Kamis, 17 Mei 2012

Pertemuan Tak Diinginkan

PERINGATAN: Konten ini mengandung materi dewasa dan homoseksualitas. Jika Anda tidak dapat menerima materi ini, segera tinggalkan blog ini.

Cerita ini datang dari salah satu rekan yang menyarankan I'm (Not) A Slave For You. Sekali lagi, saya tidak tahu persis kebenaran dan detailnya, jadi jika kebetulan Anda adalah orang yang saya maksud di cerita ini dan keberatan cerita Anda dipublikasikan, silakan hubungi saya untuk menariknya. Beberapa fiksi ditambahkan hanya untuk dramatisasi.


Seharusnya aku tak mengajaknya damai waktu itu. Hidupku takkan berubah seperti ini.

Aku sebenarnya bukan gay. Kehidupanku boleh dibilang normal-normal saja saat remaja. Aku menyukai cewek dan sempat berpacaran beberapa kali. Kebetulan sekali badanku kekar karena aku rajin berolah raga, dan wajahku ganteng untuk ukuran para cewek. Tak kusangka, di tahun keduaku masuk SMA, ternyata ada juga cowok yang tertarik denganku.

Dan itu adalah guruku sendiri.

Aku tak ingin bercerita terlalu dalam mengenai guruku yang bejat itu. Masa itu bagaikan mimpi buruk bagiku. Selepas berolah raga, ternyata guruku itu menguntitku sampai ke ruang ganti yang kebetulan sepi. Aku dibekapnya dari belakang, diancam untuk menuruti permintaannya atau nilaiku dinolkan untuk pelajaran matematika (yang memang kubenci). Aku mencoba melawan, namun rupanya ia menggunakan semacam obat bius karena aku jadi lemas dibuatnya. Selagi lemas, pintu ruang ganti pun dikuncinya, dan aku ditelanjangi serta diperkosa. Lama sekali bagiku untuk menyembuhkan luka fisik dan batin, bahkan ternyata ia mengambil gambarku dengan cerdiknya sehingga hanya mukaku yang kelihatan di tengah kegiatan tak senonoh itu. Saat ia birahi, ia selalu mengancam akan menyebarkan foto itu ke teman-teman bahkan orang tuaku. Aku benar-benar tak berdaya...

Sampai akhirnya aku lulus dari neraka itu, walaupun dengan nilai pas-pasan. Aku pun mendaftar masuk ke akademi kepolisian karena orang tuaku tak mampu membiayaiku kuliah. Setelah lulus, aku ditugaskan ke divisi lalu lintas di Jogjakarta. Untuk sementara aku tak pernah mendengar kabar guru bejat itu lagi, dan hidupku pun mulai membaik. Di kota pelajar itu aku menemukan tautan hatiku, istriku, dan kami pun menikah. Seorang putra telah lahir dari buah cinta kami berdua. Segala sesuatu seperti terlalu indah untuk menjadi nyata.

Dan ternyata ini hanya ilusi sesaat.

Hari itu, menjelang pertengahan bulan Maret 2010. Umurku sekarang 32 tahun, tinggi badanku 187 cm dengan berat badanku 87 cm. Aku masih belum memiliki perut buncit karena aku tetap rajin menjaga kondisi badanku dengan otot di mana-mana. Anakku sudah masuk SD kelas dua. Keuangan keluargaku kebetulan mulai menipis karena keperluan keluarga istiku yang cukup mendadak. Selagi menjaga lalu lintas, kumanfaatkan orang-orang yang tak mau repot mengurus tilang ke pengadilan dengan meminta uang damai, dan hasilnya cukup lumayan. Siang hari itu, sekali lagi kupergoki seorang pengendara motor yang tidak lengkap kaca spionnya. Kutiup peluit dan kuberi tanda pengendara motor itu untuk menepi. "Siang Pak," ujarku tegas memberi hormat. "Siang," jawab pengendara motor itu tanpa melepas helmnya. "Bapak tahu apa kesalahan Bapak?"
"Saya kan sudah pakai helm Pak."
"Kaca spion motornya ke mana Pak?"
"Oh itu, kebetulan pecah."
"Kok tidak diganti? Bapak tahu ini bisa membahayakan Bapak atau pengguna jalan lainnya? Bapak mau dipenjara?" Sengaja kuancam seperti itu; biasanya orang-orang akan ketakutan dan mengajak damai.
"Jangan Pak, saya malu kalau dipenjara. Damai saja bagaimana?"
"Damai gimana maksudnya?" Aku pura-pura berlagak bodoh. "Bapak mau menyuap saya ya?"
"Oh bukan begitu Pak! Kita selesaikan dengan damai."
"Ayo ikut saya ke pos!" Kugiring orang itu ke pos jaga yang berada tak jauh dari tempatku berdiri. Tanpa kusadari orang itu sepertinya berusaha mengenaliku. Aku sendiri tak mengenali orang itu karena ia tak melepas helmnya. Namun, dari pakaian yang ia gunakan, kuduga ia hanya orang biasa. Dugaan yang sangat salah sekali.

Kuajak orang itu masuk ke dalam pos. Aku melihat sepeda motor rekanku tak ada di tempat, mungkin ia sedang kontrol ke tempat lain atau ada urusan lain. Berarti di dalam pos tidak ada orang selain aku dan orang itu. Pos itu sendiri cukup besar walaupun hanya ada satu ruangan di dalamnya. Hanya ada meja untuk mengurus berkas dan beberapa kursi. Tanpa diminta orang itu pun duduk di salah satu kursi sementara aku menutup pintu untuk mencegah sinar matahari siang masuk. "Helmnya dibuka dulu Pak," pintaku. Orang itu pun mencoba membuka helmnya, namun sepertinya ia kesulitan membukanya. "Kenapa Pak?" "Biasa, nyangkut... Tolong bukakan." Aku pun mendekat untuk membantu orang itu.

Begitu aku berdiri di dekatnya, dengan cepat orang itu meremas kontolku. "Hei..." Refleks aku memegang tangan orang itu dan berusaha menjauhkannya dari kontolku, namun baru saja aku hendak melakukannya, ia berkata, "Sudah lama sekali kita nggak bertemu cung." Jantungku langsung berhenti berdetak saat itu. Seumur hidupku, hanya satu orang yang memanggilku seperti itu: cung atau kacung, istilahnya anak laki-laki. Aku sendiri orang Batak. Remasan berikutnya menyadarkanku, dan aku langsung memeluntir tangannya. "Jangan macam-macam dengan polisi ya!" hardikku. Di luar dugaan, orang itu malah tertawa. "Ha ha ha, kau sekarang sudah jadi polisi ya masih suka disodomi?" Aku kembali tersentak. Oh mimpi buruk apa aku hari ini, jangan orang itu... "Kau masih ingat kan siapa aku?" Orang itu pun melepas helmnya, tanpa kesulitan, dan aku pun tertegun melihat wajahnya. "Pak Darto..." "Ah baguslah kau masih ingat aku, hahaha..." Pak Darto tertawa pelan. Ia kembali meremas kontolku sambil berkata, "Kau sudah dewasa benar rupanya, kontolmu besar sekali sekarang. Apa selama jadi polisi kau dapat servis pembesaran kontol? Hmmm... legitnya, empuknya... aku kangen benar sama kontolmu cung..." Aku tak bisa melawannya, pikiranku masih melayang-layang ke masa itu. Oh kenapa aku bertemu kembali dengannya sekarang... Pak Darto pun berdiri dan mulai mencium bibirku sambil tetap meremas-remas kontolku, yang akhirnya bereaksi juga. "Kau pasti ingat dengan ciuman ini." Ia memberikan ciuman yang tak dapat kusangkal memang enak, salah satu yang akhirnya kupaksakan diri untuk menikmatinya. Untuk sesaat kubiarkan ia menciumku tanpa balas, sampai HP-ku berbunyi. SMS dari istriku. Pikiran sehatku mulai menguasai kembali, maka kudorong guru bejat itu. "Pak, saya sekarang sudah berkeluarga. Saya sudah punya istri dan anak. Bapak sebaiknya lupakan saya." Belum pernah nada bicaraku sedatar itu.

"Tapi saya tak bisa melupakanmu," ujar Pak Darto. "Kau pun pasti belum lupa dengan ini." Ia mengambil dompetnya, mengeluarkan sesuatu, dan menyodorkannya padaku. Begitu kulihat foto itu, badanku langsung melemas. Itu adalah fotoku saat SMA kelas tiga, saat aku mulai menikmati permainan bejat itu, sedang mengulum kontol Pak Darto. "Kau masih ingat kan? Bagaimana kau menyukai kontolku yang besar ini." Ia pun mengelus-elus kontolnya, yang kuakui cukup kurindukan. "Ayo lah, kita kembali lakukan itu seperti dulu lagi. Tak usah sangkal dirimu."
"Jangan Pak, saya mohon..." Harga diriku sebagai polisi saat itu seakan hancur berkeping-keping; aku tak berdaya saat orang itu memiliki senjata yang dapat membuka aib masa remajaku.
"Kalau begitu, puaskan aku. Kalau tidak, foto ini akan kusebarkan ke istri dan anakmu dan kesatuanmu..."
"Jangaaannn..." Aku seakan kembali ke masa itu, mulai merengek dan menangis. Pak Darto segera memelukku dan berbisik, "Maka hibur aku. Puaskan aku seperti dulu." Sudah lama sekali sejak aku meneteskan air mata, dan saat itu air mataku tak bisa dibendung. Pak Darto mengelus-elus punggungku sejenak. "Sssshhh... sudah, nikmatilah saja..." Ia kembali meremas-remas kontolku, dan aku pun terbangun dari kesedihanku. Kubiarkan ia meremas alat kejantananku untuk beberapa lama, sebelum akhirnya ia mendudukkanku di kursi. "Hisap cung."

Pak Darto mengeluarkan kontol Arabnya yang besar itu. Panjangnya nyaris 25cm, dan tebalnya 5cm. Sudah lama sekali aku tidak menghisap kontol, dan tanpa aba-aba Pak Darto langsung memasukkan kontolnya ke mulutku. "Mmmpphhh..." Pak Darto langsung menggoyangkan pinggulnya maju mundur. "Aaaahhh, enak sekali mulutmu cung... sudah lama sekali tidak merasakan mengentot mulutmu... Mmmhhh..." Sesekali aku tersedak saat ia menghunjamkan kontolnya dalam-dalam, namun ia memegangi kepalaku agar tidak menjauh, sehingga aku tak bisa apa-apa selain terengah-engah menarik nafas. Kejadian demi kejadian masa lalu terus bermunculan di otakku, membuatku tak bisa bereaksi ketika aku diperkosa kembali oleh Pak Darto. "Kau perlu kubiasakan kembali cung, masa diam saja ngisepnya... Baring di meja!" Aku hanya bisa pasrah ketika Pak Darto memerintahku. Setelah aku berbaring, ia pun langsung melucuti sabukku, sesekali memukul kontolku sambil tertawa kecil. "Kau membuatku bergairah sekali, sudah lama aku ingin memperkosa polisi kekar sepertimu, hahaha... Mampus kau polisi! Sebentar lagi boolmu akan kuobrak-abrik kembali seperti dulu!" Akhirnya ia berhasil membuka sabukku, dan dengan kasarnya ia memelorotkan celanaku hingga lutut. Kontolku terekspos keluar, yang langsung dikocoknya dengan kasar. "Terimalah kontolku polisi banci!" Tanpa diberi pelumas, ia langsung menghunjamkan kontolnya ke pantatku. Perihnya luar biasa, bahkan seluruh pendidikan menahan rasa sakit yang kuterima di akademi tak mampu mengusir rasa sakitnya. Setelah seluruh kontolnya masuk, ia langsung menggerakkan pinggulnya kembali dengan cepat. Erangan-erangan kenikmatan meluncur dari mulutnya sementara aku berusaha menahan kesakitan. Mau minta tolong ke rekanku, apa jadinya nanti ketika mereka melihatku diperkosa... Aku benar-benar tak berdaya sekarang...

Mungkin karena umurnya yang sudah mulai uzur, Pak Darto mulai kehilangan stamina. Hanya tiga menit setelah kontolnya merobek anusku ia sudah keluar. Lelehan sperma bercampur darah pun keluar dari anusku. Perihnya tak tertahankan. Aku tak berani membayangkan reaksi istriku ketika memergokiku berjalan dengan pincang dan celana dalamku bebercak merah... haruskah aku tidak pulang malam ini? Tapi ke mana aku harus pergi? Pikiran-pikiran itu berkecamuk selagi Pak Darto membenahi kembali celana dinasku. "Enak cung, sudah lama sekali aku tidak menikmati tubuhmu." Kemudian ia pun mulai mengerjai kontolku, yang diremas-remasnya dari luar celana dinasku yang ketat. Aku dipeluknya, dan ia pun berbisik, "Kontolmu... nikmatilah aku memainkan kontolmu... Kontol POLISI..." Tangannya pun merayap masuk melalui sabukku dan meraih kontolku; aku dibuat tak berdaya. "Aaaahhh..." "Nikmatilah servisku pada kontolmu, polisi banci!" Kontolku diremasnya dengan kuat, lalu digerakkan tangannya ke segala arah, menimbulkan rasa sakit sekaligus nikmat. "Paaakkk..." "Tunjukkan kejantananmu polisi banci! Tunjukkan! Tegangkan batang kejantananmu! Tembakkan sari pati kejantananmu seperti polisi sejati!" Kontolku mulai tegang luar biasa, hinaannya justru membuatku terangsang. Pak Darto pun mengeluarkan tangannya, lalu membuka resleting celana dinasku dan mengeluarkan kontolku. Aku dalam posisi duduk di meja sementara Pak Darto duduk di kursi. Kedua kakiku dibukanya lebar-lebar. Tanpa ba bi bu dihisapnya kontolku. "Oooohhh..." Sambil menghisap kontolku, Pak Darto menyervis dadaku dari luar dengan kedua tangannya yang masih bebas. Istriku tak pernah menyervisku seperti itu. Setelah puas menghisap kontolku, ia hanya mengocok kontolku sambil terus merangsang pikiranku. "Ayo polisi, mana spermamu? Kau diperah ya selama pelatihan? Jangan bikin malu kesatuanmu, badan besar gagah tampan tapi kontol loyo ga bisa muncrat! Kontol polisi itu harus gagah! Harus bisa muncrat! Mana ini spermanya? Apa gunanya testis, apa cuma jadi bola menggantung saja? Ayo keluarkan, polisi banci! Banci gak bisa muncrat, bisanya cuma ah oh ah oh disodok boolnya!" Aku mengerang selama rangsangan itu, dan akhirnya tak lama kemudian Pak Darto berhasil memerah spermaku. Ia menadahi spermaku dengan tangannya, lalu dengan memaksa ia meminumkan sperma itu padaku. Aku tersedak dan mual karena sudah lama tak meminum sperma, bahkan aku tak pernah meminum spermaku sendiri. Seragam dinasku sudah basah kuyup oleh keringat, dan aku bisa merasakan celanaku ikut basah karena lelehan sperma Pak Darto dan darah dari pantatku. Tak mungkin aku lanjut jaga dalam keadaan seperti ini, apa kata orang nanti... "Kau ke kosku saja cung habis ini," kata Pak Darto seakan membaca pikiranku. "Bilang saja komandanmu dan istri-anakmu kalau ada urusan mendadak, ada tamu. Malam ini kau tidur di kosku."

Dan jadilah demikian. Sepanjang malam itu aku digarap Pak Darto dalam seragam kepolisian kebanggaanku, yang kini entah apakah bisa kubanggakan lagi. Badanku luar biasa capainya malam itu, apalagi Pak Darto menyodomiku tiap dua-tiga jam sekali. Sudah tua-tua begitu nafsunya masih tinggi saja. Ia mengaku padaku umurnya sudah 62 tahun. Sejak hari itu, ia berulang kali memanggilku untuk memuaskan nafsunya. Sebulan kemudian ia kembali ke Jakarta, namun ia mengancamku untuk pindah dinas ke Jakarta agar foto aibku tidak disebarkan. Aku terpaksa menurutinya, dan enam bulan kemudian aku berhasil pindah ke Jakarta setelah beralasan ini-itu ke komandanku. Anak dan istriku terpaksa kutinggalkan di Jogjakarta karena aku tak mau mereka tahu keadaanku sekarang. Kini guru bejat itu masih saja menikmati tubuhku dalam balutan seragam polisi, dan aku pun kembali jadi budak seksnya. Entah bagaimana caraku keluar dari keadaan ini, namun semuanya sudah terjadi.

Akibat sebuah pertemuan tak diinginkan.

3 komentar:

  1. Asik, Ko.
    Entah kenapa, aku terangsang juga sama cerita model begini..
    Ditambahin cum denial tambah mantap kayaknya.. :D

    BalasHapus
  2. lumayan terangsang...apalagi sama cerita kontol polisi

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus

Komentar Anda akan dimoderasi sebelum ditayangkan. Berkomentarlah sopan dan terjaga. Promosi akan otomatis dihapus. Tuliskan juga jika Anda tidak ingin komentar ditayangkan (misalnya jika hanya memberi informasi).