Kamis, 07 Desember 2023

Ketua OSIS dan satpam sekolah

Cerita ini hanyalah rekaan semata, kesamaan nama dan tempat hanyalah kebetulan belaka. PERINGATAN: Konten ini mengandung materi dewasa dan homoseksualitas. Jika Anda tidak dapat menerima materi ini, segera tinggalkan blog ini.

Terinspirasi dari sebuah rangkaian foto-foto yang cukup viral di Twitter kapan hari, Fei mencoba membuatkan ceritanya. Fei sudah dapat izin dari si pemilik foto hehehe...



Ah... andai aku bisa melupakan semuanya ini. Namun aku sudah terlalu jauh terjerumus ke dalamnya.

Aku Mario, usia 30 tahun. Bukan, aku bukan tukang ledeng. Aku bekerja sebagai seorang satpam di SMA X di ibu kota. Aku terpaksa merantau ke ibu kota karena kehidupanku yang kurang berkecukupan, apalagi aku sudah menikah dan mempunyai seorang anak yang masih balita. Aku sadar, aku akan membutuhkan dana yang cukup banyak untuk membiayai kehidupan anakku, dan penghasilanku sebagai seorang buruh tidaklah mencukupi. Karena itu, aku memaksakan diri untuk berpisah dari istri dan anakku, yang kutitipkan ke orang tuaku, dan merantau sendirian ke Jakarta. Kehidupanku di awal kedatanganku ke Jakarta pun tidak semulus yang kubayangkan; ujung-ujungnya aku jadi pekerja kasar dulu dan hidup pas-pasan, bahkan aku malu karena beberapa bulan pertama tidak bisa mengirim uang ke istri dan anakku. Untunglah ada seseorang yang berbaik hati, belakangan kuketahui sebagai kepala sekolah SMA X, yang melihatku sesenggukan di pojok jalan, ketika aku begitu putus asa atas keadaanku saat itu. Ia berbaik hati menawariku pekerjaan sebagai satpam SMA X, karena satpam sebelumnya meninggal dunia, dan agensi security sedang kekurangan orang. Walaupun aku tidak punya ijazah satpam, aku tetap dipekerjakan sebagai satpam, dibelikan seragam, diberikan kamar kos yang dekat dengan sekolah walaupun cukup kecil, bahkan aku pada akhirnya juga diberikan pelatihan satpam yang layak dan berbagai keterampilan lainnya, supaya suatu saat nanti jika aku memutuskan untuk berhenti menjadi satpam dan mencari pekerjaan yang lebih baik, aku memiliki keahlian yang cukup. Namun, siapa yang tega meninggalkan kebaikan hati seseorang yang telah menyelamatkanku dari keputusasaan? Aku bertekad akan menjadi satpam sekolah itu sampai jasaku tidak dibutuhkan lagi. Memang gajiku tidak terlalu besar, namun cukup untuk kusisihkan setiap bulannya untuk biaya hidup istri dan anakku, apalagi SMA itu ternyata cukup bergengsi. Banyak murid-muridnya yang berasal dari keluarga berada bahkan keluarga kaya, sehingga kadang-kadang ada yang memberi rezeki tambahkan untukku.

Namun, semuanya tidak sebanding dengan apa yang akan kuceritakan di sini.

Kira-kira tiga tahun setelah aku menjadi satpam di sekolah itu, aku pun dikenal dan disayangi banyak siswa SMA karena aku supel dan suka menolong. Bukannya aku ingin menjilat supaya diberi upah, namun aku memang ringan tangan. Tentunya ada beberapa siswa yang tidak suka atau memandang rendah diriku karena aku hanya pekerja rendahan dan miskin, namun biasanya aku tidak menghiraukan mereka. Toh ketika event-event sekolah aku juga selalu membantu sebisaku. Karena dulu aku pekerja kasar, badanku cukup bugar dan aku kuat jika diminta mengangkat benda-benda berat. Tanpa harus pergi ke gym, otot-otot tubuhku sudah terbentuk dengan sendirinya. Tentu saja, saat itu aku tidak mengenal apa itu gay dan dunianya, apalagi terpikir untuk memuaskan hasrat seksualku dengan seseorang selain istriku. Kalau kangen, aku hanya bisa memuaskan diri dengan coli saja, itu pun tidak terlalu sering, mungkin lima hari sekali. Memang aku sesekali melihat ada beberapa siswa SMA yang sangat akrab dan sesekali memegang kontol temannya, namun itu kurasa karena kenakalan remaja saja--siapa yang tidak pernah mengalami kenakalan remaja seperti itu? Jadi aku tidak terlalu berpikir macam-macam, dan siswa-siswi SMA pun juga tidak ada yang menggodaku.
Hingga tahun itu, ketika seorang siswa terpilih menjadi ketua OSIS yang baru. Dia kelas XI-4, namanya Patrick. Tubuhnya cukup gempal dan tinggi, aku sering melihatnya main basket selepas sekolah dan setahuku pernah memenangkan berbagai perlombaan. Orangnya supel dan pandai bergaul, jadi dengan cepat dia populer di sekolah, terutama dari kalangan siswi-siswi SMA. Namun, aku belum pernah melihatnya berpacaran, sekalipun sesekali ia terlihat dengan beberapa siswi. Pantas saja ia terpilih jadi ketua OSIS. Ia juga baik kepadaku, bahkan beberapa kali aku diberi bingkisan, katanya titipan dari orang tuanya, dan aku tak kuasa menolaknya karena ia selalu memaksa.
Hingga suatu hari aku mendapatkan kabar yang cukup mengejutkan dari kampung halaman: anakku didiagnosis terkena sebuah tumor yang sebenarnya jinak, namun dapat membesar dan mengganggu perkembangan tubuhnya jika dibiarkan, jadi dokter menyarankan operasi. Tentu saja aku bimbang dan sedih: istriku bilang tabungannya kurang, bahkan sudah termasuk uang yang kukirimkan setiap bulan dan dana bantuan dari tetangga sekitar. Kekurangannya cukup besar bagiku, lima juta rupiah. Aku kebingungan, dari mana dana sebanyak itu. Gajiku yang bisa kusisihkan tiap bulan hanya lima ratus ribu rupiah, tentunya aku tidak bisa menunggu selama sepuluh bulan. Ini membuatku murung, dan sebaik-baiknya aku menyembunyikan raut kekhawatiranku saat bertugas, ada yang mengamatinya juga.

Siang itu sedang hujan cukup deras. Sekolah sudah berakhir sejak dua jam lalu, sehingga keadaan sudah agak sepi, kecuali beberapa siswa yang masih melakukan ekstrakurikuler ataupun terjebak hujan. Salah satunya Patrick, dan entah kenapa hari itu ia memilih menunggu jemputan di bangku depan pos satpam di gerbang sekolah. Di sekolah itu ada tempat jemputan tersendiri yang terlindungi dari hujan. Basa-basi aku menyapanya.
"Loh belum pulang Patrick?" sapaku.
"Belum Bang, ini kena macet katanya sopir, hujan deras gini sih. Duduk sini dong Bang, temenin Patrick!" Dia memang terbiasa memanggilku Abang dan aku pun tidak keberatan. Aku pun duduk di sebelahnya, toh aku juga tidak ada pekerjaan saat itu. Entah kenapa saat itu aku tidak bisa menemukan topik pembicaraan dengannya, padahal biasanya aku mampu ngobrol dengannya. Patrick rupanya menyadari hal itu. "Kok murung amat Bang? Ada masalah kah?"
"Ah... ngg... nggak kok," jawabku berkilah. "Abang lagi capek aja."
"Ah Abang, keliatan banget tuh dari raut mukanya kalau lagi murung!" sergah Patrick. "Cerita gih ke Patrick, barangkali Patrick bisa bantu."
"Ah nggak pa pa kok Patrick... Abang nggak mau ngerepotin Patrick, jangan..."
"Ayolaaah Baaannng..." Patrick mendadak melingkarkan tangannya di bahuku dan menepuk-nepuknya. Baru kali ini aku mendengar suaranya agak manja seperti itu, padahal ia dikenal bersuara jantan. Ia juga tidak biasanya menyentuhku secara fisik seperti itu.  "Biar plong, biar ga murung lagi lah! Yuk spill aja, ada masalah apa Abangku yang baek ini hehehe..."
Aku pun menghela nafas dan akhirnya menceritakan nasib anakku yang butuh biaya operasi. Selesai bercerita, Patrick pun manggut-manggut. "Jadi Abang butuh biaya buat operasi anak Abang yah. Gampang, biar Patrick kasih tahu pak kepsek!"
"Eh jangan Patrick!" sergahku. "Abang udah banyak ngerepotin Pak Amal, Abang bisa kerja di sini juga karena Pak Amal. Abang nggak mau berhutang budi lebih banyak lagi."
"Yaaa... kalau gitu Patrick pikirin jalan lain deh! Yang pasti, Patrick akan bantu Abang!" Mendadak terdengar suara klakson yang familiar bagi Patrick, karena ia langsung bangkit berdiri dan menyiapkan tasnya. "Nanti Patrick kabari lagi Bang!" ujarnya tanpa bisa kucegah, ia langsung berlari menembus hujan menuju mobil jemputannya. Dalam hati aku merasa sedikit lega, namun aku juga semakin kalut. Aku yang hanya seorang satpam ini, layak kah menerima bantuan dari murid sekolah ini? Bagaimana kalau Pak Amal nanti sampai tahu? Ah semestinya aku tidak bercerita padanya...



Di perjalanan pulang, aku berpikir bagaimana caranya membantu Bang Mario. Mestinya sudah paling betul kasih tahu Pak Amal kepala sekolah, tapi tadi Abang menolak. Kalau aku melakukan penggalangan dana pun, semuanya jadi tahu, dan aku harus minta izin dulu sama Bang Mario, belum tentu Abang mau. Kasihan, orangnya baik padahal, tapi aku ga tahu dia serong ga hahaha...
Ya, aku memang berhasil menyembunyikannya di sekolah, tapi aku akan mengakui kalau aku gay. Aku sendiri tidak tahu dari mana asal-usulnya sehingga aku bisa jadi gay, tapi mungkin aku bisa menyalahkan sedikit papaku yang jarang sekali menemuiku dan membesarkan aku. Aku tahu, memang papa bekerja keras demi keluarga sehingga aku bisa menikmati kekayaan ini, namun aku juga rindu kehadiran seorang papa, apalagi aku anak tunggal. Mama memang masih menyempatkan untuk membesarkan aku, namun mama juga seseorang yang sibuk, dengan jasa bakery-nya yang cukup besar dan sukses, sehingga di rumah aku lebih banyak ditemani butler (eh jadi merasa mewah banget kalau disebut begini hehehe), sekolah diantar supir, dan rumah dijaga satpam. Mungkin gara-gara itu aku jadi suka cowok, walaupun aku belum berani mengungkapkannya ke papa mama. Rasanya mereka berharap aku orang normal--ya orang tua mana sih yang tidak berharap begitu--namun aku sudah cukup kenyang dengan kasih sayang dari wanita, entah itu mama, entah itu perawatku. Bahkan aku masih merasa cukup dimanja di usia tujuh belas tahun ini!
Yah, ini mungkin salah satu pengaruh buruk Internet bagiku, tapi dari sanalah aku mengenal namanya fetish, dan aku akhirnya tahu kalau aku suka seragam satpam. Satpam di rumahku berseragam dan aku sering curi-curi pandang, bahkan kadang-kadang kalau sedang bercanda ya aku sempat pegang-pegang selangkangannya, tapi aku tidak berbuat lebih jauh dari itu, dan dia pun juga tidak berani berbuat aneh-aneh kepadaku. Jadinya, kadang-kadang aku hanya bisa memuaskan nafsuku dengan melihat foto-foto satpam rumah yang kuambil diam-diam, atau foto satpam dari Internet. Dari situ juga aku mempelajari bondage, yang kurasa cukup menarik.
Eh...
Berbicara bondage, tiba-tiba aku punya ide menarik untuk membantu Bang Mario. Tapi aku takut dia tidak mau dan malah marah jadinya... bagaimana kalau dilaporkan ke mama papa ya... tapi aku juga suka padanya, dan ingin merasakan tubuhnya... hmmm... apa salahnya dicoba lah! Kurasa dia bakal malu juga kalau lapor bahwa aku memberinya uang dengan jalan itu... Aku jadi bersemangat merencanakan sesuatu sepanjang perjalanan macet itu. Semoga Abang Mario mau.



"Bang, besok kan long weekend tuh," ujar Patrick yang lagi-lagi duduk di bangku pos satpam saat menunggu jemputan. Akhir-akhir ini entah kenapa dia sering menunggu di sana dibanding menunggu bersama teman-temannya. Sudah tiga hari sejak aku bercerita tentang masalahku padanya. "Patrick pingin staycation, tapi ga ada temennya. Mau ikut ya? Ya ya ya?"
"Loh ngapain Patrick staycation? Nggak ada ulangan?" tanyaku kebingungan. Ngapain aku diajak staycation? Apa kata orang nanti kalau tahu?
"Nggak ada, jadwal Patrick kosong minggu depan. Patrick bosen Bang di rumah, temenin Patrick ya? Ya ya ya?"
"Emang papa mama nggak ikut libur?"
"Ya itu Bang..." Raut muka Patrick mendadak berubah sehingga aku jadi merasa bersalah menanyakan hal itu. "Papa tetep ada kerjaan selagi long weekend, mama tambah ramai yang pesen bakery, jadi Patrick dikasih uang jajan buat staycation. Cuma Patrick males aja sama temen-temen, pengen nyoba suasana baru. Tapi Patrick ga mau sendirian juga. Makanya Patrick ajak Abang. Abang ajuin cuti juga gih! Ya ya ya..." Entah kenapa tangan Patrick saat itu berada di pahaku, namun aku tidak terlalu merisaukannya. "Biar Abang refreshing gitu, biar seger lagi! Mau ya?" Aku kebingungan menjawabnya sehingga aku hanya bisa terdiam cukup lama, namun wajah Patrick benar-benar seperti memelas mengajakku ikut. Aku sendiri tidak pernah melakukan apa itu namanya staycation, uang dari mana. Hiburanku selama ini hanya televisi butut dan HP-ku saja. "Patrick minta izin ke Pak Amal dulu deh biar Abang boleh cuti!" Mendadak Patrick bangkit dan langsung melesat menuju ruang kepala sekolah. "Eh, Patrick! Patrick!" Dia bahkan tidak menghiraukan panggilanku. Dalam hati aku berkecamuk: sebenarnya aku penasaran seperti apa itu staycation. Tapi, apa kata orang nanti kalau tahu aku yang hanya seorang satpam ini diajak staycation seorang anak SMA? Anak orang kaya pula. Ya harusnya Patrick nggak akan berbuat aneh-aneh sih, aku tahu sendiri anaknya bagaimana.
Atau itu yang kukira.
Tak lama kemudian, Patrick kembali tergesa-gesa ke pos satpam. "Abang dipanggil Pak Amal! Yuk cepetan!" Tanpa aku bisa menjawab, ia menggaet tanganku dan menarikku segera ke ruang kepala sekolah. Aneh sekali anak ini, kenapa ya dia ngebet sekali? Tergopoh-gopoh aku mengikuti langkahnya hingga ke ruang kepala sekolah, dan aku pun langsung memberi hormat pada Pak Amal, sekalipun nafasku agak tersengal-sengal. "Pak Mario, kata Patrick Bapak ingin mengajukan cuti selama long weekend ini?" tanya Pak Amal dengan nada bicara biasanya. Aku hanya bisa gelagapan menjawabnya. "Anu... anu Pak Amal..."
"Pak Mario, nggak perlu sungkan-sungkan begitu!" seru Pak Amal sambil tersenyum, berdiri dan menepuk-nepuk punggungku. "Bapak sudah bekerja begitu keras di sekolah ini selama ini, dan saya baru mengamati Bapak jarang ambil cuti sebenarnya." Eh benarkah? Aku sendiri tidak menyadarinya. "Jangan lupa Pak, Bapak punya jatah cuti sepuluh hari setahun." Sebenarnya bisa kupakai untuk pulang menjenguk anakku, tapi aku belum punya dana untuk membayar operasinya... "Nggak masalah Pak! Nikmati cutinya selama long weekend! Nanti saya minta Pak Muchlis menggantikan Bapak, harusnya beliau nggak keberatan."
"Terima kasih Pak Amal," ucapku sedikit terbata-bata, walaupun Patrick terlihat kegirangan di belakangku. "Saya undur diri dulu." Pak Amal hanya tersenyum ketika aku pamit dan kembali ke pos jagaku. "Besok temenin Patrick ya Bang, Patrick jemput di kontrakan Abang gimana?"
"Eh nggak usah Patrick," ujarku berkilah. "Biar Abang aja yang ke sana."
"Oke siap Bang! Tukeran nomer WA ya, biar gampang kontaknya!" Patrick pun memberiku nomor WA-nya dan aku memberikan nomor WA-ku, kemudian ia memberikan info hotel dan nomor ruangannya. "Abang tahu X Hotel kan? Yang di kawasan Y? Pernah nginap hotel kan Bang?"
"Anu... nggak pernah sih Patrick... apalagi X Hotel kan mahal... beneran nggak pa pa nih?"
"Eh tenang aja Bang, Patrick udah order kamar kok, udah lunas juga. Kamarnya gede, Abang pasti suka. Daripada Patrick sendirian kan mending ditemenin Abang hehehe..." Sayangnya percakapan itu harus terhenti karena mobil jemputan Patrick sudah tiba, jadi sisanya dilanjutkan di WA. Hanya saja, salah satu WA-nya yang membuatku bertanya-tanya adalah:
"Bang, besok pakai seragam satpam Abang kaya biasanya ya."
Aku agak keheranan, kenapa Patrick memintaku seperti itu. Namun, karena dia yang mengajakku untuk staycation di hotel kelas atas, aku tidak kuasa menolaknya. Maka aku hanya bisa menjawab ya.
Barulah keesokan harinya aku tahu mengapa dia memintaku mengenakan seragam satpamku.



Akhirnya Abang Mario mau juga kuajak ke hotel! Walaupun sekalian staycation, aku pingin melakukan itu hahaha... aku pun sibuk menyiapkan segala peralatan yang perlu kubawa, termasuk beberapa "peralatan" yang sudah kubeli selama ini namun belum pernah kupakai, hanya pernah melihat caranya di Internet. Aku sudah mempelajarinya baik-baik. Besok harusnya akan jadi hari yang menyenangkan!



Keesokan harinya, aku pun tiba di lobi hotel X dengan membawa tas ransel yang berisi baju dan beberapa perlengkapan satpam yang tidak kupakai langsung--Patrick pun menyuruhku mengenakan jaket agar tidak dilihati banyak orang. Kata Patrick, kami akan menginap empat hari tiga malam, jadi aku diminta bawa baju agak banyak. Karena itu pertama kalinya aku memasuki hotel mewah, aku agak deg-degan rasanya dan ada rasa minder. Semestinya kemarin aku tidak menolak tawaran Patrick untuk dijemput... sekarang bagaimana ini? Aku pun mengeluarkan handphone-ku dan mengirim WA ke Patrick.
"Abang sudah sampai di lobi."
Ting! "Bentar ya Bang, Patrick masih mandi. Kalau mau naik duluan, Abang bisa ke resepsionis dulu, Patrick tadi sudah nitip untuk ngasih spare key ke Abang, terus minta aja diantar naik ke kamar 2010. Kalau ditanyai atas nama siapa, bilang aja atas nama Patrick Kanginan. Abang bawa KTP kan? Tunjukin aja KTP-nya, Abang udah kudaftarin juga sebagai tamu di kamar 2010."
Hmmmm... aku bimbang antara menunggu Patrick selesai mandi, atau mencoba sesuai sarannya. Kelak aku bisa cerita ke istriku bagaimana rasanya menginap di hotel mewah, semoga aku bisa punya cukup uang untuk membawanya ke kota ini dan menginap... dengan jantung berdebar aku menuju resepsionis.
"Selamat siang Bapak, ada yang bisa saya bantu?" tanya resepsionis itu dengan ramah.
"Anu... saya mau menuju kamar 2010, saya sudah didaftarkan dengan Patrick Kanginan."
"Baik Bapak, boleh pinjam KTP-nya?" Aku pun menyerahkan KTP-ku dan resepsionis itu dengan cekatan memeriksanya. "Baik Bapak Mario, betul Bapak terdaftar sebagai tamu kami di kamar 2010. Ini kunci kamar Bapak sesuai titipan Bapak Patrick." Ia menyerahkan sebuah kartu yang aku sebenarnya kebingungan: katanya kunci, kok bentuknya kartu? "Selamat menikmati istirahat Bapak di hotel kami!"
"Anu... apakah saya bisa diantarkan ke kamar 2010? Saya baru pertama kali menginap di sini," ujarku sambil agak menunduk malu.
"Baik Bapak, mohon ditunggu sebentar ya." Resepsionis itu memanggil seseorang, yang belakangan kuketahui adalah seorang bellboy. "Selamat siang Bapak, saya yang akan mengantar Bapak ke ruang 2010. Silakan Pak!" Aku pun mengikuti pria itu menuju ke lift, dan kebetulan sekali lift-nya kosong padahal lobi saat itu cukup padat pengunjung. "Silakan tap kartunya Pak ke sini, kemudian tekan lantai yang ingin dituju. Ini hanya untuk naik saja dan mengakses area-area khusus tamu Hotel X, untuk ke lobi tidak perlu pakai kartu. Harap disimpan dengan baik ya Pak kartunya, jika kehilangan atau rusak akan dikenakan biaya penggantian kartu seratus lima puluh ribu rupiah. Apa Bapak ingin diantar hingga ke kamar?"
"Boleh Mas," jawabku. Aku takut juga berada di lift sendirian; aku tidak pernah naik lift sebelumnya.
"Baik Bapak, mari." Ia membantu menekankan tombol ke lantai 20, dan lift itu pun langsung naik. Aku tidak berbicara apa-apa selama itu, sampai tiba-tiba bellboy itu memecah kesunyian dengan bertanya, "Bapak anggota?"
"Oh bukan Mas, saya cuma satpam," jawabku sambil keheranan, dari mana dia menyimpulkan begitu.
"Oh baik Pak, saya kira anggota soalnya sepatunya khas anggota hehehe... soalnya hotel ini memang sering juga jadi jujugan anggota, entah rapat atau event gitu Pak." Aku hanya manggut-manggut saja dan kami tidak berbicara lagi hingga lift berhenti di lantai 20. Bellboy itu kemudian mengantarku hingga depan kamar 2010 dan mengajariku cara membuka pintu menggunakan kartu. Ia pun meninggalkanku di kamar itu, sehingga kini aku sendirian walaupun aku mendengar suara gemericik air di sebelah kiriku--rupanya Patrick masih mandi. Lho berarti kamarnya tidak dikunci tadi? Bagaimana kalau bellboy itu yang masuk ya... aku pun melangkah masuk dan berdecak kagum dengan pemandangan kamar itu. Kamarnya cukup luas, bahkan lebih luas dari kontrakanku. Ada dapur mini, ada ruang tengah dengan sofa dan TV yang cukup besar, kemudian ada ruang lain yang kuintip adalah kamar tidur. Wah ranjangnya hanya satu... berarti nanti aku tidur sama Patrick? Apa tidak apa-apa ya... tapi ranjang itu besar sekali, rasanya pasti cukup kalau istri dan anakku tidur juga di situ. Ah aku jadi kepikiran anakku... perasaanku campur aduk betul saat itu: bahagia karena bisa mendapatkan kesempatan menikmati kamar hotel mewah, namun sedih karena hanya aku sendiri yang menikmatinya. Tak sadar air mata pun mulai menggenang di pucuk mataku--ah malu nanti kalau dilihat Patrick! Segera kuseka air mataku dan kufokuskan diriku untuk melihat-lihat sekeliling. TV saat itu sedang memutar sesuatu yang aku tidak pahami--sepertinya berbahasa Inggris. Ah Patrick pasti bisa memahami acara ini, dia kan pintar di sekolah! Entah kenapa aku tiba-tiba merasa sayang dengan Patrick... mungkin karena orang tuanya agak kurang memberinya kasih sayang. Tapi siapalah aku ini menggantikan orang tuanya, apalagi aku hanya seorang satpam... Sofanya sepertinya nyaman sekali, namun aku tidak berani duduk dulu, nanti Patrick berpikir macam-macam... aku melihat ke luar jendela dan merasa kagum. Baru kali ini aku melihat ibu kota dari atas, ternyata cantik juga. Pantas banyak yang suka menginap di hotel bertingkat tinggi. Mungkin kalau malam lebih cantik lagi ya...
"Abaaaannnggg...," aku mendengar suara Patrick dari belakangku, maka aku pun berbalik dan melihatnya menyambutku dengan tangan terbuka. Lho, kok dia pakai seragam sekolah? Belum sempat aku bereaksi, dia memelukku dengan manja, seolah-olah aku ini abangnya. Apa mungkin dia memang sekesepian itu ya... sejenak aku agak canggung karena dia sebenarnya lebih tinggi dariku, jadi seolah-olah malah aku yang menjadi adiknya. "Makasih Bang udah mau nemenin Patrick ya!"
"Abang yang makasih banyak Patrick, Abang mimpi apa bisa nginap di hotel semewah ini," ucapku sedikit bergetar ketika Patrick melepaskan pelukannya. Entah kenapa kesedihan itu menerpaku kembali.
"Udah gpp Bang, Patrick kesepian soalnya di rumah. Yuk nyantai!" Patrick membantuku menanggalkan tas ransel dan jaketku, dan barulah aku merasa ruangan itu ternyata dingin. Patrick pun menyuruhku duduk di sofa itu, diikuti dia duduk di sebelahku. "Abang ga kedinginan kan? Mau Patrick kecilin AC-nya?"
"Nggak usah Patrick, Abang kuat kok. Di desa Abang dingin juga."
"Bang, boleh ga panggil Patrick Pat aja? Patrick di rumah dipanggil Pat doang, kata papa itu soalnya pas kecil Patrick manja banget, minta dipuk puk, nah itu Inggrisnya kan Pat juga hehehe..."
"Ga pa pa nih?"
"Ga pa pa kok Abang, kan kita cuma berduaan di sini. Papa Mama juga tahu kok kalau Patrick staycation ngajakin Abang. Patrick suka cerita kalau Abang itu orangnya baiiiik banget, suka bantuin Patrick, jadi kenapa nggak gantian Patrick yang baikin Abang."
"Ah bisa aja kamu Patrick... Pat... Abang cuma bertugas aja kok."
"Tapi sumpah, Abang tu jauuuuuh lebih baek dibandingin Mas Muchlis, ih galak bener dia! Patrick pernah dimarahin gara-gara bikin kotor lorong sekolah, lah kan pas ujan juga, otomatis sepatu Patrick banyak lumpurnya dong!"
"Ya mungkin maksudnya biar Pak Pur nggak repot-repot bersihinnya Pat."
"Tetep aja lah Bang, kan lagi hujan juga..." Patrick bergeser mendekat, sejenak membuatku salah tingkah. "Abang ganteng yah," celetuk Patrick tiba-tiba sambil memandangku. Eh? "Ga salah deh istrinya pilih Abang hehehe..." Aku hanya tersenyum sambil berpikir, kenapa dia tiba-tiba menyebut istriku. "Abang kalau kangen istri gimana?"
"Ya telpon sih Pat, walaupun nggak bisa video call. Sinyalnya belum sebaik itu di desa." Patrick terlihat manggut-manggut.
"Kalau kangen 'begituan' gimana Bang? Punya Abang gede tuh..." Ah pertanyaannya terang-terangan sekali, tapi mungkin wajar ya di kota besar seperti ini... dan mungkin tidak ada yang mengajarinya karena dia anak tunggal, kalau orang tuanya sesibuk itu...
"Ya Abang coli aja sih Pat, tapi nggak sering-sering amat, paling lima hari sekali." Entah kenapa ya aku menjawabnya biasa saja...
"Emang Abang terakhir coli kapan?" Sejujurnya, aku tidak pernah menghitung kapan terakhir aku coli.
"Yaaa... mungkin ada semingguan kali Pat, lagi nggak selera aja. Abang kepikiran anak Abang di rumah..." Sejenak aku menyesal berbicara begitu, karena suasananya mendadak menjadi muram. Aku sejenak mengintip ke luar jendela, awan tebal mulai menggantung di horizon. "Ah maafin Abang ya, kok tiba-tiba Abang bahas anak Abang... kan Patrick lagi mau menikmati liburan."



"Justru itu Abang, Patrick mau ngobrolin itu bentar sama Abang, kalau Abang bersedia," ujarku. Dalam hati, sebenarnya aku deg-degan juga. Pancinganku terlalu cepat dan mendadak, karena aku sudah tidak sabar ingin menikmati tubuh Bang Mario. Dari tadi aku lirik-lirik tubuhnya yang kekar terbalut seragam satpam sekolah, dan jendolannya yang bagiku gede, aku jadi horny sendiri. Semoga Bang Mario nggak melihat aku ngaceng.
"Eh... gimana Pat?" tanya Bang Mario kebingungan. "Bukannya kamu ngajak Abang ke sini buat staycation?"
"Iya Bang, tapi ingat nggak kapan hari Patrick bilang mau bantuin Abang?" ujarku. "Patrick mau utarain sekarang. Tapi Abang janji ya, Abang ga akan marah sama Patrick?"
"Marah... kenapa Pat?" Dari raut wajahnya, aku melihat Bang Mario semakin kebingungan, membuatku semakin gugup sebenarnya. Namun sudah sejauh ini, kepalang tanggung... apapun risikonya, harus kuterima!
"Abang janji dulu pokoknya!" ujarku semerajuk mungkin.
"Ya deee... Abang janji ga akan marah!" jawab Bang Mario.
"Jadi gini Bang... Patrick... ada dana buat bantu Abang. Tapi... Patrick pingin minta sesuatu dari Abang."
"Pat... jangan, Abang ga bisa nerima, Abang ini siapa, cuma satpam sekolah..."
"Ah Abang, demi anaknya loh! Patrick ga mau anaknya Abang kenapa-kenapa!" Aku memandang serius ke wajah Bang Mario, dan dia agak salah tingkah sebenarnya. Kelihatan dari matanya Bang Mario agak sedih, dan aku jadi agak bersalah sebenarnya, namun kutekadkan diri. "Patrick ada uang lebih, Abang butuh lima juta kan, Patrick bisa kasih Abang enam juta, sekalian buat jaga-jaga kalau ada apa-apa--ya amit-amit lah ya Bang!"
"Patrick... Abang... Abang perlu lakukan apa buat Patrick supaya Abang layak menerima uang segitu..." Loh... kok Bang Mario kaya pasrah gitu? Tapi aku melihat mata Bang Mario agak berkaca-kaca, jadi aku sendiri malah berjuang untuk mencari kata-kata yang tepat, supaya Bang Mario mau kunikmati badannya.
"Patrick... cuma pingin..." Ah aku kesulitan betul! Sepertinya aku mulai berkeringat dingin; belum pernah aku seintens ini!
"Bilang aja Pat, Abang turutin!" Mendadak Bang Mario menjadi teguh. "Patrick suruh Abang kerja di rumah bersih-bersih atau apa, Abang lakuin! Abang cuma mau yang terbaik buat keluarga Abang."
"Ya... Patrick ga akan nyuruh Abang untuk kerja keras lagi sih Bang..."
"Abang siap lakuin permintaan Patrick."
"Patrick mau enakin Abang malah." Hanya itu yang meluncur dari mulutku, membuat Bang Mario kebingungan.
"Mmm... maksudnya gimana Pat? Abang ga ngerti..." Aku berusaha mengatakannya dengan bahasa sesederhana mungkin... tapi sebelum ke sana, mungkin...
"Tapi Abang janji satu hal lagi ya. Ini rahasia kita berdua aja, tolong jangan kasih tahu ke siapa-siapa bahkan ke papa mama Patrick."
"Abang janji Pat. Abang juga belum pernah ketemu papa mama Patrick, Abang perlu berterima kasih suatu saat nanti."
"Bener ya Bang?"
"Patrick boleh tinju Abang deh kalau Abang ingkar janji." Ya nggak nolak sih sebetulnya... "Coba bilang aja Patrick mau apa dari Abang."
"Gini Bang... Patrick... pingin nikmatin badan Abang sambil ngiket Abang," ucapku dengan cepat. Benar dugaanku, raut wajah Bang Mario berubah dengan cepat, walaupun aku melihatnya masih kebingungan.
"Maksud... maksud Patrick... gimana?" Maka akhirnya kujelaskan semuanya ke Bang Mario. Dia orang pertama yang kuberi tahu kalau aku ini gay dan menyukai Bang Mario. Aku berencana melakukan soft bondage dan edging ke Bang Mario dengan bahasa sesederhana mungkin supaya Bang Mario memahami dengan jelas apa yang akan kulakukan. Aku juga mengatakan bahwa kegiatan itu akan kudokumentasikan, walaupun tentu saja nama Bang Mario akan kusamarkan, dan wajahnya tidak terlalu tampak jelas--aku juga akan menyamarkan wajahku; gila aja kalau sampai temen-temen SMA atau ortu tahu! Ke depan, dokumentasi itu bisa kujual dan Bang Mario akan kubagi separuh kalau ada yang beli. "Ini Patrick ga maksain Abang ya, kalau Abang ga mau Patrick bisa maklum kok, karena ini sesuatu yang besar, dan Patrick akan tetap kasih uang Abang enam juta seperti yang Patrick tadi bilang. Abang juga boleh ga jawab sekarang, kan masih ada empat hari tiga malam di sini, cuma Patrick tetap berharap Abang mau nemenin Patrick di sini sampai staycation usai. Apapun jawaban Abang, Patrick akan hargai itu." Bang Mario lama terdiam, sepertinya berpikir dan menimbang-nimbang, maka aku memberi jarak dengan sedikit menjauh dari Bang Mario dan berfokus pada tontonan televisi, walaupun aslinya jantungku berdebar parah. Semoga Bang Mario mau!

"Patrick mau melakukan itu ke Abang kapan?" ujar Bang Mario tiba-tiba setelah hampir lima belas menit berlalu. Aku bahkan sudah tidak sadar sudah berlalu selama itu!
"Ya... kalau Abang mau, setelah makan malam, kira-kira sejam setelahnya, biar makanannya udah turun, Abang sama Patrick bertenaga buat semalam suntuk!" ujarku bersemangat, sejenak berharap Bang Mario akan setuju. "Abang nyantai aja, Patrick pokoknya manjain Abang empat hari ini. Abang makan yang enak-enak, yang kenyang."
"Pat... kamu kok baik banget sama Abang... kenapa..." Aku melihat mata Bang Mario berkaca-kaca lagi, maka tanpa pikir panjang lagi kupeluk Bang Mario. "Udah jangan dipikirin lah Bang. Abang udah berjasa banyak buat sekolah Patrick, mumpung Patrick bisa membalas jasa Abang, ya Patrick balas jasa Abang. Abang tinggal pikirin tawaran Patrick tadi ya. Patrick bakal seneng banget kalau Abang mau, tapi Patrick ga maksain Abang kok."
"Abang mau." Jawaban Bang Mario membuatku langsung terbang ke langit ke tujuh. "Bener nih Bang?" tanyaku memastikan sambil mataku berbinar-binar.
"Tapi pelan-pelan ya, ajarin Abang."
"Siap Abangkuuuu..." Kucium pipi Bang Mario. "Patrick kasih yang enak-enak kok, nggak seserem itu kok Bang!"
"Ya udah Abang nurut, toh Abang juga kok tiba-tiba kepingin..." Ah rupanya Bang Mario horny juga akhirnya! Tapi hari masih panjang, saat itu masih pukul setengah tiga sore. "Abang nyantai dulu gih, jangan tegang. Nikmati liburan ini ya Bang."
"Makasih ya Pat..."
"Patrick yang makasih juga Bang, Abang mau nemenin Patrick di sini. Patrick jujur aja kesepian, dan Patrick juga jenuh bergaul sama temen-temen Patrick sebetulnya. Patrick kaya... kepingin... sosok abang..."
"Papa Mama kerja keras betul ya Pat," kata Bang Mario.
"Iya Bang, dan bukannya Patrick nggak bersyukur ya, malah Patrick bersyukur banget Patrick dimanjain kaya begini, sampai di usia begini Patrick sudah menikmati macam-macam. Tapi lama-lama Patrick bosan juga hidup begini. Patrick butuh... teman yang nggak melulu hedon. Sekedar ngobrol aja kaya gini Patrick udah seneng banget Bang."
"Kamu boleh lah ngobrol sama Abang, anggap abangmu sendiri gimana?"
"Abang... mau?"
"Yaa... kamu anak baik Pat, Abang senang di usiamu segini kamu sudah cukup dewasa menyikapi kehidupanmu, bahwa ada yang lebih penting dari uang. Kalau Abang bisa bantu walaupun hanya sekedar ngobrol saja, kenapa nggak?"
"Abang..." Entah kenapa aku jadi terharu dibuatnya. Ah kenapa juga aku ngobrolin itu tadi! Nanti malam kan aku mau menikmati tubuh Bang Mario! Tapi alangkah senangnya semua rencanaku berjalan dengan baik, bahkan dapat bonus Bang Mario mau jadi abangku! Tinggal eksekusi saja nanti malam... Kami berdua tenggelam dalam pikiran masing-masing, sementara di luar sana hujan mulai turun. Sepertinya akan susah ke mana-mana, tapi kalau mau sih sebenarnya ada jalan tembus ke mal. Ah hari ini biar di kamar saja, Bang Mario pastinya belum pernah menikmati ini semua. Besok saja kalau sudah mulai jenuh baru diajak jalan-jalan. "Abang capek? Kalau capek tidur dulu gih. Apa mau mandi?"
"Nanti aja Pat, ni TV-nya menarik ya, Abang jarang nonton TV." Rupanya Bang Mario tertarik dengan acara itu, walaupun aku hanya memutar National Geographic.
"Patrick boleh boboan di pangkuan Abang?"
"Sini deh." Bahagianya aku ketika Bang Mario mengizinkan aku tiduran di pahanya, karena aku bisa mengamati tubuh Bang Mario dari lebih dekat. Walaupun terbalut seragam satpam hitam-hitam, aku bisa melihat badannya tegap dan kekar. Selangkangannya sangat menarik dan mengundang, namun aku menahan diri untuk tidak menyentuhnya dulu.



Agak canggung juga sebenarnya, anak ketua OSIS di sekolah tempatku bekerja sekarang sedang tiduran di pangkuanku. Sejenak aku merasa Patrick seperti anakku sendiri yang sudah beranjak dewasa, walaupun anakku sekarang masih empat tahun dan sedang sakit. Ah anakku, Bapak sebentar lagi bisa memberikan dana untukmu operasi, tapi Bapak harus melakukan ini dulu... maafkan aku istriku, aku mencintaimu, tapi demi masa depan anak kita, aku harus melakukannya... aku berusaha mengusir rasa bersalahku dengan menonton acara TV. Sebenarnya aku penasaran juga apa yang akan dia lakukan padaku, apalagi aku juga sedang horny. Aku belum pernah disentuh sesama pria tentu saja, jadi ini pengalaman pertamaku nanti. Tapi kalau ini bisa menyembuhkan anakku... apapun akan kulakukan. Sesekali aku mengelus-elus kepala Patrick, mencoba membuat suasana menjadi lebih rileks. Rasanya ia mulai tertidur di pangkuanku. Kuamat-amati wajah anak SMA itu, ganteng juga. Pantas jadi idola banyak siswa-siswi dan memang cocok jadi ketua OSIS. Aku tidak menyangka saja di balik semua itu ada kesedihan sendiri yang ia pendam, padahal sehari-hari di sekolah dia terlihat selalu riang. Ah, memang nasib tiap manusia berbeda-beda... Aku menoleh ke luar, hujan cukup deras walaupun tidak terlalu terdengar suara rintik-rintiknya, hanya sesekali kulihat kilat dan suara petir menggelegar. Kembali kulihat Patrick... kuamat-amati tubuhnya. Gempal juga untuk ukuran anak SMA, tapi dia memang suka olah raga. Kakinya yang semampai, dan entah kenapa juga dia berseragam, walaupun tidak sampai mengenakan sepatu sekolah... atau mungkin dia bawa? Aku sendiri juga belum melepas sepatuku, dan lama-lama pahaku kesemutan juga. Perlahan-lahan kupindahkan kepala Patrick dari pahaku ke bantal yang ada di sofa itu, dan kulepaskan sepatu butsku. Sepertinya di kamar hotel ini tidak perlu bersepatu. Lama-lama aku sendiri ikut mengantuk, hawa dingin ini mengundang sekali walaupun aku tahu ini dari AC. Sepertinya aku ikut tidur saja, tapi aku masih sungkan untuk tidur di kamar. Mungkin aku istirahat sejenak di sofa saja, di samping Patrick...
"Bang... Bang Mario..." Sayup-sayup kudengar suara Patrick. Aku pun perlahan membuka mataku. Ah ternyata matahari sudah tenggelam. Jam berapa ini... apa aku tertidur selama itu? "Bang Mario, bangun yuk, udah malam," kata Patrick. "Kita makan dulu yuk, terus Patrick layanin Abang." Aku pun menggeliat. "Jam berapa ini Pat?"
"Jam enam lebih dikit sih. Kita makan di restoran bawah aja ya Bang, masih hujan tuh, kelihatannya awet ini hujannya."
"Abang ngikut aja Pat."
"Sip Bang. Abang pasti suka deh! Tapi ganti baju dulu aja ya, masa Abang pake seragam. Itu kan buat nanti malam hehehe..." Maka aku dan Patrick pun berganti baju dengan baju yang lebih santai. Patrick pun mengajakku turun dan makan di restoran di hotel tersebut. Patrick memilihkan menu untukku, dan aku benar-benar terharu dibuatnya. Makanan di hotel itu sangat enak, tidak seperti yang pernah kumakan selama ini, dan terasa begitu mewah. Makanan yang tidak akan pernah kunikmati lagi sepertinya. Suasananya juga cukup mewah, atau bahkan bisa kubilang romantis? Ah andai aku punya uang cukup untuk membawa istriku ke sini... entah sudah berapa kali aku memikirkan mereka; entah apakah Patrick mengamati itu atau tidak. Semoga ini tidak merusak suasana, karena aku merasakan Patrick benar-benar tulus memanjakan aku. Yah, walaupun dia memang meminta sesuatu dariku, namun aku tidak merasakan niatnya sepamrih itu. Apalagi banyak yang bilang, rezeki jangan ditolak. Mungkin ini sudah jadi rezekiku.

Dan malam itu hidupku sepertinya akan berubah.

"Gimana Bang makanan di sini?" ujar Patrick setelah kami kembali ke kamar. "Enak kan?"
"Enak banget Pat, Abang baru pertama kali makan seenak dan sebanyak itu. Kenyang deh Abang sekarang!"
"Jangan ketiduran lagi ya Bang. Kan malam ini kita mau senang-senang itu hehehe... Abang mau mandi dulu?" Baru aku sadar kalau aku belum mandi sore. "Boleh deh, tapi dingin nggak ya airnya?"
"Ada air panasnya Bang. Sini Patrick tunjukin!" Dia pun menunjukkan cara menggunakan shower yang pastinya aku tidak pernah menggunakannya sebelumnya. Setelah paham, aku pun menikmati mandi mewah itu sementara Patrick bilang dia akan menyiapkan alat-alatnya. Setelah puas, aku pun keluar dan langsung merasa kedinginan. Patrick hanya cekikikan melihatku menggigil. "Langsung pake ya Bang seragamnya!" Tak perlu disuruh lagi, aku pun segera mengenakan baju dan seragamku sesuai permintaan Patrick. Sebenarnya aku agak deg-degan, apa yang akan Patrick lakukan padaku? Tapi tentunya dia tidak akan menyiksaku, ya kan? Aku melihat berbagai benda dan alat yang tidak pernah kulihat sebelumnya. "Patrick dapat benda-benda ini dari mana?" tanyaku penasaran.
"Oh Patrick lihat di Internet Bang! Patrick udah belajar kok, jadi Abang ga perlu takut ya! Dinikmati aja hehehe..."
"Abang ngikut aja deh."
"Yuk Bang, sini, berdiri depan Patrick." Aku pun menuruti perintahnya. "Abang pasrah ya, kaya pura-puranya Abang dibekap Patrick."
"Siap Pat."
"Tangannya ke belakang Bang, kaya posisi istirahat di tempat." Aku pun meletakkan tanganku di belakang sesuai permintaannya. Patrick kemudian membawa semacam lakban. "Merem ya Bang." Aku pun memejamkan mata. Kudengar suara lakban ditarik dan aku merasakan wajahku di bagian mata ditutupi lakban. "Percaya sama Patrick ya Bang."
"Abang percaya sama Patrick," jawabku walaupun aku semakin deg-degan. Entah kenapa ini membuatku terangsang juga. Patrick benar-benar melakban wajahku sehingga aku tidak lagi bisa melihat apa-apa. "Oh iya, Patrick lupa sesuatu. Bentar ya Bang." Aku tidak tahu apa yang Patrick lupakan, namun tak terlalu lama ia menyentuhku. "Minum ini ya Bang. Ini bukan racun kok! Abang nanti pasti perkasa habis minum ini." Aku pun menurut saja, walaupun agak cemas juga. "Buka mulutnya ya Bang, Patrick suapin." Rupanya Patrick membawakan gelas untuk kuminum. Apapun cairan itu terasa dingin, namun kuteguk saja. Tidak ada rasa apa-apa, sepertinya air biasa. Kuteguk apapun itu sampai habis. "Patrick siapin lagi ya Bang." Aku hanya mengangguk. Selagi ia melanjutkan melakban mulutku, aku mulai merasakan sesuatu. Badanku menjadi terasa hangat, terutama di bawah sana. Mendadak aku jadi bersemangat; pandanganku tertutup rapat, aku tak bisa berbicara, tapi aku malah terangsang dibuatnya. Dari mana ya dia belajar ini semua... Aku mendengar suara "buk" pelan, lalu aku bisa merasakan Patrick memelukku dari belakang dan berbisik, "Abang nikmatin aja yah, Patrick beri kenikmatan lebih ke Abang..." Perkataannya membuatku terangsang, walaupun aku bisa merasakan satu lengannya mengapit leherku. "Ngggghhh..." Patrick meletakkan tangannya satu lagi di dada kiriku, dan aku bisa merasakan kehangatan yang membuatku terangsang, apalagi ia meletakkannya dekat puting dadaku. Aku baru menyadari bahkan kedua putingku pun terasa melenting. Apa dia memberiku minum pembangkit gairah? Aku tidak pernah meminumnya karena aku merasa gairahku sendiri sudah cukup tinggi untuk melayani istriku... mungkin Patrick memberiku itu agar aku bisa tetap terangsang, apalagi ini pengalaman pertamaku dilayani seorang pria...
"Patrick sayang Abang..." lagi-lagi ia membisiki telingaku sambil memelukku erat-erat. Pelukannya bermakna ganda: pelukan sayang dan pelukan nafsu. Tangannya mulai meraba-raba dadaku. "Mmmmmhhh..." aku bergetar ketika jari-jarinya menyentuh putingku yang melenting itu. "Enak kan Bang?" Aku hanya mengangguk sedikit karena Patrick masih mencekikku walaupun tidak sampai membuatku kesulitan bernafas.
"Patrick turun ke bawah ya." Aku merasakan tangannya mulai meraba bagian bawah tubuhku, dan langsung ke bagian pribadiku. "Mmmmhhh... gedenya punya Abang," bisik Patrick nakal sambil mengelus-elus batang kontolku yang sudah mengeras itu. "Ngggghhhh..." entah kenapa aku agak meronta-ronta sedikit. "Dinikmati Bang..." Aku bisa merasakan nafas Patrick hangat menyapu leherku, dan sesuatu yang lebih hangat dan basah menyapu sisi leherku. "Mmmmmhhh..." Aku semakin menggelinjang ketika Patrick mengelus-elus kepala kontolku yang terdesak di celana satpamku itu. "Nggggghhhh.... mmmmfffffhhh..." Aku melenguh panjang ketika Patrick mengurut batang kontolku yang benar-benar keras. "Yeaaaahhh... kontol Bang Mario gedeeeehhh... Patrick sukaaaa.... mmmhhhh... Patrick mainin kontolnya ya Bang... oooohhh..." Aku terpekik ketika ia meremas-remas biji-biji kontolku, namun lama-lama rasanya enak juga. Belum pernah aku dirangsang seperti ini. Entah berapa lama Patrick memainkan kontolku dan ia tidak berusaha mempercepat tempo permainan, ketika tiba-tiba aku tidak merasakan apa-apa lagi, bahkan kehangatan tubuh Patrick pun tiba-tiba lenyap. "Nnnngg?" Aku berusaha memanggil namanya, namun suaraku tertahan dan aku tidak dapat mengucapkannya. Tidak ada jawaban. Aku tidak berani melangkah karena mataku tertutup. "Nnnnggggg??"
Aku mendengar suara gemerisik yang tidak kukenali. Harusnya Patrick, tapi sedang apa dia? Kemudian aku mendengar suara langkah lagi, kukenali sebagai suara sepatu Patrick. Ah ternyata memang benar, kalau penglihatan tertutup seperti ini, pendengaran jadi lebih tajam. "Nnng?" aku berusaha memanggilnya. "Bang Mario sayang..." aku agak lega mendengar suara Patrick kembali. Ia menyentuh leherku dengan tangannya, yang sepertinya terbalut sesuatu karena rasanya begitu... halus? Apa dia pakai sarung tangan? Ia mendongakkan kepalaku, lalu berbisik, "Patrick sayang Bang Mario..." Aku hanya bisa menjawab dengan erangan tertahan, sebelum aku bisa merasakan sesuatu di bibirku.
Dia... menciumku?



Senangnya akhirnya aku bisa mencium bibir Bang Mario satpam sekolahku yang gagah itu, walaupun sekarang dalam posisi seperti itu dan masih terhalang lakban. Tentunya Bang Mario tidak bisa membalas ciumanku, namun yang penting aku sudah menciumnya. Belum tentu juga Bang Mario mau kalau kucium langsung di bibir! Kuelus-elus lehernya selagi aku mencium Bang Mario, dan Bang Mario hanya melenguh pelan. "Enak Bang?" Ia melenguh pelan saja. "Jawab dong Bang, kalau nggak Patrick nakalin loh!" Dengan nakalnya tangan kananku memegang kontol Bang Mario dan meremas-remasnya sehingga Bang Mario terpekik. "Hnnggghh!" Sensasi sarung tangan kulitku beradu dengan tubuh Bang Mario, suara-suara gemerisik sarung tangan itu terlipat-lipat saat meremas-remas kontol Bang Mario membuatku sangat bergairah. Kujepit-jepit kepala kontol Bang Mario dan ia pun merintih sambil berjinjit. "Mmmhhh... Iiihhhh... Ffffhhh..." Aku sudah menduga kontol Bang Mario gede, tapi tidak segede ini. Dan walaupun Bang Mario belum pernah main sama cowok, ternyata kontolnya bisa ngaceng keras juga! Kuurut batang kontol Bang Mario. "Nnnnggghhh..." Kuusap-usap telapak tanganku di kepala kontol Bang Mario. "Mmmmmffffhhhh..." Kulakukan itu beberapa saat dan kuvariasi kecepatannya sampai Bang Mario menggeliat-geliat. Sebetulnya aku tidak tahu ketahanan Bang Mario, kapan dia akan ngecrot. Kurasa aku hanya bisa tahu kalau kubuka mulutnya dan kubiarkan Bang Mario berbicara. Tapi aku juga ingin melakukan edging dengan kondisi dibekap begini. Mungkin pakai perasaan saja deh... akhirnya kuhentikan permainanku di kontol Bang Mario. Bang Mario pun terengah-engah, kulirik batang kontolnya keras sekali. Kupeluk Bang Mario dan kutepuk-tepuk dadanya. "Gimana Bang, enak nggak dimainin Patrick kaya gini?" bisikku. Bang Mario hanya bisa mengangguk terengah-engah. "Udah mau keluar belum Bang?" Bang Mario mengangguk lagi--ah untung saja kuhentikan. "Istirahat dulu ya Bang, kita foto-foto dulu aja. Bang Mario tinggal ikutin arahan Patrick." Sebenarnya tadi aku sudah mengambil beberapa foto, namun aku mau mengambil pose-pose lain.
Entah berapa lamanya aku mengambil foto-foto Bang Mario dengan berbagai pose, dan kontolnya masih tegang juga. Mulai dari foto Bang Mario berlutut dalam posisi diikat, tergolek lemah di ranjang, kontolnya kumasukkan kembali ke dalam celananya dan tampak menegang di celana satpamnya, hingga kontolnya yang menyembul dari resleting celananya dan meneteskan cairan precum yang memucuk di kepala kontolnya. Asyik banyak koleksi buat kelak aku coli hahaha... Setelah puas mengambil banyak foto, aku pun mulai memainkan kontol Bang Mario lagi. Kutuntun Bang Mario untuk duduk di sofa, sepertinya ia mulai kelelahan karena kusuruh berbagai macam pose yang memang cukup sulit, apalagi dalam posisi terikat. Biarlah kubiarkan Bang Mario terpuaskan dulu sebagai rasa terima kasihku. Maka kukeluarkan sepenuhnya kontol Bang Mario dari lubang resleting celana satpamnya. Kulumasi sarung tangan kulitku dengan pelumas cukup banyak, lalu kuelus-elus batang kontolnya.



"Mmmmmhhh..." Aku hanya bisa mengerang pelan. Entah berapa lama tadi aku diarahkan Patrick untuk berpose, dan badanku cukup pegal-pegal. Kontolku juga mulai pegal karena tegang dari tadi--rupanya ini efek samping obat kuat itu. "Sabar ya Bang, Patrick kasih yang enak-enak sekarang biar Bang Mario lega," ujarnya. "Nggghhh..." Aku bisa merasakan batang kontolku dikocok perlahan-lahan, sesuatu yang dingin menerpa batang kontolku namun ada sesuatu yang hangat menjelajahi biji-biji kontolku. Aku menggeliat kegelian, rasanya enak sekali. Sesekali aku merasa ngilu karena Patrick mengenyot biji kontolku, namun rasa itu tidak berlangsung lama karena Patrick terus mengocok kontolku. "Mmmmfffhhh... ssshhh..." Patrick mulai mempercepat kocokannya dengan sedikit variasi di sana-sini, aku tidak bisa melihat caranya mengocok kontolku namun aku bisa merasakan perbedaan tekanan di batang kontolku. Aku menggeliat-geliat saat Patrick mengocok kontolku dengan cepat. "Nggggghhh..." Aku mulai merasakan tekanan itu mengumpul di bawah dengan cepat dan aku mulai tidak tahan. "NGGGGGHHHHH...." "Ooooohhh..."
Aku tidak bisa mengendalikan tubuhku. Badanku mengejang dan hendak menekuk, namun Patrick menahan kedua kakiku. Aku bisa merasakan cairan pejuhku mengalir dengan deras di batang kontolku, namun ada sebuah tekanan lain yang lebih keras di pucuk kepala kontolku. Patrick... dia menggencet kepala kontolku? Selagi kontolku berusaha memuncratkan pejuhnya, cairan itu tertahan di kepala kontolku, membuat tekanan yang tidak nyaman. "MMMFFFFHHHH NGGGGHHHHH!!! ...GGGHHHH!!! HHHHHHHH!!!"
Mendadak aku merasa tekanan yang menutup lubang pipisku menghilang. "NNNNGGGGGG!!!" Aku merasakan semburan dahsyat dari kontolku. Sejenak kemudian aku bisa merasakan pejuhku mendarat di mana-mana: di wajahku, di rambutku, di dadaku... namun kenikmatan itu benar-benar tiada tara, belum pernah kurasakan sebelumnya dari istriku. Aku terengah-engah seiring dengan keluarnya pejuhku yang tertahan itu. Badanku benar-benar teraliri perasaan nikmat dan lega. "Nggggghhhh..."
"Gimana Bang Mario, enak ya?" bisik Patrick sambil perlahan-lahan membuka lakban di wajahku. Sejenak aku megap-megap terkena udara dingin di mulutku dan mataku silau melihat cahaya lampu di kamar hotel itu sekalipun cahayanya temaram. "Patrick..."
"Ya Bang."
"Enak banget... gila ya kamu bisa mainin Abang kaya gitu. Abang ga nyangka bisa muncrat cuma dikocokin, sama bocah SMA pula."
"Hehehe asyik deh kalau Bang Mario suka," seringai Patrick. "Patrick akan kasih lagi kalau Bang Mario mau selama staycation ini."
"Abang nggak nolak Pat..." Kulihat wajah Patrick berseri-seri mendengar jawabanku. "Patrick jamin Abang pasti suka deh!" Ia mengelus-elus kontolku yang kusadari masih sedikit tegang di luar celana navy satpamku itu. "Ah geli Pat... Abang istirahat dulu ya, badan Abang lumayan pegal nih..."
"Tapi Bang Mario masih kuat kan?" Patrick seolah memancingku sambil mengelus-elus biji-biji kontolku. Aku menggeliat dibuatnya, kehangatan tangan Patrick kontras sekali dengan dinginnya AC di kamar itu. "Nggghh..." Saat itu aku baru sadar badanku masih terikat di sana-sini, tanganku diikat ke belakang mulai terasa pegal. "Boleh lepasin ikatan di tangan Abang ga? Tangan Abang pegal nih..."
"Okeh Bang! Berdiri bentar yuk biar gampang!" Patrick pun membimbingku berdiri lalu ia mulai melepaskan beberapa ikatan di tubuhku, tapi rupanya hanya supaya tanganku tak lagi tertekuk ke belakang. "Abang kalau berdiri masih kuat?" tanyanya setelah selesai mengikat tanganku ke samping tubuhku.
"Kuat Pat, Abang kan sering berdiri berjam-jam di sekolah."
"Ya udah, nikmatin aja ya Bang, nggak usah malu-malu." Patrick berdiri di sampingku dan kembali mengelus-elus kontolku. Aku mengamati apa yang ia lakukan padaku. Badanku diikat dengan ikatan menyilang ke sana kemari, entah dari mana ia belajar seperti itu. Aku menyadari noda pejuhku masih melekat di seragamku--dicuci hilang kan ya? Masih ada satu setel di rumah, dan Patrick menyuruhku membawa dua setel. Aku melihat selangkangan Patrick, sepertinya dia sendiri juga tegang, bahkan sepertinya ada sedikit noda basah di celananya. Mendadak aku penasaran, seperti apa ya memegang kontol? Tapi aku malu melakukannya ke Patrick... ah biar saja nanti kalau dia kasih izin, toh sekarang tanganku tidak bebas bergerak. Tangan Patrick menggerayangi dadaku dan mencubit-cubit putingku dari luar seragamku, membuatku terpekik. Tapi enak juga... kontolku kembali tegang dibuatnya, separuh kurasa karena efek obat kuat itu masih terasa, separuh karena apa yang Patrick lakukan pada tubuhku. Aku hampir tidak pernah main dua ronde dengan istriku; selain karena dia tidak mau, nafsuku juga tidak sebesar itu. Malam ini, ternyata aku dibuat sangat bernafsu oleh siswa SMA tempatku bekerja... namun pikiranku tidak bisa melantur ke mana-mana karena rangsangan Patrick pada tubuhku cukup intens, saat ia kembali mengelus-elus biji-bijiku.
"Patrick isepin ya Bang."

Tanpa kuasa kutolak, Patrick berlutut di depanku, seorang satpam sekolah berseragam navy gelap dalam posisi terikat, dan mulai menggarap kontolku dengan mulutnya.
"Aaaaahhhh Paaaattt..." Aku merasakan lidah Patrick menjelajahi sisi bawah kepala kontolku, yang tak kuduga sensitif juga. Aku mulai menggeliat kegelian, terutama saat lidah Patrick mulai menyapu ujung kepala kontolku, tempat lubang pipisku. "Nggggghhhh..." Patrick tidak memegangi batang kontolku sehingga batang kontolku berayun ke mana-mana, seringkali menampar wajah Patrick yang kegirangan bisa merasakan kontolku. Ia mencium-cium ujung kepala kontolku sambil mulai mengelus-elus lagi biji-biji kontolku yang kedinginan karena AC. "Mmmmmhhhh.... uuuaaaahhh... Paaattt... enaaakkkhhhh... sssshhhh..." Sambil memijit-mijit biji-biji kontolku, Patrick perlahan-lahan mulai melahap batang kontolku, sengaja merapatkan bibirnya agar batang kontolku merasa seperti diurut. "Mmmmmhhh..." Aku bisa merasakan hidung Patrick menyentuh tubuhku. Dia... dia melahap batang kontolku sampai pangkalnya? "Oooohhhh..." Lidah Patrick menyapu pangkal batang kontolku, beradu dengan biji-biji kontolku. Kemudian dia memegangi dan meremas pantatku, lalu memulai menggarap kontolku dengan mulutnya.
Aku memejamkan mata menikmati sensasi yang baru kali ini kurasakan. Seseorang menghisap kontolku. Sesekali aku mendengar suara Patrick agak sedikit tersedak selain suara air liurnya yang membasahi kontolku, menjadikannya pelumas untuk bibirnya menggesek dan menjepit batang kontolku, ditambah lidahnya yang kasar menyapu bagian bawah batang kontolku... benar-benar melayang aku rasanya. "Aaaaahhh... Patriiiiccckkkk... uuummmhhhh... sssshhhhh... enaaaakkkhhhh..." Aku meracau tak karuan selagi Patrick terus menghisap kontolku maju mundur, tanganku memegangi tangannya. Begitu hangat. Bagaimana bisa ia pandai memainkan kontol seperti itu? Anak SMA yang seganteng dirinya, disukai banyak cewek sekolah, ternyata malah doyan kontol? Ah dunia ini memang tak terduga... demikian juga dengan tempo permainan Patrick yang berubah-ubah saat menghisap kontolku. "Pat... Abang mau keluarrrr... Ngggghhh..."
"Keluarin aja Bang," Patrick sejenak menghentikan hisapannya, ucapannya sengau terhalang batang kontolku yang masih berada di mulutnya. "Patrick mau ngerasain pejuh Abang."
"Kamu... mau ngerasain pejuh Abang?" Patrick hanya mengangguk.
"Abang terserah kamu Pat..." Tanpa membuang waktu Patrick kembali mengenyot batang kontolku. "Ohhhh... Paaattt... Mmmmhhh..." Kenikmatan itu kembali mengaliri tubuhku. "Nnnnnggggghhhh.... Abang mau kluaaarrr.... Oooooohhhhh..."
Aku tak bisa menahannya lagi.
Croooottt...
Tubuhku mengejan selagi kontolku memuncratkan pejuhnya berkali-kali, padahal tadi aku sudah keluar. Tidak kusangka banyak juga persediaan pejuhku yang belum dikeluarkan. Patrick memegangi tanganku seolah-olah menjagaku tidak rubuh, dan setelah kontolku selesai mengeluarkan pejuhnya kakiku terasa benar-benar lemas. Badanku terasa begitu ringan, nyaman, lega, dan bahagia. Jadi begini ya rasanya orgasme lebih dari sekali... Patrick masih menjilati lubang pipisku seolah tidak ingin menyisakan pejuhku setetes pun, dan lama-lama aku kegelian. "Geli Pat..." Patrick pun mengeluarkan kontolku dari mulutnya setelah yakin tidak ada pejuh yang tersisa. Kontolku agak lemas namun masih sedikit tegang, reaksi obat itu kuat sekali. "Cape ya Bang?" bisik Patrick.
"Mayan Pat... Abang duduk ya." Patrick membimbingku duduk di sofa dan duduk di sebelahku sambil tetap memegangi kontolku, mengelus-elusnya walaupun sangat perlahan. "Ngh..." Aku terengah-engah lelah. "Gimana Bang, enak diisepin Patrick?"
"Luar biasa Pat... kamu kok bisa pinter gitu sih ngisepnya, belajar dari mana?"
"Ini pertama kalinya Patrick ngisep kontol Bang hehehe... untunglah Abang suka." Ia menatapku selagi aku terbaring mengumpulkan energiku kembali. Sejenak kami tidak berbicara apa-apa, aku juga membiarkan Patrick tetap memegangi kontolku yang sepertinya belum lelah. "Makasih ya Pat..." aku memecah kesunyian.
"Patrick yang harus berterima kasih sama Abang," sahutnya. "Patrick takut aja Abang marah sama Patrick..."
"Jujur Abang kaget sih Pat, tapi Abang janji Abang ga akan kasih tahu siapa-siapa, ke papa mama Patrick, ke guru, ke kepsek."
"Makasih ya Bang..." Tanpa permisi dia menciumku di bibirku. Sejenak aku kaget; aku belum pernah dicium pria sebelumnya. Refleks aku hendak menolak, namun aku melihat air mata mengalir di pipi Patrick, membuatku campur aduk, bersalah dan iba. "Pat... kok nangis...? Abang ada salah kah?"
"Nggak, Abang nggak salah apa-apa," Patrick menyudahi ciumannya sambil menyeka air matanya. "Patrick cuma... bahagia..." Aku mencoba menenangkannya dengan mengelus-elus kepalanya. "Tidur yuk Pat, udah jam berapa ini..."
"Kelonin ya Bang."
"Iya, tapi lepasin dulu dong iketan Abang..." 

Malam itu aku dan Patrick tertidur dengan nyenyak. Patrick tertidur di pelukanku, aku jadi merasa memeluk anakku sendiri yang sudah besar, walaupun dia dengan nakalnya memasukkan tangannya di celanaku. Pagi harinya, aku terbangun dalam keadaan ngaceng, awalnya kukira pengaruh obat namun aku baru ingat kalau pagi aku memang sering ngaceng saat bangun, dan Patrick sudah kembali mengerjai kontolku kembali. Permainan pagi itu cukup sederhana, Patrick hanya mengocok-ngocok kontolku, namun sekali-kali ia variasi dengan mengenyot putingku yang melenting juga karena dinginnya AC, membuatku muncrat dalam waktu singkat. Hari itu ia hanya menggodaku sekali-kali, namun lebih banyak memanjakanku dengan makan makanan enak yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Rupanya Patrick ingin memulihkan tenagaku yang terkuras banyak kemarin setelah dibuatnya orgasme dua kali berturut-turut. Malamnya ia juga tidak terlalu intens memainkan kontolku. Hari ketiga staycation itu, baru ia menggarapku lebih intens selepas makan siang. Ia meminta izin padaku untuk melakukan edging dalam posisi terikat seperti hari pertama, dan aku baru tahu istilah itu darinya. Ia berhasil merayuku, dan selama dua jam berikutnya ia menikmati tubuhku dan kontolku selagi mencegahku untuk muncrat berkali-kali sebelum akhirnya aku tidak tahan lagi dan memuncratkan pejuhku sangat intens--mungkin kapan-kapan akan kuceritakan lengkapnya karena kisah ini sendiri sudah cukup panjang. Itu pun tidak hanya sekali, dua kali, namun tiga kali ia membuatku orgasme. Di hari terakhir staycation itu, sesuai janjinya Patrick memberiku tidak hanya enam juta rupiah, namun delapan juta rupiah untuk biaya anakku operasi dan biaya lain-lain. Hari itu menjadi hari yang paling mengharukan dari staycation itu; aku terharu karena akhirnya aku punya biaya untuk mengobati anakku, Patrick sedih karena staycation itu harus berakhir. Namun, aku berjanji padanya untuk membalas budinya. Seperti apa? Aku belum tahu.
Yang jelas, sejak itu hubunganku dengan Patrick berubah. Ia masih tetap ramah padaku dan menjaga sikapnya di depan teman-temannya, namun di belakang ia menjadi cukup manja. Aku akhirnya dikenalkan ke orang tuanya, dan sesekali aku diberi pekerjaan sampingan seperti menjadi tukang kebun atau bahkan menggantikan satpam rumahnya yang sedang ada keperluan, dan tentu saja saat-saat itu menjadi saat yang menyenangkan bagi Patrick, walaupun ia berusaha sebisa mungkin untuk tidak berlebihan dan ketahuan. Aku jadi menyayanginya seperti anakku sendiri, dan sempat sedih ketika Patrick akhirnya lulus dari SMA itu, namun ia berjanji akan terus menghubungiku, dan yang terutama memberikan kenikmatan padaku. Aku tetap menjadi satpam sekolah itu selama beberapa tahun kemudian sebelum akhirnya orang tua Patrick menawariku gaji yang lebih tinggi sebagai satpam rumahnya, tak terlalu lama setelah Patrick masuk universitas ternama. Tentu aku tak kuasa menolaknya, sekaligus menjadi balas budiku untuk Patrick yang telah membantuku menyembuhkan anakku.

Yah, siapa menyangka, inilah akhir yang baik bagi ketua OSIS dan satpam sekolah.

2 komentar:

  1. Hi, gw cuma mau komen, thanks untuk menulis cerita ini. Gw seneng bondage soalnya, dan PoV karakternya ketika lagi diiket dan dilakban bener bener hot 🔥. Ngomong ngomong gw keknya tau nih photoshoot mana yang dimaksud... hotel, satpam, bondage =)) And the names of the characters heheh. Looking forward to more bondage elements in your stories. (Btw komen ini gak dipublish juga gpp kok haha)
    - Z

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ahaha syukurlah kalau suka, agak kesulitan sebetulnya waktu nulis ini karena referensinya dikit, ya walaupun photoshoot-nya lumayan membantu sih, tapi kayanya bahkan nggak muncul di sini 😅

      Hapus

Komentar Anda akan dimoderasi sebelum ditayangkan. Berkomentarlah sopan dan terjaga. Promosi akan otomatis dihapus. Tuliskan juga jika Anda tidak ingin komentar ditayangkan (misalnya jika hanya memberi informasi).