Sabtu, 05 Agustus 2017

[Naskah] Bis Kota (Polisi)

Ini adalah versi cerita untuk penyuka polisi. Versi untuk penyuka tentara (mungkin) akan segera ditulis.

Bis kota. Sempit. Panas. Murah. Tidak banyak yang bisa ditawarkan oleh bis kota.

Kecuali, kalau kau sangat beruntung, seorang polisi. Bukan, bukan polisi yang melakukan operasi dadakan. Polisi yang... bisa kauajak...

"Main."

Kehidupanku di ibu kota ini bisa dibilang tidak terlalu menyenangkan seperti yang dibayangkan di sinetron-sinetron. Tiap hari aku harus menempuh perjalanan sejauh satu setengah jam untuk mencapai kantor, dengan naik bis kota. Yah, apa daya, rumahku memang jauh dari kantor. Rumah itu satu-satunya peninggalan orang tuaku. Mereka meninggal dalam kecelakaan kereta api beberapa tahun lalu, dan berhubung kakakku sudah mantap tinggal di luar negeri bersama pasangannya, akhirnya rumah itu diwariskan padaku. Aku tidak berencana menjualnya atau menyewakannya; terlalu banyak kenangan di rumah itu. Aku lahir dan dibesarkan di sana. Lagipula kakakku sesekali pulang ke Indonesia; ia juga tidak setuju rumah itu dijual atau disewakan. "Untuk keluargamu saja," katanya. "Makanya cepat kawin!"

Ya, di umurku yang mulai menginjak akhir masa dua puluhan, aku belum menikah. Karirku memang sedang bagus-bagusnya, tapi bukan itu alasanku untuk mencari pendamping hidup dan berkeluarga seperti layaknya orang-orang. Tidak ada yang tahu kalau aku gay. Entah apa yang membuatku gay, aku sendiri juga tidak tahu. Ketiadaan ayah dan kakakku? Mungkin, tapi aku juga terbiasa hidup sendirian. Toh sesekali aku juga membawa teman-temanku ke rumah. Rekan-rekan kantorku juga lumayan sering tanya, kapan nikah. Bahkan aku sering dikenalkan ke cewek-cewek yang menurut mereka cocok denganku. Dan memang ada yang cocok. Tapi aku merasa belum siap saja untuk melangkah ke jenjang berikutnya. Apalagi aku lebih suka bercinta dengan sesamaku. Jarang sih aku melakukannya, bahkan aku sendiri tidak punya pacar cowok. Ya mungkin memang aku terlalu sibuk dengan karir? Hampir semua percobaan hubungan ke jenjang yang lebih serius berakhir begitu saja hanya karena aku terlalu sering mengabaikan mereka demi karir. Memang betul, karir dan kehidupan pribadi tidak bisa berjalan bersamaan. Salah satu harus dikorbankan...

Aku sendiri boleh dibilang cukup menarik perhatian. Darah Tiongkok--ah entah kenapa sih mereka memutuskan mengganti nama itu, padahal aku sudah menerimanya juga--mengalir di tubuhku, dan aku diberkahi kulit yang lebih putih dibandingkan orang-orang kebanyakan. Badanku cukup tinggi karena aku suka berolah raga, terutama basket. Yah memang sejak kerja aku hanya bisa melakukannya saat akhir pekan. Fitness hanya sesekali saja kalau diajak teman; aku tidak terlalu suka "olah raga" yang satu itu. Kurasa otot bukan segalanya; kalau hanya dipakai untuk pamer, untuk apa buang-buang uang? Mending ditabung untuk masa depan. Tapi kalau kau memang ingin tahu, yaa... badanku berotot sih. Tidak terlalu six pack, tapi paling tidak juga tidak berlemak. Dan perlukah kuberi tahu ukuran "itu" sekarang?

Well, tentang perjalananku tiap hari, biasanya kuakali dengan mendengarkan musik dari ponselku. Ponselku tentu saja tersembunyi rapi di suatu tempat yang sulit dijangkau tangan-tangan jahil. Hampir setiap waktu aku dapat tempat duduk, tapi kalau tidak dapat, ya terpaksa berdiri untuk beberapa lama. Kalau benar-benar apes, ya berdiri terus dari awal sampai pulang. Banyak yang menyarankan untuk beli motor saja, tapi setelah kuhitung-hitung, malah lebih boros. Toh aku juga jarang bepergian keluar rumah--semua hiburanku ada di rumah. Masak? Aku bisa masak, walaupun aku masih mengandalkan bibiku yang sudah menemaniku sejak kecil. Mau keluar? Ada satpam di rumah--aku juga tidak tega untuk memberhentikannya sejak ayah ibu tidak ada, lagipula beliau juga sudah kuanggap keluarga sendiri. Ada memang motor milik kakakku, tapi aku sendiri jarang menggunakannya. Paling kusuruh Pak Wadji menggunakan dan merawatnya. Aku sendiri juga malas membawa motor ke kantor, tahu sendiri lah macetnya jalan ibukota. Daripada begitu, mending naik bis kota. Sama-sama capek, tapi yang capek supir bisnya.

Dan akhirnya hari itu tiba juga.

Hari itu aku keluar kantor agak terlambat karena suatu urusan. Wah, pasti bakal lama ini pulangnya, pikirku muram. Sebenarnya aku pingin lembur, tapi bosku menyuruhku untuk mengerjakannya besok saja--yah, bosku juga sama khawatirnya dengan rekan-rekanku, takut aku bekerja terlalu banyak. Enggan sih, aku orangnya tidak bisa meninggalkan kerjaan yang belum selesai. Tapi ya sudah lah, aku sendiri juga capek... Aku menunggu bis kota biasanya yang memang lewat persis depan kantor, jadi paling tidak selagi menunggu aku masih bisa bercanda dengan rekan-rekan lain yang sama-sama beranjak pulang. Kalau sudah sepi, paling aku bercanda dengan satpam kantor. Agak lama, bis yang kutunggu akhirnya datang juga. Aku dapat tempat duduk agak di tengah, kebetulan sekali. Sebelahku seorang lelaki gendut, tapi dia sedang tertidur. Aku sendiri juga cukup lelah... Setelah duduk di kursi itu, aku pun menopangkan kepalaku dengan tangan kiriku di atas pegangan kursi. Perjalananku masih jauh dan aku sudah mulai mengantuk, jadi tidak ada salahnya lah tidur sejenak...

Entah berapa lama aku tertidur dan terbangun, tertidur lagi dan terbangun lagi, tapi sepertinya bis itu mulai penuh sesak--sayup-sayup aku mendengar suara hiruk pikuk orang-orang yang menaiki bis itu dan sesekali si kondektur yang berteriak menyebutkan lokasi atau menyuruh orang-orang untuk semakin masuk ke dalam. Entah kenapa rasa kantuk begitu hebat menyerangku, kepalaku sampai terangguk-angguk. Hingga akhirnya aku merasa kepalaku ditopang sesuatu. Seseorang yang jelas. Di... pahanya? Namun entah akunya yang kurang ajar atau terlalu mengantuk sampai malah membuat kepalaku nyaman dengan sandaran itu, atau orangnya yang diam saja, orang itu membiarkan kepalaku bersandar. Lumayan lah, hehehe...

Sampai aku merasa ada sesuatu yang hangat di telingaku. Bis kota biasanya memang panas sih, tapi yang di pipiku ini lain. Masa pahanya sehangat itu ya? Kemudian aku merasakan ada yang bergerak-gerak. Ah aku sedang bermimpi mungkin... Tapi lama-kelamaan sesuatu itu menjadi semakin keras dan gerakannya menjadi lebih tajam. Ini... kontol kah? Aku tersentak begitu memikirkan benda yang satu itu, dan aku pun terbangun. Ya ampun, aku bersandar di kontol orang? Sontak kulihat siapa orang itu.

Jantungku berdegup keras ketika melihat celana coklat itu, yang terlilit sebuah sabuk putih dengan gesper emas yang besar. Mati aku... aku bersandar di kontol polisi??? Segera aku menoleh ke atas, dan benar saja, seorang polisi berdiri menghadapku. "Aduh maaf Pak, saya ketiduran," ujarku gugup.
"Oh ga pa pa kok," jawab polisi itu sambil tersenyum. "Kamu pasti kecapekan sekali ya? Tidur aja bersandar kaya tadi." Sejenak aku melihat ke arah selangkangannya dan sedikit terkesiap. Besar juga bonggolan kontolnya. Aku menatapnya kembali dan dia hanya tersenyum sambil memberi kode supaya aku bersandar seperti tadi. Ya sudah, kalau dia yang minta... Aku kembali menopang kepalaku dengan tangan kiriku, lalu perlahan-lahan bersandar ke polisi itu. Sekarang tanganku kuatur supaya pas menyentuh kontol polisi itu--dia sendiri juga mencari posisi supaya pas. Kebetulan sekali bangku di bis kota itu sangat tinggi sehingga aksiku tidak terlihat oleh orang lain, sekalipun oleh orang yang berdiri di sampingnya--dan entah kenapa orang-orang di sampingnya menghadap ke arah yang berlawanan, sehingga praktis hanya lelaki gendut yang tertidur itu yang hanya bisa mengacaukan aksiku. Walaupun begitu, aku tetap pura-pura tertidur sambil sengaja bersandar ke polisi itu. Punggung tanganku mengelus-elus kontol polisi itu, yang belum mengeras sepenuhnya namun sudah tercetak jelas di celana dinasnya. Mungkin panjangnya sekitar 16 cm? Aku tidak tahu pasti, tapi yang aku tahu, seperitnya asyik bisa memainkan kontolnya. Sesekali kulirik polisi itu, dan ia pun tersenyum, sesekali berbisik "enak", "lagi dong", atau sekedar membuka mulutnya seakan mendesah. Kubalik tanganku sehingga kini jari-jariku yang bersentuhan langsung dengan kontolnya, dan kupijat-pijat perlahan. Sesekali aku melirik lelaki di sebelahku, siapa tahu ia tiba-tiba terbangun, namun ia masih tertidur pulas--ngorok pula. Jadi kadang-kadang aku pun sengaja menggunakan tangan kananku untuk meremas-remas kontol polisi itu. Celananya yang cukup ketat memberikan kesan tersendiri pada permainanku itu; kedua biji pelirnya tertata rapi dan menonjol, sepertinya berkat celana dalam yang ketat dan berkualitas. Biji pelir itu begitu menggoda, sesekali kujepit dengan kedua jariku, seakan-akan hendak mengguntingnya, dan polisi itu membuat raut muka yang menggairahkan tiap kali aku melakukannya. Batang kontolnya pertama agak tertekuk, namun sudah kubantu meluruskannya, walaupun tetap saja posisinya tidak dapat lurus benar; masih melengkung ke arah paha kirinya.

Seru juga ternyata memainkan kontol di tempat umum seperti itu!

Setelah puas meremas-remas kontol polisi itu dari luar celana dinasnya, aku pun berbuat lebih jauh. Kubuka resleting celananya, lalu kutelusupkan tanganku ke dalam. Agak susah memang karena lubang resleting celana itu tidak terlalu lebar dan bis terus bergoyang ke sana kemari, dan setelah beberapa saat mencoba aku pun menyerah mengeluarkan kontolnya. Tapi, yang jelas, polisi itu benar-benar terangsang hebat. Mungkin aku memang lihai merangsang kontol dengan pijatan sensual ya, hehehe... aku jadi agak enggan untuk turun ketika mendengar si kondektur meneriakkan nama wilayah yang kukenal... tinggal dua pemberhentian lagi. Jadi, kurapikan kembali celana dinas polisi itu supaya dia tidak terkena malu dilihat orang lain, lalu aku mencoba berbicara dengannya. "Dua halte lagi aku turun."
"Aku juga," katanya. "Lanjut di tempatmu ya?"
"Boleh." Entah kenapa aku tidak berpikir panjang lagi. Kontolku sendiri juga sudah mengeras dari tadi akibat memainkan kontol polisi itu, dan tidak seperti dirinya yang tetap kering walaupun terangsang hebat, aku bisa merasakan precum menembus celana kainku. Aku pun berkenalan dengannya. Oh, bahkan aku lupa memperkenalkan diri! Namaku Ronald. Si polisi itu bernama Rinaldi. Mirip ya?

Akhirnya, dua halte berikutnya, setelah berjuang dengan susah payah untuk keluar dari bis itu, tanpa peduli lagi kontolku bergesekan dengan apa dan siapa, aku dan Rinaldi turun dari bis. Dari halte itu, aku masih harus berjalan selama sekitar lima belas menit lagi. Ya lumayan lah, sekarang aku ditemani seorang polisi. Selagi berjalan, aku pun berusaha mengenalnya lebih dekat lagi, sekaligus untuk mencairkan suasana setelah tadi aku hanya berdiam diri terfokus memainkan kontolnya. Dia sebenarnya punya motor, namun motornya hari itu rusak dan sedang diperbaiki di bengkel dekat kantornya, sehingga ia terpaksa pulang dengan bis kota. Hanya selisih satu halte denganku. Dia berasal dari luar pulau, asli orang Indonesia. Dan setelah berbincang-bincang tentang perkenalan masing-masing, akhirnya kami sampai juga ke percakapan itu.
"Di, kamu top atau bot?" tanyaku.
"Aku bisa dua-duanya," jawab Rinaldi. "Tapi malam ini aku pingin kamu entot Nal. Pingin tahu rasanya dientot zhongguoren." Aku terkesiap mendengarnya, tapi aku segera tertawa. "Ha ha ha Di, kamu tau dari mana kata itu???" tanyaku sambil tergelak.
"Teman-temanku dulu banyak kok yang keturunan, sama kaya kamu. Jadi aku ya tahu lah!" Ia ikut tertawa renyah.
"Emang apa bedanya Nal?"
"Ya ga tau, makanya pingin tau aja, hahaha..."
"Punyaku ga gede-gede amat lho, malah kayanya gedean punyamu," ujarku sambil mengelus selangkangannya. Rinaldi hanya tertawa renyah dan berpura-pura jaim dengan menepis tanganku. "Dilihat orang nanti Nal!"
"Hahaha, udah sampai kok." Memang saat itu akhirnya kami sampai di rumahku. Aku menekan bel dan tak terlalu lama Pak Wadji tergopoh-gopoh membukakan pintu. "Selamat datang Den." Dia memang suka memanggilku aden. "Aden ada masalah apa sampai bawa polisi?"
"Oh nggak kok Pak, ini temanku," jawabku menenangkan dirinya yang tampak tegang. Maklumlah, Pak Wadji juga sudah menganggapku seperti anaknya sendiri. "Kenalkan Pak, ini Rinaldi." Rinaldi pun mengulurkan tangan hendak berjabatan, namun Pak Wadji terlebih dahulu memberi hormat. "Suasana aman terkendali Pak?" tanyanya seolah-olah inspeksi.
"Lapor Ndan, semua aman terkendali, 86!"
"86!" Dalam hati aku tertawa melihat perilaku mereka berdua. Ah sudah lama sekali rasanya sejak aku membawa teman ke rumah ini dengan canda tawa... "Yuk masuk Di!" ajakku. Pak Wadji pun kembali ke posnya sementara aku dan Rinaldi beranjak masuk. "Eh satpammu cakep juga ya?" bisik Rinaldi.
"Eh gila lu Di, masa satpamku juga kauembat... Pak Wadji normal tau! Dan dia udah beristri beranak! Mana doyan dia sama polisi kaya kamu!"
"Dasar kau ya," Rinaldi mencubit pinggangku. Ah sial, dia tahu saja kelemahanku; aku paling geli kalau dicubit di pinggang! Awalnya ingin kubalas, namun aku teringat kalau kami masih di luar, Pak Wadji bisa saja melihatku "bermesraan" dengan Rinaldi. Apa katanya nanti kalau aku ketahuan bermesraan dengan seorang pria...
"Di, makan dulu yuk!" ajakku setelah kami berada di dalam rumah. "Di, jangan bengong gitu dong!"
"Hehehe, sori-sori, aku ga pernah lihat rumah segede ini," ujarnya. Dia memang terlihat seperti anak kecil, terheran-heran melihat rumahku yang besar itu. "Maklum Nal, polisi rendahan kaya aku gini gajinya kecil, habis buat bayar kontrakan..."
"Kalau mau, kamu tinggal di sini aja," tawarku. "Lumayan kan ga usah bayar kontrakan."
"Ah nggak usah Nal, kita baru ketemu, aku nggak enak sama kamu..."
"Ga pa pa kok, lagian biar aku ada temannya."
"Memang kamu sendirian di sini Nal?" Aku hanya mengangguk. "Ortu?"
"Sudah nggak ada."
"Oh." Dia tampak menyesal, jadi aku langsung menyahut, "Ga pa pa kok Di, aku sudah ikhlas. Aku tetep nawarin kamu tinggal bareng sama aku, tapi terserah kamu deh mau atau nggak nya. Pikir-pikir dulu aja." Aku pun mengajaknya ke ruang makan, dan di sana sudah tersaji menu kesukaanku: tempe penyet. "Wah Nal kamu berada gini tapi makannya sederhana amat?" tanyanya. Aku hanya tertawa kecil. "Iya Di, sejak kecil papa mama membiasakan untuk makan sederhana, pokoknya bisa dimakan dan lezat. Kamu suka kah?"
"Suka lah kalau tempe Di."
"Kapan-kapan deh kita makan agak mewah dikit."
"Ah ga usah Nal, ngerepotin..."
"Nyante aja kali Di, kita kan udah sohiban baik, hehehe..." Dia pun tertawa mendengarnya. "Aku mau aja si jadi budakmu Nal!"
"Eh Di lu kok ngomong gitu sih, ga baik ah!"
"Budak seks maksudnya Nal..."
"Ga lah, kita sohiban aja. Kalau kau mau, pacaran juga bole kok. Atau mau jadi pasangan hidup juga bole, tapi kecepetan deh aku nanya sekarang..."
"...aku mau Nal...," Rinaldi memandangku dengan serius. "Kamu sepertinya orangnya baik banget. Aku mau hidup denganmu..."
"Hahaha, ga usah buru-buru Di!" ujarku menepuk-nepuk bahunya. "Kita baru kenal juga, siapa tahu aku ternyata bukan tipemu. Mana kenalannya gara-gara kontol pula!" Dia tertawa mendengarnya. "Ya sudah deh, kita lihat aja nanti ya."
"Dah dah, makan dulu yuk! Keroncongan ni perut!" Perutku memang sudah berbunyi saat itu. Segera kami makan dengan lahapnya, sambil sesekali bercerita dan bercanda gurau. Perlahan-lahan aku pun mulai menyukainya. Mungkinkah dia sosok yang kuidam-idamkan selama ini?

Setelah makan, kusuruh bibi untuk tidak mengganggu kami--termasuk mengabari Pak Wadji--dan kukunci semua pintu masuk. Akhirnya aku bisa berduaan dengan si polisi Rinaldi, dan dia pun sepertinya tidak sabar untuk melanjutkan permainanku tadi. "Nal...," panggilnya.
"Ya?"
"Mulai yuk..." Tanpa basa-basa lagi ia langsung menciumku. Pertama-tama aku agak kagok; sudah lama sekali sejak seseorang menciumku di bibir, tapi lama-kelamaan aku bisa mengimbanginya, walaupun ciumannya tergolong liar juga. Aku menatap matanya dan dia juga menatapku. "Di... kamu ganteng..."
"Makasih..."
"Ganteng-ganteng kok jadi polisi sih?"
"Emang ga boleh ya?"
"Ga niat jadi artis?"
"Ga ah, itu si Norman mana kabarnya sejak keluar dari Polri? Bodo banget dia!" Aku hanya tertawa mendengarnya. "Iya deh polteng... Ga cuma ganteng, jantan pula!"
"Ah masa?"
"Ni buktinya." Aku memegang kontolnya.
"Ah itu mah kamu juga punya Nal!" Dia pun memegang kontolku.
"Tapi kamu jantan banget Di, berdiri kaya tadi sambil ngaceng." Kuelus-elus kontol Rinaldi, dan dia pun mulai mendesah. "Sini Di!" Kugiring dia menuju anak tangga; aku duduk di tangga dan kusuruh dia menaikkan kakinya dua anak tangga dariku. "Pose jantan Di!" celetukku. Dia hanya tertawa. "Masa kaya gini jantan sih?"
"Jantan dong kalau kuginikan." Aku kembali mengelus-elus kontol polisi itu. Rinaldi hanya bisa menatapku sambil kembali mendesah. Kupijat-pijat pelan bola-bola kontolnya. "Aaahhh aku suka Nal... enaakkk..." Tonjolan kontol polisi itu benar-benar terbuka di hadapanku, tak terlindungi oleh apapun selain celana dinas coklat khas polisi. Aku bisa melihat batang kontolnya mulai membesar dan mengeras. Sebenarnya aku tak sabar ingin segera menikmati kontol Rinaldi, namun aku juga selalu punya angan-angan untuk menggoda kejantanan polisi. Aku ingin polisi itu meminta-minta untuk memberikan kenikmatan lebih. Dan aku bertekad supaya Rinaldi juga tunduk seperti keinginanku.
Kusundul-sundul bonggol kejantanan polisi Rinaldi dengna buku-buku jariku, membuatnya mendesah dan mengerang. "Jantan kamu Di," bisikku sambil memegang kontolnya dan sedikit meremasnya. "Tapi untuk malam ini kejantananmu jadi milikku."
"Iya Nal, aku pasrah...," jawabnya mendesah. "Beri aku kenikmatan Nal... please..."
"Lu ga akan melupakan malam ini Di," bisikku sambil bangkit dan kembali menciumnya, sambil membuat elusan memutar-mutar di atas kontolnya. Polisi itu hanya membalas ciumanku sambil terus mendesah. Setelah puas menciumnya, aku kembali duduk dan menggoda bonggolan kontolnya. "Aaaahhh Nal... kocokin please..."
"Sabar Di, malam masih panjang," jawabku nakal sambil mengurut batang kontolnya dari pangkal. "Kontol polisi seperti punyamu ini harus dilayani semalam suntuk."
"Aku mau Nal... kocokin please..." Aku tidak menjawab, hanya mengelus-elus pangkal paha polisi itu. Kemudian kukagumi perutnya. Tidak terlalu buncit, mungkin dia memang menjaga perutnya dengan baik. Kukagumi gesper emas besar yang menghiasi perutnya itu, bersama dengan sabuk putih khas polisi. Sesekali tak lupa kusentuh kembali bonggolan kontol Rinaldi dan meremas-remasnya selama beberapa saat sebelum aku melanjutkan kembali mengagumi tubuhnya. Kini kukagumi pantatnya; dengan posisi berdirinya seperti itu, pantatnya terekspos dengan baik. Cukup besar, kenyal, dan berisi. "Di kamu pernah dientot?" tanyaku.
"Dulu pernah Nal, tapi udah lama banget. Seret kok Nal bokongku, perawanin gih." Aku tertawa kecil mendengarnya. "Sabar Di..." Aku kembali memuja pantatnya, dan kali ini kubenamkan wajahku di bonggolan kontolnya. Kuhirup dalam-dalam aroma kejantanan polisi itu; lumayan tercium bau keringat. Pastilah dia habis berpeluh setelah bertugas seharian tadi, dan bis tadi juga cukup panas. Kugoda kembali kontolnya dengan wajahku; kugosok-gosokkan hidungku di selangkangan polisi itu. Rinaldi hanya mendesah pelan, kecuali saat dengan isengnya kutusukkan jariku di pantatnya.
Puas memuja pantatnya, kualihkan perhatianku pada bagian atas tubuhnya. Rinaldi hanya menatapku ketika aku menjelajahi perut atasnya untuk menuju dadanya. Entah atribut apa saja yang ada di atas dadanya itu, yang kukenali hanya lencana polisi. Kuelus-elus lencana itu sambil tetap mengelus-elus barang kesayangan polisi itu. Lalu mendadak aku punya ide yang liar. Aku mencoba melepas lencananya. Rinaldi hanya terheran-heran melihat aksiku. "Mau kamu apain Nal? Itu dapetinnya susah..."
"Tenang aja Di, nggak akan kuhilangin atau kurusakin kok," jawabku sambil tersenyum. "Ini emas betulan kah?" tanyaku sambil mengamat-amati lencana polisi itu.
"Nggak lah, kalau iya ntar pada ditukar duit semua dong!" Aku menimang-nimang lencana itu, kemudian kuelus-eluskan permukaannya pada bonggolan kontol Rinaldi. Ia tak pernah menduganya, dan pasti tidak ada yang pernah melakukan itu padanya. Yah, siapa sih yang berani menggesek-gesekkan lencana lambang kekuatan polisi pada bagian pribadinya? Mulutnya terbuka sedikit seakan tak percaya, namun kemudian rasa nikmat itu menderanya. Permukaan tak rata lencana polisi itu memberikan sensasi tersendiri pada bonggolan kontolnya; otaknya terpacu antara marah, malu, dan suka: seakan-akan ia yang biasanya punya kuasa penuh menilang pengendara motot yang tak pakai helm kini harus pasrah diperkosa orang biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda akan dimoderasi sebelum ditayangkan. Berkomentarlah sopan dan terjaga. Promosi akan otomatis dihapus. Tuliskan juga jika Anda tidak ingin komentar ditayangkan (misalnya jika hanya memberi informasi).