Minggu, 16 Desember 2012

Laporan Perkosaan (bagian 2)

Cerita ini hanyalah rekaan semata, kesamaan nama dan tempat hanyalah kebetulan belaka. PERINGATAN: Konten ini mengandung materi dewasa dan homoseksualitas. Jika Anda tidak dapat menerima materi ini, segera tinggalkan blog ini.

Tak terlalu sulit bagiku untuk menemukan alamat yang diberikan Zakaria. Rumah itu tidak terlalu besar, bahkan cukup sederhana. Semula aku hendak mengetuk pagar, namun karena saat itu hari sudah benar-benar larut malam, aku tak ingin membuat kegaduhan di tetangga. Apalagi seragamku saat itu cukup belepotan, bercak-bercak sperma Zakaria masih tersisa di sana-sini, walaupun sekarang aku mengenakan jaket. Akhirnya kuputuskan untuk mengirim SMS ke Zakaria. "Udah di depan," tulisku singkat. Kukirim SMS itu lalu kutunggu sebentar. Tak terlalu lama Zakaria pun keluar. "Ah udah kelar Mas?" sambutnya sambil membukakan pagar. Aku pun menuntun motorku masuk. "Udah Zak." "Lha nanti pagi nggak apel?" "Ya masa aku apel dengan seragam begini Zak? Bilang apa nanti aku sama komandanku... masa bilang habis kamu semprot..." Kami berdua tertawa kecil. "Gampang lah Zak, bilang aja aku kecapekan jadi ga bisa ikut apel, komandanku biasanya ngerti kok." "Bener nih ya Mas? Ntar kamu kena tindakan disipliner lagi..." "Ngga pa pa yang..." Kuyakinkan dirinya dengan mengecup keningnya. "Eh jangan di sini Mas, ntar ada yang lihat lagi, hehehe... Yuk masuk!" Walaupun mengatakan demikian, ia sempat meremas kontolku dengan cepat. "Udah tegang lagi nih Mas? Gila hebat bener!" Entah itu sindiran atau pujian.

Setelah masuk ke dalam dan mengunci pintu, aku pun langsung menubruk Zakaria dan menciumnya. Ia pun membalas ciumanku dengan mesra; sambil berciuman ia menggerayangi tubuhku yang masih terbalut seragam. "Kamu suka denganku?" tanyaku. "Suka Mas, Mas ganteng, badannya bagus, baik pula..." Saat itu tangannya sudah sampai di tonjolan kejantananku. "Apalagi barang yang satu ini Mas... gede, panjang, tahan lama..." Aku memeluk dan mendesah di telinganya. "Kamu suka barangku?" "Suka Mas..." Ia memainkan jari-jarinya di bola-bolaku, memberikan sensasi geli namun nikmat luar biasa. "Aaahhh... kamu nakal ya, suka main bola rupanya?" "Suka Mas, apalagi punya polisi." Ia meremasnya kuat-kuat, membuatku mengerang. "Ngilu Zak..." "Tapi enak Mas lama-lama." Ia mengelus-elus punggungku, menenangkan dan meredakan rasa ngilu di bola-bola kontolku. Aku hanya bisa mendesah lagi ketika ia mengelus-elus kembali bola-bolaku, dan akhirnya naik ke batang kontolku. "Mas yakin yah mau jadi pacarku? Aku nggak maksa lho Mas..." "Kamu sendiri gimana, mau ga jadian? Tapi mungkin aku harus tetap jaim Zak, cuma itu yang aku minta darimu." "Iya Mas, aku tahu kok, aku akan jaga rahasia Mas baik-baik. Dan aku akan melayani Mas sesering yang Mas mau." "Yakin nih kamu kuat?" "Eh nantang, siapa takut!" Ia pun membuka resleting celana coklatku dan merogoh ke dalam untuk mengeluarkan batang kontolku. "Mas kamu nafsunya beneran gede banget yah, udah basah gini kontolnya..." Ia mengelus-elus kepala kontolku yang sudah mengeluarkan precum, membuatku kegelian tak karuan, lalu ia mengocoknya pelan. "Ah..." Ia menyandarkanku ke dinding ruang tamu itu, sambil terus menggarap kepala kontolku, membuatku tak berkutik. "Pernah dikocokin Mas?" "Pernah, sama Parno yang kamu temui tadi di kantor." "Enak mana sama kocokanku?" "Enak kocokanmu Zak..." Ia kemudian menciumku kembali, tangan kanannya tetap mengocok-ngocok kepala kontolku. Aku pun tak mau ketinggalan mengerjai kontolnya; saat itu hanya mengenakan sarung yang langsung melorot begitu aku menjamah kontolnya. "Telanjang toh kau Zak..." "Iya Mas, panas di sini. Tambah panas lagi sama Mas, hehehe..." Aku dan Zakaria berciuman kembali cukup lama sambil mengocok kontol lawan, semakin lama semakin cepat. Tiba-tiba dia menghentikan ciumannya. "Kenapa Zak?" "Ga pa pa Mas, aku cuma pingin Mas peluk..." Aku pun melingkarkan tanganku di bahunya, memeluknya dengan kehangatan yang menenangkan. "Aku pingin menikmati suasana ini Mas." "Nikmati aja Zak, malam ini milik kita berdua." "Iya Mas. Aku layani Mas dulu ya, aku nanti saja." Aku tidak bisa menolaknya, dan akhirnya selama sepuluh menit ke depan ia hanya mengelus-elus kontolku yang ngaceng berat dan basah oleh precumku sendiri itu. Sepertinya ia menggodaku dengan bermain pelan. Aku sendiri hanya bisa menggelinjang merasakan kenikmatan yang ia berikan, terutama ketika ia mengelus-elus perbatasan kepala dan batang kontolku yang sangat sensitif. Aku berusaha keras untuk tidak keluar cepat-cepat, aku juga ingin menikmati malam ini selama mungkin... Keringatku mulai bercucuran, kembali membasahi seragamku. Aku pun memejamkan mata menikmati rangsangan dari Zakaria. "Mau keluar Mas?" tanyanya. "Dikit lagi Zak, boleh dikeluarin ga?" Ia tidak menjawab, malah memainkan lubang kencingku dengan jarinya. "Zak..." desahku. Sedikit ngilu tapi nikmat. "Boleh ga nih?" Ia malah mengelus-elus bola-bolaku yang mulai merapat ke tubuhku. "Aaaaahhh... Zaaakkk..." Kutahan sedikit lagi nafsuku, namun elusan Zakaria benar-benar membuatku melayang. Bahkan sekarang kedua tangannya mengerjai kontolku tanpa henti; satu mengelus-elus bola-bolaku, satu mengocok batangku dengan lembut. Aku mendesah tak karuan, menggelinjang tanpa henti, mencoba menahan desakan spermaku yang sudah mau muncrat. "Zaakkk... mau keluaarrr... mmmhhh..." Eranganku terhenti karena ia menciumku, tangannya tetap mengocok-ngocok batang kontolku. Aku pun berjingkat menahan sensasi itu, namun akhirnya...

"Mmmmmhhhh..." Pinggulku seakan tak bisa dikontrol, terhentak ke depan ketika aku pun akhirnya orgasme, namun Zakaria mencegah kontolku menyemprotkan sperma. Ia menekan batang kontolku dengan kuat, mengurutnya hingga ke kepala kontolku sambil tetap menekannya dengan kuat. Aku bisa merasakan kontolku berdenyut-denyut protes karena tekanan spermaku yang kuat. Bola-bolaku disentilnya, membuatku rasa ngilu itu kembali lagi, tapi rasa itu menambah kenikmatan orgasmeku. Aku hanya ingin muncrat sekarang supaya puas, tapi Zakaria sepertinya mencegah kontolku muncrat. Aku merasa batang kontolku penuh dengan spermaku sendiri. Zakaria hanya menatapku sambil tersenyum; aku sendiri terengah-engah dan berjingkat menahan desakan kontolku untuk muncrat. Cukup lama kepala kontolku digenggam dengan kuat sampai akhirnya kontolku melemas, walaupun desakan spermaku masih ada. "Zak... kamu apain kontolku... keluarin please..." "Sabar Mas, aku pingin liat spermanya Mas meleleh keluar dari kontol Mas..." "Ah nakalnya kamu Zak, aku ini polisi lho! Nakal-nakal kutangkap kamu, kupenjara lho..." "Mas kan udah menangkap dan memenjara hatiku. Aku rela dipenjara seumur hidup kalau yang nangkap Mas.... Tapi sekarang Mas yang tertangkap basah. Polisi ga boleh muncrat cepat-cepat Mas!" "Lha itu tadi sudah lama kan..." "Ga boleh muncrat kalau belum aku bolehin!" "Siap Komandan!" ujarku sambil memberi hormat. "Kalau muncrat sebelum waktunya dihukum seperti ini, kontolnya kuborgol!" "Siap Komandan!" "Tapi karena ini pengalaman pertama, ya sudah deh..." Tanpa melepaskan pegangannya pada kontolku, Zakaria pun berjongkok di depanku, lalu sedikit mengurut-urut kontolku dari atas ke bawah, membuatku merasakan spermaku bergejolak antara kembali ke pabriknya atau tetap keluar. "Siap ya Mas?" Aku lagi-lagi memberinya sikap hormat, dan ia balas dengan menjilati kepala kontolku. Tidak siap, ditambah kontolku yang menjadi sensitif setelah orgasme, aku pun berjingkat kegelian. "Geli Zak..." "Tahan Mas, ini bentar lagi pasti berdiri lagi kontolnya. Mengabaikan rasa geliku, ia pun menjilati bola-bolaku. Aku pun mendesah kenikmatan, dan kontolku mulai berdiri kembali; spermaku yang sedari tadi tertahan mulai kembali mendesak untuk keluar. "Zak..." Ia menjilati batas kepala kontolku, dan akhirnya ia melepaskan genggamannya. Anehnya, spermaku tidak berlomba-lomba untuk keluar, bahkan sebenarnya hanya sedikit yang keluar. Spermaku masih terlihat kental walaupun aku sudah dua kali keluar tadi, meleleh keluar dari lubang kencingku. Zakaria terlihat menadahkan lidahnya di dekat lubang kencingku untuk menadah spermaku yang menetes perlahan. "Dikit amat Mas, keluarin lagi dong...," rengeknya. "Boleh nih Ndan?" godaku. Ia menjawab dengan mengurut kontolku dari pangkal ke ujung, membuat sperma yang tersisa ikut keluar dan sekaligus membuat libidoku menggelegak kembali. "Aaahhh Zak..." Kontolku dengan cepat mengeras kembali tanpa bisa kucegah. Setelah tidak ada lagi yang menetes, Zakaria pun bangkit berdiri dan menciumku, memindahkan sperma yang ada di lidahnya ke lidahku. Jarang-jarang ada orang yang melakukan itu denganku. Kami berdua merasakan gurihnya spermaku, tapi sialnya ia mengocok-ngocok lagi kontolku. Aku mengerang dalam ciumannya hendak protes, tapi kocokannya justru dipercepat. "Mmmmhhh..." Kembali desakan itu muncul, bahkan lebih hebat dari sebelumnya. Aku mendorong tubuhnya untuk melepaskan ciumannya. "Zak..." "Keluarin lagi Mas..." Tanpa membuang waktu ia pun kembali berjongkok di depanku, kali ini langsung melahap kontolku dengan ganasnya. "Aaaaahhh..." Hisapan mautnya membuatku sulit bertahan, tapi aku harus melawannya. Aku ingin dia mendapatkan spermaku dengan susah payah, atau harga diriku sebagai polisi perkasa akan turun. Aku menengadah dan berjingkat sambil menahan desakan untuk muncrat, selagi Zakaria terus melancarkan serangan mautnya. Kontolku dihisapnya dengan begitu ganas, bahkan bola-bolaku pun dipeluntirnya. Rasa ngilu itu malah sekarang kunikmati; peluhku bercucuran kembali. Siapapun yang melihatku sekarang ini pasti menduga aku sedang bekerja keras, dan memang betul, aku sedang bekerja keras menahan diri untuk tidak muncrat selama mungkin.

Tapi sepertinya aku harus takluk oleh Zakaria... Pertahananku mulai runtuh, otot-otot tubuhku mulai tidak bisa dikendalikan... Aku seakan mengejang tak karuan, dan akhirnya aku melolong panjang. "Ooooooooohhhhhh....." Kali ini Zakaria tidak lagi menekan batang kontolku, tapi ia tidak membiarkan aku menusukkan kontolku dalam-dalam, malah ia berusaha agar hanya kepala kontolku saja yang ada di mulutnya. Bibirnya mengatup kontolku dengan erat, dan ia mengisap-isapnya selagi akhirnya aku memuncratkan spermaku kembali. Bola-bolaku digenggamnya dan ditarik-tarik seperti memerah spermaku. Entah berapa kali aku muncrat, aku benar-benar melayang dibuatnya. Bahkan sepertinya aku mulai oleng, pandanganku mulai kabur, dan aku bisa merasakan tubuhku merosot sebelum akhirnya Zakaria menopang tubuhku. "Capek ya Mas?" Aku hanya bisa mengangguk lemah, tak kuduga permainannya kali ini sangat menguras tenagaku. "Mas istirahat saja dulu, kuantar ke kamarku." Ia membopongku ke dalam kamar, dan melihat kasur pun aku langsung merebahkan diri. Pandanganku mulai gelap...


Perubahan alamat blog

Halo semuanya,

Saya baru menyadari bahwa alamat blog ini bisa diganti. Dengan digantinya alamat blog, otomatis blog ini bisa diakses kembali dari ISP manapun, selama belum terdeteksi kembali. Untuk itu, sampai saya kehabisan ide untuk alamat blog, silakan ikuti twitter saya di @feirdand untuk alamat terbaru blog ini atau untuk update lainnya.

Alamat blog ini untuk sekarang berubah menjadi http://feifantasy.blogspot.com.

Sekarang saya hendak melanjutkan salah satu cerita, mudah-mudahan masih dapat feel-nya.

Thanks,

Selasa, 11 Desember 2012

New Stories

Untuk menjawab beberapa komentar sebelumnya, saya menulis entri ini.

Mohon maaf jika selama beberapa bulan terakhir ini saya tidak menulis cerita baru maupun melanjutkan yang sudah ada. Saya sedang menempuh studi di luar negeri, dan walaupun blog saya tidak diblok, kesibukan studi membuat saya tidak sempat untuk berfantasi lebih jauh. Selain itu, di negara yang saya tinggali sekarang ini, kegiatan homoseksual jauh lebih tertutup dibandingkan di Indonesia, bahkan sudah dikategorikan pelanggaran hukum jika melakukan oral. Penjaga keamanan (polisi, satpam) pun jarang ditemui, sehingga tidak ada fantasi lebih lanjut yang bisa saya tuliskan.

Mudah-mudahan setelah studi saya selesai dan saya kembali ke Indonesia, fantasi-fantasi itu bisa berlanjut kembali, dan bahkan menjadi kenyataan untuk dituliskan menjadi sebuah cerita.

Satu hal lagi, jika akses ke blog ini diblok, gunakan anonymizer atau free proxy (setahu saya Opera Mini bisa). Dukung kebebasan ber-Internet di Indonesia.

Saya juga baru buat twitter, masih belajaran jadi mungkin masih acak-acakan isinya. Yang mau bisa follow back di @feirdand.

Thanks,

Rabu, 26 September 2012

Serangan fajar polisi kamar sebelah (bagian 1)

Malam itu benar-benar dingin. Hujan tak henti-hentinya turun sejak sore tadi, membuatku ngantuk saja sejak tadi. Padahal ada rencana untuk ketemu dengan seseorang yang kukenal di situs Y, terpaksa batal deh. Daripada tambah basah di luar, mending tidur saja di kos. Malam minggu yang suram...

Sayangnya, atau malah untungnya, tidurku malam itu terganggu.

Aku sedang bermimpi indah, bergumul dengan seorang pria yang tampan dan gagah, ketika ketukan di pintu kamar kosku akhirnya membangunkanku. Aku sedikit melompat ketika seseorang mengetuk pintu kamarku dengan cukup keras. "Permisi!!!" Aduh siapa sih malam-malam begini, ganggu mimpi indah aja... aku melihat jam wekerku sekilas, jam setengah dua pagi. "Mas, permisi!" Suara itu akhirnya kukenali sebagai polisi yang ngekos di kamar sebelah. Aku tidak terlalu mengenalnya karena jarang ketemu, namun orangnya cukup ramah dan selalu menyapa jika bertemu. Aku tidak pernah ngobrol terlalu sering dengannya sih karena jadwal kerja kami selalu bertabrakan. Tiap kali aku pulang kerja, dia selalu baru berangkat. Sepertinya dia selalu kena sif malam. Kadang-kadang aku berkhayal, apa yang dikerjakan ya malam-malam begitu... "Mas, maaf mengganggu, tapi..."

"...Iya Mas sebentar!" Aku tidak enak juga kalau tidak menjawab, tapi suaraku agak parau. Aku berdeham dan mengulangi jawabanku, lalu bangkit untuk segera membukakan pintu. "Aduh Mas maaf sekali mengganggu, lagi tidur ya?" Memang benar itu polisi kamar sebelah, tapi... "Iya Mas, kok sudah pulang jam segini?" "Iya sama komandan disuruh pulang saja, disuruh balik besok." "Eh Mas masuk dulu gimana? Gila tuh anginnya, hujannya sampai masuk ke sini!" "Ah iya..." Ia segera masuk dan aku segera menutup pintu. Entah kenapa cuaca bisa seburuk itu, bisa-bisa banjir nih... untungnya kamarku di lantai dua. "Jas hujannya taruh di situ aja Mas," ujarku sambil menunjuk ke sebuah wadah yang sebenarnya isinya payung. Aku memang punya wadah khusus untuk payung yang basah. Ia segera melepas jas hujannya, walaupun tetap saja lantai kamarku jadi basah. "Maaf Mas merepotkan..." "Ah nggak apa-apa, toh kita kan sekos." Aku perhatikan seragam dinasnya agak basah, "Kayanya di luar hujan badai ya Mas sampai basah gitu?" "Iya Mas, tadi sebenarnya saya ya nggak mau pulang, tapi di kantor ga ada tempat untuk tidur." "Banjir kah?" "Sudah mulai masuk sih airnya... Eh iya Mas, malam ini boleh nggak saya tidur di sini? Kunci saya ketinggalan..." "Boleh, daripada basah-basahan lagi balik ke kantor." Aku sebenarnya girang dalam hati; walaupun aku tidak tahu apakah dia penyuka sesama, tapi paling tidak aku bisa mengagumi badannya semalam-malaman. Berhubung ranjangku agak kecil, siapa tahu juga bisa mepet-mepet dikit, hehehe... "Makasih banyak ya Mas, maaf mengganggu. Mas tidur lagi aja sementara saya beres-beres." "Ga pa pa Mas. Itu seragamnya lepas aja biar nggak masuk angin." Ia memang melepas seragamnya, dan ternyata ia masih mengenakan kaos dalam berwarna coklat. Aku mengagumi bodinya yang gagah diam-diam dari belakang. "Eh tapi ranjang saya kecil lho Mas, ga apa-apa kah tidur dempet-dempetan?" "Saya tidur di lantai aja Mas ga pa pa." "Nanti masuk angin lho, udah tidur di ranjang sini aja! Selimut saya cuma ada satu pula, nanti bisa dipakai bareng. Ga masalah kan?" "Iya ga masalah Mas." Aku kemudian merebahkan diri di sisi ranjang yang dekat dengan tembok, kemudian ia menyusul di sebelahku setelah membuka sabuknya, namun ia tetap mengenakan celana dinasnya. "Dingin ya Mas," ujarku basa-basi. Ia hanya mengangguk, lalu merebahkan badannya. Aku berbagi selimut dengannya lalu mencoba tidur. Atau berlagak mencoba tidur.

Beberapa saat aku menunggu dengan jantung berdegup. Ia memang sudah menutup mata, tapi kurasa ia belum tidur. Sampai akhirnya aku mendengar dengkurannya. Astaga, dengkurannya jantan sekali; tidak terlalu keras tapi juga tidak terlalu pelan. Wajahnya yang tampan menyisakan sedikit kelelahan di sana, aku refleks mengelus wajahnya, namun hanya beberapa saat karena aku takut ia terbangun. Sayangnya, karena aku menawarkan berbagi selimut dengannya tadi, aku sekarang tidak bisa melihat bodinya yang syur itu. Aku mengutuk kebodohanku sendiri dalam hati, coba tadi ia tidur di lantai, bisa puas-puas aku melihat bodinya! Bisa jadi bahan buat coli juga, hehehe... Aku mengelus-elus kontolku yang masih tegang sedari tadi gara-gara mimpiku. Agak lemas sih begitu ia datang dan ngobrol sebentar, tapi sekarang aku horny lagi membayangkan bodi polisi yang tertidur di sebelahku. Aku agak takut untuk mengeksplorasi bodinya lebih jauh, selain karena sikapnya yang sopan itu bikin aku sungkan, aku tidak pernah berhubungan dengan anggota polisi yang gay. Kalau baca-baca di situs-situs gay kok banyak yang kecewa dengan mereka...

Lamunanku buyar ketika ia mengerang dan memutar badannya dalam tidurnya. Berhubung ranjangku sempit, badannya jadi menempel ke badanku, dan aku sama sekali tidak sempat bereaksi. Tangan kiriku jadi terhimpit badannya. Waduh bisa kesemutan ini lama-lama, pikirku... tapi tanganku merasakan sesuatu yang hangat dan empuk. Ya pasti lah, badan manusia kan hangat... tapi masa badannya sehangat itu? Belum sempat aku membetulkan posisiku, ia memelukku. Deg... jantungku berdegup tak karuan. Dikira aku guling kali ya... tapi kebetulan sekali nih, hehehe... aku mencoba menggerakkan tangan kiriku dan aku bisa merasakan punggung tanganku menyenggol sesuatu yang sangat familiar. Tanganku persis ada di kontolnya. Aku menggerakkan tanganku lagi sehingga sekarang jari-jariku bersentuhan langsung dengan kontolnya. Wih besar juga kontol polisi ini, pikirku. Aku tidak pernah mengamati kontolnya selama ini, dan di situs-situs banyak yang bilang kontol polisi ya sama saja dengan kontol orang biasa, malah banyak yang lebih kecil. Kalau begitu aku beruntung dong, hehehe... aku tidak terlalu mengidolakan polisi sih, tapi kalau bisa dapat ya kenapa nggak.

Iseng-iseng kuremas kontolnya. Tidak ada reaksi. Kuremas-remas lagi kontolnya. Kali ini ada reaksi, ia mengerang namun pelan sekali. Aku mencoba menggenggam batangnya, memang agak tegang sih, tapi sepertinya karena dingin. Seingatku kontol memang bisa menegang tiap 90 menit selama cowok tidur, tapi rasanya belum ada setengah jam deh sejak ia tidur... gara-gara dingin kali ya. Berhubung tidak ada reaksi sama sekali, akhirnya kunikmati meremas-remas kontolnya. Perlahan-lahan aku bisa merasakan kontolnya jadi semakin hangat, walaupun mengeras dengan perlahan. Sepertinya dia tipe cowok yang mainnya perlahan dan lama. Boleh nih dites! Aku terus meremas-remas kontolnya dengan lembut ketika ia melenguh dan mengubah posisi tidurnya. Aku refleks langsung menghentikan remasanku, hanya untuk kaget ketika tangannya menyentuh kontolku. Wah nantang orang ini... tapi dia sadar nggak ya kalau lagi megang kontol? Kutantang polisi yang kelihatannya masih tertidur itu dengan menggerakkan kontolku yang memang sudah mengeras. Ia merespon dengan meremas kontolku. Kugerakkan lagi kontolku, dan ia meremasnya. Ini yang kutunggu-tunggu! Untuk beberapa lama aku memainkan kontolku sebelum akhirnya ia meremas-remasnya sendiri tanpa harus kusuruh. Kuhadiahi polisi itu dengan remasan di kontolnya yang sempat melemas. Ia sesekali mengerang, masih dengan mata terpejam. Aku jadi curiga apa ia benar-benar tidur...

Serangan gerilyanya berlanjut. Tangannya perlahan-lahan menelusup masuk ke kaos tidurku dan entah bagaimana caranya dalam posisi masih memelukku, ia berhasil mendapatkan dadaku. Puting susuku pun dimain-mainkannya, sesekali hanya dielus-elus begitu saja, sesekali dicubit. Aku pun tidak bisa menahan diri untuk tidak mengerang; kalau sampai ia terbangun biar dah, toh ia yang mulai duluan. Puting susuku jadi melenting keras, kontolku mulai mengeluarkan precum cukup banyak di bawah sana, dan aku pun menghadiahi polisi itu dengan remasan kuat di kontolnya tiap kali ia berbuat nakal dengan puting susuku.

Pada remasanku yang terakhir, polisi itu mengubah posisi tidurnya menjadi telentang kembali. Aku agak kecewa karena aku menikmati kehangatan tubuhnya, tapi serangannya rupanya belum berakhir. Tangan kanannya langsung menelusup masuk ke celanaku, dan berhubung celanaku itu sejenis brief, ia pun langsung mendapatkan kontolku. Aku mengerang ketika ia mengelus-elus kepala kontolku yang sudah basah. Ia terus mengelus-elus kepala kontolku, membuatnya mengeluarkan lebih banyak precum, lalu ia mengocoknya. Aku sampai heran dalam hati, bisa yah orang tidur ngocokin kontol? Memang sih kocokannya perlahan, namun justru itu yang membuatku mengerang kenikmatan bercampur kegelian. Aku memang belum disunat, tapi saat tegang sempurna kulupku tertarik sehingga kepala kontolku yang sensitif itu pun tak terlindungi, dan ia mengocok tepat di kepala kontolku. Sialan ni polisi, awas ya kubikin kau gelinjangan dalam tidurmu nanti kalau sudah selesai...

...tapi itu ternyata tak butuh waktu lama. Akibat menahan gejolak horny sedari tadi siang, ditambah cuaca yang dingin, tak lama kemudian aku muncrat. Aku sedikit terengah-engah dibuatnya, dan sekarang giliranku membalas serangan polisi itu.

Ia tampak masih tertidur, tapi aku tak peduli lagi kalau tiba-tiba ia terbangun dan memergokiku. Tangannya yang basah dengan spermaku bisa kujadikan bukti kalau ia sebenarnya juga doyan kontol. Aku menyingkap selimut yang dikenakannya, sehingga kini tampaklah dengan jelas bonggolan kontolnya yang masih terlindungi celana dinas coklatnya yang ketat itu. Masih terlihat belum tegang betul, tapi peduli amat... aku mengelus-elus kontol itu, kemudian kubuka kait dan resleting celananya. Ia mengenakan celana dalam berjenis trunk, tapi celana dalamnya ketat sekali. Mungkin supaya bebas bergerak ya... Kuturunkan juga celana dalam itu dengan hati-hati supaya tidak membuatnya terbangun, walaupun ia sempat menggeliat. Rasanya ia menggeliat untuk memperlancar usahaku melucuti pertahanan kontolnya. Dan benar saja, tak lama kemudian aku mendapati kontolnya menegang bebas di hadapanku. Kuelus-elus batang kontol polisi itu dengan lembut sementara tanganku yang satu lagi memainkan bola-bolanya dengan agak kasar. Tidak ada jembut sama sekali di kontolnya, sepertinya dicukur habis beberapa hari yang lalu. Aku lebih suka jembut sebenarnya, tapi tak apa lah, kontol polisi ini besar sekali. Sesekali kusentil ringan bola-bola kontolnya, dan aku hanya mendapatkan reaksi dari kontolnya yang bergerak. Sok kuat nih, tunggu ya... Aku memainkan nafasku di kepala kontolnya, kurapatkan bibirku tepat di perbatasan antara batang dan kepala kontolnya, lalu kumainkan lidahku di pucuk kontolnya. Kubuka lubang kencingnya, bisa kurasakan precumnya mulai mengalir. Gurih rasanya. Kumulai hisapanku, dan akhirnya erangan pun keluar dari mulutnya. Nah, rasakan kau, mana tahan kau dengan hisapanku... selain bibirku yang mengatup rapat pada batang kontolnya, lidahku pun menyapu setiap sudut kontolnya, terutama di bagian bawah kepala kontolnya. Aku ingin menguji seberapa lama polisi itu tahan dengan hisapanku. Seranganku kutambah dengan elusan, remasan, atau sentilan pada bola-bola kontolnya yang polos itu. Menurut beberapa orang yang pernah main denganku, seranganku itu sangat maut dan banyak yang muncrat tak sampai lima menit.

Tak terkecuali polisi ini. Tiba-tiba tubuhnya mengejang, ia mengerang agak keras, dan akhirnya aku merasakan ia menembak spermanya di dalam mulutku. Terasa hangat, kental, dan gurih, kutelan spermanya. Eits, jangan dikira permainan sudah selesai...

Jumat, 10 Agustus 2012

Laporan Perkosaan (bagian 1)

Entah kenapa hari itu aku horny sekali. Sudah lama aku tidak bercinta dengan seseorang, dan kontolku tidak bisa diajak kompromi. Mau ngapa-ngapain juga tidak konsentrasi, tapi aku bosan ngocok sendiri. Ah, perkenalkan dulu, aku Zakaria, umurku 28 tahun. Yah, namaku memang agak seronok, tapi sepertinya itu memberiku berkah tersendiri: zakarku besar, hehehe... Aku memang ada keturunan Arab dan Iran, dan kalian tahu sendiri lah kontol orang sana seberapa gedenya... Aku gay dan seorang top tulen. Aku punya fetish pada orang berseragam, terutama polisi, dan sudah beberapa kali aku dapat kesempatan ngentot polisi. Enak betul rasanya. Sayang aku harus pindah kota karena pekerjaan, dan di kota yang baru ini aku belum ngentot polisi sama sekali. Cari ah...

Kali ini, ideku adalah melaporkan seseorang (fiktif, tentu saja) yang sudah memperkosaku. Tentu laporan seperti itu jarang kan, apalagi kota kecil ini (sebut saja kota X) sepertinya alim sekali. Siapa sih cowok yang berani lapor bahwa dia dientot? Malunya tak ketulungan. Tapi, karena aku super horny, dan ingin ngentot polisi, ya sudah lah nekad saja, toh sepertinya kasus seperti itu nggak bakal ditanggapi serius... Biasanya, di suatu kota, saya akan cari target dulu polisi mana yang kira-kira mau dientot. Biasanya saya cuma cari yang bodinya proporsional saja, yang perutnya sudah mulai membesar bikin aku ilfil. Kontolnya nggak harus besar, justru aku menghindari itu supaya tidak dientot pula (maklum, aku top murni, dan untung sekali selama ini aku selalu dapat polisi yang bot). Nggak harus gay juga, biseks pun ga masalah. Bahkan pernah sekali aku dapat polisi yang straight, tapi ia langsung menghilang setelah itu. Berhubung kali ini aku super horny, aku nggak peduli dah polisi seperti apa yang bakal kudapat nanti. Yang penting dicoba dulu.

Malam itu, akhirnya niatku terlaksana. Aku pergi ke kantor polsek Z sekitar pukul dua belas malam, kurasa jam segitu di kota sekecil ini hanya ada sedikit yang bertugas. Benar saja, di luar hanya ada satu orang yang berjaga. "Malam Pak," sapaku loyo, mengondisikan diri seperti benar-benar habis diperkosa, padahal aku yang hendak memperkosa! "Malam Dik," sapa polisi jaga itu. Parno kulihat namanya. "Ada yang bisa saya bantu?" "Iya Pak," aku mencoba sedikit panik, "saya mau melaporkan sesuatu. Saya habis... habis..." "Ya Dik, habis diapakan?" "Saya malu Pak bilangnya..." "Nggak usah malu Dik, nggak usah takut juga, kami akan melindungi Adik kalau memang Adik habis jadi korban kejahatan. Laporkan saja Dik, nanti kami proses." "Tapi nama saya nanti dirahasiakan ya Pak?" "Tergantung kasus Adik, tapi kami akan berusaha sebisanya. Nah sekarang coba duduk di sini dulu, lalu ceritakan pelan-pelan Adik habis jadi korban kejahatan apa." Parno mengambilkan aku kursi, lalu aku duduk sambil curi-curi pandang. Bodi Parno OK juga, cukup ramping namun tidak kurus-kurus amat, kulihat ada sedikit otot lengan. Pahanya boleh lah, tonjolan kontolnya juga cukupan. Sekilas kurasa aku melihat ia agak ngaceng, tapi berhubung Parno langsung mengajakku bicara, aku tidak melihatnya lebih jauh. "Jadi Adik habis kena apa?" Sambil sedikit berbisik, aku bilang, "Saya... saya... habis... habis... diperkosa Pak..." "Oh." Sudah kuduga reaksi Parno agak pendek. "Mungkin saya panggilkan rekan saya saja ya, nanti coba bicara di dalam, ada ruangan tersendiri kok, jadi Adik bisa cerita lebih lengkap tanpa harus malu." "Boleh Pak, makasih," jawabku pelan. Ah ternyata bukan dia target entotanku. Ketika Parno bangkit berdiri dan masuk ke dalam, kulihat pantatnya. Nggak terlalu ranum juga sih. Keberuntunganku berarti, siapa tahu polisi temannya lebih seksi.

"Cin, ada kerjaan!" Otakku langsung bekerja. Nama panggilannya aneh sekali, Cin...? Waduh jangan-jangan Cindy... Nafsuku langsung hilang begitu saja. Kalau cewek mah mending aku lapor di tempat lain saja... tapi begitu polisi yang dimaksud keluar, nafsuku langsung memuncak lagi. Wow, ini polisi idamanku! Ternyata dia cowok, namanya Cinde (nama Sunda kali ya). Badannya seksi sekali, sepertinya dia masih fresh. Wajahnya cakep, lebih cakep dari Parno. Dadanya berisi, perutnya masih ramping, kakinya kekar, tonjolan kontolnya menggunung di balik celana dinas coklatnya (sesaat aku membayangkan rasanya dientot kontolnya. Nggak ada salahnya kali ya kalau sama polisi seperti Cinde ini, hehehe). Selagi Cinde berbicara dengan Parno, kuamati pantatnya. Wuih seksinya... aku bak kucing kelaparan yang akhirnya melihat tikus, mataku jelalatan ke sana kemari. "Ayo Dik sama rekan saya di dalam, coba cerita dulu apa adanya, nanti kami proses. Nggak usah sungkan, orangnya baik kok." "Iya Pak makasih." Aku pun dituntun Cinde menuju sebuah ruangan khusus, sepertinya cukup privat. Hanya ada satu meja kerja di situ yang merapat di tembok, beberapa kursi, dan sofa. Ada kipas angin di pojok ruangan, ada jendela yang tertutup rapat, kurasa supaya nyamuk tidak masuk. "Dik pintunya saya kunci apa tidak masalah? Supaya tidak diganggu orang lain." "Oh iya Pak dikunci apa ga pa pa." "Ah panggil saja saya Cinde, saya masih muda kok." Wih akrab sekali orang ini! "Nah, jadi," selagi menyalakan komputer, kurasa untuk mencatat laporanku, "bisa cerita Dik kronologi kejadiannya. Boleh tahu namanya siapa?" "Zakaria Mas, panggil Zak aja." (rasanya ga tepat ya orang Sunda dipanggil Mas, tapi toh kota ini ada di Jawa...) "Nah Zak, gimana? Kamu diperkosa siapa?" Ia memposisikan diri berhadap-hadapan denganku, tentu saja ia duduk di depan komputer.

"Saya sendiri juga nggak tahu Mas, awalnya cuma diajak ngobrol di kedai A, terus dia ngajak ngobrol di rumahnya. Berhubung saya nggak ada kerjaan, ya ikut deh. Ditawari minum apa, saya minta air putih saja. Ternyata air putihnya dikasih semacam obat kayanya Mas, setelah minum itu nggak terjadi apa-apa sih, tapi kira-kira setengah jam begitu saya jadi ngantuk berat. Akhirnya saya izin nginap di rumahnya. Malam-malam, tahu-tahu saya diperkosa..."
"Kamu masih ingat orangnya gimana?" Aku mencoba mendeskripsikan sengawurku, toh laporan itu ya fiktif. "Lain kali jangan mudah percaya sama orang yang baru dikenal Zak. Bahaya, walaupun di kota sekecil ini. Barang-barangmu nggak ada yang hilang?" "Nggak ada Mas, semuanya utuh." "Ya syukurlah kalau begitu. Lain kali jaga diri ya, kalau ada apa-apa kontak saya aja." Ia ngasih nomor HP. Asyiknya! "Nah, saya tahu ini sulit Zak, tapi kamu bisa cerita nggak kejadian lebih lengkapnya seperti apa? Ini cuma untuk arsip aja kok, nggak akan disebarkan ke mana-mana. Supaya kita bisa tahu kalau lain kali ada kejadian serupa, modus operandinya ternyata sama, jadi kita bisa menyimpulkan kalau pelakunya sama." Aku sejenak pura-pura agak bimbang sambil memutar otak tentang kronologi perkosaan itu, aku mencoba mengingat-ingat kejadian-kejadian sebelumnya. "Gini Mas.
Obat tidurnya mungkin ga terlalu kuat juga ya Mas, soalnya saya ingat sedikit-sedikit. Awalnya rada ngantuk-ngantuk gitu, saya ingat dada saya diraba-raba, terus ada yang nyium saya. Mungkin saya ya lagi horny gitu jadi saya ikuti ciumannya, cuma ada tangan yang raba-raba paha saya."
"Sori nyela, tapi berarti ada lebih dari satu orang?" tanya Cinde.
"Kayanya iya Mas, saya ga bisa lihat jelas, kamarnya pas gelap. Tapi saya ingat persis si X itu ada, saya ingat suaranya."
"Oke lanjutin Zak." Sejenak aku melihat ia mengetik secepat mungkin di komputernya, kupikir canggih juga nih polisi, sepertinya dia melek teknologi.
"Nah dicium dan diraba-raba kaya gitu kan pasti bikin terangsang Mas, jadi ya kontolku berdiri. Ternyata aku sudah ditelanjangi saat itu, soalnya aku ingat persis pake jins yang rada ketat, cuma kontolku kok bisa tegang dengan bebas." Aku sengaja mengubah gaya bicaraku supaya terasa lebih akrab dan menggoda. "Cuma ya memang aku bingung, ini yang mainin cowok apa cewek."
"Sori Zak sebelumnya, tapi aku boleh tanya sesuatu yang agak pribadi?" Wah dia pasti ngecek aku gay atau nggak nih. "Iya Mas?" "Kamu gay bukan?" "Eee... aku sendiri agak bingung Mas, suka cewek tapi kok kadang-kadang ya suka sama cowok." Padahal jelas-jelas aku gay, dan aku nafsu sekali lihat si polisi Cinde ini! "Kenapa Mas?" "Oh ga pa pa kok," jawab Cinde agak salah tingkah. Aku perhatikan dirinya sementara ia kembali mengetik, tapi sesaat ia membetulkan posisi kontolnya. Aha! "Terus?"
"Yaa kontolku diraba-raba Mas, terus ada yang isep. Isepannya mantap Mas, cuma aku nggak tahu itu si X atau temannya, mereka nggak bersuara. Ada yang ngisep, terus putingku juga diisep, wih enaknya Mas. Mas pernah digituin?"
"Nggak pernah Zak, ga ada waktu sih..."
"Nah aku ga tahan Mas, akhirnya muncrat deh. Setelah itu baru deh aku diperkosa. Kakiku diangkat, terus pantatku dimasukin jari sama pelumas. Ga beberapa lama, orangnya langsung tancapin kontolnya ke pantatku. Blesss..."
"Sakit ga Zak?"
"Ya sakit lah Mas, wong ga siap. Tapi denger-denger pantat itu lebih keset dari memek lho." Kupancing pembicaraannya ke arah situ untuk mengecek apakah si polisi Cinde juga gay atau bukan.
"Iya dengar-dengar sih gitu."
"Pernah nyoba ngentot pantat Mas?"
"Ah mana ada yang mau Zak..."
"Kan ga harus cewek Mas."
"Ngentot cowok maksudmu?"
"Iya."
"Kalau dientot dulu sih pernah di akademi. Tapi itu sudah lama banget..."
"Enak ga pas itu Mas?"
"Ya... kalau dipikir-pikir, enak juga sih lama-lama..." Pancinganku kena juga akhirnya... Aku melirik ke selangkangannya, sepertinya mulai bangun tuh si adek. "Terus gimana Zak lanjutannya?"
"Ya jadilah aku dientot dobel Mas, pantatku dientot, mulutku juga dientot. Sesekali ganti posisi, aku sempat nungging kaya anjing gitu..."
"Hmmm ya ya ya..."

Cinde tidak berkomentar lebih lanjut, ia membetulkan posisi kontolnya sekali lagi sambil mengetik. Aku iseng mendekat dan bertanya, "Kenapa Mas? Jadi ngaceng ya?" Kuletakkan tanganku di atas pahanya untuk melihat reaksinya. Ia hanya melihatku tanpa bersuara. "Kalau Mas pingin, aku bisa bantu kok." Kugerakkan tanganku naik ke pahanya sambil melihat reaksinya. Cinde bernafas agak berat, lalu ia berkata, "Nggak usah Zak." Sepertinya ada sedikit perlawanan. "Ga pa pa kok Mas, aku makasih sekali Mas mau denger ceritaku, sekarang aku pingin bantu Mas." Kusenggol kontolnya, benar saja, ia ngaceng berat. "Kasihan kontolnya Mas, biar lega." Kuremas-remas kontol polisi itu dengan lembut. Cinde mengerang pelan, lalu ia mengangkangkan kakinya lebih lebar supaya aku lebih leluasa. Aku mengatur dudukku lebih dekat, lalu kubisikkan sesuatu di telinganya agar lebih sensual. "Kontolnya gede banget Mas," sambil kuremas-remas kontolnya. Cinde mengerang di telingaku, membuatku semakin terangsang. Tanpa kuduga, namun kuharapkan, Cinde pun membalas mengelus-elus kontolku. "Kontolmu juga gede Zak..." Aku mencoba mencium polisi itu, dan ternyata ia pun membalasnya. Ah mimpi apa aku semalam, dapat polisi seseksi ini, gay pula! Setelah puas berciuman dan menggoda kontolnya sampai celana dinasnya basah dengan precum, aku mencoba peruntunganku. "Mas mau ga dientot kaya di akademi dulu?"
"Wah sudah lama Zak aku ga dientot, takut sakit..."
"Tahan dikit Mas, nanti pasti enak kok. Mau ya?" Cinde sepertinya masih bimbang, jadi kurayu lagi dia. "Nanti Mas kalau mau boleh deh ngentot aku. Masih perawan kok pantatku." Sebetulnya aku juga takut dientot, tapi demi polisiku Cinde, boleh deh... Sementara ia ragu, kubuka resleting celana dinasnya, lalu kukeluarkan kontolnya. Gila, keras betul! Kontolnya berurat dan cukup panjang, walaupun tidak sepanjang punyaku tentu saja, paling hanya 18 cm, tapi tebal juga, kira-kira 4 cm tebalnya. Dia sudah disunat, dan kepala kontolnya saat itu cukup merah dan berkilauan dengan precum yang masih terus menetes. "Mau ya Mas?" kugoda ia lagi sambil mengelus-elus kepala kontol polisi idamanku itu. Cinde hanya bisa mengerang keenakan. "Mas dulu deh yang ngentot saya, gimana?" Kuurut batang kontol polisi itu dengan perlahan untuk membuatnya semakin keras. Supaya jiwa top nya muncul, kuputuskan untuk menghisap kontolnya. Tanpa ba bi bu lagi kuserbu kontol itu bak kucing melahap tikus buruannya, dan Cinde pun hanya bisa pasrah dengan sergapanku itu. Kucoba menghapus segala keraguannya dengan terus menyerbu kontolnya, sehingga keinginannya untuk ngentot bertambah besar. Dan akhirnya usahaku pun lumayan berhasil. Polisi Cinde mulai menggoyang-goyangkan pinggulnya mengikuti irama, mengentot mulutku. Ia mengerang dengan setiap entotannya, membuatku bernafsu sekali. Suaranya begitu jantan! Aku memang suka dengan polisi yang bermain dengan seragam lengkap seperti Cinde sekarang ini, sensasinya benar-benar luar biasa. Dan sekarang kurasa ia hampir keluar karena gerakannya mulai cepat. Kucabut kontolnya dari mulutku. "Sabar Mas, jangan keluar dulu," bisikku sambil meremas biji-biji kontolnya yang masih terlindung di celana dinasnya. Cinde hanya mengerang. "Keluarin di pantatku," bisikku menggoda.

Aku pun melepas celana jinsku dan melucuti celana dalamku. "Mas duduk di sini aja, biar aku yang masukin." Aku mengambil pelumas yang sudah kusiapkan dari tasku, lalu melumuri kontol polisi Cinde dengan pelumas sebanyak mungkin. "Ah dingin Zak..." "Iya Mas, ini biar kontolnya Mas bisa gampang masuk ke pantatku." Kokocok-kocok sebentar kontolnya untuk mempertahankan kekerasannya, lalu aku pun berdiri di hadapannya. Cinde tersenyum melihat kontolku yang mengacung di hadapannya. "Bentar Zak, aku pingin isep punyamu..." "Nanti aja Mas aku ga masalah, yang penting Mas keluar dulu," elakku. Keburu aku keluar juga nanti! "Mas masih kuat kan mainnya?" "Kuat kok." Maka perlahan-lahan aku menduduki kontolnya. Awalnya sulit juga masuk, mungkin karena aku sendiri belum pernah dientot, dan aku tidak pemanasan sama sekali. Akhirnya kulumasi pula jari-jariku dan kumasukkan ke lubang pantatku untuk beberapa saat. Cinde hanya melihatku agak terheran-heran. "Biar gampang masuknya Mas," ujarku. Setelah kurasa cukup, kukocok lagi kontol Cinde yang agak kendor kekerasannya, lalu kududuki lagi. Mulai bisa masuk sih, hanya saja sakitnya luar biasa. Yah mungkin karena aku belum pernah dimasukin sih. Cinde sendiri cuma bisa mengerang, "Aaahhh Zak sempit banget lubangmu, enak bener ternyata..." Untuk mengurangi rasa sakit, aku mencoba memandangi Cinde si polisiku sambil memeluknya. Setelah berjuang sekian lama, akhirnya pantatku beradu dengan pahanya, dan aku merasakan kontolnya menusuk prostatku. Cinde dengan nakalnya menggerak-gerakkan otot kontolnya di dalam, menggesek-gesek prostatku. Wih, kenikmatan apa ini, belum pernah kurasakan sebelumnya, jadi aku mengerang agak keras. "Aaaah, nakal betul kau Cin! Jadi polisi ga boleh nakal-nakal!" "Untuk yang satu ini boleh kan..." "Iya boleh Mas." "Sakit ga?" "Tadi waktu masuk sih sakit, cuma sekarang udah ga. Enak ga Mas?" "Enak bener Zak." "Kalau diginiin?" Aku mencoba mengejan seolah-olah hendak buang air besar, sehingga lubang pantatku mencengkeram kontol si polisi CInde dengan kuat. "Oooohhh enak Zaakkk... Pelan-pelan, patah ntar batangku..." Kami tertawa pelan, dan aku pun menciumnya. "Jadian yuk Mas, mau ga? Ntar Mas bisa ngentot aku kapan aja, aku rela kok." "Bukannya kamu top Zak?" "Ga pa pa Mas, aku suka kontolnya Mas di pantatku. Tapi Mas sendiri kuentot mau ga?" "Eee.. liat-liat nanti ya Zak, kontolmu kontol kuda gitu, gede bener..." "Ga usah takut Mas, kukasih servis paling enak deh. Hitung-hitung balas jasa Mas, Mas kan sudah susah payah jadi polisi melayani masyarakat, nah aku khusus melayani kontol Mas. Gimana?" "Hahaha, bisa aja kamu Zak." "Yuk lanjut Mas."

Karena polisi Cinde belum pernah ngentot sebelumnya, aku yang berinisiatif menggenjot kontolnya dalam pantatku. Aku bergerak naik turun dalam pangkuannya, sambil kupeluk polisiku itu, yang terus mengerang keenakan di telingaku. Kontolku sendiri bergesekan dengan perutnya yang masih berseragam, sejenak aku khawatir apa kata temannya nanti kalau melihat seragamnya basah dengan precum, tapi aku tak peduli sekarang. Aku dan Cinde sudah dibutakan nafsu. Sesekali kusodokkan kontolnya masuk ke pantatku untuk menyentuh prostatku, dan luar biasa kenikmatan yang kudapatkan. Setelah aku agak kelelahan, akhirnya naluri Cinde muncul sendiri untuk mengentot pantatku, jadi aku hanya berpegangan pada tubuh seksinya sambil menikmati entotan Cinde. Lumayan juga entotannya, tapi rupanya ia sudah tidak tahan. "Zak aku mau keluar...," desahnya. "Keluarin aja Mas, tembakin aku pakai pistol kejantananmu itu..." Ia mendesah pendek-pendek, keringat membasahi seragamnya yang membuatnya semakin terlihat seksi dan menggairahkan. "Aaaaahhhhh..." Ia menyodok sangat keras dan dalam ke dalam pantatku, lalu aku merasakan sesuatu muncrat di dinding ususku, menyodok prostatku pula. Gila, aku rasanya juga mau keluar! "Oh Mas aku juga mau keluar Mas," ujarku cepat, mencoba menahan dorongan itu. "Mas nanti bajunya kena spermaku gimana?" Si polisi Cinde masih menikmati orgasmenya, dan entah bagaimana caranya ia malah mengocok kontolku! "Oooooohhh Maaaaassss..." Sungguh aku tak tahan! Croooottt... Spermaku muncrat tinggi sekali dan mendarat di wajah Cinde. Muncratan berikutnya kurasa betulan mendarat di seragamnya, aku jadi merasa bersalah dibuatnya. Setelah kami berdua selesai orgasme, aku pun mencabut kontol si polisi Cinde dari pantatku. Kami berciuman lama sekali. Karena seragam Cinde belepotan, aku pun berinisiatif menjilati spermaku sampai bersih, jadi paling tidak hanya keringat saja yang tertinggal di situ, selain aku sendiri ingin mencium bau keringatnya.

"Makasih ya Zak, lega banget rasanya. Udah lama ga kukeluarin," kata Cinde ketika aku kembali duduk ke kursiku, masih belum mengenakan kembali celanaku. "Sebenarnya sudah lama aku mencari orang sepertimu, tapi aku takut ketahuan. Karirku bisa tamat kalau sampai ketahuan." "Iya Mas sayang kan susah-susah lulus dari akademi terus dipecat cuma gara-gara ngisep kontol." "Aku mau deh jadian sama kamu Zak, servis tiap hari ya." "Beres, siap komandan!" Kami berdua pun berdiri dan berpelukan sambil berciuman, dan kurasa Cinde terangsang lagi. "Berdiri lagi nih Mas?" godaku sambil meremas kontolnya yang sudah kembali bersarang di celana dinasnya. "Gede juga nafsu polisi, hahaha..." Cinde hanya tersipu malu. "Eh Zak kau belum ngentot aku pula." "Ga pa pa kah Mas lanjut di sini? Nanti yang lain curiga lagi, bikin laporannya kok lama bener." "Gini aja, jam dinasku bentar lagi selesai, kamu mau tunggu di rumahmu? Bisa kan di rumahmu?" Aku mengangguk. "Nanti kutelepon kalau sudah selesai." "Sip Mas. Ini kukeluarin dulu lagi aja biar temen-temen Mas ga curiga, hehehe..." Setelah kubersihkan dengan celana dalamku, kuhisap habis-habisan kontol si polisi Cinde sampai ia sendiri kewalahan berdiri tegap dan muncrat untuk kedua kalinya. Gila juga ni polisi, walaupun muncrat kedua kalinya, spermanya masih banyak saja! Setelah puas, kami merapikan diri, Cinde menyelesaikan laporannya, dan aku pun keluar dari polsek dengan perasaan sangat puas. Bahkan permainan kami masih akan berlanjut sebentar lagi, dan aku akhirnya akan bisa merasakan pantat polisi Cinde!


Kamis, 09 Agustus 2012

Bang Togar

Cerita ini hanyalah rekaan semata, kesamaan nama dan tempat hanyalah kebetulan belaka. PERINGATAN: Konten ini mengandung materi dewasa dan homoseksualitas. Jika Anda tidak dapat menerima materi ini, segera tinggalkan blog ini.

Anda mungkin masih ingat dengan kisah Bang Togar yang berjudul I'm (Not) A Slave For You. Saya beberapa kali berbincang dengannya melalui YM. Kisahnya masih berlanjut, ia tidak dapat lepas dari office boy tua itu dan warianya, bahkan sudah sering kali waria itu mengajak temannya sesama waria. Sudah tidak terhitung banyaknya ia harus melayani nafsu bejat mereka yang sesekali cukup sadis, namun apa daya ia tak mampu melarikan diri. Ancaman foto kontolnya yang hendak disebarkan selalu membayangi, sehingga ia harus selalu pasrah menjadi bulan-bulanan. Seorang Bang Togar yang mulanya normal akhirnya pun perlahan-lahan belajar untuk menikmati permainan sesama pria itu, bahkan menurut ceritanya ia sering kali dirangsang ketika masih berseragam lengkap hingga keluar di celana dinasnya. Setelah itu, barulah ia melayani nafsu si office boy dengan menyediakan pantatnya untuk dientot.

Pada mulanya, Bang Togar sempat mengunjungi seorang dukun karena bijinya sakit sekali setelah dipermainkan dengan kasar oleh si waria. Tak dinyana, dukun itu rupanya juga bernafsu pada Bang Togar. Dengan iming-iming kesembuhan, Bang Togar pun melayani nafsu si dukun. Namun, kali ini si dukun tidak sejahat si office boy dan rekan warianya, hanya saja kontolnya jauh lebih besar. Dientot kontol besar untuk pertama kalinya jelas menyakitkan, namun Bang Togar pun akhirnya mencoba terbiasa dengan itu.

Kisah kali ini bukan mengenai Bang Togar dengan si office boy dan rekan warianya maupun dengan si dukun cabul. Karena Bang Togar selalu harus melayani nafsu orang-orang tersebut, dirinya sendiri terkondisikan untuk patuh pada permainan yang kasar. Saya ingin mencoba berinisiatif untuk memberikan Bang Togar sesuatu yang berbeda yang belum pernah ia rasakan: sebuah permainan yang lebih lembut, penuh cinta bukannya nafsu semata, dan mungkin permainan yang tidak terduga. Mudah-mudahan suatu saat nanti kita bisa bertemu Bang.

Ini fantasi saya.

Setelah usai dari tugasnya (kebetulan hari itu dia jaga sif siang) dan kebetulan tidak melayani si office boy maupun si dukun, kami pun pulang ke kos Bang Togar setelah makan malam. Rasa lelah tentunya pasti melanda Bang Togar setelah berjaga seharian, maka saya suruh Bang Togar untuk duduk dan saya pijat punggungnya untuk sekedar meringankan beban yang selama ini menekan dirinya. Erangan pelannya menunjukkan bahwa ia menyukai pijatan saya. Setelah itu, saya mencoba untuk mencium Bang Togar, walaupun awalnya ia menolak (beberapa kali ia mengatakan pada saya ia tidak suka dicium). Sayang penolakannya cukup besar sehingga saya harus menghentikan ciuman itu, agar Bang Togar bisa merasa nyaman kembali untuk melanjutkan permainan. Saya rebahkan Bang Togar di atas kasur sementara saya duduk di sebelahnya. Saya raba-raba dulu wajah Bang Togar, meyakinkan dirinya bahwa ia tampan dan pasti banyak yang mau dengannya (termasuk saya sendiri). Perlahan-lahan turun ke jakunnya, mengatakan betapa jantan suaranya... Turun ke dadanya. Dadanya yang bidang membuat saya harus memainkan salah satu dadanya terlebih dahulu: dada kirinya. Saya usap-usap dari luar, mencoba mencari puting susunya dari luar seragam dinasnya. Sesekali saya akan menelusup ke dalam baju dinasnya, hanya membuka satu kancing saja, dan memainkan putingnya dari baju dalamnya. Saya mainkan terus hingga putingnya melenting. Puas memainkan putingnya, saya menggoda sedikit kontol Bang Togar, mengecek apakah kontolnya sudah berdiri atau belum, dan ternyata kontolnya sudah mengeras di dalam celana dinasnya. Saya elus-elus kontol Bang Togar, sambil meyakinkan Bang Togar bahwa kontolnya menggairahkan. Tidak masalah kalau ukurannya kecil Bang, yang penting bisa tegang dan memuncratkan sperma.

Saya ingin Bang Togar muncrat di celana seperti yang biasa ia alami. Kontolnya yang sudah tercetak jelas terus saya elus-elus, sambil ditekan-tekan di beberapa titik, terutama kepala kontolnya. Batangnya diurut-urut perlahan, kemudian turun ke bawah dan memijat-mijat perlahan bola-bolanya. Saya suruh Bang Togar membuka kakinya lebih lebar supaya lebih leluasa, lalu saya akan membenamkan wajah saya pada kontol Bang Togar dan menghirup aroma kejantanannya. Puas melakukan itu, sedikit iseng saya sentil-sentil bola-bola Bang Togar, lalu kembali saya kembali ke tubuhnya. Kali ini seluruh kancingnya harus dilepas, namun tidak perlu ditanggalkan, karena saya akan menyingkap baju dalam Bang Togar begitu saja. Sambil terus menyervis kontol Bang Togar, saya akan menjilati bagian pusarnya, sesekali turun ke perut bagian bawah sejauh lidah dapat menjangkau, kemudian naik ke dadanya. Saya jilat-jilat salah satu puting susunya, kemudian saya akan hisap seperti bayi. Tak lupa tangan kiri saya tetap memainkan kontol Bang Togar, mempertahankan kekerasan batang kontolnya sampai akhirnya Bang Togar tidak tahan lagi dan muncrat di celana. Selagi muncrat, saya akan tetap memainkan kontolnya sampai Bang Togar benar-benar tidak tahan lagi. Namun permainan belum usai Bang...

Selagi Bang Togar bernafas lega, saya akan melucuti celana Bang Togar. Hanya membuka kait sabuk dan kait celananya, tangan saya akan menelusup ke dalam untuk meraih kontol Bang Togar yang mulai melemas. Bang Togar akan merasa kegelian, namun saya akan meremas-remas kontol itu. Saya baru akan berhenti ketika Bang Togar memohon untuk berhenti. Setelahnya, saya akan membebaskan kontol Bang Togar dari dekapan celana dinasnya. Kontol yang agak lemas itu sedikit belepotan sperma, jadi saya akan bersihkan dengan menjilatinya. Tahan Bang, ini pasti terasa geli, namun lama-lama Bang Togar akan terangsang lagi. Terbukti sudah, setelah saya menjilati kontolnya sampai bersih, kontol Bang Togar sudah ngaceng lagi. Saya terus menjilati bagian-bagian lain kontolnya, menelusuri batang kontolnya hingga ke pangkal untuk menemui dua bola kontolnya yang indah. Saya jilat-jilat keduanya, sesekali menghisapnya sampai Bang Togar merasa ngilu (kalau terasa ngilu, saya akan elus-elus kepala kontolnya supaya tidak terlalu sakit). Pangkal paha Bang Togar pun tidak akan luput dari jilatan saya, dan tentu saja kontolnya tidak saya biarkan menganggur. Kocokan perlahan hingga cepat akan melayani batang kontol Bang Togar selagi saya menjilati pangkal pahanya. Hampir keluar Bang? Tahan dulu Bang!

Saya berikan Bang Togar kesempatan untuk beristirahat sebentar, lalu serangan berikutnya menanti. Kontol Bang Togar akan saya layani di dalam mulut. Diawali dengan jilatan-jilatan di lubang kencing kontol Bang Togar, lalu masuklah kontol Bang Togar ke mulut saya. Perlahan-lahan masuk sampai pangkalnya, lalu saya akan entot kontol Bang Togar dalam mulut saya. Sesekali saya akan berikan kejutan dengan sentilan di bola-bola Bang Togar, namun jangan khawatir Bang, rasanya nikmat. Sesekali saya hanya akan menghisap batang kontol Bang Togar seperti sedotan, menghisap cairan kejantanan Bang Togar yang asin itu, sambil dada Bang Togar kembali saya elus-elus. Mau dikeluarkan Bang? Boleh, saya akan hisap kepala kontol Bang Togar, menjilatinya dengan lidah selagi batang kontol Bang Togar saya kocok. Enak Bang? Keluarkanlah sari pati kejantananmu Bang. Lepaskanlah tekanan itu.

Bang Togar sepertinya kelelahan setelah dua kali muncrat, karena itu saya biarkan Bang Togar tidur terlebih dahulu. Kontol Bang Togar saya selimuti dengan tangan saya, sesekali diberikan remasan dan pijatan lembut. Setelah Bang Togar tertidur pulas, baru kontol Bang Togar saya kocok-kocok sampai berdiri lagi. Tenang saja Bang, kali ini saya tidak akan membuat Bang Togar terbangun, cukup kontolnya saja yang bangun. Saya tidak akan macam-macam, hanya mengocok kontol Bang Togar saja, jadi tidak perlu sampai muncrat Bang. Setelah kelelahan, saya sendiri akan tidur menemani Bang Togar, dengan kontol Bang Togar berada dalam mulut saya. Saya akan ngenyot kontol Bang Togar seperti bayi sampai tertidur. Sampai Bang Togar bangunkan saya dengan kontol yang sudah ngaceng berat, masih dalam mulut saya. Saya akan perah kontol Bang Togar. Kalau Bang Togar ingin coba ngentot, saya sediakan pantat saya untuk Bang Togar. Nikmatilah permainan sesama pria seperti seharusnya Bang. Permainan yang lembut namun jantan, tidak hanya dipenuhi nafsu semata. Bang Togar layak mendapatkannya.

Mudah-mudahan suatu saat nanti kita bisa bertemu Bang. Sampai saat itu tiba, bersabarlah dan bertambah kuatlah.

Kamis, 17 Mei 2012

Fantasi Onani

Kali ini bukan cerita yang akan saya tulis. Ini hanya sekedar fantasi yang sering saya gunakan ketika beronani. Tentu saja, fantasi saya kebanyakan mengacu pada polisi. Memainkan kontol polisi sudah menjadi salah satu hasrat terpendam saya sejak lama. Mudah-mudahan ada seorang polisi di luar sana yang mau saya layani.

Kalau akhirnya ada polisi yang mau diajak main, ini salah satu fantasi saya.

Polisi itu harus berseragam lengkap, namun tanpa senjata. Pada awalnya polisi itu berdiri di hadapan saya dengan posisi istirahat di tempat (lebih seru lagi dengan tangan terborgol). Saya akan merangkul polisi itu dan memberikan ciuman-ciuman ringan. Salah satu tangan memegang kepala si polisi untuk mengelus-elus rambutnya sambil berciuman. Satunya lagi akan menjelajahi tubuh polisi itu, dimulai dari leher. Turun perlahan-lahan ke bagian dada...

Berhenti di sana sejenak untuk mengagumi dada polisi itu. Ciuman digantikan dengan pandangan dengan si polisi. Kali ini dua tangan yang bebas akan menjelajahi kedua belah dada. Tanpa membuka seragamnya, saya akan mengelus-elus dada polisi itu, mencari-cari puting susunya, dan mencubit-cubitnya. Semakin polisi itu membuka mulut dan mendesah, semakin ganas cubitan saya.

Puas bermain dengan dada, saya akan memeluk polisi itu dari belakang. Ia tetap dalam posisi istirahat di tempat, sehingga tangannya akan menyentuh kontol saya. Saya akan biarkan polisi itu memainkan kontol saya, sementara saya sendiri menjilati lehernya dan sesekali berbisik untuk membangkitkan gairahnya. "Mas kok gagah sekali, perutnya bidang..." Sambil mengelus-elus perutnya. "Tentunya itunya perkasa ya Mas?" Begitu si polisi bertanya, "Itunya apa?" saya akan menjawab dengan semesra mungkin, "kon...tol...nya" sambil akhirnya dengan cepat meraih kontolnya dan meremasnya untuk mengejutkan polisi itu. Sambil meremas-remas kontolnya, saya tetap membisikkan kata-kata pembakar gairah, misalnya "Wow Mas kontolnya besar, pasti jantan nih Masnya, polisi pula. Polisi pasti jantan kan ya Mas? Jantan pasti bisa ngaceng kaya Masnya ini, besar, kuat, tegang, liat... Kontol polisi, hmmm... Pasti nikmat maininnya." Saya ingin membuat polisi itu merasa sangat jantan namun tak berdaya dalam waktu bersamaan, karena kontolnya ada di kendali saya.

Selanjutnya, saya akan berlutut di depan kontol polisi itu. Saya sapukan wajah saya di kontol si polisi, yang diharapkan sudah ngaceng berat. Saya sundul-sundul bola-bolanya menggunakan hidung, sambil menghirup aroma kejantanan si polisi. Masih tetap tanpa melepaskan celana dinasnya, saya akan memijat kontolnya menggunakan bibir. Seluruh bagian kontol tak akan ketinggalan untuk dimainkan, terutama bola-bolanya. Saya suka memainkan bola-bola kejantanan.

Rangsangan itu akan terus saya lakukan sampai akhirnya si polisi ngaceng berat hingga memohon-mohon untuk diservis, atau paling tidak ketika precum sudah meleleh membasahi celana dinasnya. Si polisi tak akan saya izinkan untuk membuka seragamnya supaya ia terlihat lebih jantan. Saya akan berdiri dan mencium si polisi kembali, sambil salah satu tangan melucuti resleting celananya dan merogoh ke dalam. Saya akan buat polisi itu penasaran sedikit dengan hanya mengelus-elus sambil meremas pelan bonggolan kontol itu, sambil terus berciuman. Sesekali saya buat polisi itu mengerang kuat dengan meremas kejantanannya cukup kuat; sedikit sakit namun setelahnya terasa enak dan mencandu. Begitu si polisi tidak tahan lagi, akhirnya saya akan membebaskan batang kontolnya dari siksaan celana dinas ketatnya. Sambil masih berciuman, saya akan mengelus-elus batang kontol polisi itu dengan perlahan, mengoleskan precum yang terus meleleh di kepala kontolnya, tak peduli seberapa geli polisi itu, kalau perlu sampai berjingkat. Setelah puas berciuman, saya kembali jongkok untuk mengeluarkan bola-bolanya, lalu akan mengocok batang kontolnya sambil meremas-remas bola-bolanya.

Mudah-mudahan sampai di sini si polisi belum orgasme dan ejakulasi. Kalaupun ternyata si polisi tidak tahan, tentunya akan ada ronde kedua dan seterusnya. Polisi itu akan saya layani terus sampai tak ada lagi sperma tersisa di kantong zakarnya.

Tulisan ini saya sudahi dulu di sini karena saya terangsang berat memikirkannya. Kelanjutannya akan saya tuliskan berikutnya.

Pertemuan Tak Diinginkan

PERINGATAN: Konten ini mengandung materi dewasa dan homoseksualitas. Jika Anda tidak dapat menerima materi ini, segera tinggalkan blog ini.

Cerita ini datang dari salah satu rekan yang menyarankan I'm (Not) A Slave For You. Sekali lagi, saya tidak tahu persis kebenaran dan detailnya, jadi jika kebetulan Anda adalah orang yang saya maksud di cerita ini dan keberatan cerita Anda dipublikasikan, silakan hubungi saya untuk menariknya. Beberapa fiksi ditambahkan hanya untuk dramatisasi.


Senin, 09 April 2012

Area abu-abu

Aku tak membenci mereka. Tak pernah sedetik pun terpikir di benakku.

Aku hanya sulit melupakan bagaimana mereka akhirnya mengubahku menjadi salah satu dari mereka.

Kehidupannku sebelum itu baik-baik saja. Aku pebasket terbaik di SMA dan tetap seperti itu ketika aku memasuki Akpol sesuai cita-citaku sejak kecil. Ya, aku selalu ingin jadi polisi sejak kecil. Hampir semua kerabat laki-laki di keluargaku bergabung di korps baju cokelat itu, dan aku ingin membuktikan bahwa aku bisa menyusul mereka tanpa harus memanfaatkan kekuasaan. Dan aku memang berhasil.

Bahkan aku berhasil menjadi salah satu anggota dari pasukan yang kuanggap paling elit. Densus 88.

Perkenalkan, aku Daniel, umurku 29 tahun. Karena sering bermain basket sejak kecil, tinggiku memang di atas rata-rata, 185 cm. Beratku 75 kg, ada beberapa orang yang menganggapku terlalu berat, namun itu karena massa ototku. Mungkin ini bakat lahir, namun aku cukup mudah membentuk ototku. Walaupun begitu, di detasemen aku mendapatkan posisi sebagai penembak jitu. Aneh ya? Mereka menilai tatapan mataku yang tajam sangat cocok untuk menembak sasaran dari jarak jauh, dan mereka tidak keliru menilaiku. Karirku boleh dibilang cukup cemerlang, bahkan kabar burung yang beredar mengatakan aku hendak dipromosikan. Pekerjaanku yang penuh risiko rupanya tak mengurangi aura kejantananku di antara wanita, walaupun hanya satu yang berhasil menarik hatiku. Istriku. Dan kuserahkan keperjakaanku padanya. Keluargaku cukup bahagia, dengan satu anak yang kini sudah berumur tiga tahun. Mereka hidup di sebuah kota kecil tak jauh dari ibukota, sehingga aku bisa mengunjungi mereka di waktu luangku.

Kau pasti tahu apa yang terjadi di tiap malam kepulanganku. Sesuatu yang mungkin berubah sejak sebulan yang lalu.

Tiga bulan lalu, kesatuanku kedatangan satu anggota baru. Namanya Aziz, umurnya 25 tahun. Tingginya hanya sedadaku, namun ia terbukti jago lari. Awalnya ia agak sedikit kesulitan di kesatuanku, sehingga akhirnya ia diberi kesempatan untuk menjadi penembak jitu. Jika gagal, ia harus melupakan cita-citanya untuk menjadi anggota elit Densus 88. Aku diserahi tanggung jawab untuk melatihnya sampai berprestasi. Orang-orang bakal mengira latihan untuk menjadi seorang penembak jitu itu mudah, namun kenyataannya jauh dari itu. Kau harus punya koneksi khusus dengan senjatamu, menganggapnya sebagai perpanjangan tanganmu, menyatu dengan tubuhmu, dan mengarahkannya ke target. Kau harus mengatur nafasmu, mengatur denyut jantungmu, karena satu saja tarikan nafas yang salah atau menarik pelatuk saat jantung berdenyut, sasaranmu akan lepas dari maut dan justru maut yang menghampirimu.

Itu yang berulang kali kutanamkan di benak Aziz ketika ia berulang kali meleset. Salah satu latihan malam hari memang butuh usaha tambahan karena kami harus berlatih dengan cahaya minim. Berulang kali aku harus menenangkan dirinya karena kudengar nafasnya memburu sekali. "Tenangkan dirimu! Bahkan kucing pun bisa mendengar eranganmu! Jangan biarkan musuh mendengarkan kehadiranmu, atau kau akan menyesal tidak menghadiri pernikahan bising tetangga sebelah di malam minggu!" Ia hanya mengangguk gugup. Kubetulkan kembali posisi tubuhnya, tanpa sengaja kusentuh bagian pribadinya. Bagiku sudah biasa sekali memegang bagian itu, bahkan rekan-rekan di kesatuanku juga sesekali melakukannya, namun hanya bercanda saja. Terasa di tanganku alat kejantanannya cukup besar, bahkan cukup keras saat itu. "Kau kebelet kencing kah?" tanyaku sambil meraba-raba kemaluannya. "Tegang begini, mana bisa kau menembak dengan tepat!" Aziz terdiam, sepertinya malu dengan tuduhanku. "Lemasin dulu, sana kosongin kandung kemihmu! Kembali ke sini dalam lima menit atau kuledakkan adikmu dengan senapan ini!" "Siap Ndan!" serunya, lalu ia segera berlari menuju pohon terdekat--berhubung tak ada toilet di sekitar tempat latihan--dan mengosongkan kandung kemihnya. Aku tak pernah menyuruh mereka memanggilku komandan, bahkan aku tak berada dalam posisi itu, namun memang sering aku dijadikan komandan grup. Aziz tergesa kembali ke tempat latihan dan menempati posisinya kembali tanpa kusuruh. "Sudah lemas belum itu?" ujarku sambil mengecek tanpa menunggu jawaban. "Sudah Ndan!" "Lanjutkan!"

Aku melirik jam tanganku. Pukul sebelas malam. Kabut sudah mulai turun, sebenarnya bagus untuk latihan malam, namun menurut sejarah yang kupelajari, pasukan densus jarang sekali beroperasi di tengah kabut, jadi kuputuskan untuk memberi sedikit saja latihan tembak di tengah kabut. Tembakan Aziz yang tadinya membaik mulai sering meleset. "Konsentrasi!" bentakku. Aziz menjawabku dengan suara bergetar. Sudah kukatakan padanya bahwa penembak jitu sejati harus mampu berkonsentrasi pada situasi apapun, namun rupanya ia masih belum bisa mengalahkan hawa dingin yang menusuk. Aku tak bisa menyalahkannya sepenuhnya, dulu aku juga mengalaminya di awal latihanku. "Kau kebelet lagi ya?" tanyaku sambil mengecek organ kelelakiannya. Benar saja, penisnya mulai tegang. "Lemaskan!" bentakku sambil meremas kemaluannya. "Kau tak ingin ditemukan tewas sambil ngaceng seperti ini!" "Baik Ndan!" Ia membalikkan badannya lalu mulai membuka celananya. "Lho lho mau apa kau?" "Melemaskan yang tegang, Ndan!" "Kau horny ya?" Ia tidak menjawab, sepertinya malu. "Kau horny ya?" Kudekatkan wajahku pada wajahnya sambil mengulangi pertanyaan itu. Kutatap muka Aziz dengan mata tajam. Ia tak berani menatap wajahku, sepertinya ia malu berat. Uap keluar dari mulutnya yang setengah terbuka seiring nafasnya yang mulai cepat. Tanpa kusadari tanganku yang berada di atas pahanya dibimbingnya ke atas kontolnya. "Aku beri tahu, kau takkan bisa menembak dengan tepat dalam keadaan horny seperti itu." Suaraku melunak namun tetap tegas; beberapa penembak jitu yang baru belajar kadang-kadang mengalaminya memang. "Kita sudahi dulu latihan ini." Aku bangkit berdiri dan membantunya berdiri. "Kau tuntaskan dulu hasratmu, baru kita kembali latihan. Tapi ingat, jangan lama-lama atau kau takkan pernah mendengar namamu disebut lagi di Densus 88."

Tak kusangka perbuatanku malam itu memantik satu hal di diri Aziz yang tak kuketahui sebelumnya.

Di bawah bimbinganku, Aziz mulai membaik. Tembakannya mulai sering tepat sasaran. Aku mulai sedikit melunak padanya. Namun, entah mengapa, tiap kali kami hanya berdua saat latihan malam, akurasinya tidak stabil. Di awal-awal ia tetap dapat melakukan tembakannya dengan baik, namun biasanya tiga puluh menit setelahnya akurasinya mulai menurun. Setelah beberapa kali kusadari ia selalu "tegang" setelah waktu itu, dan awalnya kukira ia selalu kebelet kencing setelah tiga puluh menit. "Jangan minum terlalu banyak sebelum latihan," nasihatku saat di latihan malam kesebelas kupergoki penisnya tegang kembali. "Kalau ini medan sebenarnya, operasi kita bisa bertahan berjam-jam. Kau mungkin tak punya waktu ke toilet, satu gerakan salah dan kau bisa mati! Sudah, kencing sana!" Ia menjawabku lalu segera pergi untuk kencing. Saat ia kembali, sekilas aku melihat selangkangannya. Masih ada bentuk jelas di situ. "Sudah kencing Ziz?" "Sudah Ndan." "Lha kok masih tegang begitu?" Ia melihat ke bawah dan tertawa kecil. "Iya Ndan, lama nggak keluar." "Oh," jawabku pendek. Aziz duduk di sebelahku, tahu bahwa aku takkan memulai latihan kalau ia belum siap. "Keluarkan dulu sana, kita baru setengah jam." "Di sini saja ya Ndan." "Kau gila apa?" "Kan nggak ada yang lihat Ndan." Memang ia benar, tidak ada yang sedang latihan menembak malam selain diriku; mereka malah menganggap hal itu tidak penting. "Ya sudah, tapi bersihkan nanti. Kau nggak mau dapat masalah kan?" "Siap Ndan!" Ia mulai membuka celananya dan mengeluarkan penisnya, lalu duduk di sebelahku dan mulai mengocoknya. Aku hanya berbaring di sebelahnya sambil menatap langit malam yang cerah. Aziz sepertinya tak malu-malu untuk mengerang, aku sih tidak terlalu risih. Ada beberapa rekanku yang juga melakukannya, walaupun kebanyakan diam-diam. "Kapan memangnya terakhir keluar?" "Lima hari yang lalu Ndan!" "Wah baru lima hari itu..." "Iya Ndan, hormon saya agak berlimpah Ndan. Kata dokter yang meriksa saya kapan hari, memang wajar untuk orang dengan zakar seukuran saya Ndan." "Memang zakarmu besar?" "Iya Ndan, lihat saja." Ia menurunkan celananya hingga sebatas lutut. Aku agak terkejut melihatnya. Kedua buah zakarnya nyaris sebesar bola pingpong, zakar kanannya sedikit lebih besar. "Wih itu daging semua?" ujarku penasaran sambil menyentuh zakarnya dan meraba-rabanya. Aziz hanya mengerang ketika kupijit-pijit zakarnya; memang betul itu semua zakarnya, apalagi di udara dingin seperti ini jelas skrotumnya melekat erat pada testisnya. "Ya pantas saja kau sering horny, lha besar begitu..." Aku kembali terdiam, hanya suara erangan Aziz yang masih terdengar di samping suara jangkrik. "Komandan sendiri kapan terakhir keluar?" "Sudah lama, dua minggu mungkin." "Wah waktunya keluar tuh Ndan, untuk apa disimpan juga..." Aku mendadak memikirkan istriku, tapi ia sedang datang bulan, jadi aku harus menahan hasratku. "Nggak dikeluarkan juga kah Ndan?" Aziz mendadak meraba-raba dadaku. "Eh Ziz ngapain kau? Sudah keluar?" "Belum Ndan, saya cuma mau bantu Komandan saja." Ia sempat menemukan putingku dari luar seragam latihan dan memainkannya sejenak, membuatku sedikit tersulut. Aku terdiam dibuatnya, sentuhan itu sudah lama sekali tak kurasakan. Kesibukanku setiap harinya juga menghalangiku untuk meluangkan waktu untuk memuaskan hasrat kejantananku. "Ziz..." Tangannya bergerak turun ke perutku, merayap di pahaku dan langsung di area pribadiku. Ia meremas-remasnya dengan lembut, membuatku terpicu. "Aaahhh Ziz, jangan..." "Tenang saja Ndan, saya tahu Komandan sudah beristri, tapi istri Komandan kan tidak di sini sekarang, sementara adik kecil Komandan butuh hiburan. Saya bisa membantu Komandan..." "Nggak usah Ziz... Aaahhh..." Ia menekan-nekan bola-bolaku; badanku seakan tersetrum listrik ringan yang membuatku melayang. "Nikmati saja Ndan, ini yang adik kecilnya mau, sudah bangun kok. Anggap saja saya ini istri Komandan..." Memang, batang penisku entah mengapa menegang seiring rabaan Aziz yang tak bisa kutolak itu. Tangannya kembali naik ke perutku, namun dengan segera kembali turun, kali ini merayap masuk ke dalam celana latihanku. Aku tak sanggup melawan ketika tangannya menyentuh simbol kejantananku yang paling utama, yang paling kubanggakan: kontolku. "Aaaahhh Azizzzz..." Aku bisa merasakan precum mulai meleleh dari lubang kencingku, yang Aziz kini manfaatkan untuk melumasi kepala kontolku, satu gerakan yang membuatku menggeliat untuk mengkompensasi getaran kenikmatan yang membanjiri tubuhku. "Punya Komandan besar sekali," bisiknya di telingaku; entah mengapa suaranya membuatku semakin terlecut. "Mhhhh..."

Aziz mengambil posisi duduk di sebelahku yang terbaring di atas tanah yang dingin sehingga ia berhadap-hadapan denganku. Tangan kirinya mulai beraksi mengocok kontolku dengan lembut, bahkan masih di dalam celana latihanku. Gesekan tangannya yang kasar dengan kontolku, ditambah gesekan celanaku dengan kedua bola testisku memberikan sensasi yang benar-benar baru. Sungguh jauh lebih nikmat dari semua rangsangan yang pernah diberikan istriku. Aku mengerang tak terkendali ketika Aziz mulai mempercepat kocokannya, dan ia pun mengocok kontolnya sendiri dengan tangan kanannya. "Azizzzz... Ooohhh enak sekali Zizzzz..." "Suka Ndan?" Aku tak menjawab, hanya mengerang keenakan. Aziz mendadak menghentikan kocokannya di kontolku dan hanya mengelus-elus kepala kontolku, membuatku bergetar. Istriku memang pernah memainkan kontolku di dalam celana, tapi tak seenak yang dilakukan Aziz sekarang. "Tegang banget Ndan, istrinya pasti betah banget," bisik Aziz. "Kamu mau merasakannya?" "Dengan senang hari Ndan."

Tanpa disuruh, ia memosisikan diriku setengah bersandar pada tembok. "Sabar Ndan, saya pingin menghisap kontol Komandan." Darahku seakan mendidih; istriku tak pernah melakukannya. Pembicaraan kotor dengan rekan-rekanku pernah menyinggung hal itu, dan menurut mereka itu enak sekali. Aziz membuka celanaku sampai sebatas lutut. Aku sedikit menggigil ketika udara dingin menerpa bagian pribadiku, yang sudah tidak lagi milikku pribadi (selain milik istriku tentu saja). Aziz menyadarinya, maka ia menghembuskan nafasnya pada kontolku. Kehangatan yang ia berikan membuatku semakin terangsang. "Ziz..." Ia memasukkan tangan kanannya ke dalam bajuku, memberikan kehangatan lain. Ia meraba-raba otot-otot perutku, kemudian naik ke dadaku dan memainkan putingku. "Ziz, hisap Ziz...," desahku tak sabaran. Aziz tidak menjawab, hanya mengelus-elus kontolku dengan perlahan. "Ziz..." Ia memainkan ibu jarinya di kepala kontolku yang sudah basah mengilat oleh precumku, membuatku bergetar sekali lagi. Beberapa saat ia melakukan hal itu sebelum tiba-tiba ia menjilat zakarku. "Oooohhh..." Belum pernah aku merasa kontolku sekeras ini. "Ziiizzzzhhh..." Desakan untuk muncrat pun mulai mendera, jadi aku menghentikannya. "Berhenti Ziz, sumpah aku mau muncrat sekarang..." "Gapapa Ndan, keluarin saja di mulutku." Belum sempat aku menolaknya lebih lanjut, ia langsung melahap kontolku dan mengenyotnya. "Oooohhhh Ziiiizzzzhh jangaaannnhhh... mmmmhhh..." Badanku bergetar menahan tekanan di bawah sana selagi berusaha menikmati servis Aziz, namun rupanya otakku berkata lain. "Aaakkhhh Ziiizzz aku mau keluaaarrr..." Tak dapat kutahan lagi desakan itu, kulesakkan kontolku sedalam-dalamnya ke dalam tenggorokan Aziz dan kutembakkan spermaku. Aziz sedikit tersedak ketika semburan demi semburan cairan kejantanku mengaliri tenggorokannya, namun ia telan dengan cepat. "Mmmmhhh..." Badanku langsung lemas setelah semprotan terakhirku, aku pun tergeletak begitu saja di tanah. Namun...

Aziz tetap memompa kontolku dengan mulutnya. "Ziiizzz...," desahku kegelian. "Geli Ziz..." Ia mengabaikanku; seperti anak domba yang kehausan susu ibunya, ia terus mengenyot kontolku demi mendapatkan lagi sari pati kejantananku. "Ziiizzz sudah Ziizzz... Aaakkhh..." Kontolku mulai terasa agak nyeri, namun rasa itu anehnya menjaga kontolku tetap tegang. Ia mulai menggerakkan mulutnya naik turun di sepanjang batang kontolku. Rasa nyeri pun mulai berkurang; walaupun masih terasa geli, hisapan Aziz membuatku terbakar kembali. Aku meracau tak karuan ketika tangannya kembali berulah menjelajahi tubuhku, entah dadaku atau bola zakarku tak luput dari serangan rabaan tangannya. Mungkin ada lima menit ia menghisap kontolku dengan canggihnya, dan selama itu aku hanya bisa mengerang pasrah. Ia bahkan tak lagi memainkan kontolnya, dan ajaibnya kontolnya tetap tegang walaupun tak setegang milikku. "Ziz mau keluar lagi...," bisikku. Entah apa yang ada di pikirannya karena ia merespon dengan menghentikan hisapannya. Aku memandangnya keheranan, namun dengan segera Aziz menyerangku kembali dengan mengocok kontolku. "Aku ingin lihat raut puas Komandan waktu ngecret," bisiknya, lalu ia mengocok kontolku cepat-cepat. "Aaahhh Ziiizzz pelan-pelannhh... Kau... Mmmhhh.. Ooohhh... Nikmat Ziizzz... Teruskan Ziizzz... Kocok terus Ziiizzz... Aaahhh... Aku... Aku... Ooohhh Ziiizzz ya enak di situuhhh... Mmmhh... Keluaarr Ziizzz... Aku mau... Ooohhh... Ziiizzz... Aaahhh..." Aku mengerang panjang sambil mencengkeram tangannya yang bebas, dan aku pun tak bisa menahannya lagi.

Aku ejakulasi untuk kedua kalinya. Spermaku muncrat cukup kuat hingga mengenai wajah Aziz, meleleh di tangannya yang masih terus mengocok kontolku selagi aku muncrat. Baru ketika pancaran spermaku melemah ia memperlambat kocokannya hingga hanya menekan-nekan bola-bola zakarku, seakan ingin memerah seluruh cairan kejantananku. Aku terengah-engah, badanku penuh keringat membahasi bajuku. Aziz hanya tersenyum melihatku, lalu ia mulai melayani dirinya sendiri. Aku seakan kehabisan tenaga, hanya bisa terbaring di tanah sambil melihatnya mengocok kontolnya sendiri. Setelah aku bisa mengatur nafas kembali, kuamati Aziz. Ia menikmati kocokannya sendiri. Aku merasa berhutang padanya, namun dalam hati aku bimbang. Apa yang harus kulakukan untuk memuaskannya? Separuh hatiku melarangnya; kau pria normal dan sudah beristri! Ngapain kau main kontol pria lain?

Di sisi lain, aku ingin menikmatinya seperti Aziz menikmati milikku...

Minggu, 11 Maret 2012

I'm (Not) A Slave For U

PERINGATAN: Konten ini mengandung materi dewasa dan homoseksualitas. Jika Anda tidak dapat menerima materi ini, segera tinggalkan blog ini.

Kali ini ada permintaan untuk menulis (konon) sebuah kisah nyata. Nama dan lokasi yang disebutkan di sini sebagian adalah asli. Yang tertarik untuk mencari informasi lebih lanjut ataupun berteman bisa tambahkan YM-nya di togar [underscore] lubis86. Dramatisasi ditambahkan untuk efek kesenangan saja. Karena informasinya agak pendek, cerita ini mungkin juga agak pendek dibanding biasanya, mudah-mudahan sesuai dengan harapan.

Aku tak pernah meminta untuk menjadi gay. Lingkungan lah yang membuatku menjadi seperti ini.

Sama seperti impian orang kebanyakan, Jakarta adalah kota yang begitu menggiurkan. Begitu penuh dengan kemegahan, kesempatan, dan kesenangan. Namun, di balik itu, tersimpan sebuah rahasia kelam, dunia abu-abu yang sering menjadi kontroversi di mana-mana. Dan aku tak dinyana memasuki daerah itu.

Namaku Togar. Aku datang merantau meninggalkan Batak tanah kelahiranku dan keluargaku untuk sekedar ikut mencicipi gemerlapnya kota Jakarta. Aku berhasil menjadi seorang security di salah satu toserba Sarinah. Mungkin perawakanku yang tinggi besar, sekitar 180 cm, dan wajahku yang tampak garang membuatku cocok jadi security. Aku memang pernah mengikuti pelatihan security selama beberapa bulan sebelum tiba di Jakarta. Aku menyukai pekerjaanku di sana, dan rekan-rekanku juga ramah terhadapku. Beberapa kali aku sempat menangkap pencuri maupun penguntit di sana, sehingga kepala security yang awalnya galak lambat laun juga ikut menyukaiku, bahkan aku sering diberi bonus. Beberapa pengunjung cewek kadang-kadang melirikku hingga menggodaku, namun kutanggapi dengan santai. Aku harus profesional dalam kerjaku, membedakan kapan waktunya serius dan bercanda.

Namun, di toserba itulah aku memasuki kelamnya dunia gay Jakarta.

Hari itu ada sale besar-besaran menyambut tahun baru, sehingga toko buka hingga pukul dua belas malam. Aku ditunjuk untuk menjaga keamanan pengunjung pada shift malam dan aku menyanggupinya, toh aku memang sedang tidak punya keinginan untuk pulang dan tidak ada kerjaan pula di kos. Benar saja, semakin malam toko itu semakin bertambah ramai, hingga akhirnya kasir terakhir beroperasi pukul setengah satu malam. Waktunya menutup toko dan petugas bersih-bersih. Sekitar pukul satu malam semuanya sudah bersih, namun aku keliling sekali lagi untuk memastikan tidak ada orang mencurigakan yang masih tertinggal di dalam toko. Untunglah sudah tidak ada siapa-siapa. Agak kelelahan, aku pun menuju ruang khusus karyawan di bagian belakang toko. Tinggal ada satu-dua cleaning service yang kutemui, itupun mereka sedang beres-beres hendak pulang. Aku memang sudah terbiasa ditinggal paling terakhir di toko. Aku pun menuju toilet pria, hasrat ingin kencing ini sudah dari tadi kurasakan sejak satu jam yang lalu, namun karena aku tidak ingin kecolongan, aku pun menahannya.

Di toilet, ternyata masih ada satu orang office boy yang belum pulang. Namanya Bejo, dia lebih tua dari aku, mungkin sekitar 45 tahunan. Badannya juga tidak menarik, tubuhnya pendek hanya sekitar 155 cm, dan kurasa aku jauh lebih tampan dibanding dirinya. "Habis kontrol Mas?" sapanya yang saat itu sedang kencing. "Iya, sudah beres," jawabku sambil membuka resleting celanaku dan mulai kencing. Badanku bergidik ketika kehilangan panas dari air kencingku, sepertinya aku sedikit mendesah. "Lega ya Mas," ujarnya basa-basi. "Iya nih, udah kutahan dari tadi..." "Kecil tapi ya punya Mas." "Iya nih..." Aku menoleh ke arahnya dan melihat kontolnya, aku agak terkejut. Besar sekali, jauh lebih besar dari punyaku yang hanya 11 cm ketika menegang. Kutaksir punyanya sepanjang 20 cm dan tebal 5 cm ketika tegang. "Wah gede sekali punya Mas, cewek-cewek pasti klepek-klepek tuh!" Ia terkekeh dan sejenak mengelus kontol kebanggaannya itu, namun aku memalingkan pandangan dan fokus ke kencingku. Tak berapa lama akhirnya kantong kemihku pun kosong. Aku pun merapikan celanaku, mencuci tangan, dan keluar dari toilet. "Ayo Mas, mau pulang nggak nih?" Aku pun menuju pintu ruangan karyawan, dan membukanya.

Pintu itu tak bergeming.

Aku sekali lagi mencoba membuka pintu itu. Tak berhasil. Sepertinya terkunci dari luar. Aku meraih gantungan kunci di sisi pinggangku dan mencoba mencari kunci ruangan itu. "Sial!" umpatku. Entah mengapa kunci itu tak ada di gantungan kunciku. "Kenapa Mas?" tanya Bejo dari ujung ruangan, ia baru keluar dari toilet. "Sepertinya dikunci Parman dari luar," sahutku. "Sebentar aku kontak dia, pas aku tak bawa kuncinya pula..." Aku mencoba menghubungi Parman melalui walkie-talkie, namun tak ada respon. Sepertinya security yang lain sudah pulang. Kucoba telepon dia, namun nomornya tidak aktif. "Waduh sial betul kita!" "Sudah nggak apa-apa Mas, nanti siapa tahu ada yang bukakan," kata Bejo sambil membuka lokernya. Aku pun mengambil duduk di sebuah kursi kayu panjang di dekat barisan loker Bejo. "Ya paling parah kita menginap di sini sampai jam enam nanti." "Tapi Mas nggak jaga sif pagi kan?" "Nggak lah, bisa mati aku jaga lagi! Keparat pula si Parman, dikontak tak bisa!" "Eh sudah Mas tenang saja, nih minum dulu." Ia menawarkan segelas air mineral yang sudah terbuka. Aku pun menerimanya dan meminumnya untuk menenangkan diri. Tidak biasanya aku semarah itu. Kuteguk air itu sampai habis, lalu kulempar gelasnya ke ujung ruangan dan berbaring. "Kalau ketemu dia besok pagi kupukul dia." "Walah Mas mungkin dia nggak sengaja aja..." "Begonya aku kok tak punya kunci ruangan ini." Aku pun berbaring di kursi kayu itu untuk beristirahat dan menenangkan diri lebih lanjut, tanpa ambil pusing untuk lepas sepatu maupun perlengkapan security-ku yang lain. "Kupijat ya Mas." Aku hanya mengangguk dan sejenak menutup mata. Ia memijat kakiku terlebih dahulu. Rasa lega pun mengusir rasa letih pada kakiku setelah berdiri selama hampir delapan jam. "Enak Jo pijitanmu." Ia hanya tertawa pelan dan melanjutkan pijatannya.

Hingga akhirnya ia sampai di pahaku.

Awalnya biasa saja, namun begitu mencapai paha atas, Bejo langsung meremas kontolku. Instingku pun berjalan. "Eh ngapain kau Jo?" Yang aku tidak duga, suaraku pelan sekali. Mungkin efek kelelahan, pikirku. Ternyata Bejo kembali meremas kontolku. "Jo, hentikan!" Aku mengangkat tanganku untuk menepis tangannya, namun tanganku terasa berat sekali sehingga seakan aku hanya menepuk tangannya. Bejo pun tersenyum dan berkata, "Sudah, nikmati saja. Kamu pasti suka kok." "Jo apa-apaan kau, aku ini pria normal tahu..." Suaraku semakin melemah, aku mencoba berontak namun badanku lemah sekali, bahkan sekarang pandanganku mulai kabur. Jantungku mulai berdebar. "Bejo..." Ia terus meremasi kontolku, dan anehnya walaupun badanku lumpuh, kontolku tidak. Perlahan-lahan kontolku mulai bangun. Sudah lama pula aku tidak mengeluarkan spermaku, biasanya seminggu sekali aku ngocok atau meminta bantuan teman cewek yang mau, walaupun tak sampai berhubungan badan. Kali ini mungkin sudah dua minggu sejak terakhir aku keluar. Dengan cepatnya kontolku menegang. Aku hanya bisa mengerang pelan, berontak pun sudah tak bisa. "Bejo..." Aku merasakan belaian tangannya di keningku, lalu aku melihatnya mendekat dan ia pun menciumku. Aku berusaha melawan, namun tenaganya sekarang tentu jauh lebih kuat. Ciumannya bernafsu sekali, bahkan ia tetap meremas-remas kontolku yang mulai terasa sakit karena terjebak di celana dinasku yang lumayan ketat itu. Ia akhirnya berhenti menciumku. Aku megap-megap berusaha bernafas senormal mungkin. "Keparat... kau... Bejo..." Aku merasakan tangannya mengelus-elus dadaku, dan perlahan-lahan kancing bajuku pun dilepaskannya. Ia tak menanggalkan bajuku. Dalamanku yang cukup basah oleh keringat ia sibakkan ke atas, memperlihatkan perut berototku yang langsung ia elus-elus dan remas-remas. "Perutnya bagus Mas," pujinya. Ia sibakkan baju dalamku hingga ke atas dada, lalu ia langsung mempeluntir kedua puting susuku. Aku pun mengerang kesakitan pada awalnya, namun ada sedikit rasa enak di samping rasa panas akibat dipeluntir. Puas dengan dadaku, ia berusaha membuka celanaku. Aku berusaha menendangnya, namun kakiku tak mau diajak bekerja sama. Ia pun berhasil melucuti celanaku, ditariknya hingga ke bawah lutut. "Kontolmu tak besar tapi boleh lah." Sejenak ia mengelus-elus bola-bolaku yang juga tak terlalu besar, sesekali diremasnya. Aku hanya bisa mengerang pasrah. Menit demi menit berlalu menyiksaku dengan badan yang tak lagi bisa kukendalikan dengan baik, dan aku sedang diperkosa seorang pria...

Hingga ia akhirnya berlalu. Hanya untuk menambah penderitaanku.

Ia mengeluarkan handphone dari saku celananya. Belum sempat aku mengelak, ia mengambil beberapa gambar. Gambarku telanjang separuh badan di daerah kemaluanku. "Nah sekarang, Togar, kau harus menuruti kemauanku. Kalau tidak, akan kusebarkan ke semua orang kalau kau punya kontol sekecil ini. Mana ada cewek yang suka dengan kontol kecil, badannya aja yang gede!! Hahahahaha!!!!!" Aku benar-benar marah saat itu, andaikan aku punya tenaga seperti biasanya, sudah pasti kubunuh dia. Aku pun menyesali diriku sendiri, mengapa tadi mau saja menerima air minum darinya. Pasti ia sudah memasukkan obat bius ke air itu. Dan ia memanfaatkan kemarahanku agar aku meminum air itu. Bodohnya aku! Sekarang aku harus menerima konsekuensinya...

"Tapi tenang saja Togar, selama kau menuruti perintahku, aku tidak akan menyebarkan foto-fotomu ini," ujar Bejo sambil membelai kepalaku dan tersenyum manis. Aku memalingkan muka, jijik melihatnya. "Kau pun pasti akan suka kontol. Kau suka kontolku kan?" Sambil terus membanggakan kontolnya, ia merangsang kontolnya di hadapanku, memaksa aku melihat batang kelaki-lakiannya yang berurat itu. Belum pernah aku melihat kontol pria lain selain kontolku sendiri, itu pun karena aku minder dengan ukuran kontolku. Aku memejamkan mata agar tidak melihatnya, namun ia menamparku dan membentakku untuk membuka mata. Aku pun terpaksa melihatnya merangsang kontolnya sendiri hingga precum bertetesan mengenai mukaku. Puas menyiksaku dengan pemandangan itu, ia pun beralih ke bagian bawah badanku. Sejenak kontolku yang mulai lemas dimainkannya kembali, dihisapnya sebentar. Aku sejenak mengerang, belum pernah ada cewek yang mau menghisap kontolku walaupun kecil. Namun itu tidak lama. Kedua kakiku diangkatnya dan aku ditariknya hingga ujung kursi. Kontolku dikocoknya sebentar selagi ia mendekat, lalu...

Blessss....

Rasa sakit yang amat sangat menderaku. Aku hendak berteriak, namun suaraku tidak keluar. Hanya erangan kecil yang keluar, dan itu justru membuat Bejo semakin beringas. "Mhhhh... aku suka pantat perjaka sepertimu Gar... Sempittthhh... Aaaahhh..." Ia terus melesakkan batang kontolnya yang besar itu ke dalam pantatku, menimbulkan gesekan yang perihnya luar biasa. Pantatku terasa mau pecah, sesuatu mengalir keluar entah apa itu, kupikir darah. Bejo melesakkan kontolnya hingga masuk semua, prostatku terasa tersentuh oleh kontolnya. Perutku mulas tak karuan, sepertinya reaksi usus karena dimasuki benda asing. Bejo pun mulai memaju-mundurkan pinggulnya, memerkosa pantat perjakaku yang pecah karena besarnya kontolnya. Erangannya pada awalnya begitu menjijikkan bagiku, apalagi rasa sakit menderaku tak henti. Namun, tiap kali kontolnya melesak dalam dan menyentuh prostatku, ada rasa lain yang baru kali ini kurasakan. Aku benci mengakuinya, namun aku merasakan kenikmatan itu...

Sejak saat itulah aku menjadi seorang gay. Aku tak mampu lepas dari office boy itu karena ia terus mengancam akan menyebarkan foto kontol kecilku jika tidak menuruti kemauannya. Aku dijadikan pelampiasan nafsunya tiap kali ada kesempatan, dan aku tak bisa mengelak lagi. Sesekali ia mengajak rekannya, yang sayang sekali waria, dan aku lebih tersiksa lagi dibuatnya. Waria itu suka memukul dan menginjak bola-bolaku serta menghina kejantananku, dan aku sering tak berdaya melawan mereka berdua. Oh bagaimana aku bisa lepas dari siksaan ini tanpa menanggung beban malu...

Jika ada yang bersedia berteman denganku bahkan membantuku, silakan add YM-ku. Siapa tahu kita bisa berteman baik, dan bantulah aku untuk memahami bahwa tidak semua dunia gay itu segelap duniaku sekarang. Aku bukanlah seorang budak dan aku tidak pernah memintanya...

Senin, 30 Januari 2012

Satpam Kantor

Cerita ini hanyalah rekaan semata, kesamaan nama dan tempat hanyalah kebetulan belaka. PERINGATAN: Konten ini mengandung materi dewasa dan homoseksualitas. Jika Anda tidak dapat menerima materi ini, segera tinggalkan blog ini.

Sesekali saya akan menyalin cerita dari sumber lain yang saya anggap menarik. Kalau Anda kebetulan adalah pemilik cerita ini dan keberatan cerita Anda disalin, silakan hubungi saya dan cerita tersebut akan ditarik.

Cerita ini diambil dari blog NakalBanget.

Ehm, lama kuperhatikan Pak Wanto, satpam kantor itu. Umurnya hampir 40an, namun badannya masih bagus di balik pakaian satpam hitam2 yang ketet itu ,dan lumayan tinggi walau sedikit ‘ndut’, item, kumisan tipis yang tampak bekas cukuran. Terus terang, aku ada ‘nafsu’ ama dia. Gw banget.

Ada satu kebiasaannya yang membuatku keki. Dia senang sekali mencolek pantatku. Tambah hari kok pantatnya tambah seksi aja sih mas, celutuknya seraya mencolek pantaku bahkan kadang2 meremas kayak gemas gitu. Dan, biasanya hal itu ia lakukan saat aku melewatinya. Bahkan ga peduli betapa banyaknya teman2 sekantor yang tertawa menyambut leluconnya. Awalnya sih aku risih tapi selanjutnya aku cuek.

Ada satu hal yang menarik dari lelaki itu. Sungguh aku penasaran tonjolan yang menggunung di selangkangannya itu. Aku menelan ludah membayangkan ukuran kemaluannya. Aku jadi ‘terobsesi’ ingin menikmatinya.

Nah, hari itu, pertengahan Maret 2007, aku ketemu pak Wanto di lorong menuju toilet. Nampaknya dia baru selesai dari kamar kecil. Melihatku dia mengangguk dan tersenyum nakal. Aku berdebar, duh, gundukan itu membuatku makin penasaran

“eh, mas. Mau ke toilet ya?” sapanya mencoba ramah.

“ya, rame ga di dalam?”

“Ga mas. Sepi aja”

Aku melewatinya dan lagi-lagi tiba-tiba aku rasakan tangannya mencolek pantatku. Pak Wanto tertawa nakal.

“senang ya pak sama pantat saya?”tembakku.

“hehehe.. Bahenol..”

Aku tersenyum ragu membalas tawanya.

“sini deh Pak”panggilku agar dia mendekat. Dia yang semula mau berlalu, memandangku dan melihatku begitu serius segera mendekat.

“ada apa mas?”

“ehm… Saya penasaran Pak” jawabku, “ini apa sih? Kontol atau apa??”

Entah keberanian darimana, tanganku meremas gemas gundukan di selangkangan pak Wanto. Pak Wanto nampak kaget. Namun, ntah dia ga sempat menghindar atau memang pasrah, ga ada perlawanan dari dia.

“Membalas saya ya mas??” ujarnya sambil tertawa

“Habisnya bapak sering nyolek pantat saya. Ya, sesekali dong saya balas saja”

Pak Wanto tertawa lepas. Tanganku yang semula cuma sebentar meremas gundukan itu, kembali dengan berani meremasnya dengan gemas.

“ ini kontol atau apa pak,” celutukku nakal, “kayaknya gede banget Pak”

Pak Wanto nampak tidak menolak saat aku meremas-remas lagi dengan gemas kemaluannya. “ya kontol lah mas. Masa pentungan??” jawabnya sambil tertawa sumbang, mungkin risih karena tanganku masih menempel dan meremas-remas di sana.

“masa sih Pak,” aku kejar terus, ”gede ya Pak?”

“Iya lah. Ini aja belum bangun tuh”

“Akh, ga percaya”

“mau liat??” tiba2 dia menanyakan hal itu. Ehm…

“memang boileh saya liat?”

“klo mas mau buktiin,” tukasnya, “saya buka sekarang”

“Eh, jangan di sini Pak” cegahku saat dia mulai menurunkan risluting celananya, “di dalam, ntar ada yang liat kan malu tuh..”

“ Oh iya ya.. Lupa.. Hehehehe”

Di dalam, lantas kami memilih salah satu toilet di sudut ruangan dan tentu yang tertutup.

“nah, di sini kan aman Pak”

“Jadi mau liatnya?”

“Boleh. Saya penasaran segede apa sih”

Srettt.. Pak Wanto menurunkan risluting celananya lalu tangannya mencoba menyusup ke dalam celananya. Agak kesulitan baginya. Akhirnya, dilepasnya sabuk di pinggangnya melepas pengait celana kain bewarna gelap dan ketat itu. Kulihatlah sekilas gundukan itu dibalik balutan CD coklat tua. Akhirnya….

“Wah, astaga Pak,” gumanku kagum, “gede panjang Pak”
Pak Wanto tertawa seakan bangga dan mungkin senang karena mendapat pujian. Ya. Benda bulat panjang itu berada dalam genggamannya, masih lemas tentu saja, berjuntai indah dengan kepala besar mengecil ke pangkal batangnya yang ditumbuhi bulu lebat, yang pasti tidak pernah dicukur. Benda itu kian eksotik di mataku dengan warnanya yang gelap

“Nah. Sudah percaya kan?” ujar Pak Wanto seraya akan memasukan kembali ‘ular’ itu ke dalam sarangnya.

“Bentar Pak… “ cegahku, “saya belum puas melihatnya….”
Nekad aku pegang benda itu, terasa hangat. Pak Wanto tidak bisa menolaknya. Kugenggam dengan lembut benda itu.
“hihihihi.. Liat Pak,” ujarku, “warna kontol bapak di bandingkan dengan warna tanganku. Kontol bapak jauh lebih hitam tuh”

“Akh.. Mas ini bisa saja.”

Pak Wanto nampak pasrah membiarkanku menggenggam kemaluannya sambil berdecak kagum.

“Pak, ini aja belum bangun udah gede,”pujiku lagi, “gimana klo sudah bangun ya?”

Pak Wanto hanya tertawa kecil mendengar celotehku.

“Coba kita bangunkan yuk” ujarku nakal seraya mengocok pelan kemaluan Pak Wanto.

“Akh.. Kok dikocok mas?”

“Biar aja Pak, “pintaku, “saya pengen liat kontol bapak ini sebesar apa klo sudah mengeras”

“Jangan mas,” tolak pak Wanto, “Nanti klo sudah bangun gimana?”

“Cuman sebentar aja Pak”

“saat ini istri saya lagi datang bulan” terang pak Wanto, “Ntar saya salurkan ke mana? Ini aja sudah 4 hari ga dapat jatah”

“Tenang aja pak….”

Tak sabar lagi aku menanti lama. Aku segera jongkok dan mulai menjilati kepala kemaluan Pak Wanto. Sebentar saja kumasukan kepala kemaluan itu ke dalam mulutku. Aku permainkan dengan lidahku.

“ Mas……”

Pak Wanto nampak berusaha menarik kepala kemaluannya dari dalam mulutku.

“biar aja Pak” pintaku di sela-sela menyedot-nyedot kepala itu, “aku pengen ngisep kontol bapak yang gede”
Aku berusaha sedalam mungkin memasukkan kontol yg masih layu itu ke dalam mulutku hingga menyentuh pangkalnya. Kurasakan bulu-bulu jembutnya yang lebat menggelitiki bibirku. Kurasakan denyut kemaluan pak Wanto dalam mulutku. Puas mengulum benda itu samapi ke pangkalnya, aku mulai memaju-mundurkan mulutku sambil kugelitiki dengan lidahku.

“mas…..”

Pak Wanto nampaknya tidak kuasa menolak lagi. Kemaluannya berdenyut, memanjang, membesar dan tentu saja menegang. Membuatku agak kesulitan mengulum benda itu. Kugenggam pangkal batangnya itu sementara itu aku kian gencar menyedot-nyedot kepala dan sedikit batangnya.

Ada yang kurasakan kurang saat itu. Yah.. Aku kepengen menjilati biji kemaluannya. Segera aku pelorot celananya hingga ke pahanya. Kuangkat kemaluannya yang mulai mengeras itu, kuperhatikan kepala kemaluan itu menyentuh pusarnya yang berbulu lebat merambat ke atas dan ke bawah.

Owww.. Dua buah biji kemaluannya nampak menggantung indah, hitam dan besar pula. Tak sabar aku jilati keduanya bergantian, membuat Pak Warto menggelinjang. Kusedot2 dengan ganas.

“mas…”

Selanjutnya, kembali aku mengisap kepala kemaluannya yang membengkak walau kemaluannya belum begitu maksimal menegang. Kulumat-lumat dengan gemas. Kurasakan tubuh Pak Wanto bergetar-getar.

“mas… Saya mau keluar….”

Pak Wanto seakan mau menarik kemaluannya dari dalam mulutku, ia seakan ga mau air kenikmatannya membuncah dalam mulutku.

“Euhmm… Euhmmm….”

Aku menahannya agar tidak menarik kemaluannya dari dalam mulutku. Suaraku agak tidak jelas karena tersumpal kemaluannya..

“Akh…… Awas mas…”

Aku kian gencar mengisap-isap kemaluan pak Wanto, tubuhnya kian bergetar hebat dan akhirnya…
Crot… Crot… Crot..

Cairan kental hangat dengan bau khas membuncah dari kepala kemaluan Pak Wanto membanjiri mulutku. Saking banyaknya sebagian meleleh di luar bibirku dan menetes ke lantai. Sementara itu yang tersisa di dalam mulutku tertelan masuk tanpa terkontrol… Namun, aku terus mengisap-isap kemaluannya.

“udah mas…..” rintih pak Wanto karena aku masih saja menyedot-nyedot kemaluannya yang item itu mulai melemah dan mngecil.

“Ih, saya belum puas Pak. Kok udah keluar sih?”

“Baru kali ini mas saya dikulum sedemikian enaknya….” ceritanya malu-malu.

“masa?”

“iya. Kebanyakan cewek2 ga mau lama2 ngulum soalnya katanya kebesaran. Bikin cape”

Pak Wanto keluar duluan dari toilet, sementara itu aku keluar terakhir setelah menuntaskan HIP (hak ingin pipis) yang sedikit tertunda tadi.

Saat aku keluar, kulihat pak Wanto masih berada di situ di dekat wastafel sambil merokok. Dia tersenyum nakal dan aku membalasnya dengan canggung.

“Kenapa Pak?” tanyaku seraya membasuh wajahku dan kumur2 di wastafel.

“Ehm, mas sering ya ngulum kontol?” tanyanya, “kayaknya lihai banget”

“Iya…”

“oh… Pantesan enak banget”

“ Tapi bapak cepat keluar, saya kan belum puas”

“Saya udah 4 hari ini ga dapat jatah dari istri, mas” jawabnya, “jujur, tadi di toilet saya lagi ngocok tapi ga selesai soalnya ada Pak Andi sama Pak Ali masuk ke dalam. Saya takut ketahuan. Kan malu” ujar pak Wanto. Pak Andi adalah kabag di kantor kami. Orangnya ganteng dan aku sebenarnya suka tapi aku ngerasa illfeel aja sama dia soalnya he don’t have any bulge on his pants. Kayaknya punya cowok itu kecil aja. 7 tahun berkerluarga, dia belum juga mendapat momongan, kasian dia. Sedangkan Pak Ali wakil direktur, orangnya sih Ok tapi sama lah, setali 3 uang dengan pak Andy, kayaknya punya dia kecil juga walau demikian anaknya sudah 3 orang.

“Bapak mau tahu nggak?” kataku sambil melirik gundukan selangkangannya yang masih saja terlihat menggunung, “air mani bapak enak banget.. Gurih…”

“Hah?!… “dia kaget, “mas minum mani saya??”

Aku tersenyum melihat kekagetannya.

“Pak, saya ke ruangan dulu ya…” Aku pamit dan sekali lagi kuremas the hot bulge itu. Pak Wanto tidak menolak saat tanganku meremas selangkangannya.

Sejak kejadian di toilet, Pak Wanto dan aku masih bersikap biasa saja dan dia masih usil mencolek pantatku. Dan sesekali saat tidak seorang-pun di dekat kami, aku remas selangkangannya. Tapi, kami tidak pernah melakukannya di kantor lagi. Sesekali pak Wanto berkunjung ke kontrakanku sehingga aku bisa menikmati kejantanannya sepuasnya. Suatu saat akan kuceritakan saat2 dia berkunjung ke rumahku.

Ada yang aneh dari sikap teman-teman satpamnya. Mereka selalu memandangiku dengan tatapan nakal dan senyum aneh. Namun, aku cuek saja. Aku rasa aku mendapatkan kesempatan lagi untuk mendapatkan lelaki str8 yang haus seks. Hehehehe

Minggu, 22 Januari 2012

Video penakluk polisi (bagian 2)

Aldy mengamati kontol yang ada di depan wajahnya sekarang. Kontol Pak Syaiful sudah disunat ketat; kepalanya yang berwarna coklat kehitaman kini tampak agak memerah. Urat-urat tampak di sepanjang batang kontol itu, yang Aldy taksir panjangnya hampir 20cm. Karena penasaran, ia ambil penggaris. "Bapak pernah ukur panjang kontol Bapak?" tanyanya iseng. "Belum Dik, ngapain juga diukur..." "Kalau gitu saya ukur ya?" Ia pun menyibak jembut sang polisi yang cukup lebat, dan mulai mengukur. "Wah Pak panjang bener nih, 21 cm!!!" Pak Syaiful hanya tertawa pendek, senang sepertinya. "Tebalnya, hmmm... 5 cm! Gila bener Bapak, istrinya pasti puas nih!" "Ah Adik bisa saja," ujar Pak Syaiful. "Kali ini saya yang akan memuaskan Bapak."

Setelah meletakkan penggaris, Aldy pun memulai aksinya. Ia mulai dengan menjilati kedua testis polisi itu. Pak Syaiful yang tak pernah dibegitukan oleh istrinya langsung mengerang. "Ooookkkhh Diikkk..." "Kenapa Pak? Enak kan?" "Mmmmhhh..." Pak Syaiful pun kini tak sungkan-sungkan melihat Aldy menggarap kontolnya. Matanya telah dibutakan kenyataan bahwa yang memainkan kontolnya adalah seorang laki-laki, yang tak pernah terjadi sebelumnya. Sesekali Aldy mengeluarkan jembut Pak Syaiful yang masuk ke mulutnya. Ia lanjutkan dengan menjilati pangkal paha Pak Syaiful. Ditambah dengan usapan pada kepala kontolnya, Pak Syaiful melenguh panjang. "Ooooookkkhhhh..." Tanpa diduga Pak Syaiful bangun dan segera menepis tangan Aldy dan menjauhkan wajahnya. "Lho kenapa Pak? Saya kan belum selesai," tanya Aldy kecewa. "Tunggu sebentar Dik," jawab Pak Syaiful terengah-engah. "Saya mau keluar..." "Waduh Pak baru sebentar masa udah mau keluar?" "Maklum Dik, sudah lima hari nggak dapat jatah... Mau ngocok kok nanggung..." "Tapi bisa muncrat berkali-kali kan?" pancing Aldy. Pria seperti Pak Syaiful sepertinya bakal terpancing jika ditantang masalah kejantanannya. "Kau mau bukti?" Bagus, ia terpancing! Aku bisa dapat lebih dari dua ronde!

Pak Syaiful kembali merebahkan badannya. "Ayo, lanjutkan!" "Bapak berdiri saja, entotin mulut saja. Anggap aja kaya memek istri Bapak." Pak Syaiful pun menuruti perintah Aldy. Dengan posisi gagah ia berdiri, dan Aldy pun mulai beraksi. Precum yang meleleh dari kontol polisi itu pun ia jilat-jilat sampai ke lubang kencingnya, membuat Pak Syaiful merem melek. "Akh..." Aldy kemudian merangkul pantat Pak Syaiful dan mulai mendorongnya, memasukkan kontolnya ke mulut Aldy. Mulut Aldy yang sengaja disempitkan membuat Pak Syaiful meracau, "Akh... Sempit bangeth..." Tidak semua batang kontol Pak Syaiful mampu masuk karena besarnya, tapi Pak Syaiful langsung mendorong pinggulnya maju mundur seakan-akan ia mengentot istrinya. "Akh akh akh..." Keringat bercucuran membasahi keningnya dan seragamnya sekalipun kamar Aldy ber-AC. Aldy meremas-remas pantat Pak Syaiful yang ranum itu, di dalam hati ia bertekad untuk mendapatkan lubang pantat Pak Syaiful yang pasti masih perawan. "Dikkhh akuuu mauuu keluaaarrrhhh...," erang Pak Syaiful. Ia mempercepat entotannya seperti kesetanan. Aldy pun mulai merasakan kontol Pak Syaiful semakin membesar, maka ia pun melakukan sesuatu yang jarang dilakukan orang-orang.

Tepat ketika Pak Syaiful hampir mencapai puncak, Aldy memukul salah satu testis polisi itu.

Tak siap dengan serangan mendadak itu, erangan nikmat Pak Syaiful berubah menjadi erangan kesakitan. "Ugh..." Badannya bergetar seperti tersetrum. Refleks ia menunduk seperti layaknya orang yang dipukul kontolnya, membuat kontolnya tercabut dari mulut Aldy. Namun, dengan cepat rasa nikmat yang lain ikut menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya berteriak, "AAAAGGGHHH!!!" Croooottt... Tanpa diduga, pukulan itu justru membuatnya orgasme. Spermanya berebut muncrat dari kontolnya, mengenai muka dan rambut Aldy dengan kecepatan tinggi. Tembakan berikutnya melesat di atas kepala Aldy dan jatuh di ranjang, dan Aldy mendaratkan satu pukulan lagi pada testis Pak Syaiful yang lain. "Ogh..." Croooottt... Sperma itu muncrat sampai ke dinding kamar Aldy. Rasa sakit bercampur nikmat mempengaruhi otak polisi itu, memerintahkan kontolnya untuk menembakkan sperma lebih jauh lagi. "Hhhh..." Aldy menekan kepala kontol Pak Syaiful keras-keras, membuat kontol itu berkedut-kedut begitu saja selama tiga tembakan. "Diiikkk..." Dengan cepat Aldy kembali memasukkan kontol itu ke mulutnya, dan Pak Syaiful pun mendapatkan rasa lega yang amat sangat. "Ooooohhhhhh..." Croooooottttt... Aldy merasakan tenggorokannya mendapatkan cairan kental dan hangat yang cukup banyak, membuatnya sedikit tersedak. Lima tembakan sperma berikutnya dinikmati Aldy, dengan rakus ia meneguk cairan kejantanan polisi itu. Badan Pak Syaiful pun berhenti mengejang dan pancarannya mulai berhenti. Nafasnya memburu. "Ooooohhhh..." Aldy memberikan sentuhan terakhir dengan membersihkan kontolnya dengan lidahnya. "Akh Dik geli..." Begitu kontolnya tercabut dari mulut Aldy, Pak Syaiful langsung merebahkan diri di ranjang dan bernafas lega.

"Gimana Pak?" tanya Aldy sambil ikut berbaring di sebelah Pak Syaiful tanpa memedulikan sperma yang membasahi ranjangnya. Pak Syaiful tidak menjawab, ia masih mengatur nafasnya. Aldy pun menggenggam kontol polisi itu dan meremasnya pelan. "Akh Dik... Masih ngilu nih..." "Tapi enak kan Pak, muncratnya banyak gitu." "Iya sih Dik..." "Istirahat dulu aja Pak..." Aldy pun mengelus-elus kontolnya, dan ia pun menurunkan celananya tanpa malu-malu. Kontolnya jelas kalah panjang dibanding kontol Pak Syaiful, tapi tebalnya kira-kira sama. "Besar juga punya Adik," komentar Pak Syaiful. Aldy hanya tersenyum, lalu ia mengocok kontolnya sampai tegang. "Sini saya kocokkan!" Aldy agak bingung, mana ada orang straight mau mengocokkan kontol pria lain? Kebingungannya langsung digantikan rasa nikmat ketika polisi itu mulai mengocok kontolnya. Tangannya yang kasar memberikan sensasi berbeda. "Aaakkhh Pakkk..." Pak Syaiful sepertinya terlatih mengocok kontol, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu pelan. "Sering ngocokin Pak?" "Dulu sih, waktu masih taruna, kan ga mungkin sama cewek." "Enak Pak... Ooowwwhh mmmhhh..." Tak terlalu lama Aldy pun muncrat.

"Jadi gimana Dik, udah puas?" "Belum Pak..." "Sudah malam Dik, nanti saya dicari istri saya..." "Bilang aja dapat tugas mendadak Pak..." "Jangan Dik, kemarin saya sudah pulang malam..." Pak Syaiful pun bangkit dan membenahi diri hingga kembali berseragam lengkap. "Ayolah Pak, masih jam enam ini..." Aldy menggelayut manja pada pinggang polisi itu. "Sekali lagi ya?" rayunya sambil mengelus-elus selangkangan Pak Syaiful. "Jangan Dik... Izinkan saya pulang." "Bentar aja Pak, janji deh, lima menit aja." Rabaan Aldy rupanya membuat kontol polisi itu perlahan bangun lagi. "Ini bangun lagi..." "Besok saja lagi Dik, saya kebetulan tugas siang, nanti dari pagi saya ke sini. Bagaimana?" "Awas kalau Bapak bohong, saya sebarkan video Bapak!" ancam Aldy sambil meremas kontol polisi itu dari belakang. "Akh... Saya janji Dik!" "Apa buktinya?" "Kalau besok jam tujuh setelah apel pagi saya tidak ke sini, Adik silakan sebarkan video saya." "Saya pegang kata-kata Bapak. Bapak jangan bilang siapa-siapa kalau Bapak masih ingin jadi polisi." Pak Syaiful pun mengangguk. "Satu lagi Pak permintaan saya." "Iya Dik saya turuti." Aldy pun memeluk polisi itu dari depan dan berbisik, "Makasih Pak sebelumnya, tapi saya pingin nyoba melakukan ini, dan saya tahu Bapak pasti mampu." Tanpa peringatan Aldy mengangkat lututnya dan menendang kontol polisi itu. "Ugh..." hanya itu yang keluar dari mulut Pak Syaiful selagi ia merunduk kesakitan, namun Aldy tetap memeluknya dan berbisik, "Saya tunggu besok jam tujuh pagi." Ia mengantar Pak Syaiful yang agak tertatih-tatih menahan sakit di selangkangannya keluar rumah.

Tanpa diketahui Pak Syaiful, Aldy mengunggah video itu ke situs porno Xtube, setelah tentu saja ia edit untuk menyamarkan identitas Pak Syaiful. Komentar pun berdatangan, rata-rata memuji video tersebut. Namun ada permintaan untuk membuat video yang lebih "ganas", bahkan permintaan threesome dengan satu polisi lagi. Aldy pun berpikir keras untuk memenuhi permintaan itu. Bagaimana caranya? Mungkinkah threesome dengan dua polisi straight? Apa yang direncanakan Aldy untuk Pak Syaiful esok pagi? Akankah Pak Syaiful datang?