Jumat, 28 Februari 2014

[Catatan Fei] Eight Weeks to Go

Halo semua,

Ya, Fei tahu, sudah banyak sekali yang menunggu-nunggu cerita baru. Namun, seperti yang sudah saya ceritakan di catatan sebelumnya, saya telah menetapkan bahwa studi saya lebih penting. Tinggal delapan pekan tersisa, dan delapan pekan ini akan sangat menentukan ke mana arah hidup saya.. Karena itu, saya mohon pengertiannya dari rekan-rekan sekalian. Delapan pekan mendatang tidak akan ada cerita baru di blog ini. Kalau rekan-rekan masih belum bisa paham juga, silakan coba buat cerita sendiri dalam keadaan tertekan.

Seperti biasa, saya masih menunggu sumbangan cerita dari rekan-rekan sekalian (daripada menunggu, kenapa nggak bikin sendiri?). Silakan kirimkan ke email saya (tahu alamatnya kan?).

Sebagai bukti bahwa saya tidak sepenuhnya meninggalkan blog ini, berikut beberapa cuplikan dari draf beberapa cerita yang belum selesai. Harap diingat bahwa ini masih draf dan mungkin tidak muncul pada hasil akhir.

Mangsa malam hari... Lagi (bagian 3)


Entah sudah berapa lama aku tertidur. Yah, badanku rupanya sudah tak seprima dulu ketika masih muda, aku bisa menghabiskan semalam-malaman bermain dengan istriku. Tapi sejak perceraian itu, aku hanya bisa mengandalkan Rizki untuk melampiaskan nafsuku, itu pun tak setiap hari. Jadi aku benar-benar menikmati permainan anak muda itu tadi. Tak pernah dalam hidupku aku diladeni dua orang sekaligus. Siapa sangka ternyata sesama pria bisa saling memuaskan hasrat itu...
Dan entah apa yang kuimpikan saat itu... yang jelas aku kembali merasakan kenikmatan itu. Entah siapa yang menggerayangi tubuhku dan memainkan bonggol kejantananku sedemikian rupa sampai aku terasa seperti sedang disetrum aliran kenikmatan yang tiada tara. Dari caranya menggerayangi, seperti...
"Rizki?" erangku sambil perlahan-lahan membuka mata. Agak gelap, hanya ada cahaya kuning remang-remang. Si empunya nama tidak menjawab, namun aku bisa mencium aromanya. Aroma spermanya yang khas itu.
"Sudah bangun Pak?" tanyanya sambil menghampiriku dan tersenyum, sebelum menghadiahiku dengan sebuah ciuman. Ciuman khas miliknya. Aku pun membalas ciuman itu dan hendak merangkulnya, namun tanganku mendadak dihentikan sesuatu dan aku mendengar suara gemerincing besi. Eh? Refleks aku menoleh ke arah tanganku. Ada sebuah borgol terkunci di pergelangan tanganku, dan borgol itu tersambung ke sebuah rantai besi yang terlihat sangat tebal dan kokoh. "Riz?" tanyaku kebingungan. "Ngapain aku diborgol?"
"Tenang aja Pak," sahut Rizki lembut sambil menciumku kembali. "Pak Kris bakal kita layani berdua sampai puas." Tangannya menggerayangi dadaku dan mencubit-cubit putingku dengan nakalnya. Sementara itu, ada seseorang yang masih terus memainkan bonggolan kontolku; aku tidak ingat siapa namanya. "Siap ya Pak," katanya. Aku hanya menjawab dengan sebuah erangan.
Rizki membantuku berdiri, dan baru aku sadar kedua tanganku diborgol sedemikian rupa sehingga tanganku terbuka ke atas. Aku masih bisa berdiri di atas lantai, yang terasa begitu empuk--ternyata karpet. Dan begitu aku berdiri, Rizki langsung mencipokku kembali dengan ganas, selagi anak muda itu kembali meladeni bonggol kontolku.

Angan-angan yang menjadi kenyataan...?


Sepanjang perjalanan aku tidak banyak berbicara--yah, aku memang orangnya pendiam--kecuali dia yang mengajak bicara, selain memang aku tidak terbiasa berbicara ketika dibonceng dan mengenakan helm teropong. Dia sama sekali tidak keberatan ketika entah berapa kali sudah pelukanku melorot gara-gara jalan yang berguncang dan tanganku menyentuh bagian yang kuidam-idamkan selama ini, namun tiap kali itu terjadi, aku selalu cepat-cepat membetulkan posisi tanganku. Pertama kali dulu ia pernah bercerita, ia tidak ingin melakukan itu dengan sembarang orang. Jadi aku harus menghormati perkataannya. Entah apakah aku bisa menjadi orang yang spesial itu untuknya...
Sampai entah kapan ia malah membimbing tanganku ke bagian itu. Sejenak perasaanku campur aduk, antara senang dan sungkan. Kuraba-raba perlahan bagian itu. Aku tidak terlalu khawatir aksiku kelihatan orang lain karena ia menaruh tas ranselnya di depan, sehingga cukup tertutupi. Besar juga. Aku belum pernah menanyakan ukuran bagian pribadinya itu, apalagi melihat fotonya. Dan sekarang aku memegangnya sendiri dengan tanganku sendiri. Jantungku berdebar-debar dibuatnya; punyaku sendiri ikut mengeras, menempel di pantatnya. Dia sama sekali tidak berkata apa-apa selama aku menggerayangi bagian pribadinya itu. Walaupun memang tidak seketat celana polisi, aku bisa merasakan bola-bolanya dan batangnya yang mulai mengeras di balik celana lorengnya. Entah bagaimana caranya ia bisa tetap berkonsentrasi mengendarai sepeda motornya di tengah ruas jalan Jakarta yang sibuk itu. Biasanya ketika kami harus berhenti di lampu merah aku tidak berani melakukan itu, karena banyak juga pengendara motor di samping kiri-kanan kami, jadi aku hanya berlaku biasa dengan tanganku tidak memeluknya. Begitu lampu berubah hijau, aku pun langsung memeluknya kembali, dan tak terlalu lama kemudian tanganku kembali menggerayangi tonjolan kontolnya.
"Masih jauh kah?" tanyaku iseng-iseng.
"Lumayan sih, sabar ya..." jawabnya.
"Iya ga pa pa, ada ini juga, hehehe..." Ia hanya tertawa kecil lalu kembali fokus ke jalan raya, sementara aku terus mengelus-elus bonggolan hangat empuk di tanganku itu. Aku pun memberanikan diri lebih jauh, menggerakkan tanganku masuk ke dalam celananya. Ada celana dalam yang cukup ketat, aku agak susah menelusupkan tanganku ke dalamnya... namun akhirnya kudapatkan juga benda itu. Kontol tentara.

A Thousand Years (bagian 1)


I have loved you for a thousand years, I'll love you for a thousand more...

Lagu itu kembali bergema di benakku. A Thousand Years. Seribu tahun. Ah, sudah seribu tahun lamanya rupanya aku hidup di dunia ini. Begitu cepatnya waktu berlalu...

Ya, aku memang seorang vampir. Namun tak seperti vampir-vampir yang mereka ceritakan di film-film horor, aku berbeda. Aku adalah vampir galur murni terakhir dari keluargaku, dan setelah hidup sekian lamanya, aku berhasil mengekang naluri alamiahku untuk menghisap darah manusia. Aku sudah bisa mengonsumsi makanan yang sama dengan manusia, walaupun memang sesekali aku tetap haus darah. Namun aku tak lagi menghisap darah dari manusia yang masih hidup. Sekalipun dia pacarku.

...

I will not let anything take away what's standing in front of me.

Aku masih ingat ketika aku bertemu dirinya. Saat itu hujan cukup deras, dan aku baru saja menyelesaikan tugas-tugas laporanku di kantor. Sebenarnya aku juga cukup malas untuk pulang, mengingat banjir pasti di mana-mana, namun apa boleh buat, ruang kerjaku tidak nyaman untuk ditiduri. Mandi berendam air hangat pasti nyaman sekali dingin-dingin begini.

Pria Misterius


Perkenalkan, aku Arman. Aku sudah berdinas di kota ini sebagai seorang anggota polisi selama kira-kira tujuh tahun. Tugasku sebagai humas membuat aku harus berhubungan dengan banyak orang, dan tentu saja aku harus bersikap seramah mungkin kepada semua orang, terutama wartawan. Atasanku selalu mewanti-wanti agar aku tidak salah bersikap, atau nama seluruh anggota taruhannya. Untungnya sejauh ini tidak pernah terjadi apa-apa. Kecuali akhirnya aku bertemu dengan pria misterius itu.

Pria itu selalu jadi perbincangan di antara rekan-rekanku karena kemisteriusannya itu. Pria itu muncul pada waktu yang tak diduga dan tempat yang tak diduga. Pria itu selalu menemui seorang polisi yang sendirian, dan tidak sedikit yang jadi "korban." Bukan korban perampokan atau sesuatu yang mengancam nyawa, tapi pria itu hanya berbicara sebentar, bersikap ramah dan akrab, kemudian entah bagaimana caranya pria itu bisa menjelajahi tubuh korbannya dan si korban tidak melawan. Tidak ada barang berharga yang hilang, hanya saja biasanya pria itu akan meninggalkan korbannya dalam keadaan yang cukup "memalukan": noda di celana, dan si korban biasanya tidak akan ingat kejadiannya. Cukup memalukan bagi kami para polisi, dan beberapa kali aku harus menemui media massa yang berebut mencari berita tentang polisi yang "tertangkap basah" serta memberikan press release yang kadang-kadang cukup konyol. Aku sendiri belum pernah menjadi korban, walaupun saat mendengar cerita itu biasanya aku ingin jadi "korban"; siapa tahu pria misterius itu memang mencari lawan main.

Well, ya, aku gay. Karena posisiku yang krusial, jarang sekali aku bisa menjalin hubungan yang konstan, apalagi untuk urusan bawah. Aku tahu kadang-kadang memang ada pria yang melirikku dan kubalas saja seperti biasa, tapi jarang sekali aku berani memulai duluan. Tubuhku sih biasa-biasa saja, malahan rasanya tidak terlalu bagus, karena aku sudah mulai jarang latihan. Posisiku tidak mengharuskan latihan fisik yang berat, ditambah aku doyan makan, jadilah perutku mulai membesar. Kontolku sendiri juga biasa-biasa saja, standar ukuran orang Asia, kecuali kedua testisku yang entah kenapa cukup besar. Akibatnya sih aku sering sekali horny, dan agak sulit juga menutupinya terutama saat berhubungan dengan media, walaupun biasanya hiruk-pikuk media membuat pikiranku teralih untuk beberapa saat. Aku sendiri tidak pernah mempermasalahkan siapa saja yang memegang kontolku, entah disengaja atau tidak. Sayangnya masih belum ada yang mau memainkannya. Atau, aku yang belum berani.

Sampai akhirnya saat itu tiba.