Kamis, 24 April 2014

[Catatan Fei] Update...! (bagian 2)

Oke, catatan sebelumnya mungkin cuma reaksi meletup atas status Facebook yang tiba-tiba muncul untuk menagih cerita baru.

I tell you, I have a life.

Saya juga punya kehidupan sendiri di luar kegiatan tulis-menulis dan berfantasi dengan polisi, tentara, atau satpam, yang semuanya hanya fantasi belaka alias belum (atau mungkin tidak akan pernah) terwujud. Jujur, saya lelah dengan kehidupan seperti ini. Bukan berarti lalu, eh, pembaca, saya carikan polisi/tentara/satpam dong untuk ML!, atau, eh, pembaca, kamu polisi/tentara/satpam? ML yuk?, nggak seperti itu juga lah. Ya memang saya ingin melakukan itu, tapi kalau bisa berteman dalam jangka panjang (tidak melulu berlandaskan ML), itu akan lebih baik. Percaya atau tidak, baru satu teman sejati (bahkan boleh saya bilang, pasangan) yang saya dapatkan melalui blog ini setelah empat tahun lebih blog ini rilis.

Jadi, kalau berteman di Facebook, YM, atau lainnya, mbok ya jangan tiap kali kirim pesan atau komentar status, tanyanya, "Mana cerita barunya? Kok ga ada? Kok lama amat?" Sudahkah Anda membaca catatan-catatan saya sebelumnya, entah itu yang ini atau yang ini? Jangan marah kalau saya tidak membalas pesan Anda; saya malah sudah sangat lebih dari siap untuk memutuskan pertemanan dengan Anda.

Malas baca? Oke, saya rangkum deh:

  1. Saya menulis tidak langsung jadi. Jangan dibayangkan nulis dalam sekali duduk langsung jadi dan hasilnya bagus; kalau iya, saya pasti sudah kaya raya sebagai novelis atau penulis skenario film. Coba lihat draf-draf yang sudah terbit. Banyak? Itu karena alasan berikutnya.
  2. Saya orangnya perfeksionis. Kalau ada draf yang akhirnya ngelantur, adegannya biasa-biasa saja, atau menurut teman nggak bagus, draf itu akan dibuang.
  3. Saya menulis hanya kalau minat. Sudah terbukti menulis saat tidak ada minat hasilnya tidak bagus.
  4. Saya punya pandangan, kualitas di atas kuantitas. Kalau mau kuantitas, MOTN banyak cerita. Saya tidak ingin bersaing dengan blog lain yang banyak cerita tapi isinya hanya ngambil dari blog lain (termasuk blog ini). Ya syukur-syukur kalau ada blog lain yang ceritanya banyak, orisinil, dan bagus-bagus; kalau nemu saya pasti sudah rekomendasikan selagi menunggu cerita baru jadi.
Masih belum paham juga? Ya good luck deh.


Buat yang lain, maaf yah kalau saya sampai menumpahkan kekesalan saya di sini. Harusnya ngomong langsung dengan orangnya saja lebih baik, tapi karena ada lebih dari satu orang yang sama, tapi di jaringan yang berbeda, saya rasa lebih baik pesan tersebut dijadikan satu saja di sini, supaya energi saya tidak terkuras untuk sebal gara-gara pertanyaan yang sama diulang-ulang terus (menjawabnya juga capek).

Kebetulan hari ini teman kamar sedang keluar seharian jadi saya bisa menulis di blog ini. Pikiran masih penuh sebenarnya, tapi saya coba sambung sedikit-sedikit beberapa draf yang kemarin.

Untuk bonus, nih satu draft lagi, tapi saya nggak terlalu yakin hasil akhirnya bakal tetap.

Penikmat Polisi


Tanpa ragu lagi kudekati komandan polisi itu, dan langsung kucekal selangkangannya. Kuremas-remas bonggol komandan itu. Agak kaget, ia mengerang keras dan protes. "Pelan-pelan dong!"
"Ah masa gini aja ga kuat Ndan," cemoohku sambil meremas kontolnya lagi. Ia pun mengerang lagi. "Dasar... kalau bukan gara-gara permintaan Karis, kau pasti sudah masuk penjara! Jebol pantatmu pasti!"
"Kalau bukan aku yang menjebol pantat mereka duluan Ndan," ujarku sambil mengatur jemariku untuk remasan-remasan sensual. Dan benar saja, komandan itu akhirnya mendesah. Seorang polisi lagi mendekapku dari belakang dan meremas-remas kontolku dari balik celana jinsku, sementara polisi lain berada dalam jangkauan tanganku yang bebas dan kontolnya tak luput dari sasaran remasan tanganku. Karisma sendiri malah sudah mengerang-erang dihisap rekannya--ah dasar pacarku yang satu itu... "Kontol bule gede ya," ujar komandan itu sambil menepis tangan anak buahnya dan meremas-remas kontolku agak kasar, membalas perlakuanku tadi. "Menurut Komandan?"
"Raksasa." Memang, kontolku sangat besar untuk ukuran orang Indo. Panjangnya hampir 25 cm dan tebalnya 6 cm. Aku tidak disunat. Testisku mungkin sama besarnya dengan buah jambu. "Aku suka kontol jumbo." Tanpa permisi lagi ia langsung membuka resleting celanaku, mengeluarkan kontolku, dan menghisapnya. Polisi yang mendekapku dari belakang pun mulai menggesek-gesekkan kontolnya di pantatku, tegang dan keras. Dua orang polisi lagi menikmati remasan-remasan sensualku di kontol yang terbalut celana coklat kepolisian.

[Catatan Fei] Update...!

Ada yang meminta saya untuk menulis update secepatnya, jadi ya...

Ini update terbaru blog ini. Selamat menikmati.

Minggu, 06 April 2014

Angan-angan yang menjadi kenyataan...?

Cerita ini hanyalah rekaan semata, kesamaan nama dan tempat hanyalah kebetulan belaka. PERINGATAN: Konten ini mengandung materi dewasa dan homoseksualitas. Jika Anda tidak dapat menerima materi ini, segera tinggalkan blog ini.

Cerita ini mungkin tidak seperti biasanya yang penuh dengan adegan-adegan seks semata. Kali ini saya mencoba untuk menuliskan lebih banyak sisi romantis, yang sudah saya dambakan sejak lama. Semoga tulisan ini berkenan.

Tulisan ini kubuat untuk seseorang yang spesial, nun jauh di sana.

Sebagai manusia, tentu kita pernah berangan-angan. Tentunya kita ingin agar angan-angan itu tidak hanya jadi bunga tidur biasa, namun menjadi kenyataan. Hingga pada suatu titik ketika angan-angan itu seakan-akan mustahil untuk terwujud.

Namun di saat yang tak terduga, angan-angan tersebut terwujud.

Perkenalkan, namaku Fei. Yah mungkin sama dengan nama penulis blog ini, tapi Fei adalah sebuah nama yang cukup umum. Wong Fei Hung misalnya, walaupun itu nama fiktif. Aku juga penulis blog, serupa dengan blog ini, dan kebetulan sekali aku punya fetish yang sama, yaitu terhadap polisi, tentara, dan satpam. Intinya, pria berseragam lah. Aku selalu menganggap mereka keren, macho, jantan--Anda boleh tidak setuju, tapi namanya angan-angan, boleh kan? Aku sendiri mungkin bukan tipe orang yang diinginkan pria pada umumnya: badanku biasa-biasa saja (aku tak pernah menganggap perlu membentuk otot karena kehidupanku memang tak membutuhkannya), aku berkaca mata, dan mungkin menurut beberapa orang aku tidak ganteng. Seperti keinginan si pemilik blog ini, aku juga punya angan-angan yang sama, yaitu berteman dengan polisi, tentara, atau satpam, dan suatu saat nanti aku bisa bercinta dengan mereka. Itulah sebabnya aku juga memulai menulis angan-anganku dalam sebuah blog. Sesekali aku terinspirasi dari blog ini, sesekali blog ini terinspirasi dari ceritaku, dan kami kadang-kadang bertukar pikiran. Namun, seiring waktu berjalan, angan-anganku tak terwujud juga, sehingga aku mulai kehilangan motivasi untuk membuat cerita-cerita baru. Cukup banyak yang menunggu-nunggu ceritaku, dan sudah sering kali aku membuat mereka kecewa dengan membiarkan mereka lama menunggu tanpa kepastian, namun mau bagaimana lagi. Aku tak punya motivasi lebih lanjut untuk membuat angan-anganku terwujud.

Hingga suatu hari, seseorang menambahkanku di YM. Sebut saja namanya Andi. Pertama kali aku melihat foto profilnya, aku cukup terkejut. Ternyata dia seorang tentara! Tapi, yah, namanya foto profil, tentu bisa saja dia pakai foto orang lain, siapa tahu. Tapi aku tidak memusingkan hal itu dulu, yang penting aku bisa berteman baik dengannya dulu. Bisa bercinta itu bonus belakangan. Dia menemukan blogku secara tidak sengaja dan dia suka. Akhirnya ada juga anggota yang menyukai blogku! Aku sempat merasa tersanjung dibuatnya. Hari demi hari berjalan, aku terus berkomunikasi dengannya, dan dia pun orangnya ramah, baik hati, kadang humoris. Bisa masak sendiri--satu hal yang selalu aku irikan. Mungkin suatu saat aku bisa merasakan masakannya yah. Kadang-kadang dia memintaku membuat cerita baru; yah jujur saja, hanya dia yang sanggup meminta dengan baik sehingga motivasiku untuk menulis cerita kembali muncul, tidak seperti mereka yang hanya minta dan minta tapi menghilang ketika aku minta untuk menulis cerita mereka sendiri untuk kuterbitkan. Dan dia ganteng. Kami pun jadi akrab, walaupun kami jarang sekali ngobrol masalah seks. Dia pernah bertanya, lebih suka polisi yah daripada tentara. Aku agak merasa bersalah karena ceritaku di blog memang dominan polisi; suatu saat nanti aku harus memperbanyak cerita tentang tentara...

Suatu hari, setelah studiku selesai dan aku kembali bekerja di Indonesia, aku mendapat tugas untuk menghadiri sebuah seminar di Jakarta. Seminar itu berlangsung lima hari. Dalam hati, aku berpikir, pasti bosan nih lima hari di Jakarta, apalagi kota itu macetnya luar biasa. Kemudian aku bercerita tentang hal ini ke Andi.
"Aku ada tugas seminar di Jakarta nih."
"Oh ya? Sama siapa?"
"Sendirian aja sih..."
"Berapa lama?"
"Lima hari."
"Wah lama juga yah. Nginap di mana?"
"Eeee... belum nyari sih... bisa minta dicarikan kantor biasanya, tapi aku belum tanya-tanya lagi."
"Seminarnya di daerah mana memang?"
Aku pun menyebutkan nama suatu daerah di Jakarta.
"Lho dekat sama kontrakanku. Mau nginap?"
"Eh?" Sejenak aku tidak bisa berkomentar. Nggak salah baca kah ini? Dia menawari aku nginap di rumahnya? Setelah dengan bodohnya di awal perkenalan kami aku bilang nggak bisa jadi pacarnya?
"Daripada di hotel sendirian. Aku di rumah juga sendirian.
:)"
Ah, smiley itu. Dia sering sekali menggunakannya. Entah kenapa aku selalu luluh kalau dia tersenyum, walaupun lewat YM.
"Nggak ngganggu kah?" Aku memang orangnya gampang sungkan.
"Nggak kok.
Lagian nanti aku bisa masakin.
Katanya pingin nyoba?"
"Iya sih, penasaran, hehehe
:)
Kalau nggak malas ya"
"Siap Ndan!"
"Kapan berangkat?"
"Lusa."
"Naik apa?"
"Biasanya pesawat sih..."
"Oke, kabari aja pesawatnya jam berapa, ntar aku jemput."
"Eh jangan, kalau lagi dinas gimana? Aku bisa naik taksi kok."
"Gpp, ngirit lho.
Taksi ntar mahal kalau kena macet."
"Iya sih, hehehe..."

Dan akhirnya hari yang kutunggu-tunggu pun tiba. Aku sudah berpesan pada orang admin untuk membatalkan hotelku karena aku menginap di rumah teman, dan tiket pulang dibelikan hari Minggu saja, sekalian weekend di sana (toh kantorku cuma lima hari kerja). Pesawatku kebetulan agak siang dan aku sampai di bandara Cengkareng. Andi tidak memberiku nomor telepon--yah, aku tahu dia pastinya jaga privasi, namun dia tetap menyalakan YM. Begitu sampai di terminal kedatangan, kukontak dia.
"Sudah sampai nih." Aku nggak berharap dia bakal menjawab sekarang. Kulihat jam tanganku, sekitar pukul setengah dua siang. Lapar sih... apa makan dulu ya sambil nunggu dia jawab...
"Oke Bos, sudah siap." Aku pun melihat sekeliling. Waduh yang mana ya orangnya...
"Di mana?"
"Kamu sudah di pintu terminal X kan?"
"Sudah."
"Bentar." Aku pun keluar dari pintu terminal X dan menunggu. Sambil menunggu, aku BBMan seperti biasa dengan teman-temanku, sampai tak menyadari seseorang mendekat.
"Fei?" Aku langsung menoleh ke asal suara itu. Seorang tentara berpakaian hijau loreng dan memanggul tas punggung berdiri di depanku. Sejenak aku bingung siapa dia dan mengapa dia bisa tahu nama aliasku, tapi kemudian aku sadar. "Andi?"
"Wah pake loading dulu nih?" candanya dan kami berdua pun tertawa. Aku pun berdiri dan menyalaminya, dia pun membalas salamku dengan mantap dan tersenyum. Ya ampun, senyumnya lebih manis daripada smiley YM! Hampir saja aku lemas dibuatnya. Badannya lebih tinggi dariku, kepalaku hanya setinggi dadanya. Dan wajahnya... benar-benar manis! "Udah nunggu lama nih?"
"Eee... nggak juga kok. Nggak dinas kah?"
"Jam makan siang, tapi aku sudah ijin kok kalau bakal kembali agak telat."
"Eh? Ga pa pa kah? Ga dihukum ntar?"
"Udah tenang aja," jawabnya sambil menepuk pundakku. "Kau tamu istimewa seminggu ini, jadi harus dilayani dengan istimewa."
"Ah bisa aja... eh beneran lho, jangan sampai aku ngganggu kerjaanmu."
"Nggak kok. Yuk makan siang dulu!" Ia sempat bersikeras membawakan tas pakaianku dan aku pun tidak bisa menolaknya. Kami menuju tempat parkir motor. Ia pun menyerahkan helm untukku. "Sori rada butut, maklum..."
"Ga masalah kok." Ia menaruh tasku di bawah lalu mengubah tas ranselnya supaya berada di depan sehingga aku bisa duduk di jok motor. "Pernah dibonceng kan?"
"Pernah kok."
"Hehehe, siapa tahu... kalau takut pegangan aja ga pa pa, kapan lagi bisa meluk tentara, hehehe..." Aku hanya tersenyum malu. "Rumahku agak jauh dari sini, sekitar 45 menit nanti." Aku hanya mengangguk ketika ia mulai menyalakan motornya. Berhubung terasa agak goyah, aku pun refleks memeluk perutnya. Sudah bisa kuduga, perutnya cukup berisi, pasti dari hasil latihan. Dia tidak berkomentar dan mulai memacu motornya meninggalkan bandara.

Sepanjang perjalanan aku tidak banyak berbicara--yah, aku memang orangnya pendiam--kecuali dia yang mengajak bicara, selain memang aku tidak terbiasa berbicara ketika dibonceng dan mengenakan helm teropong. Dia sama sekali tidak keberatan ketika entah berapa kali sudah pelukanku melorot gara-gara jalan yang berguncang dan tanganku menyentuh bagian yang kuidam-idamkan selama ini, namun tiap kali itu terjadi, aku selalu cepat-cepat membetulkan posisi tanganku. Pertama kali dulu ia pernah bercerita, ia tidak ingin melakukan itu dengan sembarang orang. Jadi aku harus menghormati perkataannya. Entah apakah aku bisa menjadi orang yang spesial itu untuknya...
Sampai entah kapan ia malah membimbing tanganku ke bagian itu. Sejenak perasaanku campur aduk, antara senang dan sungkan. Kuraba-raba perlahan bagian itu. Aku tidak terlalu khawatir aksiku kelihatan orang lain karena ia menaruh tas ranselnya di depan, sehingga cukup tertutupi. Besar juga. Aku belum pernah menanyakan ukuran bagian pribadinya itu, apalagi melihat fotonya. Dan sekarang aku memegangnya sendiri dengan tanganku sendiri. Jantungku berdebar-debar dibuatnya; punyaku sendiri ikut mengeras, menempel di pantatnya. Dia sama sekali tidak berkata apa-apa selama aku menggerayangi bagian pribadinya itu. Walaupun memang tidak seketat celana polisi, aku bisa merasakan bola-bolanya dan batangnya yang mulai mengeras di balik celana lorengnya. Entah bagaimana caranya ia bisa tetap berkonsentrasi mengendarai sepeda motornya di tengah ruas jalan Jakarta yang sibuk itu. Biasanya ketika kami harus berhenti di lampu merah aku tidak berani melakukan itu, karena banyak juga pengendara motor di samping kiri-kanan kami, jadi aku hanya berlaku biasa dengan tanganku tidak memeluknya. Begitu lampu berubah hijau, aku pun langsung memeluknya kembali, dan tak terlalu lama kemudian tanganku kembali menggerayangi tonjolan kontolnya.
"Masih jauh kah?" tanyaku iseng-iseng.
"Lumayan sih, sabar ya..." jawabnya.
"Iya ga pa pa, ada ini juga, hehehe..." Ia hanya tertawa kecil lalu kembali fokus ke jalan raya, sementara aku terus mengelus-elus bonggolan hangat empuk di tanganku itu. Aku pun memberanikan diri lebih jauh, menggerakkan tanganku masuk ke dalam celananya. Ada celana dalam yang cukup ketat, aku agak susah menelusupkan tanganku ke dalamnya... namun akhirnya kudapatkan juga benda itu. Kontol tentara. Jantungku benar-benar berdegup kencang ketika tanganku menggenggam sesuatu yang hangat dan keras. Besar betul batang kontolnya! Aku jadi membayangkan betapa indahnya hari-hariku nanti di Jakarta ini; semoga ia mengizinkanku memainkan benda itu. Yah memang aku tidak terlalu berharap banyak; berteman dengannya saja aku sudah girang bukan main. Dan sekarang tentara ganteng ini sedang berkonsentrasi mengendarai motornya, mengantarku ke rumahnya. Selagi kumainkan kontolnya di celananya.
Sampai akhirnya ia memegang tanganku.
Sejenak aku merasa tidak enak, karena ia seakan terganggu dengan aksiku. Tapi kemudian ia menoleh dan setengah berteriak, "Pegangan yang erat! Aku mau ngebut sampai rumah!" Dan benar saja, ia mulai melajukan motornya dengan kecepatan cukup tinggi. "Eh ga usah buru-buru!" seruku sekenanya. "Ntar kalau ditangkap polisi gimana?"
"Biar cepat sampai!" balasnya.
"Masih jauh kah?"
"Sepuluh menit lagi!"

Mungkin tidak perlu kuceritakan secara lengkap apa yang terjadi selama sepuluh menit itu. Aku masih tetap memainkan kontolnya di dalam celananya, namun aku hanya memegangnya dan mengelusnya dengan lembut. Kuurungkan niatku untuk mengocok kontolnya, toh ia mau berkonsentrasi di jalan. Akhirnya kami sampai di sebuah kompleks perumahan militer--aku langsung melepaskan tanganku dari celananya dan berlagak seperti biasa, hingga ia memasuki halaman sebuah rumah dan mematikan motornya. "Ini rumahku, maaf ya kalau sangat sederhana."
"Ah ga pa pa," jawabku sambil membuka helmku. "Aku yang makasih sudah merepotkan tinggal di tempatmu selama di sini." Sejenak aku mendengar suara langkah kecil-kecil dan ringan. "Kamu punya anjing?" tanyaku.
"Iya. Kamu ga keberatan kan?" tanyanya balik sambil mengambil tasku dan meletakkannya di teras rumah, sementara anjing itu mulai mengendus-endusku. Kubiarkan, supaya ia mengenal diriku, karena aku bakal menginvasi rumahnya selama beberapa hari, jadi aku harus seramah mungkin dengannya.
"Oh ga pa pa, aku suka anjing kok," jawabku sambil menunggu anjing itu selesai menjilat-jilat sepatuku. "Yuk masuk!" ajak Andi. "Maaf berantakan." Aku pun mengikutinya masuk ke rumah itu. Sederhana memang, tapi aku bersyukur tinggal di situ. Bersama tentara idamanku. Angan-angan yang sudah lama sekali kuimpikan akhirnya jadi kenyataan juga. Setelah meletakkan tasku, ia membawa anjingnya entah ke mana, lalu keluar lagi dan berkata. "Aku balik dulu ya. Anggap aja rumah sendiri. Nanti secepatnya aku pulang." Aku mengangguk dan hendak mengantarnya keluar, namun ia malah menutup pintu. Eh? Ia bersandar di balik pintu dan menyuruhku mendekat, kemudian berbisik. "Lanjutin bentar dong yang tadi."
"Kamu ga telat kah?" tanyaku sambil memandang jam tanganku. Sudah hampir pukul tiga.
"Ga pa pa, nanti aku bilang macet. Tahu sendiri lah Jakarta. Cepat aja, lima menit..." Ia memandangku dengan penuh harap. Hatiku sedikit berkecamuk; aku tahu ia pasti sedang kepingin sekali. Tapi apakah aku sudah pantas untuknya... Tangannya membimbing tanganku ke selangkangannya, dan aku bisa merasakan batang kontolnya yang masih keras. "Kuisep ya..." Entah bagaimana kata-kata itu malah keluar dari mulutku. Ia mengangguk dan langsung mendorongku untuk berjongkok. Dengan cepat, supaya menghemat waktu, kuturunkan celana lorengnya dan celana dalamnya. Aku sedikit terkesima melihat barang kejantanan yang akhirnya terbebas dari sarangnya. Benar-benar kontol terindah yang pernah kulihat: disunat ketat, tegang penuh, panjang. Namun aku tak bisa mengaguminya lama-lama karena waktu, maka aku langsung mengulumnya. Andi melenguh keras, ia pasti sudah lama sekali tidak menikmati kontolnya dimainkan seseorang... Sambil mengulumnya aku pun memainkan bola-bola kontolnya itu. "Mhhhh... enak Fei...," racaunya sambil memegangi kepalaku, sedikit-dikit ia menggoyang-goyangkan pinggulnya. Aku terus melanjutkan mengulum batang kejantanan tentara itu, lidahku kugesek-gesekkan di kepala kontolnya yang sensitif. "Ahhh... aku... mau... keluar... Ooooohhhh..." Bahkan ia tidak sempat menyelesaikan kalimatnya ketika puncak itu tiba. Ia sedikit berjingkat ketika kontolnya mulai berkedut-kedut menembakkan sari pati kejantanannya itu ke mulutku. Aku tidak biasanya meminum sperma, namun sperma Andi begitu gurih, hangat, dan kental, tidak membuatku mual seperti biasanya; dengan rakus kuteguk sperma tentara itu. Sampai tetes terakhir. Kujilati bersih kepala kontolnya ketika ia mulai berhenti menembakkan spermanya, dan ia melenguh kegelian. "Fei... makasih ya... udah lama banget..."
"Aku yang makasih Ndi, gak nyangka kamu mau kuisep," ujarku sambil menciumnya. Kami pun berciuman beberapa saat hingga aku ingat ia harus segera kembali. "Dah sana, udah lega kan? Keburu telat lho!" Ia terkekeh dan merapikan celananya, lalu pamitan.

Ah, kurasa hari-hariku bakal menyenangkan!

Sekitar pukul setengah enam sore ia sudah pulang. Entah kenapa aku menyambutnya dengan gembira, bahkan aku pun menciumnya kembali, dan ia tak keberatan sama sekali, bahkan membalas ciumanku, seakan kami ini pasangan suami istri. "Fei, ini kubawakan nasi goreng," ujarnya setelah selesai berciuman, sambil menunjukkan bungkus nasi goreng yang dibelinya tadi. "Sori ya ga mewah-mewah amat."
"Ah ga pa pa, kalau nasi goreng aku suka kok," jawabku. Kebetulan sekali perutku berbunyi. "Makan yuk!" Sepertinya ia tahu aku kelaparan, karena ia tak langsung mengganti seragamnya, malahan menyiapkan meja makan. Aku membantunya menyiapkan piring. "Kok empat bungkus Ndi?" tanyaku ketika mengeluarkan nasi goreng dari kantong plastik. "Banyak amat?"
"Buat kamu dua," jawabnya. "Makan yang banyak biar ga sakit."
"Ah kamu ini... Si guguk makan nasi goreng juga?" Aku tidak tahu nama anjingnya jadi hanya kupanggil 'guguk' saja, toh ia akhirnya juga ikut menyebut anjingnya 'guguk'. Ia mengangguk. "Yuk makan!"
Selagi makan ia bercerita panjang lebar tentang harinya tadi. Aku hanya mendengarkan sambil mengangguk-angguk selagi memakan nasi gorengku, yang entah mengapa rasanya nikmat sekali. Seakan-akan aku belum pernah makan nasi goreng. Ia hanya tersenyum melihatku makan dengan lahap. "Kelaparan ya?" godanya.
"Iya nih ga tahu kenapa..."
"Kecapekan?"
"Nggak juga... Oh ya, dari sini kalau mau ke X gimana?" Aku menanyakan angkot menuju tempat seminarku.
"Ga usah naik angkot, kuantar aja," jawabnya.
"Lho jangan lah, kamu kan kerja?"
"Ga pa pa, aku udah izin kok sama atasanku, ada famili yang datang. Pokoknya cuma tiga puluh menit izin keluarnya. X dari sini deket kok, paling cuma sepuluh menit bolak-balik."
"Bener nih ga pa pa? Aku jadi ga enak..."
"Udah ga usah dipikirin, yang penting besok bangun pagi, jangan sampai telat, malu kan kalau telat. Jam berapa seminarnya?"
"Besok jam sembilan pendaftaran."
"Kubangunin deh. Aku apel pagi jam delapan, jadi jam tujuh udah bangun. Kamu tunggu aja di rumah, jam setengah sembilan kujemput. Selesainya jam berapa?"
"Kalau jadwalnya sih jam lima, tapi ga tau lagi kalau molor."
"Ya udah ntar telpon aja ya kalau udah selesai. Nih nomerku." Akhirnya dia memberikan nomor teleponnya. Kusimpan di buku teleponku, lalu kami melanjutkan makan malam. Setelah selesai, aku membantunya membereskan meja makan, lalu kami duduk-duduk di ruang tengah sambil menonton TV. Si guguk juga ikut menonton.
"Fei."
"Ya?"
"Pegel-pegel nih..."
"Mau kupijitin?"
"Boleh." Ia pun duduk di depanku, lalu aku memijat pundaknya. Ia mendongakkan kepalanya dan memejamkan matanya menikmati pijatanku. "Enak?"
"Enak banget Fei. Sudah lama sekali rasanya aku ga dipijitin seenak ini." Kubiarkan dia menikmati pijatanku dalam diam, sampai akhirnya ia merebahkan diri. "Pijitin punggungku ya?" Aku pun menurut dan memijat punggungnya sebisaku. Punggungnya cukup bidang dan padat berisi, membuatku harus memijat agak kuat. Setelah merasa puas, ia pun duduk bersandar di tembok. "Makasih ya." Aku hanya tersenyum mengangguk. Dia menyuruhku untuk duduk bersandar di dirinya, aku menurut saja. Kami berdua kembali menonton televisi, sebelum kusadari tangannya menggenggam tanganku dan nafasnya agak berat. "Fei?"
"Ya?"
"Makasih ya udah mau datang ke sini. Rumahku jelek..."
"Eh Ndi aku mestinya yang makasih udah bisa numpang tinggal di sini. Lagian nemani kamu juga biar nggak sendirian."
"Aku..." Ia mencium rambutku dari belakang, lalu ia berbisik di dekat telingaku, "Aku... aku sudah lama menunggu saat-saat ini Fei. Aku ingin berdua denganmu. Selamanya..." Entah apa ia melihat mukaku yang memerah mendengar keinginannya itu. Aku juga sudah lama sekali menantikan seseorang seperti dirinya. "Fei... aku... aku... sayang kamu..." Jantungku seakan berhenti berdetak. Ia... sayang... padaku? Selama ini aku memang berharap dia suka padaku, tapi sebagai teman akrab. Apalagi dengan bodohnya di awal aku sudah mengatakan kalau aku tak bisa menjadi pacarnya, karena kelak aku pasti harus menikah juga demi orang tuaku. Tapi... sekarang... dia tetap sayang padaku? Lebih dari seorang teman... "Fei... kamu sayang aku nggak?"
Perasaan bersalah kembali merundungku. Apa yang harus kukatakan?
"Ndi... jujur aja... aku pingin sekali sayang sama kamu."
"Maksudnya?"
"Yah kamu tahu sendiri kan Ndi, orang tuaku ga tahu kalau aku ini gay. Dan aku nggak pingin ngecewain mereka, terutama mama..."
"Fei... aku ga masalah kalau akhirnya kamu menikah sama cewek. Aku senang kamu tetap perhatian sama orang tua, mau membahagiakan orang tua. Kalau memang itu yang terbaik, aku bersedia menunggumu..."
"Tapi... Ndi, ga pa pa kah?" Dadaku mulai sesak memikirkan bahwa aku nanti akhirnya harus menduakan dirinya.
"Nggak apa apa sayang." Dia... memanggilku... sayang? "Asal aku bisa tetap bersamamu, aku rela. Lagi pula aku sudah sendirian. Cuma kamu yang melengkapi hidupku."
"Ndi..." Suaraku bergetar. "Makasih... aku juga... sudah lama memendam perasaan ini... Aku... juga sayang kamu..." Tak bisa kutahan lagi perasaan itu, air mata mulai meleleh di wajahku. Ia membaringkanku di pangkuannya, dan menyeka air mataku. "Aku sayang kamu Fei..." Dan ia pun menciumku. Ciuman yang berbeda; bukan ciuman nafsu seperti tadi siang, namun ciuman penuh kasih sayang. Aku tak bisa menggambarkan perasaanku saat itu, bahkan boleh dikatakan kalau aku baru kali itu merasakannya. Perasaan lega, bahagia, terharu, bercampur menjadi satu. Akhirnya aku menemukan orang itu; orang yang kuidam-idamkan, yang kuangan-angkan; orang yang pantas kuserahkan hidupku. Sekalipun dia cowok.
"Tapi Fei, kamu mau kan sama aku?" tanyanya tiba-tiba. "Aku gak sekaya kamu, rumahku jelek, aku sendiri juga jelek..." Kupotong ucapannya dengan menempelkan telunjukku di bibirnya. "Aku kan sudah bilang berapa kali, aku ga masalah sama kamu. Andaikan bisa, aku pasti sudah milih tinggal bersamamu. Dan jangan bilang kamu jelek, kamu ganteng! Aku suka kamu!"
"Makasih sayang..." Ia menciumku lagi beberapa lama sebelum akhirnya acara kesayangannya mulai diputar. Aku pun hanya tiduran di pangkuannya selagi dia menonton acara itu. Walaupun aku sudah lama sekali tidak menonton televisi--dan aku memang tidak suka dengan acara televisi Indo yang tidak bermutu, kutonton juga acara itu. Ia mengelus-elus rambutku selagi menonton acara itu. "Ndi kamu kupanggil abang ya?" Memang sudah lama sekali aku menginginkan kakak laki-laki.
"Iya boleh Dek." Aku pun tidak mengganggunya lagi, menonton TV sambil sekali-kali mendengarkan dia bercerita tentang acara kesayangannya itu.

Dan tanpa terasa waktu berlalu begitu saja. Ia sempat meninggalkanku sebentar untuk mandi, sebelum akhirnya menonton TV lagi. Mungkin hanya itu hiburannya, selain ngobrol denganku di YM. Pukul sepuluh. Aku pun mulai menguap. "Ngantuk Dek?" tanyanya.
"Iya Bang."
"Tidur aja yuk." Ia bangkit mematikan TV, lalu membopongku ke kamarnya. "Aku nggak punya AC Dek."
"Nggak pa pa Bang, aku dulu juga pernah kok tidur cuma pakai kipas angin."
"Dipan juga ga ada..."
"Ga pa pa, kan ada Abang, hehehe..."
"Dasar... Lampunya mau dimatiin?"
"Biasanya sih dimatiin..."
"Ya udah." Ia mematikan lampu, lalu ikut berbaring di sebelahku. "Ntar pagi Abang bangunin." Ia pun mencium keningku.
"Bang..."
"Ya Dek..."
"Boleh ga..." Aku pun mengelus kontolnya perlahan. Ia hanya mengenakan celana pendek untuk tidur.
"Mau kamu apain Dek..."
"Pegang aja boleh?"
"Mau kamu mainin juga boleh Dek, kontolku milikmu." Aku tersenyum mendengarnya, itu kan judul salah satu ceritaku. Sudah lama kutunggu saat-saat ini: saat bercinta dengan tentara. Dari cerita-cerita yang pernah kubaca, tentara biasanya main kasar. Tapi ini tentara yang mencintaiku. Harusnya rasanya beda. Dan sebentar lagi aku akan merasakannya. Kupeluk dirinya dari belakang sambil tanganku tetap mengelus-elus kontolnya yang perlahan mulai bangun. Aku memang berharap dia masih menyimpan nafsunya; kalau cerita ngocok, dia sering melakukannya dua kali, bahkan pernah tiga kali dalam sehari. Kali ini sepertinya dia masih ingin bercinta. "Gede Bang," bisikku.
"Kamu suka?"
"Suka."
"Suka kontolnya atau orangnya?"
"Kontolnya."
"Dasar... nakal ya kamu..."
"Biarin." Aku meremas pelan kontolnya, membuatnya mengerang. "Enak banget Dek..." Kucium-cium lehernya selagi tanganku berpindah meraba-raba dadanya. Dadanya yang bidang. Tentu saja sasaranku adalah puting susunya. Ia mendesah selagi kumainkan puting susunya. "Dek... Abang sayang kamu..." Aku tidak berkomentar, tanganku kembali sibuk memainkan kontolnya sambil kucium dirinya. Erangannya tertahan ciumanku, sebelum akhirnya ia dengan cepat melepas celanaku. "Mau masukin Bang?"
"Adek mau dimasukin?"
"Udah lama ga dimasukin sih..." Dan memang benar, sudah lama sekali sejak aku dimasuki. "Pelan-pelan ya."
"Ntar aja deh kalau gitu Dek... isepin aja kaya tadi siang... kita 69 yah..." Kesukaanku. Maka aku pun buru-buru menurunkan celananya sampai kontolnya terbebas, lalu dengan lahap kuhisap kontolnya sementara ia juga mulai menghisap kontolku. Oh mimpi apa aku ini, akhirnya aku bisa bercinta dengan seseorang yang memang kucintai... Sudah terlalu lama aku hanya memuaskan hasratku dengan mengocok, dan sepertinya Andi juga demikian. Dan kini aku menghisap kontolnya dan dia menghisap kontolku... Tentu saja tak lupa aku mengelus-elus dan memainkan bola-bola kontolnya, bagian yang sering dilupakan para pria ketika bercinta. Sesekali ia mengelus-elus lubang pantatku, kubiarkan. Aku harus siap nantinya ketika ia memasukkan kontolnya ke anusku...

Dan kurasa aku tak perlu bercerita panjang lebar tentang 69 itu. Untuk pertama kalinya aku muncrat bersamaan dengan lawan mainku, dan bahkan ia pun meminum spermaku. Kami pun akhirnya tidur dengan pulas, berpelukan erat seakan-akan tak ingin berpisah.

Hari-hariku selanjutnya begitu indah. Seperti dugaanku, seminar itu membosankan, tapi apa mau dikata, itu tugasku. Di sela-sela kebosanan itu aku tetap YM-an dengan Andi, dan dia pun terus menyemangatiku untuk menyelesaikan tugasku. Di pagi hari dia mengantarku dan sore harinya dia menjemputku. Mandi bersama? Sudah pasti. Hari Rabu dia memasakkanku makan malam, dan harus kuakui masakannya lezat. Percakapanku pun menjadi semakin intim dari biasanya, dan dia bahkan menunjukkan foto keluarganya. Kurasa dia sudah menaruh kepercayaannya padaku, jadi aku pun ikut membuka diri padanya--yang tentu saja tidak akan kupaparkan di sini. Sampai akhirnya dia mengatakan,
"Dek, aku Sabtu besok ultah."
"Oh ya Bang?" seruku girang. "Kok pas banget aku pas di sini!" Kami berdua terkekeh. "Ultah ke berapa Bang?"
"Dua puluh lima."
"Lah?"
"Kenapa Dek?"
"Salah manggil dong aku?"
"Emang kamu umur berapa?"
"Dua puluh sembilan." Tawanya langsung meledak saat itu juga; belum pernah kulihat dia tertawa lepas seperti itu, bahkan anjingnya pun sampai melongok keheranan. "Gak kelihatan kaya umur segitu ah. Kamu kaya umur sembilan belas!"
"Hehehe... kalau gitu panggil ayang aja deh... Sabtu libur kan?" Ia mengangguk. "Jalan-jalan yuk! Terserah mau kamu ajak ke mana."
"Ke pantai mau?"
"Eh mau banget ay! Dah lama banget aku ga ke pantai!" Aku girang sekali mendengarnya.
"Seminarmu gimana?"
"Jumat udah selesai kok. Aku kan pulangnya Minggu, jadi Sabtu masih bisa ngerayain ultahmu!"
"Hehehe..." Mendadak dia terdiam, sepertinya memikirkan sesuatu.
"Ay?"
"Ya."
"Kenapa?"
"Kok cepet ya kamu tinggal tiga hari lagi di sini."
"Kurang lama ya ay..." Aku mendekapnya dari belakang.
"Iya. Coba kamu bisa tinggal di sini bareng aku."
"Pinginnya gitu ay, tapi aku harus balik. Aku keikat kontrak di tempat kerjaku. Dan tempat kerjaku udah jadi rumah kedua buatku, aku ga tahu kalau harus ninggalin gitu aja."
"Cari kerja di sini aja."
"Ga tau ay, ortu juga pasti ga bakal bolehin. Udah enak-enak dapet kerja deket sama rumah, kok tau-tau mau pindah Jakarta. Jauh dari rumah, jauh dari sapa-sapa, ga pasti lagi hidupnya." Ia agak murung jadinya, sehingga kucium dirinya untuk menghibur dirinya. "Jadi, kita nikmati aja ya ay saat-saat ini. Mungkin memang cuma sebentar, tapi paling nggak kita sudah bisa ketemu sekarang, sudah bisa saling mencintai sekarang. Suatu saat nanti kan kita pasti bisa ketemu lagi. Dah jangan sedih gitu, aku juga ikut sedih nih..."
"Iya." Dia menciumku balik.
"Nonton TV aja yuk, di kamar!"

Tentu saja, itu hanya alasanku untuk bisa bercinta kembali dengannya.

Dan akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu itu pun tiba. Sabtu, ulang tahunnya. Pagi-pagi kuberi dia hadiah ulang tahun yang sudah kusiapkan sejak kemarin: kaos Jepang dan DVD lagu kesukaannya. Setelah sarapan, ia membawaku ke sebuah pantai yang agak jauh dari keramaian kota Jakarta, aku tidak tahu apa namanya, dan perjalanannya agak jauh. Tapi itu semua terbayar dengan keindahan panorama pantai. Entah dari mana ia bisa menemukan pantai yang cukup sepi. Setelah memarkir motornya di tempat yang aman, kami berdua pun melangkah menuju pantai itu. "Bagus ya ay," ujarku.
"Dan cuma kita berdua yang ada di sini," sambungnya.
"Yakin ni?"
"Liat aja nanti." Aku pun berbaring di atas pasir pantai, di bawah pohon kelapa yang cukup rindang. "Yah ayang datang-datang kok tiduran lagi... renang yuk!"
"Aku kan ga bisa renang ay..."
"Pelukan sama aku aja. Yuk!" Sebelum aku bisa protes lebih lanjut, ia membuka baju dan celananya hingga tinggal celana dalam saja yang tersisa, lalu ia pun membuka baju dan celanaku. "Ntar kalau tenggelam gimana?" tanyaku agak khawatir.
"Pegang yang erat ay." Ia langsung menggendongku menuju air laut yang saat itu cukup tenang. Aku pun refleks berpegangan erat pada pundaknya. Pertama-tama ia berenang tak terlalu jauh dari tepi pantai, lalu ia berenang menyusuri tepian pantai sedikit agak jauh dari tempat semula. Ada sebuah teluk yang cukup kecil, tidak terlihat dari tempat tadi. Hanya ada sedikit pasir pantai di teluk itu, dan lebih jauh ke darat hanya ada semak-semak belukar yang cukup lebat. "Ngapain ay kita ke sini?" tanyaku setelah kami keluar dari air, walaupun sebenarnya kalau berbaring tetap saja kaki masuk di air laut.
"Aku ingin bercinta denganmu di sini, sayang," jawabnya sambil menciumku dengan lembut.
"Nanti kalau kelihatan orang gimana?"
"Nggak bakal sayang, tempat ini tersembunyi kok. Dari tempat kita tadi nggak kelihatan. Lagipula di belakang kita itu hutan, jauh dari jalanan. Sekitar sini juga ga ada rumah penduduk, dan itu ketutupan pulau juga. Dah nikmati aja ya sayang."
"Iya deh ay. Selamat ulang tahun ya." Aku pun menciumnya kembali sambil langsung meremas-remas kontolnya. Suara deburan ombak menambah romantis saat itu; aku tak pernah mengira aku akan bercinta di pantai dengan seorang tentara yang kucintai. Ia pun balas mencium dan memainkan dadaku.
"Ay."
"Ya sayang?"
"Aku siap kamu masukin," ujarku sambil menatapnya dalam-dalam. "Ini hadiahku yang lain untukmu."
"Ntar sakit?"
"Demi kamu ay, aku siap." Aku menciumnya lagi, lalu merebahkannya di atas pasir, membalikkan badanku, membuka celana dalamnya, dan langsung menghisap kontolnya yang sudah berdiri tegak itu. "Mmmmhhh asin ay." Kontolnya memang basah terkena air laut, tapi itu memberikan sensasi berbeda. Dengan penuh rasa sayang kuhisap kontol tentaraku tercinta, sambil tak lupa pula aku mengelus-elus bola-bolanya dengan lembut. Ia melenguh pelan tiap kali aku melakukan itu. Setelah kurasa kontolnya sangat tegang, aku pun berbalik memghadap dirinya. Pelan-pelan kuposisikan lubang pantatku di atas kontolnya. Kumasukkan pelan-pelan. Rasa sakit itu mulai mendera; sudah lama sekali lubang pantatku tidak dimasuki kontol. "Beb?" panggiilnya. "Sakit ya?"
"Nggak apa-apa ay," ujarku, dan sambil menahan rasa itu, kudorong terus badanku menduduki kontolnya. Perlahan-lahan batang kontol itu pun mulai masuk, dan aku terus mencoba mencari posisi yang tepat. Dengan sabar Andi menunggu sampai batang kontolnya akhirnya masuk semua. Pantatku terasa begitu penuh dan perih, namun melihat dirinya telentang dengan batang kejantanannya di dalam diriku, aku merasa rasa sakit ini begitu berharga. Dia bahkan sempat bangkit dan menciumku sebelum aku akhirnya menyuruhnya berbaring.

Aku sudah siap.

Perlahan-lahan kunaikkan pantatku, lalu kuturunkan kembali. Rasa perih itu kembali mendera--mungkin karena tidak ada pelumas sama sekali, dan air garam ini menambah rasa perih itu, namun aku mencoba sebisaku. Perlahan-lahan kuabaikan rasa sakit itu, dan akhirnya usahaku membuahkan hasil. Andi mulai menikmatinya. "Aaaahhh bebeb... enak beb..." Erangannya membangkitkan semangatku, dan sepertinya batang kontolnya juga mulai memberikanku kenikmatan itu. Tanpa kusadari aku sudah menggenjot kontolnya dalam pantatku. Aku dan dirinya mengerang bersama-sama; akhirnya kudapatkan juga kenikmatan itu. Kenikmatan yang tak pernah kudapat ketika seseorang asing merojok pantatku dengan kasarnya. Badanku mulai berpeluh keringat, namun aku tak peduli. Aku harus bisa memuaskan sayangku Andi.
Setelah beberapa lama kami pun berganti posisi. Aku dibaringkannya di pasir pantai, sementara ganti ia yang menggenjotku. Posisi yang mungkin sangat biasa saja, tapi karena aku dan dirinya saling berhadap-hadapan, posisi itu menjadi romantis sekali, apalagi dilakukan di tepi pantai di hari ulang tahunnya. Ia bahkan mengerang sekeras-kerasnya, toh tak ada yang mendengarkan kami bercinta. Dan baru kali ini aku kesulitan menggambarkannya. Cerita-ceritaku terdahulu sepertinya bisa kugambarkan dengan detail teknik bercinta para tokohnya, namun entah kenapa kali ini... aku tak bisa menggambarkannya.
Hanya dengan posisi itu saja, akhirnya sayangku muncrat duluan. Aku memang tak pernah bisa muncrat ketika dimasuki, bahkan kontolku pun biasanya lemas. Tapi entah kenapa kali ini kontolku bisa tetap tegang. Aku senang sekali ketika akhirnya ia mengerang panjang dan orgasme di dalam diriku. Cairan hangat kejantanannya memenuhi pantatku, namun aku tak peduli. Ia akhirnya terkapar di atas tubuhku, terengah-engah lega. "Enak ya Ay?" tanyaku sambil mengusap-usap kepalanya.
"Enak banget bebeb, makasih banget ya," ia mencium keningku. "Udah lama sekali aku mengharapkan hari ini tiba. Dan akhirnya aku menemukan dirimu..." Air mata bahagia mulai mengalir dari pelupuk matanya. Ah tentara juga manusia, pasti merindukan kekasih pendamping hidupnya... Aku mengusap air matanya dan menciumnya kembali untuk beberapa lama. Sebelum akhirnya dia sadar. "Bebeb belum keluar?"
"Ga pa pa Ay, aku nanti aja."
"Jangan gitu dong beb, aku kan jadi ga enak, masa aku doang yang keluar..."
"Sori deh Ay, aku ga pernah bisa tegang kalau dimasukin, hehehe..."
"Ya udah sini beb." Ia berbaring di sebelahku. Selagi aku memegang kontolnya yang sudah melemas itu dan menimang-nimangnya dengan tanganku, ia menghisap dan mengocok kontolku bersamaan. Aku benar-benar mabuk kepayang dibuatnya.
Dan akhirnya aku muncrat juga di dalam mulutnya.

Untuk beberapa saat kami beristirahat di teluk itu sebelum ia membawaku kembali ke pantai tadi. Hari sudah beranjak siang, dan kami berdua kelaparan setelah bercinta tadi, maka kami pun kembali ke tepian pantai lain yang lebih ramai untuk membersihkan diri dan makan siang. Makan yang cukup sederhana: ikan bakar ditemani dengan satu batok es kelapa muda. Namun, suasana pantai dengan deburan ombak yang lembut, angin yang bertiup melambai, dan ditemani kekasih tercinta, tentu saja makan siang itu menjadi sangat istimewa. Sambil makan kami pun bercerita-cerita, tentu saja cerita hal-hal yang menyenangkan, dan entah nafsu makan kami jadi besar sekali. Lima ekor ikan bakar pun tandas. Setelah makan siang, kami hanya istirahat di tepi pantai, mengamati orang-orang lain yang juga bermain di pantai.
Dan tanpa tersadar aku tertidur dalam damai.

"Bebeb...," bisiknya lembut ketika akhirnya aku terbangun. Hari sudah beranjak sore, matahari mulai turun ke peraduan. Saat-saat terindah yang selalu kusuka. "Capek yah?"
"Hehehe, ga kok Ay. Aku cuma merasa... damai aja. Aku emang suka pantai."
"Bebeb manis deh, romantis pula." Ia mencium keningku, membuatku tersipu malu. "Balik yuk. Kamu kan besok udah pulang, jangan lupa beres-beres barang."
"Udah kucicil kok Ay. Dan kok besok pulang ya..." Aku jadi sedih memikirkannya. Oh Tuhan, akhirnya waktu itu tiba juga. Waktu ketika aku harus berpisah dengannya...
"Kapan-kapan kita ketemu lagi ya beb..."
"Iya ayang..." Tepat ketika matahari terbenam, aku menciumnya. Kebetulan pantai itu sudah sepi. Air mataku kembali meleleh; perasaanku bercampur aduk. Andaikan waktu bisa dihentikan... aku tak ingin waktu ini cepat berlalu...

Dalam perjalanan pulang aku tak banyak berbicara; aku hanya bisa memeluknya erat-erat dari belakang. Sekitar pukul setengah delapan malam kami kembali memasuki hiruk pikuknya kota Jakarta. Aku menyuruhnya untuk berbelok ke sebuah kafe yang sudah kupilih sebelumnya atas saran teman-temanku. "Ngapain beb?" tanyanya.
"Makan malam dong. Ultahmu harus dirayakan dengan makan-makan."
"Tapi... aku gak biasa dirayain beb."
"Nah makanya tahun ini kudu dirayain!" Keromantisan hari ini tidak boleh berakhir begitu saja. Maka jadilah demikian; aku menraktirnya makanan yang menurutnya sangat mewah: steak daging sapi dengan minuman anggur merah. Sayangnya tidak ada lilin untuk melengkapi makan malam itu, namun aku bahagia melihatnya makan dengan lahap. Paling tidak, di seperempat abad hidupnya, pantaslah jika sekali-kali ia menikmati hidup ini seperti orang lain. Dan aku bahagia melihatnya bahagia.

Selepas makan malam, kami kembali ke rumahnya agar aku bisa berkemas-kemas, dan untuk memberi makan si guguk--ia pasti kelaparan berat. Dengan berat hati kukemasi barang-barangku; penerbanganku besok pukul sepuluh pagi. Ah kenapa waktu ini cepat sekali berlalu...
Namun, malam itu ia memberiku kejutan tersendiri. Kami kembali bercinta malam itu, bahkan ia mengizinkan aku menciptakan imajinasiku yang paling liar: membuatnya bercinta dengan seragam lengkapnya. Yang tak kuduga, ia sudah menyiapkan beberapa pasang seragamnya yang tak lagi ia gunakan karena kesempitan, dan ia memberikannya untukku sebagai kenang-kenangan. Ia membuatku jadi tentara semalam; tentara yang berperang untuk cinta. Dan kurasa aku berhasil merebut cintanya.

Untuk pertama kalinya, malam itu...

Ia mengizinkanku memasuki dirinya.

Tak perlu kuceritakan di sini pengalaman pertamaku: begitu memalukan. Namun ia tak keberatan dengan hal itu, ketika aku tak berhasil memasuki dirinya--bukan karena kontolku terlalu besar, namun ia tak terbiasa memasuki pantat seseorang. Entah berapa kali aku mencoba, namun aku masih gagal. Yah, kurasa itu untuk kesempatan lain kali.

Entah mengapa, malam itu aku tidak bisa tidur, sekalipun aku tidur dalam dekapannya. Di dalam pikiranku terus berputar saat-saat menyenangkan itu; aku tak mau mengakhirinya. Aku pun teringat lirik lagu Maroon 5 yang judulnya Daylight:

Here I am waiting
I'll have to leave soon
Why am I holding on?
We knew this day would come
We knew it all along
How did it come so fast?

This is our last night but it's late
And I'm trying not to sleep
Cause I know, when I wake, I will have to slip away

And when the daylight comes I'll have to go
But tonight I'm gonna hold you so close
Cause in the daylight we'll be on our own
But tonight I need to hold you so close


Here I am staring at your perfection
In my arms, so beautiful
The sky is getting bright, the stars are burning out
Somebody slow it down

This is way too hard, cause I know
When the sun comes up, I will leave
This is my last glance that will soon be memory

And when the daylight comes I'll have to go
But tonight I'm gonna hold you so close
Cause in the daylight we'll be on our own
But tonight I need to hold you so close


Akhirnya, saat-saat terakhirku bersamanya pun tiba. Aku hampir saja menangis histeris ketika hendak berangkat, namun ia menghiburku. "Bebeb, walaupun kita jauh, aku selalu ada di hatimu. Aku juga bakal kangen dengan dirimu, tapi aku takkan pernah lupa dengan seminggu ini. Makasih ya Beb kamu sudah menemani hidupku; kamu sudah mau menjadi bagian hidupku. Aku sudah ngajuin kepindahan ke Surabaya."
"Ay, ga perlu... aku... aku ga bisa janji bakal bisa hidup bersamamu... serumah denganmu..."
"Ga apa pa bebeb, yang penting aku bisa dekat sama kamu. Ga harus tinggal serumah. Paling ga nanti kamu main ke rumahku ya. Nginap sekali-kali. Kumasakin lagi seperti kemarin-kemarin."
"Tapi Ay... mama pasti curiga... aku ga pernah tidur di rumah temen..."
"Ya nanti aku dekati mama papamu deh... kita jalani aja dulu Beb. Aku juga bakal kangen kamu..." Ia menciumku dan aku balas menciumnya.
"Aku bakal kangen ini dong Ay..." Aku meremas selangkangannya. Ia tertawa kecil. "Dasar nakal... Dah berangkat yuk, ntar kamu telat lho!"

Dan demikianlah berakhir kunjungan kerjaku di Jakarta. Aku hampir saja menangis lagi ketika harus berpisah dengannya di bandara, bahkan aku memeluknya erat-erat sebelum masuk ke terminal. Namun satu hal yang aku yakin, kenangan selama seminggu ini takkan pernah kulupakan. Sebuah kenangan termanis, bahwa...

Angan-anganku akhirnya menjadi kenyataan.