuat sekali untuk seseorang yang cebol sepertinya. "Berdiri!" perintahnya. "Jangan melawan kalau kau tak mau mati!" Aku langsung teringat istriku di rumah, dan aku tidak mau mati sekarang. Aku terpaksa menurut sambil mencari celah untuk bisa menghajar orang cebol jahanam itu. Aku pun bangkit dan mencoba berdiri perlahan-lahan. Begitu leherku lepas dari cekikannya, aku sedikit terbatuk-batuk dan megap-megap menghirup udara segar. Namun kelegaan itu hanya sebentar, dan aku pun lupa memanfaatkan kesempatan itu untuk menghajar si orang cebol.
Karena dengan sigapnya ia kembali memegang kontolku dan mendorongnya melesak masuk ke atas selangkanganku. Aku hanya bisa mengerang selagi orang cebol itu memaksaku berdiri dengan cara itu. Aku kembali melihat Ikbal yang masih diam saja melihatku dipermalukan dan disiksa. Apa mungkin ia sudah terkena pelet orang cebol ini? Yang jelas aku takkan jatuh dalam permainan busuknya!

Namun apa kata, tubuhku berkata lain...

Tenagaku terkuras habis menahan nyeri dan ngilu di kontol dan perutku, dan orang cebol itu pun masih meremas kontolku kuat-kuat. Orang cebol itu tidak bersuara, hanya tersenyum penuh kemenangan. Dan akhirnya ia pun melepaskan cengkeramannya di kontolku. Aku bisa bernafas lega untuk beberapa saat, sambil terus berpikir bagaimana caranya aku bisa lolos dari semua ini. "Apa maumu, orang cebol bedebah?!"
"Sudah terlambat Pak Ardo," orang cebol itu terkekeh. "Saya sudah memberikan kesempatan pada Pak Ardo dua kali, dan dua kali itu juga Pak Ardo mengumpati saya. Ya sudah, saya nggak punya pilihan lain."

Itu adalah kalimat terakhir yang aku ingat terucap dari mulut bebal orang cebol itu.

Yang aku ingat, setelah kalimat terakhir itu, orang cebol itu kembali bertubi-tubi memukul kontolku. Tubuhku membungkuk menahan rasa nyeri dan ngilu yang kembali mendera bagian bawah perutku, dan aku sudah tidak sekuat tadi pagi. Kakiku pun kehilangan kekuatannya kembali, dan perlahan-lahan aku pun kembali terjatuh. Orang cebol itu tidak berhenti memukuli kontolku, dan bahkan setelah aku hampir terduduk, ia menghunjamkan lututnya ke kontolku. Berkali-kali.

Entah apakah setelah ini aku masih bisa memuaskan istriku, dan mewujudkan impiannya untuk memiliki anak...

Dan dengan satu injakan terakhir di kontolku, pandanganku pun kembali gelap.

Maafkan aku, istriku...



"Kauapakan Ardo?" aku pun panik melihat orang cebol itu menghajar temanku Ardo tanpa henti, hingga akhirnya ia terduduk dan terkulai tak bergerak di lantai pos. Kucoba membangunkan Ardo, namun ia benar-benar pingsan. "Jangan khawatir Pak Ikbal," orang cebol itu kembali tersenyum, dan entah kenapa senyumnya itu menenangkan. "Pak Ardo tidak akan rusak kontolnya. Nanti Pak Ardo juga akan muncrat seperti Pak Ikbal, namun sekarang sebaiknya kita pindah lokasi saja, ke tempat yang sepi. Saya juga belum memuaskan kembali Pak Ikbal, saya kan janji mau ngisap kontol Pak Ikbal." Orang cebol itu kembali mengelus-elus kontolku, yang entah kenapa sudah setengah tegang melihat Ardo disiksa seperti itu tadi. Tubuhku seakan tersetrum dengan elusan orang cebol itu, dan aku mengerang pelan ketika orang cebol itu meremas pelan kontolku. "Pak Ikbal kan nurut, jadi saya kasih yang enak-enak. Sekarang, bantu saya pindahkan Pak Ardo." Aku pun menurut, membuka borgol Ardo, membopongnya keluar dari pos melalui pintu belakang. Matahari ternyata sudah terbenam, dan jalanan sudah sepi. Tapi, bagaimana memindahkannya ke tempat yang dimaksud orang cebol itu? Jelas tidak mungkin aku menggunakan motorku; dia bisa jatuh, dan orang-orang pun akan curiga karena Ardo tampak lemas. "Kita naik motor Pak Ikbal, biar Pak Ardo di tengah dan saya di belakang. Saya bawa dulu motor Pak Ikbal ke sini supaya tidak ada orang yang melihat." Orang cebol itu sepertinya sudah memperhitungkan semuanya. Selagi ia mengambil motorku, aku melihat Ardo yang terkulai lemas di dinding pos jaga. Entah dorongan dari mana yang membuat tanganku menyentuh tonjolan kontolnya. Aku belum pernah memegang kontol orang lain sebelumnya, bahkan milik Ardo sekalipun. Kekhawatiran pun muncul, apakah kontolnya tidak rusak? Didorong rasa khawatir dan ingin tahu, aku pun memeriksa kontol Ardo. Punyanya sedikit lebih besar dariku. Kutekan-tekan perlahan bola-bola kontolnya. Masih utuh dan kenyal. Kubandingkan dengan bola-bola kontolku. Sama kenyalnya. Tapi apakah ada luka dalam? Aku melihat ada sedikit darah di ujung bibir Ardo, mungkin tergigit waktu ia dipukuli tadi. Jantungku berdebar-debar ketika aku membuka resleting celana Aldo. Apa yang kulakukan? Tapi aku khawatir dengan temanku ini. Kubuka kait celana dinasnya, dan tampaklah celana dalam putih yang sedikit ternoda. Darah? Kuambil HP-ku dan kunyalakan lampu flash-nya untuk menggantikan senter, dan noda itu menjadi semakin jelas. Warnanya tidak terlalu jelas bagiku, hanya tampak basah. Apa benar itu darah?
Tanpa pikir panjang kubuka celana dalamnya. Itulah momen pertama aku melihat kontol pria lain, dan pria itu adalah temanku sendiri, Briptu Ardo.
"Jangan khawatir Pak Ikbal," orang cebol itu mengagetkanku, HP-ku pun jatuh ke tanah. "Kontol Pak Ardo tidak apa-apa. Kalau ada noda, itu pasti spermanya yang tidak sengaja keluar." Orang cebol itu mendekati Ardo, memegang batang kontolnya, dan menunjukkannya padaku. Dengan lubang kencingnya sedikit terbuka, aku bisa melihat ada sedikit cairan di situ. "Pegang Pak." Sedikit ragu-ragu, namun demi memenuhi rasa penasaranku, kusentuh cairan itu. Lengket. "Sperma," ujarku tanpa kusadari. "Nanti kalau Pak Ikbal mau, Pak Ikbal bisa merasakan sperma Pak Ardo yang lebih banyak dan kental. Ini pasti belum dikeluarkan cukup lama. Sudah Pak, dirapikan lagi celananya Pak Ardo, sebelum ada yang lihat." Aku pun menurut dan memasukkan kembali kontol Ardo ke dalam celana dalamnya, menutup kembali celana dinasnya, dan merapikan baju Ardo, seakan-akan dia tidak kenapa-kenapa. Orang cebol itu memeluk Ardo dari belakang selagi aku membopongnya dan mendudukkannya di motorku, kemudian aku menyalakan motorku dan beralih pergi dari pos jaga itu. "Nanti saya tunjukkan jalannya."

Dan mengapa aku menuruti orang cebol itu...



Aku berhasil membujuk Bripda Ikbal untuk melanjutkan permainan itu. Aku masih harus merasakan gurih, kental, dan hangatnya pejuh Bripda Ikbal, seorang polantas. Dan aku juga memiliki Briptu Ardo, yang akan menyesal tidak mau mendapatkan kenikmatan dariku. Mereka akan menyadari, jangan macam-macam dengan orang cebol.

(bersambung...)



Bonus: Secara tidak sengaja saya nemu foto polisi ini, dan kebetulan namanya juga Ikbal. Yah, paling nggak bunyinya sama. Bripda Iqbal yang ini sebenarnya bukan dasar Bripda Ikbal, tapi... ya monggo dibayangkan sendiri kalau polisi ini nggak sesuai gambaran :)


Selasa, 05 Juli 2016

Selamat Idul Fitri

Halo semua,

Pertama-tama Fei ingin mengucapkan selamat Idul Fitri teman-teman yang merayakan. Semoga ibadahnya selama sebulan yang telah lalu bisa bermanfaat dan diterima. Mohon maaf jika selama ini saya berbuat kesalahan (utamanya sih dengan tidak melanjutkan cerita lagi).

Kedua, mungkin ini catatan terakhir dari saya, mengingat ada yang tidak suka saya berkeluh kesah di blog. Kecewa juga sebenarnya karena saya meminta saran di catatan terakhir, tapi ternyata tidak ada yang menjawab, malah ada yang berkomentar tidak suka saya menulis catatan. Ya mungkin salah saya juga karena saya tidak memenuhi permintaan teman-teman sekalian untuk menulis cerita baru. Karena selama ini tidak ada yang bisa diminta saran untuk permasalahan pribadi, mulai hari ini saya memutuskan untuk tidak akan menuliskannya lagi di blog ini. Biarlah masalah-masalah itu menjadi urusan pribadi saya, teman-teman cukup menikmati cerita saja.

Perlu teman-teman ketahui, selama dua-tiga minggu terakhir saya sedang memulihkan diri. Akibat pekerjaan yang terlalu berat, kesehatan saya memburuk, sehingga sempat dirawat di rumah sakit selama seminggu. Sisi baiknya, atasan saya akhirnya menyadari bahwa pekerjaan saya terlalu banyak, sehingga ke depan akan ada rekrutmen untuk karyawan baru untuk mengurangi beban pekerjaan saya. Sebenarnya saya ingin menyerah melanjutkan blog ini, tapi... ah jadi curhat lagi.

Semoga setelah ini akan bermunculan cerita-cerita baru.

Terima kasih.