Minggu, 21 Juni 2020

Polisi dan Orang Cebol (bagian 2, updated)

Cerita ini hanyalah rekaan semata, kesamaan nama dan tempat hanyalah kebetulan belaka. PERINGATAN: Konten ini mengandung materi dewasa dan homoseksualitas. Jika Anda tidak dapat menerima materi ini, segera tinggalkan blog ini.

Ini adalah versi terbaru dari bagian 2 seri Polisi dan Orang Cebol. Baca bagian 1.
Ini juga pertama kalinya Fei pakai sex toys, maaf ya kalau ternyata salah, hehehe...



Aku tak tahu berkendara berapa lama, mungkin sekitar lima belas menit lamanya. Tentunya, aku tidak pulang ke rumah kontrakanku. Ada seorang cebol di motorku, yang mengapit Briptu Ardo, rekanku, yang masih tidak sadarkan diri. Aku cukup khawatir kalau ia jatuh, namun orang cebol itu menjaganya dengan baik, sekalipun sekali-kali Briptu Ardo seakan tertidur di punggungku. Karena aku membonceng dua orang, tentu saja tempatnya jadi agak sesak, dan kontol Briptu Ardo pun menyentuh pantatku. Rasanya aneh betul ketika kontol seseorang menyentuh tubuhku, apalagi itu seseorang yang sangat kukenal. Kami mengarah keluar kota, namun aku masih tidak asing dengan lokasiku sekarang.

Sampai orang cebol itu menyuruhku berbelok di sebuah jalan yang aku kenali sebagai jalan menuju ke sebuah gudang kosong. Aku pernah ke gudang itu untuk memeriksa sesuatu secara rutin, namun aku tak pernah mengunjunginya semalam ini. Aku sedikit khawatir dengan keselamatanku, apalagi aku hanya sendirian dan orang cebol itu sudah terbukti bisa melumpuhkan dua orang polisi sekaligus. Namun, rasanya dia tak akan macam-macam denganku. Dia sudah berjanji, ya kan? Mungkin dia hanya mencari tempat yang bukan tempatku maupun tempatnya, supaya aku tidak bisa menangkapnya dengan tuduhan melecehkan dan menyerang polisi, atau supaya dia tidak bisa memerasku karena mengetahui tempat tinggalku. Kalau dipikir-pikir, dia bukan penjahat, ya kan?

Pikiranku buyar ketika kami sampai di pintu gerbang gudang itu, yang tentu saja terkunci. Komandanku punya kuncinya--tapi tentu saja gudang itu bukan miliknya. Orang cebol itu turun dari motorku selagi aku menjaga keseimbangan dan membuka pintu gerbang gudang itu; entah dari mana dia punya kuncinya. "Masuk Pak Ikbal," kata orang cebol itu, seakan-akan ia pemilik gudang itu. Aku tidak mengingat dia sebagai pemiliknya... mungkin masih ada hubungan saudara? Aku perlu menyelidikinya nanti setelah semua ini selesai...

Setelah memarkir motorku di dalam gudang, yang anehnya cukup terang dengan beberapa lampu sudah menyala, aku pun mengikuti orang cebol itu ke suatu tempat sambil membopong Briptu Ardo. Lorong itu tidak aku kenali. Masa aku melewatkannya dalam inspeksi rutin? Atau karena sekarang malam hari? Atau ini sebuah tempat rahasia yang bahkan komandanku tidak pernah mengetahuinya? Bagaimana bisa orang cebol ini mengetahuinya, seakan-akan ini rumahnya sendiri?

"Kita sudah sampai Pak Ikbal," kata orang cebol itu. Kami sampai di ujung lorong itu, dan ia pun membuka pintu tersebut, menuju ke suatu ruangan yang cukup besar. Aku tercengang melihat berbagai macam peralatan yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Gudang apa ini sebenarnya? Aku perlu melihat manifes gudang ini nanti di kantor. Ada sebuah ranjang yang sebenarnya lebih mirip ranjang klinik. "Pak Ardo taruh di atas ranjang dulu saja Pak," ia mengetahui bahwa aku mengamati ranjang itu. "Nanti tunggu Pak Ardo sadar dulu." Aku pun membaringkan Briptu Ardo di atas ranjang tersebut.

Dan mendadak pintu ruangan itu terbuka.

"Wow..." Seseorang melangkah masuk. Sejenak insting bertahanku muncul, dan aku pun menjadi siaga. Orang itu cukup besar dan tinggi, jauh sekali berbeda dengan orang cebol itu. Aku menjadi agak takut; apakah orang itu sama baiknya dengan si orang cebol? "Kali ini kau bawa polisi? Dua lagi! Malam ini bakal jadi malam yang panjang!"
"Yang satu itu melawan, jadi terpaksa kubuat pingsan," kata si orang cebol sambil menunjuk ke Briptu Ardo. "Bantu aku mengikatnya!"
"Ardo mau diapakan?" spontan aku bertanya. "Siapa orang itu?"
"Ah, Pak Ikbal tidak perlu khawatir. Orang ini kelihatannya menakutkan, tapi dia temanku! Jangan khawatir, Pak Ikbal tidak akan diapa-apakan. Saya sudah janji Pak Ikbal akan dapat yang enak-enak. Kalau Pak Ardo, nanti akan diberi sedikit pelajaran, tapi nggak akan sampai membuat Pak Ardo terluka atau bahkan mati! Kami bukan pembunuh Pak, tenang saja." Orang itu kembali dengan membawa seutas tali tambang yang cukup panjang, lalu dengan cekatan melilitkan tali itu di sekujur tubuh Briptu Ardo, mengikatnya di ranjang tersebut. Mustahil ia bisa melarikan sendiri. Aku agak cemas dengan Ardo, tapi aku sendiri sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Sepertinya lebih baik kuikuti saja permainan ini hingga selesai.



Aku sudah tidak sabar untuk mempermainkan Briptu Ardo si polisi keras kepala, tapi ia masih belum sadar. Kunto sudah selesai mengikat Briptu Ardo dengan lilitan menyilang yang sudah ia susun serapi dan sekuat mungkin sehingga mustahil Briptu Ardo bisa melarikan diri. Bagian dadanya cukup terekspos, dan ikatan tali itu disusun lebih rapat di bagian tonjolan kontol Briptu Ardo, membuatnya semakin menonjol dan terlihat besar, sekalipun lebih besar kontol Bripda Ikbal. Tapi aku tidak ingin mengikat Bripda Ikbal, karena dia begitu menurut hingga tahap ini. Aku pun sudah berjanji akan mengisap kontolnya. Biarlah dia bebas mengendalikan tubuhnya sendiri dulu. Nanti kalau aku sudah mendapatkan lebih banyak kepercayaannya, dia akan kuminta bermain dalam posisi terikat seperti itu.

"Sekarang, kita apakan Pak... Ikbal?" tanya Kunto. "Diikat juga?"
"Jangan," sergahku. "Pak Ikbal ini nurut. Aku sudah janji buat ngisep kontolnya. Kasih kenikmatan seperti biasanya aja."
"Oke Bos!"
"Pak Ikbal, sini Pak. Nggak usah takut." Bripda Ikbal terlihat agak ragu-ragu. "Nggak apa-apa Pak, habis ini enak kok." Melihatnya masih ragu-ragu, aku pun menghampirinya dan mulai mengelus-elus pahanya. "Sesuai janji saya tadi, saya akan kasih yang enak-enak buat Pak Ikbal. Posisi istirahat di tempat Pak." Bripda Ikbal pun menurut dan berdiri dalam posisi istirahat di tempat. Kunto pun berdiri di belakang Bripda Ikbal dan mulai mengelus-elus dada Bripda Ikbal, serta dengan sengaja menekan kontolnya di tangan Bripda Ikbal. Aku kembali mengelus-elus kontol Bripda Ikbal untuk membuatnya nyaman dan terangsang, karena ia terlihat agak kaget. Mungkin baru pertama kali ini ia memegang kontol pria lain di tangannya. Kunto mulai mencari-cari kedua puting susu Bripda Ikbal dan menggerak-gerakkan jari-jarinya di sekitarnya. Wajah Bripda Ikbal sedikit memerah, sepertinya ia sedikit malu karena badannya digerayangi dua orang pria dewasa dan ia merasa nikmat. "Nggak usah malu-malu Pak Ikbal," bisik Kinto di telinga Bripda Ikbal. "Cuma ada kita saja kok di tempat ini. Kami juga nggak memvideo Pak Ikbal. Rahasia Pak Ikbal terjamin di tangan kami. Kalau memang nikmat, keluarkan saja Pak." Bripda Ikbal tidak menjawab, wajahnya semakin bersemu merah. Tanpa bisa ia kendalikan, batang kontolnya mulai mengeras dalam celana dinasnya. Kuelus-elus kepala kontolnya dan Bripda Ikbal pun sedikit menggelinjang. "Geli..."
"Tapi enak kan Pak Ikbal?"
"Mmmhh..." Erangannya kuanggap sebagai jawaban ya. Kumainkan terus kepala kontolnya yang masih terus membesar, sesekali tidak sengaja menyentuh lubang kencingnya karena Bripda Ikbal menggelinjang kegelian. Kunto masih saja memainkan puting susu Bripda Ikbal, kali ini ia menelusupkan tangannya ke dalam kantong kemeja Bripda Ikbal. Sesekali ia juga menciumi leher Bripda Ikbal dari belakang untuk memberikan rangsangan tambahan, walaupun sepertinya kumisnya lebih menbuat Bripda Ikbal kegelian daripada merasakan nikmat.

Aku tidak terlalu lama memainkan kontolnya karena aku sudah berjanji akan mengisap kontol Bripda Ikbal. Setelah kurasa kontolnya cukup keras, aku pun memulai aksi utamaku. Kubuka resleting celana dinas Bripda Ikbal. Kumasukkan tangan mungilku ke dalam untuk mengeluarkan kontolnya. Yah, mungkin tanganku mungil, namun itu jadi keuntungan tersendiri karena tanganku bisa bergerak dengan bebas dalam celana dinas polisi yang terkenal ketat itu. Sejenak kumainkan tanganku di atas gundukan kontol Bripda Ikbal, di atas celana dalam katun yang halus dan lembut. Celananya tentu saja masih basah setelah Bripda Ikbal muncrat di dalam tadi, namun aku yakin kontol Bripda Ikbal sudah kembali mengeluarkan precum. Bripda Ikbal pun akhirnya mengerang. "Aaaahhh..."
"Udah siap diisep Pak?" tanyaku menggodanya.
"Saya pasraaahhh..." Bripda Ikbal kembali mendesah ketika Kunto menjilati lehernya. Tangan Kunto kini berada di dalam kemeja dinas Bripda Ikbal, masih saja memainkan dada polisi itu. Kunto memang suka memainkan puting susu pria. Padahal kontol juga enak dimainkan... tapi perlu kuakui, Kunto lihai memainkan puting susu pria. Dia pernah membuat seseorang muncrat hanya dengan memainkan puting susunya saja. Tapi aku mau menghisap kontol Bripda Ikbal. Akan kubuat dia ketagihan.
Dengan segera kuturunkan celana dalamnya sebisanya, dan kukeluarkan batang kontol Bripda Ikbal dari celana dinasnya. Inilah yang kutunggu-tunggu: batang kontol seorang polisi perjaka yang mengeras menggantung dari celana dinasnya. Kukeluarkan juga kedua bola kontolnya, lalu kukagumi sejenak. Bripda Ikbal agak menggigil ketika kontolnya kukeluarkan, walaupun udara di dalam tidak terlalu dingin sebenarnya karena tidak ada jendela sama sekali. "Dingin Pak?" Bripda Ikbal tidak menjawab, hanya mendesah saja gara-gara Kunto. Kuberi kontolnya kehangatan tanganku. Kuelus-elus kontol Bripda Ikbal dengan kekaguman tersendiri. Kontolnya sudah disunat; pantaslah ia kegelian saat tadi kuelus-elus kepala kontolnya walaupun dari luar celana. Sesuai perkiraanku, batang kontolnya cukup proporsional untuk ukuran orang lokal. Panjangnya kutaksir sekitar 15 cm, dan tebalnya mungkin 4 cm lebih sedikit. Yang kusuka adalah kontol Bripda Ikbal yang masih mampu bertahan kerasnya walaupun tadi ia sudah orgasme. Mungkin karena antisipasi atas janjiku tadi, atau karena ia juga jarang coli. Aku ingin merasakan spermanya. Apalagi ini adalah sperma pertamaku dari seorang polisi. Yah, memang harusnya rasa spermanya tidak ada bedanya dengan sperma pria biasa. Tapi tetap saja, untuk kali pertama, kau juga penasaran kan, hahaha...
Kembali ke kontol Bripda Ikbal, aku tak henti-hentinya mengagumi kontolnya yang mencuat dari balik celana dinasnya. Kedua bola kontolnya menggantung indah, agak berkerut namun tetap menggairahkan untuk dilihat; terlihat begitu ranum siap untuk dipetik, atau lebih tepatnya, diperah sarinya. Batang kontolnya berkedut-kedut tanpa kusentuh, tapi itu sepertinya pekerjaan Kunto yang terus memainkan puting susu Bripda Ikbal tanpa kenal lelah. Bahkan Bripda Ikbal tidak berhenti mendesah. "Siap ya Pak," aku memberi kode pada polantas itu.

Dan dimulailah aksi utamaku.



Aku terengah-engah. Kunto tidak memberiku waktu sama sekali beristirahat. Permainan tangannya di kedua dadaku benar-benar ahli; tubuhku benar-benar seperti disetrum aliran kenikmatan yang tiada tara. Apalagi kontolku sendiri sekarang sedang dimainkan orang cebol itu dengan cara yang berbeda. Ia tidak lagi menggunakan tangannya. Setelah ia menanyakan kesiapanku, aku bisa merasakan benda lain menyapu batang kontolku perlahan-lahan. Benda yang hangat, basah, dan cukup kasar. Aku sejenak melirik ke bawah; orang cebol itu menjilati batang kontolku. Lagi, aliran kenikmatan menjalar dari batang kontolku naik ke ubun-ubun. Astaga, aku ini sedang diperkosa! Aku tidak habis pikir, berani-beraninya mereka mempermainkan seorang polisi. Apalagi aku masih mengenakan PDL-ku dengan lengkap. Yah, tapi aku tidak bisa memungkiri, aku menyukainya. Memang dulu beberapa pacarku sempat menggodaku saat bertemu dan aku masih mengenakan PDL, tapi aku selalu bisa mengendalikan diri.
Kali ini... logikaku telah dikalahkan...
Aku sudah tidak peduli lagi. Kunto dan orang cebol itu begitu lihat memberikan rangsangan dan kenikmatan pada tubuhku; sesuatu yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Mungkin rasa gengsi dan ketakutanku akan menghamili pacarku yang selalu menahanku selama ini, tapi sekarang ada dua orang pria dewasa yang menikmati tubuhku. Lebih tepatnya, aku yang diberi kenikmatan. Berarti ini adalah sebuah hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. Aku dapat kenikmatannya, mereka pun dapat memuaskan keinginannya. Aku jadi berpikir, mungkin banyak ya pria di luar sana yang suka pada polisi, terutama karena kontolnya? Kau mungkin juga, karena kau sedang membaca cerita ini, ya kan?
Aku melihat ke bawah untuk menyaksikan orang cebol itu menjilati kontolku, dari ujung ke pangkalnya. Saat tiba di pangkal, orang cebol itu seperti membenamkan wajahnya dalam kontolku. Tak lama, aku merasakan beberapa sensasi sekaligus pada kontolku. "Ooooohhh..." Orang cebol itu menusuk-nusukkan lidahnya di daerah pangkal kontolku, memberikan rasa tertusuk yang agak tajam, mengejutkan inderaku. Di saat bersamaan, tangan kirinya menari-nari di kepala kontolku, mengelus dan mengocoknya, memberikan rasa nikmat yang kunanti-nantikan. Entah sudah berapa lama aku menantikan orang cebol itu mengocok kontolku dengan tangannya secara langsung tanpa terhalang celana PDL-ku, dan aku tak ingin kenikmatan itu segera berakhir. Aku memang jarang coli, jadi sekali coli terkadang aku bisa melakukannya dengan sangat cepat, mungkin sekitar lima menit. Yang ini? Oh jangan sampai aku orgasme cepat-cepat... tapi Kunto tak henti-hentinya memainkan dada dan puting susuku, begitu nikmat... Kontolku benar-benar keras, bahkan mungkin lebih keras ketimbang tadi saat orang cebol itu memainkannya sendirian. Apa kira-kira aku bisa merasakannya lagi ya...
"Aaaaahhh... ssssshhhh... mmmmmhhh..." Aku tidak bisa lagi mengendalikan diriku. Begitu tidak pantasnya seorang polisi dengan PDL lengkap mengerang kenikmatan, namun biarlah wibawaku sebagai seorang polisi runtuh malam ini; toh tidak ada orang lain di sini. Orang cebol itu mulai menjilati bola-bola kontolku. Lidahnya yang kasar memberikan sensasi baru pada bola-bola kontolku. "Aaaahhh... Uuuuhhh..." Mendadak rasa ngilu menerpaku. "Aaaarrrghhhh... Ngiluuuu..." Orang cebol itu mengisap salah satu bola kontolku dan memainkannya di dalam mulutnya.
"Maaf Pak Ikbal," suara orang cebol itu tertahan karena mulutnya sedang mengulum bola kontolku, "tapi enak kan?"
"Enakkk... sssshhh... mmmmhhh..." Kunto meredakan ngilu pada bola kontolku dengan kembali menjilati leherku. "Ooooohhh..."
"Pak Ikbal mainin kontolku ya," bisik Kunto. Sejenak ia melepaskan pelukannya dari diriku selagi aku kebingungan. Memainkan kontol? Bagaimana caranya? Memang sih dari tadi aku memegang kontolnya yang mengeras di balik celana jins lusuhnya, tapi tidak kuapa-apakan. Baru kali ini juga aku memegang kontol orang lain, selain, yah, kontol Briptu Ardo, tadi. "Dikocokin aja Pak ga pa pa," kata Kunto, mungkin tahu kebingunganku. Tapi aku juga belum pernah ngocokin kontol pria lain... "Atau Bapak pingin nyoba ngisep punya saya?"
"Jangan buru-buru lah To...," orang cebol itu berkata. "Pak Ikbal ini bukan kaya kita pecinta kontol. Bahkan bisa jadi Pak Ikbal baru pegang kontol itu ya kontolmu!" Sejenak aku jadi suka dengan orang cebol itu; dia memahamiku! "Nyantai aja Pak." Sebenarnya, sekarang aku jadi penasaran. Apa memang asyik ya memainkan kontol orang lain?
Mungkin aku akan tahu sebentar lagi.

Aku mendengar suara resleting celana diturunkan dan kancing dibuka. Sejenak aku menoleh ke belakang: Kunto sedang membuka celana jinsnya. Ia lempar begitu saja celana jinsnya ke lantai, disusul dengan celana dalamnya. Refleks aku memalingkan muka; tentu saja aku belum pernah melihat seorang pria dewasa telanjang perut ke bawah. Sekilas tadi aku lihat kontol Kunto sudah menegang juga. Ia kemudian melangkah dan kembali memelukku dari belakang. "Kocokin Pak," bisiknya sambil menuntun kontolnya ke tanganku. Batang yang hangat dan keras itu pun menyentuh tanganku, sedikit basah karena precum yang menetes dari kontolnya. Kucoba menggenggam batang kontol itu; aku baru menyadari dari tadi aku masih dalam posisi istirahat di tempat. Kubiarkan aku berdiri dalam posisi itu. Kunto kembali memainkan puting susuku dari dalam kemeja PDL-ku, dan orang cebol itu kembali menjilati kontolku dari pangkal menuju ke kepala kontolku. "Oooohhh..."
"Siap diisep Pak?" orang cebol itu bertanya padaku.
"Isepinnn...," ujarku menggelinjang selagi orang cebol itu memainkan lidah di kepala kontolku dan Kunto mencubit puting susuku. Aku perlahan-lahan mulai mengocok kontol Kunto. Ada sensasi tersendiri yang kurasakan saat mengocok kontol itu. Tidak seburuk yang kukira. Kalau aku berimajinasi bercinta dengan seorang wanita, paling yang bisa kumainkan dengan tanganku hanya susunya saja. Merogoh ke bawah pun tidak bisa terlalu "bersemangat". Tapi, dengan pria... merogoh ke bawah, kau disajikan sesuatu yang keras. Bisa kau pegang, bisa kau kocok, kau elus-elus, kau apakan saja, sampai akhirnya sesuatu muncrat dari kontol itu. Lebih menarik ya...

Sepertinya sejak saat itu aku mulai menyukai kontol. Aku bahkan bisa terangsang lagi saat aku mengenang kejadian itu lewat cerita yang ditulis Fei Xiao Long di blog Fei's Fantasy, yang bisa kubuka kapan saja tanpa biaya apapun. Sesekali aku menemukan cerita ini dijual di tempat lain; tentunya aku juga ingin siapapun bisa membaca kisahku dengan mudah, maka aku akan melaporkan cerita dan akun itu.

Selagi Kunto memainkan putingku, aku pun mulai belajar memainkan kontolnya. Kukocok-kocok kontolnya dengan perlahan. Kunto mendesah di telingaku. "Ooooohhh... enak Pak Ikbal...," desahnya. "Aku suka dikocokin polisi Pak... mmmhhh... terus Pak... oooohhh yessss..." Wajahku agak merah padam mendengar kata-kata kotornya, namun aku sendiri pun sedang menikmati permainan orang cebol itu di kontolku yang kutunggu-tunggu sejak tadi.
Orang cebol itu akhirnya menghisap kontolku.

Aku belum pernah merasakan sensasi ini. Walaupun aku belum melihatnya secara langsung, aku bisa merasakan bibir orang cebol itu mengatup rapat di sekeliling batang kontolku. Kehangatan lain dapat kurasakan dari lidahnya yang menyapu bagian bawah kontolku; kasar menggesek kontolku selagi orang cebol itu menghisap kontolku naik turun. "Ooooohhhh..." Tak terkira kenikmatan yang kurasakan. Ternyata memang benar: dihisap itu enak! Tidak perlu takut menghamili seseorang pula. Sepertinya aku bakal ketagihan dihisap.
"Enak Pak Ikbal?" gumam orang cebol itu beberapa saat kemudian. Mulutnya masih penuh dengan batang kontolku, seakan tak rela batang kontol itu lepas dari mulutnya. Aku menunduk dan melihat orang cebol itu seperti menelan batang kontolku sampai ke pangkalnya. Belum sempat aku menjawab, orang cebol itu mengelus-elus bola-bola kontolku. "Mmmmmhhh.... enaaakkkhhh... aaaaaahhhh... teruuuussss.... ooooohhhhh..." Tanpa sadar aku mengocok-ngocok kontol Kunto dengan lebih cepat, sehingga Kunto juga mengerang di telingaku. Entah kenapa aku jadi semakin terangsang dan bersemangat dibuatnya. Kunto membalas dengan memilin salah satu puting susuku, membuatku mengerang lagi. "Aaaakkkhhh..."
"Ikbaaallll..." mendadak aku mendengar seseorang memanggil namaku. Seperti bisikan yang begitu lemah. Sejenak aku bingung, siapa yang memanggilku. Ah mungkin cuma halusinasiku. Orang cebol itu sekarang menghisap kontolku kembali dengan gerakan naik turun yang cukup cepat, membuat tubuhku kembali dialiri kenikmatan yang tiada tara. "Ooooohhhh... enaaakkkhhh... mmmmmhhhh... mau keluaaaarrrr..." Aku merasa tekanan mulai terbangun di pangkal kontolku. Pertahananku mulai runtuh; sebenarnya aku tidak ingin permainan ini berakhir, namun kontolku punya pikiran lain. Sepertinya sebentar lagi aku akan muncrat...
"Ikbaaaalll..." suara itu memanggilku lagi, kali ini agak jelas, diikuti dengan suara gaduh seperti karung berat yang jatuh ke lantai. Aku pun mengenali suaranya dan menoleh ke asal suara itu.
"Ardo?"



Entah sudah berapa lamanya aku pingsan. Orang cebol bangsat itu sudah berani-beraninya membuatku pingsan! Aku akan penjarakan dia, dan aku akan memastikan aku sendiri yang menyiksanya sampai ia memohon-mohon di kakiku!
Tapi, niat itu sepertinya belum akan terlaksana dalam waktu dekat. Tubuhku terasa begitu lemah, ngilu di beberapa bagian, dan perutku terasa mulas. Sejenak aku mengingat-ingat apa yang terjadi. Rasanya orang cebol itu sempat memukuli perutku, dan terakhir... ah, iya! Ia menginjak kontolku! Kontolku yang berharga... apa dia tidak apa-apa? Dengan lemah aku berusaha menggerakkan tanganku, namun aku menyadari bahwa tanganku tidak dapat digerakkan dengan bebas. Aku belum membuka mataku, namun aku mulai bisa merasakannya. Ada yang mengikat sekujur tubuhku! Sejenak aku mulai cemas; apa yang akan mereka lakukan padaku? Bagaimana kalau mereka sampai membunuhku? Oh istriku...
Sebelum pikiranku ngelantur ke mana-mana, aku mendengar seseorang mengerang dan mendesah. "Ooooohhh... aaaahhhhh... mmmhhhh..." Terdengar seperti seorang pria sedang berasyik mashyuk ria. Ngentot? Tapi, ngapain aku diikat di dekat seseorang yang sedang ngentot? Apa mereka berusaha melecehkanku? Dengan susah payah kubuka mataku; pandanganku begitu kabur. Atau tempat ini memang gelap? Aku mengerjap-ngerjapkan mata untuk membiasakan diri dengan lingkunganku. Perlahan-lahan pandanganku mulai pulih. Aku melihat tubuhku dililit di sana-sini dengan sebuah tali tambang yang cukup besar. Aku akan diapakan? Aku mencoba bangkit, namun kepalaku masih pusing. Suara erangan orang itu masih terdengar, dan dari suaranya sepertinya aku mendengar dua orang. Satu suara sepertinya kukenal... Maka aku pun menoleh ke asal suara itu.

Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Tak begitu jauh dariku, aku melihat rekanku, Bripda Ikbal, sedang diperkosa! Seseorang mendekapnya dari belakang, dengan... kontolnya dikocok-kocok Ikbal? Dan... darahku mulai mendidih kembali melihat orang cebol itu. Namun, aku tak bisa bereaksi dengan pemandangan berikutnya. Orang cebol itu mengisap kontol Ikbal! Dan Ikbal seperti... keenakan? Apa yang mereka lakukan pada Ikbal? Ikbal bukan seorang homo! Pasti mereka menggendamnya! Kurang ajar betul, menggendam dan memperkosa polisi! Awas kalian nanti!
Sayangnya, tubuhku tak mau diajak kompromi. Aku hendak menyelamatkan rekanku Ikbal, namun tubuhku masih lemas, apalagi dalam keadaan terikat seperti ini. Yang bisa kulakukan hanya memanggilnya; semoga itu bisa menyadarkannya!
"Ikbaaaallll..."
Suaraku terdengar lemah sekali. Kembali aku beringsut untuk mendekati Ikbal, namun aku tidak menyadari bahwa aku sedang berada di sebuah ranjang yang cukup tinggi. Dan ternyata aku sudah berada di tepian ranjang itu. Tak bisa kucegah, aku pun jatuh ke lantai. Tubuhku pun didera rasa nyeri ketika menghantam lantai.
"Ikbaaaaalll..."
Refleks aku berusaha bangkit berdiri, namun ikatan tali di tubuhku itu begitu menyulitkan. Kakiku pun diikat; sepertinya supaya aku tidak bisa melarikan diri. Dan mungkin aku membuat sebuah keputusan yang cukup bodoh, karena kini orang cebol dan orang itu menyadari bahwa aku sudah sadar dan bisa bergerak. "Ikatanmu kurang kencang To!" orang cebol itu bersumpah serapah. "Ikat dia lagi, cepat!" Belum sempat aku bereaksi, orang itu pun membantuku bangun sambil berbisik, "Ikuti saja perintah kami Pak Ardo, maka Bapak akan selamat. Tapi kalau Bapak tidak menurut..." Sejenak aku merasa ada sesuatu yang menusuk kontolku. Aku refleks mengerang pendek dan mendesis, mengingat rasa sakit yang tadi kurasakan akibat orang cebol tadi. Maka aku pun terpaksa menurut. Orang itu menuntunku tak terlalu jauh ke sebuah tiang. "Buka kakinya Pak Ardo." Aku pun menurut dan membuka kakiku, kemudian orang itu dengan sigap melilitkan sebuah tali mulai dari atas sepatu butsku sampai sedikit di bawah lutut, dan kembali ia melilitkan tali di sekitar pahaku. Aku tak berani meronta, namun tanpa meronta pun aku bisa menyimpulkan bahwa aku tak mungkin bisa melarikan diri. Aku tak sempat melihat wajah orang itu, sepertinya ia mengenakan sejenis topeng berwarna hitam. Terakhir, orang itu hendak melilitkan sesuatu di mulutku, sepertinya untuk membungkam mulutku. Terlihat seperti sebuah bola yang cukup besar. "Buka mulutnya Pak." Tentu saja aku menolak dan menutup mulutku rapat-rapat. Gila apa mulutku dimasukin benda itu! "Ayo Pak nurut," bujuk orang itu. Aku menggelengkan kepalaku sekalipun orang itu mulai memaksakan tali itu untuk masuk ke mulutku. Untuk beberapa saat aku bergulat dengan orang itu, sampai akhirnya ia hilang kesabaran.
Semestinya aku tidak sekeras kepala itu.
Orang itu meremas kontolku kuat-kuat.
Rasa ngilu itu kembali lagi. Aku mengerang menjadi-jadi, tanpa bisa kukendalikan aku pun membuka mulutku. Kesempatan itu tidak disia-siakan; pria itu pun memasukkan alat dengan bola itu ke mulutku, dan melingkarkan talinya ke belakang kepalaku. Sekarang aku tidak bisa menutup mulutku. Aku memberontak dan mencoba bersumpah serapah, namun mulutku begitu terbuka sehingga aku tidak bisa berbicara dengan baik. "Sudah lah Pak, nurut saja!" orang itu menepuk-nepuk pipiku sebelum menghunjamkan kepalan tangannya ke perutku tiga kali.
"Cukup!" hardik orang cebol itu. "Cukup!" Aku terbatuk-batuk dan terengah-engah; air liurku mulai menetes begitu saja. "Sini! Kita urus Ardo nanti. Sekarang kita bikin Pak Ikbal muncrat dulu!"
"Di depan sini saja," kata orang itu. "Biar Ardo melihat langsung Pak Ikbal keenakan dimainin kontolnya! Dia pasti nggak tahan pingin juga."
"Ide bagus! Yuk Pak Ikbal." Aku terbelalak ketika Ikbal mendekat padaku, dalam keadaan masih berseragam lengkap, hanya saja kontolnya sudah terbebas dari celananya dan dalam keadaan ngaceng berat. Aku belum pernah melihat kontolnya Ikbal. Besar juga, dan sepertinya kontol itu hampir memuntahkan pejuhnya. Sudah berapa lama Ikbal mereka perkosa? Aku hendak memanggil namanya, namun lidahku tercekat, terhalang oleh bola besar itu. Ikbal menatapku dan tidak berkomentar apa-apa. "Yuk lanjut Pak Ikbal! Sudah mau keluar kan?" Ikbal mengangguk. "Mau mainin kontol Pak Ardo juga?" Mataku membelalak mendengar pertanyaan itu. Ikbal, Ikbal, kau bukan homo! Kau tak akan berani memegang kontolku, ya kan?
"Ardo, aku ingin berbagi kenikmatan ini denganmu," ujar Ikbal. Aku tak percaya mendengarnya.

Dan aku tak percaya lagi ketika Ikbal, rekanku sendiri, meremas kontolku.



Entah setan apa yang merasuki diriku, tapi aku begitu terangsang melihat Ardo diikat seperti itu. Ia diikat di sebuah tiang sehingga tak mungkin bergerak, dan entah alat apa itu yang dipasang di mulutnya. Mataku tertuju pada tonjolan kontolnya yang tampak begitu besar di celana coklatnya; mungkin sudah diatur demikian karena banyak ikatan melintang di sekitar selangkangan Ardo. Aku pun penasaran dengan kontol Ardo. Tadi aku hanya memegang kontolnya saat ia pingsan; bagaimana reaksinya saat ia sadar?
"Ardo, aku ingin berbagi kenikmatan ini denganmu," ujarku. Aku pun menggapai kontol Ardo dengan tangan kananku dan meremas-remasnya dengan lembut. Sejenak aku melihat Ardo membelalak seakan tidak percaya, tapi aku tidak peduli lagi. Toh ia dalam keadaan diikat. Satu lawan tiga. Kalaupun ia bersaksi nanti, tak kan ada yang percaya padanya. "Sudah lah Ardo, nikmati saja." Aku mengelus-elus dan meremas kontol Ardo dengan perlahan, mengingat tadi ia hanya merasakan sakit dan ngilu. Selain itu, aku juga penasaran apakah kontol Ardo masih bisa ngaceng setelah disiksa habis-habisan oleh orang cebol itu di pos tadi. Orang cebol itu tersenyum melihat aksiku, dan kembali menyusul untuk memanjakan kontolku dalam mulutnya.
"Aaaaahhhh..." Kini rangsanganku pun bertambah dengan aku memainkan kontol Ardo. Belum pernah aku memainkan kontol polisi, terutama rekanku sendiri. Ternyata begitu menggairahkan. "Mmmmhhh..." Orang cebol itu menghisap kepala kontolku sambil mengocok pangkal batang kontolku dengan gerakan memutar. "Mau keluaaarrrrhhhh.... Oooooohhhhhh."

Dalam lima hisapan, aku pun tak tahan lagi.

Croooottt...

Aku tak percaya dengan diriku sendiri. Aku yang tak pernah menanggapi rangsangan seksual dari wanita, kini orgasme di tangan, atau mulut, seorang pria yang bahkan baru tadi sore hendak kutilang. Benar-benar pengalaman yang luar biasa. Entah berapa kali aku memuncratkan spermaku yang tak pernah kukeluarkan itu. Rasanya begitu nikmat dan melegakan. Mungkin setelah ini aku harus mulai rutin memanjakan tubuhku, termasuk kontolku. Mungkin dengan bantuan orang cebol dan temannya ini? Atau mungkin aku bisa menemukan orang lain? Atau bahkan rekanku sendiri? Yang jelas rasanya bukan Ardo, karena kulihat mukanya merah padam dan berkerut di sana-sini menahan marah. Tapi mungkin setelah ia merasakan kenikmatan yang sama, ia juga ingin melakukannya denganku? Aku berhenti memegang kontol Ardo saat orgasme, tapi aku tidak berpikir bahwa spermaku mendarat di tubuh Ardo! Baru setelah pancaran spermaku melemah aku menyadarinya. Orang cebol itu rupanya mengeluarkan kontolku dari mulutnya beberapa saat setelah aku orgasme, sehingga spermaku melayang cukup tinggi hingga mendarat di tubuh rekanku itu, membasahi seragamnya. Ardo menggeram tertahan, mungkin ia marah karena aku mengotori seragamnya. Sejenak aku merasa bersalah, namun orang cebol itu langsung membuat pikiran itu sirna dengan menjilati kepala kontolku dan membersihkan spermaku. Aku terpekik tertahan; kini kontolku jadi sangat sensitif sehingga sapuan lidah orang cebol itu membuatku kegelian. Ia menjilatnya sampai bersih, lalu mengeluarkan kontolku yang mulai melemas itu dan menciumnya. "Mantap Pak Ikbal," pujinya. "Enak kan?"
"Enak... dihisap itu ternyata enak ya."
"Saya tidak pernah ingkar janji," ucap orang cebol itu. "Kalau saya bilang saya akan kasih kenikmatan yang tak terlupakan, saya pasti kasih. Dan Pak Ikbal menurut, jadi semuanya semakin enak."
"Sekarang kita apakan Pak Ardo?" ujar Kunto. "Kasih kenikmatan juga?"
""Oh pasti itu," jawab orang cebol itu sambil mulai mengelus kontol Briptu Ardo, membuatnya menggeliat-geliat dan mengerang marah. "Tapi karena Pak Ardo ini dari tadi tidak menurut, sampai harus kuhukum," orang cebol itu meremas kontol Briptu Ardo, membuatnya berjingkat dan mengerang panjang; raut wajahnya menunjukkan kesakitan dan teringat pada nyeri yang tadi ia rasakan bertubi-tubi di pos jaga. "kita akan beri hukuman sebelum memberinya kenikmatan."
"Kalian mau apakan Ardo?" tanyaku agak cemas. "Tidak disakiti seperti tadi kan?"
"Jangan khawatir Pak Ikbal," orang cebol itu tersenyum penuh makna. "Bapak akan lihat sendiri hukumannya. Mungkin Pak Ikbal mau membantu nanti? To, siapkan alat-alatnya segera."

Aku masih tidak mengerti apa yang akan mereka lakukan pada Ardo. Berhubung aku hanya sendirian, kurasa akan percuma juga jika aku berjuang menyelamatkan Ardo. Lagi pula, aku penasaran akan apa yang akan terjadi. Apakah aku akan menikmati Ardo juga nanti? Tak lama Kunto kembali membawa alat-alat yang belum pernah kulihat sebelumnya. Ia meletakkan begitu saja alat-alat itu di lantai, lalu mengambil sebuah alat yang berbentuk seperti tongkat, dengan kepala yang kuduga terbuat dari karet. "Pak Ikbal mau coba?" tanya Kunto.
"Untuk apa itu?"
"Kasih contoh dulu To," kata orang cebol itu. Kunto pun menyalakan alat itu, dan terdengar suara dengungan rendah. Aku melihat kepala tongkat itu jadi bergetar. Kunto menyapukan tongkat itu di sekitar dada Ardo. Ardo pun meronta-ronta dan terus berusaha teriak, namun Kunto tak memedulikannya. Hanya beberapa saat saja Kunto memainkan tongkat itu di dada Ardo. "Langsung bawah To." Kunto pun menyapukan tongkat itu di tonjolan kontol Ardo. Ardo kembali meronta-ronta, namun aku seperti merasa mendengar erangannya agak beda. Aku jadi penasaran dibuatnya. Enak kah kontol dimainin dengan tongkat itu?
"Mau coba Pak Ikbal?" Kunto seperti tahu isi pikiranku. Tanpa menunggu jawabanku, ia langsung menyapukan tongkat itu di kontolku. Bola-bola kontolku pun terkena getaran rendah dari kepala tongkat itu, dan ajaibnya itu memberikan sensasi yang berbeda dari elusan maupun remasan tangan. "Oooohhh," aku mengerang pelan. Kunto memainkan tongkat itu di sepanjang batang kontolku yang masih lemas, dan ia menemukan kepala kontolku yang kemudian menjadi target getaran tongkat itu. "Aaaaahhh..." Getaran-getaran ringan dari tongkat itu begitu menggoda kontolku, dan aku bisa merasakan kontolku perlahan-lahan bangkit lagi. "Kasih Pak Ardo lagi To, dia pingin itu benernya." Aku agak kecewa karena kenikmatanku terhenti begitu saja, namun orang cebol itu meraba-raba dan meremas-remas kontolku sambil berkata, "Pak Ikbal kalau mau, nanti dimainin pakai itu. Sekarang kita kasih kenikmatan Pak Ardo ya." Aku hanya bisa mengangguk lalu kembali mengamati Ardo yang masih saja meronta-ronta ketika kontolnya dirangsang dengan tongkat itu. Entah kenapa, melihat Ardo meronta-ronta seperti itu membuatku terangsang dan ingin memiliki tubuhnya.
Dan sepertinya Ardo juga mulai tidak bisa menyangkalnya lagi.
Batang kontol Briptu Ardo mulai tampak menegang di balik celana coklat PDL-nya.

Aku hanya berdiri menyaksikan Ardo masih meronta-ronta selagi Kunto memainkan tongkat itu di batang kontol Ardo, terutama di kepala kontolnya. Orang cebol itu entah ke mana, mungkin menyiapkan alat-alat lainnya. Ardo terus mengerang protes dan aku bisa melihat wajahnya merah padam menahan marah, namun kontolnya tak bisa berdusta. Tanpa bisa dikomando, batang kontolnya terus membesar, membuatku agak terangsang. Ardo sering bercerita bagaimana ia suka ngentot istrinya tiap hari, bahkan pernah sehari dua kali, jadi aku tahu Ardo ini punya libido tinggi. Bahkan pernah sekali aku memergoki kontolnya agak ngaceng di pagi hari sebelum patroli, dan ia mengaku sedang pingin. Entah kenapa istrinya belum hamil-hamil juga padahal dientot setiap hari. Aku jadi penasaran ingin melihat Ardo muncrat.
Orang cebol itu kembali membawa tongkat serupa, lalu ia bergabung dengan Kunto. Orang cebol itu menyalakan tongkatnya hingga bergetar juga, lalu menyapukan tongkat itu di bola-bola kontol Ardo. Diserang seperti itu, Ardo terlihat seperti mau protes dari raut wajahnya, namun suaranya berkata lain. Erangannya agak bergetar, seakan ia hendak menyembunyikan desahannya. Mungkin malu karena sesekali ia menatapku, namun aku tidak melakukan apa-apa untuk menolongnya. Bahkan sebenarnya aku juga tergoda untuk memainkan tubuhnya. Kunto sendiri akhirnya berpindah sasaran memainkan tongkat itu di sekitar dada Ardo. Aku jadi ingin ikut bermain bersama mereka.
Aku pun mendekati Briptu Ardo, dan tanpa dituntut siapapun aku mulai mengelus-elus batang kontol Ardo. Matanya kembali membelalak seakan tak percaya aku bisa melakukan itu padanya; aku sendiri juga tidak percaya! Memegang kontol rekanku sendiri yang masih berseragam PDL lengkap, bahkan memainkannya. Kumainkan jari-jariku di kepala kontolnya, mencoba meruntuhkan pertahanan dirinya.



Aku tak bisa lagi melawannya. Bahkan Ikbal, Bripda Ikbal yang selama ini kukenal, malam itu seperti bukan dirinya. Malam itu, dia bersama dua pria brengsek lainnya memperkosaku, meraba-raba tubuhku dan kontolku. Kontol yang selama ini hanya istriku saja yang menikmatinya. Namun kini, dalam keadaan terikat, aku tak bisa apa-apa lagi melindungi diriku dan bagian tubuhku yang paling kubanggakan itu. Tak ada lagi yang bisa kulakukan.
Aku sudah menyerah.
Biarlah mereka menikmati tubuhku dan kontolku. Karena kontolku juga seakan sepakat melawanku. Kontolku sudah menegang maksimal dalam celana panjangku, dan si orang cebol itu, bahkan si Ikbal, entah dari mana ia belajar memainkan kepala kontolku seperti itu. Aku hanya bisa memejamkan mata, berharap ini semua segera berakhir. Bahkan aku berharap ini semua hanya sebuah mimpi buruk, dan ketika aku terbangun nantinya, aku melihat istriku sendiri yang sedang memainkan kontolku.
Kalau memang ini hanya mimpi, mungkin sekalian saja aku menikmatinya. Rangsangan demi rangsangan yang kurasakan di sekujur tubuhku begitu nyata. Orang bertopeng itu memainkan dadaku; istriku saja tidak pernah melakukannya! Biasanya aku yang aktif merangsang istriku, dan melihatnya menggeliat serta mendesah nikmat sudah bisa membangkitkan libidoku dan mengeraskan kontolku, jadi aku sendiri tidak perlu dirangsang lagi. Tapi kali ini... seakan-akan aku yang menjadi istriku. Aku yang pasif dirangsang di sana-sini, bahkan di beberapa tempat sekaligus. Otakku kebingungan mencerna informasi-informasi baru ini. Aliran kenikmatan datang dari atas dan bawah sekaligus. Di bawah sana, orang cebol itu entah memainkan tongkat apa itu di pangkal pahaku sementara Ikbal masih mengelus-elus dan sekali-kali meremas-remas kontolku. Jadi beginikah rasanya dirangsang... Tapi aku bukan sedang dirangsang istriku! Berdosakah aku karena menikmati permainan ini...

Entah sudah berapa lama aku diperkosa seperti ini hingga akhirnya aku mendengar suara yang membuatku bergidik. Aku mendengar suara resleting celana diturunkan. Aku tidak berani membuka mataku untuk melihat siapa yang menurunkan resleting celananya, namun tidak perlu waktu lama untuk mengetahui siapa itu. Tak terlalu lama aku merasakan ada yang merogoh dan menyentuh celana dalamku. Aku meronta-ronta marah. Kalau kau memegang kontolku dari luar, kalau hanya bercanda, aku mungkin masih bisa mengerti candaanmu itu. Tapi, kalau kau sampai melangkah lebih jauh dan membuka celanaku untuk meraih kontolku... aku bersumpah, kau takkan selamat! Hanya istriku yang boleh memegang kontolku dalam keadaan telanjang bulat! Aku meronta-ronta sebisanya dan menggeram marah, namun entah bagaimana caranya orang bertopeng itu mengendalikan diriku yang dipenuhi amarah ini. Ia ikut merogoh ke dalam kaus dalamku dan memilin putingku, hingga kini aku malah mengerang kesakitan. Pilinannya di puting dadaku begitu keras, membuatku kesakitan namun lambat laun tergantikan dengan rasa nikmat. Tentu saja, aku tidak mau mengakui kalau aku menikmati permainan ini; mereka akan makin beringas memperkosaku!
"Do, gedenya kontolmu..." suara itu tidak asing bagiku. Ikbal? Ikbal memegang kontolku? Ya ampun Ikbal, apa yang telah kamu lakukan? Aku memang sudah berteman denganmu sejak lama, tapi bukan berarti kau bisa memegang kontolku... Sadar Ikbal! Kau sedang diperalat dua bajingan itu!!! Apa daya, aku tidak bisa berkata-kata; lidahku tercekat bola besar yang dari tadi bersarang di mulutku. Bagaimanapun aku mencoba, aku tidak bisa berkata-kata dengan jelas. Aku membuka mataku untuk memandang Ikbal, namun ia sedang fokus memandang kontolku. Aku pun mendongak ke bawah dan langsung menyesalinya. Batang kontolku yang kubanggakan itu sekarang sudah tergantung bebas, keluar dari resleting celana dinasku. Ikbal... dia... dia...
Dia memegangi kontolku...
Dan aku semakin tidak percaya ketika Ikbal mengelus kontolku perlahan-lahan, mengocoknya di tangannya. Sial! Aku tidak pernah tahan dengan rangsangan itu! Badanku seperti tersetrum aliran kenikmatan yang tidak bisa kukendalikan.
"Mmmmmmpppphhhhh...ngggghhhh...  hhhhh... mmmmhhh... "
Terlambat.

Aku pun mulai pasrah ketika mereka mendengar rintihanku. Bukan lagi raungan atau erangan marah yang keluar dari mulutku, namun erangan kenikmatan. Kontolku juga sudah tidak bisa dikendalikan lagi, ia sudah mengeras dengan sangat sempurna dan mengeluarkan cairan bening itu tanpa henti. Ikbal pun tahu dan ia menggunakannya untuk merangsangku lebih jauh lagi! Satu jarinya menyapu kepala kontolku, tepat di atas lubang kencingku, lalu mengoleskan cairan itu ke sekujur kepala kontolku. "Mmmmmmhhhh... mmmmhhh..." Geli. Nikmat. Oh Ikbal, mengapa kau yang memberikan kenikmatan ini padaku... Kau bukan istriku; kau bukan seorang wanita. Kau ini pria Ikbal! Tapi kenapa... kenapa... ini nikmat sekali... aku mendongakkan kepalaku, memejamkan mataku, dan menikmati permainan tangan Ikbal di batang kontolku. Aku tidak lagi merasakan rangsangan di pangkal pahaku dan dadaku, namun aku tidak peduli lagi. Rangsangan Ikbal... ya ampun... Genggamannya begitu berbeda dengan genggaman istriku. Begitu kuat, kokoh, mantap. Genggaman itu memberikan rasa nikmat yang lebih intens dibandingkan dengan genggaman istriku. Ini memang kelemahanku: aku tidak tahan dikocokin. Aku tidak bisa bertahan lama jika ada yang mengocok kontolku. Di awal pernikahanku, istriku sering marah berat jika aku keluar duluan saat ia mengocok kontolku terlalu intens, namun kini ia sudah tahu bagaimana mengendalikan libidoku.
Ikbal, tentu saja, tidak tahu. Dan aku khawatir aku akan ngecrot sebentar lagi. Mau ditaruh di mana mukaku? Aku, yang masih mengenakan seragam, ngecrot karena rekanku sendiri yang ngocokin? Jangan sampai kabar ini beredar, bisa tamat karirku! Oh Ikbal, kenapa kamu tega sekali padaku...
Tapi jangan hentikan kocokanmu Ikbal... "nnngggghhh... mmmppphhh... aaaaahhhh" Ah Ikbal, jari-jarinya menggenggam batang kontolku dengan mantap, bergesekan dengan kepala kontolku yang sensitif itu, memberikan setruman kenikmatan di setiap kocokannya... kenapa kamu lihai sekali Ikbal... "Ngggghhh... mmmmmmpppphhh NNNGGGGHHHH NNNGGGH NGGGH..."
Aku merasakannya! Jangan Ikbal, jangan... AAAAAAAHHHHHHHHHH...



Aku benar-benar terangsang melihat reaksi Ardo ketika kukocok batang kontolnya. Ini memang kali pertamaku mengocok kontol pria lain, tapi aku tadi sudah mengamati bagaimana orang cebol itu memainkan kontolku, jadi rasanya aku cepat belajar. Ini pengalaman pertamaku melihat seorang polisi berseragam lengkap meliuk-liuk menahan erangan dan desahan karena kontolnya dimainkan. Bisa jadi setelah ini aku ketagihan mencari rekan yang mau bermain seperti ini. Aku jadi bersemangat dengan pikiran itu, sehingga aku tidak sadar mempercepat kocokanku pada batang kontol Briptu Ardo.

Croooooottt...

Erangan panjang Briptu Ardo membuatku tersadar dari lamunanku. Aku merasakan cairan hangat dan kental di genggaman tanganku sebelum aku mengocok kontolnya turun, dan dua pancaran pejuh berikutnya mengenai dada dan perutku. Orang cebol itu dengan cepat mengambil alih dan melahap batang kontol Ardo sementara aku sedikit terpana. Aku... aku... berhasil membuat seorang pria dewasa orgasme? Aku melihat tubuh Briptu Ardo bergetar sering dengan pancaran demi pancaran pejuh meninggalkan kontolnya dan masuk ke mulut orang cebol itu yang dengan rakus menelannya. Aku mengamati tanganku sendiri yang juga basah dengan pejuh Ardo. Putih kental. Kudekatkan tanganku untuk mencium aroma cairan putih kental itu. Bau sperma, tentu saja, tapi baru kali ini aku mencium bau sperma pria lain. Dan entah kenapa aku menyukainya.

Entah kenapa, kontolku tegang lagi.

"Sekarang tahap dua To," aku mendengar orang cebol itu menyuruh Kunto. Tahap dua? Apa ya? Seakan bisa membaca pikiranku, orang cebol itu berkata kepadaku, "Pak Ikbal, sekarang saksikan Pak Ardo meminta-minta untuk ngecrot. Tentunya masih banyak cadangan pejuh Pak Ardo ini," orang cebol itu mengeluarkan kedua bola kontol Briptu Ardo dan menepuk-nepuknya, membuat Briptu Ardo menggeliat dan mengerang pelan. "Ronde dua akan dimulai sebentar lagi." Orang cebol itu memasukkan lagi kedua bola kontol Briptu Ardo; sejenak aku menyaksikan batang kontolnya yang perlahan mulai lemas namun masih terlihat besar juga. Tak lama Kunto membawa suatu alat yang aku tidak paham apa, lalu mulai beraksi.

Kunto membuka dua kancing teratas kemeja PDL Ardo, walaupun tidak ia buka lebar-lebar karena ikatan di sekujur tubuh Ardo. Ia lalu menyiapkan suatu alat yang aku tidak tahu apa, berbentuk kotak dengan dua buah kabel yang agak panjang dengan ujung yang bentuknya juga aneh, mirip penjepit. Kunto lalu mengelus-elus dada kiri Ardo, membuatnya kembali berontak, tapi Kunto tidak menghiraukannya. Sepertinya Kunto mencari sesuatu di dada Ardo. Setelah ketemu, ia memasukkan salah satu ujung kabel itu, dan rupanya ia menjepit puting dada Ardo, karena aku mendengar Ardo sedikit terpekik. Matanya melihat dengan cemas; aku yakin ia juga tidak tahu alat apa itu dan mau diapakan dirinya. Kunto melakukan hal yang sama dengan dada kanan Ardo. Setelah selesai, ia kembali menutup kancing kemeja Ardo dan merapikan kemejanya, lalu menyalakannya. Aku mendengar sebuah suara dengungan yang begitu rendah dan halus, disusul erangan Ardo. "Mmmmmmmm......" Ia kembali meronta-ronta, namun apalah daya.

Dengan takjub aku melihat batang kontolnya perlahan-lahan bangkit lagi, menegang seperti tadi. Padahal tidak dipegang! Kok bisa ya?
"Alat itu memberikan rangsangan listrik rendah ke kedua puting Pak Ardo," kata orang cebol itu. "Jangan khawatir Pak, arusnya sangat rendah, tidak akan mengganggu kerja jantung, tapi akan merangsang Pak Ardo." Ardo hanya bisa meronta-ronta tanpa daya sementara batang kontolnya kembali menegang seperti sedia kala, padahal baru saja ia orgasme. Kunto memasukkan alat kotak itu ke kantung celana Briptu Ardo. "Masih ada lagi Pak buat Pak Ardo." Kunto kembali membawa sebuah alat, tongkat yang mirip dengan yang tadi digunakan, tapi kali ini ada sesuatu yang bening. Aku tidak tahu benda apa itu, sepertinya terbuat dari silikon karena agak kenyal. Benda itu berbentuk seperti huruf L, dengan lubang di setiap ujungnya, namun lubang di sisi pendek agak lebih besar. Kunto kemudian memasukkan tongkat itu ke sisi pendek, sedikit mengaturnya supaya pas dan tidak lepas. Setelah siap, Kunto mendekati Briptu Ardo, kembali mengeluarkan kedua bola kontolnya, lalu memasukkan batang kontol Briptu Ardo ke dalam benda bening itu hingga benar-benar ke pangkalnya, tongkat itu menyentuh pangkal batang dan kedua bola kontol Briptu Ardo.
Kunto lalu menyalakan vibrasi tongkat itu.
Kembali terdengar suara getaran yang begitu pelan, dan Ardo langsung mengerang panjang. "Mmmmmmhhhhhh....." Ia tidak lagi meronta, namun mengerang nikmat. Aku jadi penasaran. "Pak Ikbal bisa coba kalau mau," orang cebol itu menawarkan. "Tapi kita nggak punya yang alat setrum itu lagi, ya To." Kunto hanya menggeleng.
"Saya nggak berani pakai alat yang di dada itu," jawabku.
"Oke, siap Pak. To, siapkan untuk Pak Ikbal!"

Aku kini duduk di sebuah kursi, berhadap-hadapan dengan Ardo yang masih tergantung pasrah namun tidak lagi berontak. Entah bagaimana caranya mereka berhasil membujukku untuk mengenakan helm, rompi, dan sarung tangan polantasku. Orang cebol itu meminjam borgolku dan memborgol tanganku ke belakang, supaya aku tidak bisa menyentuh kontolku sendiri. Kunto sudah menyiapkan benda bening itu lagi, namun kontolku masih belum terlalu tegang, sehingga ia membantuku dengan memainkan dadaku dan puting susuku. Rasa nikmat itu pun kembali lagi. "Oooohhh... mmmmhhh.... enakkkkhhh..." Orang cebol itu juga merangsangku dengan meremas-remas kontolku. Aku bisa merasakan batang kontolku mulai berontak di dalam celana dinasku. "Siap ya Pak." Aku hanya mengangguk pasrah. "Buka kakinya Pak." Kubuka kedua kakiku lebar-lebar, sementara orang cebol itu mulai membuka resleting celana PDL-ku dan mengeluarkan batang serta kedua bola kontolku. Ia mengambil alat yang sudah Kunto siapkan, lalu tersenyum dan memasukkan batang kontolku ke alat itu, sama seperti Ardo. Agak dingin dan licin, tapi karena memang tadi sudah diberi pelumas oleh Kunto. Orang cebol itu tersenyum lalu menyalakan tongkat itu.
Aku seakan terbang melayang ke langit. Walaupun tanpa alat listrik itu, namun permainan Kunto tetap sama hebatnya seperti tadi. Ditambah sensasi baru pada kontolku. Tongkat itu bergetar sangat pelan pada pangkal batang kontolku, menyenggol kedua bola kontolku, memberikan kenikmatan yang tiada tara. "Aaaaaahhhh..."
"Enak Pak?"
"Enaaaakkkkhhh.... mmmmmhhhh.... oooohhhh.... bisa dikencengin ga?" Aku menyesal memintanya, karena orang cebol itu pun menaikkan intensitas getaran pada tongkat itu, membuat aku menggelinjang tidak karuan di kursi itu. Untung ada Kunto di belakangku, kalau tidak aku sudah jatuh terjengkang ke belakang! "Aaaaaaahhhhh....." Aku sampai kehabisan kata-kata dan hanya bisa mendesah serta mengerang.menikmati semua itu. Aku melirik Ardo, ia juga masih merem melek menikmati rangsangan itu; batang kontolnya seakan tidak berhenti berkedut dan meneteskan cairan bening terus-menerus.

Dan kukira permainan itu tidak bisa lebih panas lagi.
Orang cebol itu mengocok kontolku dengan benda bening itu. Begitu perlahan ia menaikkan benda itu, mencengkeram dan menggesek batang kontolku di atas, serta tongkat itu bergetar di bagian bawah batang kontolku. "Oooooohhhh... ssssshhhhh.... mmmmmhhhhh.... aaaaahhhh.... uuuuuhhhh... mmmmmhhhh... mmmmmhhhh.... sssshhhh.... aaaakkkhhh..." Rupanya benda itu sudah sampai di ujung batang kontolku, sehingga kini kepala kontolku tergesek dan terkena getaran pada saat bersamaan. Kakiku seakan tidak bisa dikontrol dan aku menghentak-hentak lantai saking terbuai dengan rangsangan di mana-mana. Orang cebol itu tersenyum bahagia melihatku seperti itu. Kapan lagi coba ia bisa melihat seorang polantas dengan seragam dan atribut lengkap menggelinjang di atas kursi, mengerang dan mendesah karena kontolnya dirangsang sedemikian rupa?
"Mau isep punya saya Pak Ikbal?" aku mendengar Kunto menawarkan kontolnya padaku. Hmmm... menarik juga. Aku belum pernah menghisap kontol, tentu saja, dan dalam kenikmatan seperti ini, kenapa tidak? Maka aku pun mengangguk, dan aku tidak menyesali keputusan itu. Kunto pun beralih berdiri di depanku, membuka kakinya di atas kaki kananku. Sebenarnya kalau aku mau berontak, aku bisa saja langsung menendang selangkangannya. Namun tentu itu tidak akan kulakukan. Orang cebol itu beringsut ke samping dan tetap mengocok pelan kontolku dengan benda bening itu, selagi menurunkan intensitas getaran tongkat itu. Kunto membuka kait celana jinsnya, menurunkannya sedikit, sehingga kini kontolnya ada di depanku. "Pak Ikbal nggak usah gerak, nanti biar saya saja yang ngentot Bapak," kata Kunto. Wah, kurang ajar betul sebenarnya, kamu mau ngentotin mulut polantas? Namun aku sudah terbuai dengan permainan itu, sehingga aku tak lagi ambil pusing. Walaupun mungkin Ardo yang ambil pusing, karena aku melihat matanya sedikit membelalak.
Ah Ardo, kau melewatkan kesempatan berharga ini...



Entah sudah berapa pemandangan yang begitu tidak nyata. Setelah aku melihat Ikbal diborgol di kursi, diperkosa demikian hebatnya... ah aku agak iri sebenarnya, karena aku dibiarkan begitu saja tanpa dimainkan... sekarang bajingan itu mau ngentot mulut Ikbal??? Sudah gila mereka!!! Ikbal, Ikbal, ke mana integritasmu sebagai anggota... kenapa kau bisa terperdaya tipu muslihat mereka... tapi rasa nikmat ini tentunya nyata. Aku melihat ke bawah dan terkejut; sudah begitu basahnya lantai di bawah batang kontolku karena terus-terusan mengeluarkan precum! Aku bahkan tidak menyangka kontolku bisa mengeluarkan cairan sebanyak itu. Sialnya, rangsangan ini tidak cukup untuk membuatku orgasme! Kontolku memang bisa tetap keras, tapi kurang banyak!
Namun entah mengapa melihat orang bertopeng itu mulai memasukkan batang kontolnya ke mulut Ikbal, dan perlahan-lahan menggoyangkan pinggulnya... kenapa aku terangsang melihat pemandangan itu? Rekan polisiku dilecehkan kemaluannya dan mulutnya; tapi kenapa itu terasa menggairahkan? Ah, apakah nuraniku sudah tercemar dengan permainan busuk mereka?
Aku tak kuasa memandang Bripda Ikbal yang semula tampak canggung ketika kontol bajingan itu mulai memasuki mulutnya. "Jilatin Pak," aku mendengar bajingan itu memerintah Ikbal. Berani-beraninya kau memerintah polisi, hah? Tapi Ikbal pun melakukannya, dan ia kelihatan menikmatinya. Bajingan itu mengerang pelan selagi Ikbal menjilati batang kontolnya. "Mentokin ya Pak," Ia memegang kepala Ikbal dan mendorongnya masuk, terus hingga sampai pangkal. Ya ampun! Ikbal sampai terbatuk-batuk! Gila orang itu! "Pelan-pelan Pak, jangan dilawan, jangan dilawan. Lemes aja. Lemes." Ikbal agak meronta-ronta, sepertinya tercekik kontol bajingan itu, sampai agak lama kemudian Ikbal mulai diam; nafasnya agak memburu. "Mantap Pak, udah ahli mentokin kontol nih Pak Ikbal." Kurang ajar!
Dan yang lebih kurang ajarnya lagi, bajingan itu mulai ngentotin mulut Ikbal!



Aku tak menyangka pengalaman dimasuki kontol di mulut hingga ujung itu perlu pembiasaan diri. Refleksku tadi memang terbatuk-batuk, ingin segera mengeluarkan kontol Kunto dari mulutku, namun apa daya tanganku terborgol di belakang. Hanya Kunto yang bisa mengendalikan seberapa dalam ia memasukkan kontolnya. "Jangan buru-buru To, Pak Ikbal ini baru pertama kali nelen kontolmu!" sergah orang cebol itu. "Pelan-pelan!" Entah berapa kali lagi aku dilatih menelan kontol sepenuhnya sampai akhirnya aku menemukan cara untuk mengendalikan refleks tersedak itu. "Mantap Pak, udah ahli mentokin kontol nih Pak Ikbal," puji Kunto. "Sekarang saya entotin ya. Seretin Pak bibirnya, biar enak."
Pelajaran berikutnya pun dimulai. Kunto perlahan-lahan menggerakkan batang kontolnya mundur, lalu maju lagi, walaupun tidak sampai mentok, dan mundur lagi. Begitu seterusnya. Aku agak kewalahan dengan gerakan-gerakan itu, sekalipun Kunto memegangi kepalaku dan mengendalikan arah hisapanku. "Bisa mainin lidahnya juga Pak."
"Susah lah To kalau Pak Ikbal ga megangin sendiri batangmu! Udah jangan macem-macem!"
Sejak itu Kunto tidak lagi menyuruhku macam-macam. Ia hanya memandu kepalaku supaya stabil ketika ia menggoyangkan pinggulnya maju mundur, mengentot mulutku dengan batang kontolnya. Kunto mulai mendesah nikmat, kadang-kadang mempercepat entotannya, kadang-kadang memperlambat. Orang cebol itu tentu saja masih mengocok kontolku dengan benda bening itu. Lambat laun aku mulai bisa menghubungkan semuanya; rasa nikmat karena kocokan kontolku dan bibirku yang beradu dengan batang kontol Kunto. Sesekali aku merasakan sesuatu yang asin, mungkin ini rasa cairan bening itu. Aku mulai bisa mengerang, walaupun tertahan karena batang kontol Kunto di dalam mulutku/ "Mmmmhhh... nnnggghhh... mmmmhhhh..."
"Aaaahhh... oooohhhh.... enakkkk Paaaakkkk... ini ya rasanya ngentotin polisiiiihhh.... ooooggghhh... uuuuaaaaggghhhh..."
"Jangan keluarin di dalam lho To! Pak Ikbal belum pernah minum sperma! Nanti tersedak kalau kamu tiba-tiba ngecrot di dalam!"
"Oooohhh... aaaahhh... mau keluaaaarrr..." Kunto pun dengan segera menarik kontolnya dari mulutku. Ia menurunkan visor helmku, lalu mengocok-ngocok kontolnya dengan cepat di depanku. "Ooooohhhh... jriiiittt.... Pak Ikbaaaalll...."
CROOOTTT...
Refleks aku berkedip ketika pejuh Kunto muncrat, walaupun terhalang visor helmku. Ketika aku sadar bahwa pejuhnya tidak mengenai mukaku, aku pun kembali membuka mata lebar-lebar, melihat Kunto orgasme, memuntahkan pejuhnya di hadapanku dari batang kontolnya itu. Visor helmku pun segera penuh dengan pejuhnya yang meleleh turun, kurasa mengenai jaket atau kemejaku. Aku tidak bisa apa-apa, ya sudah lah, nanti bisa dicuci. Beberapa muncratan kemudian pancarannya mulai melemah sebelum akhirnya pejuh hanya menetes dari kontol Kunto selagi ia mulai bernafas lega. Selesai menikmati orgasmenya, ia beranjak dariku, mengambil tisu dan mengelap visor helmku yang masih tersisa pejuhnya, lalu membuka visor helmku. "Mau jilatin pejuh Pak Ikbal?" Sejenak aku bimbang. Masa aku minum pejuh? Tapi penasaran juga rasanya. Akhirnya aku pun mengangguk, maka Kunto pun kembali mendekat dan mengarahkan batang kontolnya yang sudah agak lemas itu, namun masih ada sisa sedikit pejuh di ujung lubang kontolnya. "Jilat Pak."
Aku pun mengulurkan lidahku dan menjilat sisa-sisa pejuh itu. Rasanya cukup familiar. Ada rasa asin yang dari tadi kurasakan, ada pula rasa gurih samar-samar, dan sedikit rasa getir seperti putih telur. Kurasa ini karena protein; dengar-dengar sperma mengandung protein? Tidak seburuk yang kukira. Aku tidak terlalu lama memikirkan rasa pejuh Kunto karena Kunto langsung kembali merangsang dadaku. "Ooooohhhh..." Bahkan orang cebol itu pun mempercepat kocokan di kontolku serta menaikkan intensitas getaran di tongkatnya. "Mmmmhhhh... aaaahhhh... sssshhhh... nnngggghhhh.... mmmmhhhh... uuuggghhh... aaaaaahhh..."

Tanpa bisa kukendalikan, aku pun orgasme lagi, entah ke berapa kalinya hari ini.



Aku sudah pasrah dengan apa yang sudah kusaksikan sampai sini. Sekarang aku hanya frustrasi karena orgasme itu tak kunjung datang, padahal batang kontolku masih mengeras. Apa aku memang tidak kuat untuk ronde kedua? Padahal Ikbal sudah berapa kali muncrat? Aku hanya melihat nanar ketika Bripda Ikbal dibuka borgolnya dan berdiri dengan seragamnya dikotori pejuh bajingan itu. "Ayo Pak, giliran Pak Ardo." Separuh dariku melonjak mendengar seruan itu, walaupun terdengar dari si cebol brengsek yang tadi sudah menginjak-injak kontolku. "Pak Ikbal bisa ngisepin kontolnya Pak Ardo kalau mau."
Hah? Ikbal? Jangan berani kamu... jangan turuti kemauan mereka! Jangan Ikbal... Jangan...



Kunto menaikkan sedikit aliran listrik di dada Briptu Ardo dan menaikkan getaran tongkat di kontol polantas itu. Bripda Ikbal pun maju mendekati Briptu Ardo; sejenak tampak ragu, namun akhirnya ia pun berlutut di depan Briptu Ardo. Tangannya memegang tongkat ajaib itu, lalu untuk beberapa saat Bripda Ikbal mengocok kontol Briptu Ardo dengan alat itu. Briptu Ardo pun meronta-ronta; pastilah harga dirinya berusaha tetap ia jaga. Briptu Ardo ini benar-benar pria tulen yang bahkan setelah berbagai rangsangan yang sudah kusajikan di hadapannya, tetap tidak bisa mengubah pendiriannya untuk ikut menikmati kontol.
Tapi mungkin Bripda Ikbal bisa mengubah pendirian itu. Polisi itu sepertinya sudah banyak belajar dari pengalamannya sendiri, dan kini ia berbagi dengan rekannya. Bukankah itu adalah sebuah persaudaraan yang hebat? Brotherhood, kalau orang sana bilang. Ketika kau sudah bisa berbagi kenikmatan bermain kontol dengan sahabatmu, itu berarti hubungan kalian sudah sampai di tingkat yang lebih jauh, ya kan? Ketika kau menyerahkan kontolmu pada sahabatmu, saat itu kau mempercayai sahabatmu untuk memberikan yang terbaik untukmu, dan demikian pula sebaliknya. Ah, betapa indahnya hidup ini kalau semua orang bisa mencapai tingkat persahabatan seperti itu...
Tentu saja, Briptu Ardo tidak bisa lagi menyembunyikan reaksi kenikmatannya. Nada erangannya sudah khas erangan orang yang menikmati, bukan lagi orang yang melawan. Apalagi ketika Bripda Ikbal melakukan sesuatu yang bahkan aku tidak mengiranya.
Bripda Ikbal tidak lagi menggunakan alat itu untuk memainkan kontol Briptu Ardo.
Bripda Ikbal kini menggunakan tangannya, memegangi batang kontol Briptu Ardo yang begitu keras mengacung, dan menggunakan lidahnya untuk menjilati bola-bola kontol Briptu Ardo. Ah, dua polisi yang kini beradu kasih... walaupun yang satu masih belum sepemuhnya menerima kasih itu, namun paling tidak ia kini menikmatinya. "Nnnnngggghhhh..." Briptu Ardo berjingkat ketika lidah hangat Bripda Ikbal menyapu bola-bola kontolnya, perlahan naik ke pangkal batang kontolnya, merayap pelan di bagian bawah batang kontol polantas itu, hingga akhirnya sampai di ujung batang kontol Briptu Ardo, dan dengan rakusnya menjilati precum yang terus meleleh keluar dari lubang kontol Briptu Ardo. Kalau aku bisa menilai, Bripda Ikbal sudah lulus kursus dasar memainkan kontol dengan nilai sangat memuaskan.
Bahkan ia pun kini menghisap kontol Briptu Ardo, selagi tangannya mengocok paangkal batang kontol rekan polisinya itu.

Sampai...

Erangan panjang pun tercetus dari mulut Briptu Ardo.

Bahkan Bripda Ikbal tidak menghentikan permainannya pada batang kontol Briptu Ardo yang kini kembali memuntahkan cairan kejantanannya. Bripda Ikbal sejenak terbatuk-batuk, namun ia seakan memiliki tekad penuh. Tekad penuh menikmati pejuh polisi.



Sisa malam itu... apakah perlu kuceritakan? Ardo masih dimainkan beberapa kali lagi, dalam entah berbagai variasi yang belum pernah kubayangkan sebelumnya. Momen yang paling kuingat adalah ketika Ardo dibuat pingsan namun kontolnya masih tetap dibuat tegang dengan entah alat-alat apa lagi yang dimiliki orang cebol itu. Aku menyaksikan sendiri ketika aku mengocok kontol tegang Ardo selagi ia masih pingsan dan terkagum-kagum sendiri ketika kontol Ardo masih bisa memuntahkan pejuh, walaupun sudah tidak sebanyak tadi. Aku sendiri hanya orgasme sekali lagi sebelum aku menyerah; biarlah orgasme-orgasme itu kusimpan untuk lain waktu. Diam-diam aku sudah bertukar nomor dengan orang cebol itu, walaupun aku yakin Ardo takkan pernah setuju. Hingga fajar tiba, ia masih tertidur lemas saat aku bersama orang cebol itu membawanya kembali ke pos jaga (yang tentu saja masih kosong) dan meninggalkan Ardo sendirian di situ, dengan motornya, dan kontolnya yang masih menjuntai dari celana PDL-nya.
Sejak kejadian itu, aku tidak pernah lagi dinas bersama Ardo. Ceritanya dibantah habis-habisan oleh komandan, dan ceritaku dianggap lebih masuk akal--cerita yang sudah kukarang bersama orang cebol itu. Terakhir aku melihatnya meninggalkan kantor dengan terburu-buru, muka masam dan tertunduk, bahkan ia pura-pura tak melihatku. Aku jadi sedikit merasa bersalah karenanya, apalagi ketika esok harinya--dan beberapa hari setelahnya--ia tidak masuk kerja. Belakangan kuketahui ia minta mutasi dinas dan pindah entah ke mana bersama istrinya--sempat ada gosip bahwa mereka sempat cekcok besar, namun aku tidak tahu kebenarannya. Aku mendapat rekan baru, Briptu Samudra, dan aku lebih menyukai Briptu Samudra yang lebih ramah dibandingkan Ardo. Sesekali tentu saja aku mencuri pandang pada tonjolan kontol Briptu Samudra, yang rupanya sama besarnya dengan punya Ardo, namun aku tak berani menggodanya, karena dia juga seorang pria normal.
Atau kukira demikian.

Kau bertanya bagaimana hubunganku dengan orang cebol itu? Aku masih berhubungan rutin dengannya, dan mencoba hal-hal baru dalam kenikmatan bermain kontol, dan aku selalu menjadi pihak yang pasrah. Berperan sebagai polisi yang tidak berdaya dilecehkan dan diperkosa entah mengapa membuatku begitu bergairah sejak kejadian itu. Aku mulai mendokumentasi permainanku dengan orang cebol itu, dan tentu saja tidak kusebarkan ke mana-mana (orang cebol itu dan Kunto juga bersikap jantan dengan tidak menyebarkannya).
Hingga tanpa sengaja Briptu Samudra mengetahui dokumentasi itu.
Dan ternyata dia juga penyuka kontol, yang tak berani mengungkapkannya hingga hari itu. Ia pun menyatakan ketertarikannya untuk bergabung. Maka lengkaplah sudah kehidupanku. Ia ternyata seorang bottom, walaupun kontolnya juga raksasa, sehingga akhirnya aku bisa merasakan ngentot rekanku polisi. Banyak variasi permainan yang kami lakukan, mulai dari aku sebagai polisi lemah hingga polisi perkasa, mulai dari aku akhirnya merasakan bagaimana dientot dan ngentot dalam saat bersamaan... ah itu lain cerita lagi untuk kemudian hari.

Yang jelas, aku takkan pernah menyesali kejadian hari itu.
Saat seorang polisi bertemu dengan orang cebol.

(TAMAT)